Agustinus dari Hippo

Filsuf

Agustinus dari Hippo (bahasa Latin: Aurelius Augustinus Hipponensis,[note 1] 13 November 354 – 28 Agustus 430), juga dikenal sebagai Santo Agustinus, atau Saint Augustine dan Saint Austin dalam bahasa Inggris,[29] Beato Agustinus,[30] dan Doktor Rahmat[31] (bahasa Latin: Doctor gratiae), adalah seorang filsuf[32] dan teolog Kristen awal yang tulisannya mempengaruhi perkembangan Kekristenan Barat dan filsafat Barat. Ia adalah uskup Hippo Regius (sekarang Annaba, Aljazair), yang terletak di Numidia (provinsi Romawi di Afrika). Ia dipandang sebagai salah seorang Bapa Gereja terpenting dalam Kekristenan Barat karena tulisan-tulisannya pada Era Patristik. Di antara karya-karyanya yang terpenting misalnya Kota Allah dan Pengakuan-Pengakuan.


Agustinus dari Hippo
The Triumph of Saint Augustine oleh Claudio Coello, ca 1664
Uskup, Pujangga Gereja
LahirAurelius Augustinus
13 November 354
Thagaste, Numidia Cirtensis, Kekaisaran Romawi
(sekarang Souk Ahras, Algeria)
Meninggal28 Agustus 430 (umur 75)
Hippo Regius, Numidia Cirtensis, Kekaisaran Romawi Barat
(modern-day Annaba, Algeria)
MakamPavia, Italia
Dihormati diSemua denominasi Kristen yang memiliki penghormatan orang kudus
Tempat ziarahSan Pietro in Ciel d'Oro, Pavia, Italia
Pesta
AtributCrosier, miter, anak muda, buku, hati yang terbakar atau tertusuk.[1]
PelindungPembuat bir; penerbit; teolog; radang mata; Bridgeport, Connecticut; Cagayan de Oro; San Agustin, Isabela; Mendez, Cavite; Tanza, Cavite; Baliwag, Bulacan

Karier filsafat

Karya terkenal
Era
KawasanFilsafat barat
Aliran
Mahasiswa pentingPaul Orosius[26]
Minat utama
Gagasan penting
Dipengaruhi
Memengaruhi

Menurut rekan sezamannya, Hieronimus, Agustinus telah memperbaharui "Iman kuno".[note 2] Pada awal hidupnya, ia banyak dipengaruhi oleh Manikeisme dan sesudahnya oleh Neoplatonisme dari Plotinus. Setelah dibaptis dan memeluk Kekristenan pada tahun 386, Agustinus mengembangkan pendekatannya sendiri dalam filsafat dan teologi dengan mengakomodir berbagai metode dan sudut pandang.[33] Dengan keyakinan bahwa kasih karunia atau rahmat Kristus mutlak dibutuhkan bagi kebebasan manusia, ia membantu merumuskan doktrin dosa asal dan memberikan kontribusi penting pada pengembangan teori perang yang dapat dibenarkan.

Ketika Kekaisaran Romawi Barat mulai pecah, Agustinus mengembangkan konsep Gereja sebagai suatu Kota Allah yang spiritual, berbeda dengan Kota Duniawi yang materiil.[34] Pemikirannya sangat mempengaruhi cara pandang dunia abad pertengahan. Gereja yang berpegang pada konsep Trinitas, sebagaimana didefinisikan dalam Konsili Nicea dan Konsili Konstantinopel,[35] umumnya diidentifikasi sebagai Kota Allah-nya Agustinus.

Dalam Gereja Katolik dan Komuni Anglikan, ia dipandang sebagai seorang santo, seorang Pujangga Gereja terkemuka, serta pelindung para biarawan dan biarawati Agustinian. Hari peringatannya dirayakan pada tanggal 28 Agustus, hari wafatnya. Ia dipandang sebagai santo pelindung para pembuat bir, penerbit dan percetakan, teolog, pengentasan penyakit mata, serta sejumlah kota dan keuskupan.[36] Banyak kalangan Protestan, terutama Calvinis, menganggapnya sebagai salah seorang bapa teologis Reformasi Protestan karena ajarannya tentang rahmat ilahi dan keselamatan.[37][38][39]

Dalam Kekristenan Timur, beberapa ajarannya diperdebatkan dan secara khusus pada abad ke-20 mendapat serangan dari teolog seperti John Romanides.[40] Namun, para tokoh dan teolog lainnya dari Gereja Ortodoks Timur memperlihatkan banyak pemanfaatan dari karya-karya tulisnya, terutama Georges Florovsky.[41] Kontrovesi doktrinal terpenting yang dihubungkan dengan namanya adalah filioque,[42] yang ditolak oleh Gereja Ortodoks.[43] Ajaran-ajaran lain yang diperdebatkan mencakup pandangannya mengenai dosa asal, doktrin mengenai rahmat atau anugerah, dan predestinasi.[42] Bagaimanapun, meski dianggap keliru dalam beberapa hal, ia tetap dipandang sebagai seorang suci (santo), dan bahkan telah memberikan pengaruh pada sejumlah Bapa Gereja Timur, khususnya Gregorius Palamas.[44] Dalam Gereja Ortodoks, pesta peringatannya dirayakan pada tanggal 28 Agustus,[42][45] dan ia menyandang gelar Beato ("Yang Terberkati").

Kehidupan

sunting

Masa kecil dan pendidikan

sunting
 
Santo Agustinus Disekolahkan oleh Santa Monika, lukisan karya Niccolò di Pietro (1413-15).

Agustinus dilahirkan pada tahun 354 M di municipium (kota atau kotamadya) Tagaste, Numidia (sekarang Souk Ahras, Aljazair) di Afrika Romawi.[46][47] Ibunya, Monika, adalah seorang Kristen yang saleh; sementara ayahnya Patrisius adalah seorang Pagan yang kemudian memohon dibaptis menjelang kematiannya.[48] Para akademisi umumnya sepakat bahwa Agustinus dan keluarganya adalah orang Berber, suatu kelompok etnis asli Afrika Utara,[49][50][51][52] tetapi mereka banyak mendapat pengaruh Romanisasi, hanya berbicara bahasa Latin di rumah sebagai suatu kebanggaan dan martabat.[49] Dalam tulisan-tulisannya, Agustinus meninggalkan sejumlah informasi mengenai kesadarannya akan warisan Afrika-nya. Sebagai contoh, ia menyebut Apuleius sebagai "yang paling terkenal buruk di antara kita orang Afrika",[53] hingga Ponticianus sebagai "orang sebangsa kita, sebatas menjadi orang Afrika",[54] dan menyebut Faustus dari Milevum sebagai "seorang Pria Sejati Afrika".[55]

Nama keluarga Agustinus, yaitu Aurelius, menunjukkan bahwa leluhur ayahnya adalah budak yang dimerdekakan dari gens Aurelia yang diberikan kewarganegaraan Romawi sepenuhnya melalui Maklumat Caracalla pada tahun 212. Dari sudut pandang hukum, keluarga Agustinus telah menjadi bangsa Romawi selama setidaknya satu abad pada saat ia lahir.[56] Diasumsikan bahwa ibu Agustinus, yakni Monika, memiliki asal usul Berber berdasarkan namanya,[57][58] tetapi karena keluarga Agustinus tergolong honestiores, suatu kelompok warga negara kelas atas yang dikenal sebagai orang-orang terhormat, kemungkinan besar Agustinus telah menggunakan bahasa Latin sebagai bahasa pertamanya.[57]

Pada usia 11 tahun ia disekolahkan di Madaurus (sekarang M'Daourouch), sebuah kota kecil di Numidia berjarak sekitar 31 km di sebelah selatan Tagaste. Di sana ia menjadi akrab dengan sastra Latin, juga keyakinan dan praktik pagan.[59] Pemahaman awalnya mengenai kodrat atau hakikat dosa adalah saat ia dan sejumlah temannya mencuri buah-buahan, yang sebenarnya tidak mereka inginkan, dari sebuah kebun di lingkungan sekitarnya. Ia menceritakan kisah ini dalam otobiografinya, Pengakuan-Pengakuan (bahasa Inggris: The Confessions). Ia mengingatnya bahwa dulu ia tidak mencuri buah pir tersebut karena rasa lapar, tetapi karena "hal itu tidak diperbolehkan".[60] Kodrat dasarnya cacat, katanya. "Buruk kenakalan itu, tetapi aku menyukainya waktu itu; aku menyukai kehancuranku, aku menyukai kesalahanku. Bukan apa yang kukejar dalam kesalahanku itu, melainkan kesalahan itu sendiri yang kusukai."[60] Dari kejadian ini ia menyimpulkan bahwa pribadi manusia secara kodrati cenderung untuk berbuat dosa, dan membutuhkan kasih karunia Kristus.

Karena kemurahan hati sesama warga kotanya, Romanianus,[61] pada umur 17 tahun Agustinus melanjutkan pendidikan dalam bidang retorika di Kartago. Saat ia belajar di sanalah ia membaca dialog karya Cicero yang berjudul Hortensius (sekarang telah hilang), yang ia sebut meninggkalkan suatu kesan mendalam dan memicu minatnya dalam filsafat.[62] Meskipun dididik sebagai seorang Kristiani, Agustinus meninggalkan Gereja untuk mengikuti agama Manikean, sehingga menyebabkan ibunya sangat berputus asa.[63] Sebagai seorang pemuda, Agustinus menjalani kehidupan yang hedonis dalam suatu kurun waktu, bergaul dengan orang muda lainnya yang membanggakan eksploitasi seksual mereka. Kebutuhan akan penerimaan dari sesama memaksa pemuda-pemuda tanpa pengalaman seperti Agustinus untuk mencari ataupun mengarang cerita mengenai pengalaman-pengalaman seksual.[64] Pada masa inilah ia mengucapkan doanya yang terkenal: "Berikanlah aku kemurnian dan kemampuan untuk mengendalikan nafsu, tetapi jangan sekarang" (da mihi castitatem et continentiam, sed noli modo).[65]

Pada usia sekitar 19 tahun, Agustinus mulai menjalin hubungan di luar perkawinan dengan seorang wanita muda di Kartago. Meskipun sang ibu mengharapkan agar ia menikahi orang yang sekelas dengannya, wanita tersebut tetap menjadi kekasihnya[66] selama lebih dari 15 tahun[67] dan melahirkan seorang putra baginya, Adeodatus,[68] yang dipandang sangat cerdas oleh orang-orang pada masanya. Pada tahun 385, Agustinus mengakhiri hubungan dengan kekasihnya demi mempersiapkan diri untuk menikahi seorang wanita berumur 10 tahun yang akan menjadi pewarisnya. (Ia harus menunggu selama dua tahun karena usia yang sah secara hukum untuk menikah adalah 12 tahun. Namun, pada saat ia dapat menikahinya, ia malah memutuskan untuk menjadi seorang imam selibat.)[67][69]

Sejak awal Agustinus menunjukkan dirinya sebagai seorang murid yang brilian, dengan keingintahuan intelektual yang besar, namun ia tidak pernah benar-benar menguasai bahasa Yunani.[70] —ia menyampaikan bahwa guru bahasa Yunani pertamanya adalah seorang pria brutal yang terus-menerus memukuli murid-muridnya, dan Agustinus memberontak serta menolak untuk belajar. Pada saat ia menyadari bahwa ia perlu mengetahui bahasa Yunani, hal itu sudah terlambat; dan walaupun ia sedikit menguasai bahasa itu, ia tidak pernah fasih dengannya. Namun, penguasaannya atas bahasa Latin merupakan hal lain. Ia menjadi seorang ahli yang fasih dalam penggunaan bahasa tersebut maupun dalam penggunaan argumen-argumen cerdas untuk menyampaikan maksud-maksudnya.

Mengajar retorika

sunting

Agustinus mengajar tata bahasa di Tagaste selama tahun 373-374. Tahun berikutnya ia pindah ke Kartago untuk membuka sekolah retorika, dan tetap di sana selama 9 tahun berkutnya.[61] Pada tahun 383, karena merasa terganggu oleh murid-murid yang sulit diatur di Kartago, ia pindah ke Roma untuk mendirikan sekolah di sana, di mana ia meyakini bahwa Roma adalah tempatnya para ahli retorika cemerlang dan terbaik. Namun, Agustinus kecewa dengan penerimaan apatis yang dialaminya. Merupakan suatu kebiasaan di Roma saat itu bahwa para murid membayar biaya sekolah pada hari terakhir masa studi, dan banyak murid mengikuti seluruh masa studi dengan tekun sampai akhir, namun tidak membayar biaya sekolah. Teman-temannya sesama penganut Manikean memperkenalkannya dengan prefek Kota Roma, Symmachus, yang telah diminta oleh istana kekaisaran di Milan[71] untuk menyediakan seorang guru besar ilmu retorika.

 
Potret Santo Agustinus yang paling awal diketahui dalam suatu fresko abad ke-6 di Lateran, Roma.

Agustinus kemudian mendapatkan pekerjaan tersebut dan berangkat ke utara untuk menerima jabatan itu pada akhir tahun 384. Di usianya yang ke-30, Agustinus telah mendapatkan posisi akademik yang paling menonjol di dunia Latin saat itu, jabatan yang memberikan akses ke karier politik. Kendati Agustinus memperlihatkan sejumlah kegairahan pada Manikeisme, ia tidak pernah menjadi seorang "inisiasi" atau "terpilih", namun hanya menjadi seorang "auditor", tingkatan terendah dalam hierarki sekte itu.[71]

Saat masih di Kartago, Agustinus pernah mengalami suatu pertemuan yang mengecewakan dengan Uskup Manikean Faustus dari Milevum, seorang eksponen utama teologi Manikean; sejak saat itu Agustinus mulai bersikap skeptis terhadap Manikeisme.[71] Di Roma, ia dikabarkan berpaling dari Manikeisme dan menganut skeptisisme dari gerakan Akademi Baru. Karena pendidikannya, Agustinus memiliki kecakapan retorikal yang luar biasa dan berpengetahuan luas dalam filsafat berbagai keimanan atau agama.[72] Saat Agustinus pindah ke Milan, kesalehan ibunya, studinya dalam Neoplatonisme, dan Simplicianus (yang kelak menjadi uskup Milan, dan juga akhirnya digelari Santo) temannya, kesemuanya itu mendorong dia untuk beralih ke Kekristenan.[61] Awalnya Agustinus tidak begitu terpengaruh oleh Kekristenan dan ideologi-ideologinya, tetapi setelah menjalin hubungan dengan Ambrosius (uskup Milan pada saat itu, dan kelak digelari sebagai salah seorang Pujangga Agung dalam Gereja Katolik), ia mulai mengevaluasi kembali dirinya dan mengalami perubahan untuk seterusnya.

Sama seperti Agustinus, Ambrosius juga seorang ahli retorika (berarti juga ahli pidato), tetapi lebih tua dan lebih berpengalaman.[73] Agustinus menerima banyak pengaruh dari Ambrosius, terutama melalui khotbah-khotbah Ambrosius, bahkan lebih dari pengaruh ibunya sendiri dan orang-orang lain yang ia kagumi. Sejak ia tiba di Milan, ia langsung berada di bawah pengaruh Ambrosius. Dalam Pengakuan-Pengakuan Bab X-XIII, Agustinus menulis, "Abdi Allah itu menerimaku dengan sikap kebapakan, dan sebagai seorang uskup sejati dinyatakannya kesenangannya akan pemindahan saya."[74] Hubungan mereka segera berkembang, sebagaimana Agustinus menuliskannya, "Begitulah aku mulai merasa sayang kepadanya, meskipun mula-mula bukan sebagai seorang guru kebenaran yang sama sekali sudah tidak kuharapkan dari Gereja-Mu, melainkan sebagai orang yang ramah terhadapku."[74] Agustinus rutin mengunjungi Ambrosius untuk melihat apakah Ambrosius merupakan salah seorang ahli retorika dan pembicara terbaik di dunia. Walau lebih tertarik pada ketrampilannya berbicara daripada topiknya, Agustinus segera menyadari bahwa Ambrosius adalah seorang orator yang menakjubkan. Pada akhirnya, Agustinus mengatakan bahwa melalui alam bawah sadarnya ia dibawa ke dalam iman Kekristenan.[74]

Sang ibu, Monika, telah menyusulnya sampai ke Milan dan mengatur suatu pernikahan, yang menyebabkan hubungan Agustinus dengan kekasihnya (di luar pernikahan) berakhir —yaitu pada tahun 385. Meskipun Agustinus menerima rencana pernikahan itu, Agustinus sangatlah terluka karena kehilangan kekasihnya. Ia mengatakan, "Wanita teman tetapku seranjang direnggut dari sisiku ... hatiku yang melekat padanya tercabik-cabik dan terluka dan mengalirkan darah." Agustinus mengakui bahwa ia bukanlah seseorang yang gandrung pada ikatan perkawinan, tetapi lebih sebagai seorang budak nafsu birahi, sehingga ia mencari kekasih lain untuk melayani nafsunya sepeninggal kekasih pertamanya karena ia harus menunggu 2 tahun lagi hingga tunangannya cukup umur. Namun, ia mengungkapkan bahwa lukanya tidak kunjung sembuh juga, malah mulai "bernanah".[75]

Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa Agustinus mungkin menganggap hubungan sebelumnya itu setara dengan pernikahan.[76] Dalam Pengakuan-Pengakuan karyanya, ia mengakui bahwa pengalaman tersebut akhirnya menghasilkan suatu penurunan kepekaan terhadap rasa sakit. Di kemudian hari, Agustinus memutuskan pertunangan dengan tunangannya yang berumur 11 tahun itu, tanpa pernah memperbarui hubungannya dengan salah seorang pun kekasihnya. Seorang teman Agustinus, Alypius (yang kemudian menjadi uskup Tagaste, dan juga kelak digelari Santo), yang mengarahkan Agustinus untuk menjauhi pernikahan, mengatakan bahwa mereka tidak dapat menjalani suatu kehidupan bersama dalam cinta akan hikmat jika ia menikah. Agustinus mengenang kembali tahun-tahun berikutnya dalam kehidupannya saat tinggal di Cassiciacum, sebuah villa di luar Milan tempat ia berkumpul dengan para pengikutnya sebelum ia memutuskan untuk dibaptis, dan menggambarkan saat itu sebagai "waktu senggang kehidupan Kristiani" (Christianae vitae otium).[77]

Memeluk Kekristenan

sunting
 
Konversi St. Agustinus, lukisan karya Fra Angelico.

Pada musim panas tahun 386, dalam usianya yang ke-31, setelah mendengar dan terinspirasi serta tersentuh oleh kisah dari Ponticianus (seorang Kristen kenalannya di istana kaisar) mengenai pengalamannya bersama teman-temannya yang membaca kisah kehidupan Santo Antonius Agung, Agustinus melakukan konversi ke Kekristenan. Sebagaimana diceritakan Agustinus kemudian, keputusan bulat untuk menjadi seorang Kristen adalah setelah ia didorong oleh suatu suara seperti anak kecil yang ia dengar menyuruhnya agar "Ambillah, bacalah!" (bahasa Latin: tolle, lege), yang dianggapnya sebagai perintah ilahi untuk membuka Alkitab dan membaca hal pertama yang dilihatnya. Agustinus membaca dari Surat Paulus kepada Jemaat di Roma – bagian "Transformasi Umat Beriman", yang meliputi bab 12 sampai 15 – di mana Paulus menguraikan bagaimana Injil mengubah umat beriman dan perilaku yang dihasilkannya. Bagian spesifik yang dilihat Agustinus saat ia membuka Alkitab adalah Roma 13:13-14, yaitu:[78]

Marilah kita hidup dengan sopan, seperti pada siang hari, jangan dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam perselisihan dan iri hati. Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya.

 
St. Agustinus dan St. Monika (1846), karya Ary Scheffer.

Ia kemudian menuliskan sebuah laporan mengenai konversinya – transformasinya yang sesungguhnya, sebagaimana dideskripsikan oleh Paulus – dalam Pengakuan-Pengakuan (bahasa Latin: Confessiones) karyanya, yang kelak menjadi sebuah karya klasik teologi Kristen dan sebuah teks penting dalam sejarah otobiografi. Dalam karya tersebut, Agustinus menyampaikan bahwa sejak peristiwa itu, yang menghantarnya pada konversinya dan membahagiakan Monika ibunya, ia tidak lagi ingin mempunyai istri, dan ia merasa mantap melepaskan jabatannya di istana. Kendati karya tersebut ditulis sebagai suatu laporan tentang kehidupannya, Pengakuan-Pengakuan juga berbicara mengenai hakikat waktu, kausalitas, kehendak bebas, dan topik-topik filosofis penting lainnya.[79] Suatu doa, yang terkenal dengan judul berfrasa "Terlambat aku mencintai-Mu Tuhan" dan menggungkapkan perubahan radikal dalam dirinya, dapat ditemukan pada karya tersebut:[80]

Betapa lambat aku akhirnya mencintai-Mu, Oh Keindahan lama yang selalu baru, betapa lambat Kau kucintai!
Ketika Engkau berada di dalam diriku, aku malah berada di luar, dan di luar sanalah Kau kucari.
Aku, yang tidak layak dicintai ini, melemparkan diri ke antara hal-hal indah yang Kau ciptakan.
Dahulu Engkau bersamaku, namun aku sendiri malah tidak bersama-Mu.
Segala hal itu membuatku terpisah daripada-Mu; yang jikalau tidak ada dalam diri-Mu, sesungguhnya semua itu bukanlah apa-apa!

Engkau memanggil dan berseru-seru, dan menghancurkan ketulianku.
Engkau memancarkan kilau dan sinar, dan menghalau kebutaanku.
Engkau menebarkan harum semerbak dan aku menghirupnya; dan sekarang aku terengah-engah merindukan-Mu.
Aku telah mengecap, dan sekarang aku lapar dan haus.
Engkau menyentuhku, dan aku terbakar mendambakan damai-Mu.

Uskup Ambrosius membaptis Agustinus, dan Adeodatus putranya yang saat itu berumur 15 tahun, serta sejumlah temannya pada Malam Paskah tahun 387 di Milan. Setahun kemudian, tahun 388, Agustinus menyelesaikan apologi karyanya yang berjudul Tentang Kekudusan Gereja Katolik.[71] Pada tahun yang sama, Agustinus beserta seluruh kerabatnya, termasuk Adeodatus anaknya dan juga Monika ibunya, pulang ke kampung halaman mereka di Afrika.[61] Namun sang ibu meninggal dunia di Ostia, Italia, saat mereka sedang dalam persiapan untuk berlabuh ke Afrika.[81] Setelah tiba di tujuan, mereka menjalani suatu kehidupan senggang aristokratis di properti keluarga Agustinus.[82][83] Dan tidak lama kemudian Adeodatus juga meninggal dunia, di usianya yang ke-16.[84] Agustinus lalu menjual semua harta warisannya dan memberikan uang yang diperolehnya kepada orang-orang miskin. Satu-satunya yang dipertahankan adalah rumah keluarganya di Tagaste, yang ia ubah menjadi sebuah biara monastik bagi dirinya sendiri dan sejumlah temannya.[61]

Menjadi imam dan uskup

sunting
 
Konsekrasi Agustinus sebagai uskup, lukisan karya Jaume Huguet.

Pada tahun 391, ia ditahbiskan menjadi seorang imam di Hippo Regius (kini Annaba, di Aljazair). Ia menjadi seorang pengkhotbah terkenal (lebih dari 350 catatan khotbahnya yang masih terlestarikan diyakini otentik), dan ia juga dikenal karena perlawanannya terhadap agama Manikeisme, yang pernah dianutnya.[71]

Pada tahun 395, ia diangkat menjadi uskup koajutor (seorang uskup dengan hak untuk menggantikan apabila uskup diosesan yang menjabat meninggal dunia) Hippo, dan tidak lama kemudian menjadi uskup sepenuhnya,[69] sehingga ia dikenal dengan nama "Agustinus dari Hippo"; dan ia memberikan harta miliknya kepada Gereja di Tagaste.[85] Agustinus tetap menjabat sebagai uskup di sana hingga wafatnya tahun 430. Ia menuliskan otobiografinya yang berjudul Pengakuan-Pengakuan pada tahun 397-398. Kota Allah karyanya ditulis untuk menghibur sesamanya umat Kristiani tidak lama setelah suku bangsa Visigoth menjarah Roma pada tahun 410.

Agustinus bekerja tanpa lelah dalam upayanya meyakinkan penduduk Hippo untuk memeluk Kekristenan. Meskipun ia telah meninggalkan biaranya, ia tetap menjalani kehidupan monastik di wisma episkopal (tempat kediamannya sebagai uskup). Ia mewariskan sebuah buku peraturan (bahasa Latin: regula) bagi biaranya yang kemudian membuatnya dijadikan sebagai santo pelindung klerus regular (para anggota tarekat religius).[86]

Kebanyakan kisah kehidupan selanjutnya Agustinus dibukukan oleh Possidius, yang adalah temannya dan uskup Calama (kini Guelma, Aljazair), dalam Sancti Augustini Vita karyanya. Possidius mengagumi Agustinus sebagai seseorang yang sangat cerdas dan seorang pembicara handal yang memanfaatkan setiap kesempatan untuk membela Kekristenan dari para pencelanya. Possidius juga mendeskripsikan karakter pribadi Agustinus secara rinci, misalnya: seseorang yang hanya makan sedikit, bekerja tanpa lelah, membenci gosip, menjauhi godaan-godaan kedagingan, dan menerapkan kehatian-hatian dalam pengelolaan keuangan keuskupannya.[87]

Wafatnya dan penghormatan atasnya

sunting

Sesaat menjelang kematian Agustinus, kaum Vandal (suatu suku bangsa Jermanik yang telah menjadi penganut Arianisme) menyerbu Afrika Romawi. Kaum Vandal mengepung Hippo pada musim semi tahun 430, saat Agustinus menderita penyakit terakhirnya sebelum wafatnya. Menurut Possidius, salah satu dari beberapa mukjizat dikaitkan dengan Agustinus, yaitu kesembuhan seorang sakit, pada saat pengepungan berlangsung.[87]:43 Possidius mencatat bahwa Agustinus menghabiskan hari-hari terakhirnya dalam doa dan penyesalan, serta meminta agar Mazmur Penitensial digantung di dinding kamarnya sehingga ia dapat membacanya. Ia juga memberi instruksi agar perpustakaan gereja di Hippo dan semua buku di dalamnya supaya dijaga dengan baik. Ia meninggal dunia pada tanggal 28 Agustus 430.[87]:57 Tak lama setelah wafatnya, kaum Vandal melepaskan pengepungan Hippo; tetapi mereka kembali tidak lama setelah itu dan membakar kota tersebut. Mereka menghancurkan semuanya selain perpustakaan dan katedral Agustinus, yang mereka tinggalkan begitu saja tanpa menyentuhnya.[88]

Agustinus dikanonisasi melalui pengakuan populer, dan kemudian diakui sebagai seorang Pujangga Gereja pada tahun 1298 oleh Paus Bonifasius VIII.[89] Pesta perayaannya adalah tanggal 28 Agustus, tanggal ia wafat. Ia dipandang sebagai santo pelindung para pembuat bir, penerbit dan percetakan, teolog, penderita penyakit mata, serta sejumlah kota dan keuskupan.[36]

Relikui

sunting

Menurut Martirologi Sejati karya Beda, jenazah Agustinus kemudian dipindahkan ke Cagliari, Sardinia, oleh para uskup Katolik yang diusir oleh Huneric dari Afrika Utara. Sekitar tahun 720, jenazahnya dibawa kembali oleh Petrus, uskup Pavia dan paman Raja Langobardi Liutprand, ke Gereja San Pietro in Ciel d'Oro di Pavia, demi menyelamatkannya dari seringnya serangan pesisir oleh kaum Saracen. Pada bulan Januari 1327, Paus Yohanes XXII mengeluarkan bulla kepausan Veneranda Santorum Patrum, yang berisi penunjukan para Agustinian sebagai penjaga makam Agustinus (disebut Arca), yang dibuat kembali pada tahun 1362 dan berhiaskan ukiran kompleks dengan relief-rendah seputar adegan-adegan kehidupan Agustinus.

Pada bulan Oktober 1695, sejumlah pekerja dalam Gereja San Pietro in Ciel d'Oro di Pavia menemukan sebuah kotak marmer berisi beberapa tulang manusia (termasuk bagian dari sebuah tengkorak). Timbul perbedaan pendapat antara para pertapa Agustinian (Ordo Santo Agustinus, OSA) dan para kanonik regular (Kanonik Regular Santo Agustinus) apakah temuan itu merupakan tulang-tulang Agustinus. Para pertapa tidak memercayainya; para kanonik menegaskan sebaliknya. Akhirnya Paus Benediktus XIII (1724–1730) memerintahkan uskup Pavia, Monsinyur Pertusati, untuk membuat suatu keputusan. Sang uskup menyatakan bahwa, menurut pendapatnya, tulang-tulang itu adalah tulang-tulang Santo Agustinus.[90]

Para Agustinian diusir dari Pavia pada tahun 1700, mengungsi ke Milan dengan membawa relikui Agustinus, dan membongkar Arca, yang dipindahkan ke katedral di sana. San Pietro mengalami kerusakan, tetapi kemudian dibangun kembali pada tahun 1870-an, atas desakan Agostino Gaetano Riboldi, serta dikonsekrasi ulang pada tahun 1896 saat penempatan kembali relikui Agustinus dan tempat ziarahnya.[91][92]

Pandangan dan pemikirannya

sunting

Antropologi Kristen

sunting

Agustinus adalah salah seorang penulis Latin kuno pertama, di kalangan Kristen, dengan suatu visi yang sangat jelas mengenai antropologi teologis.[93] Ia memandang manusia sebagai satu kesatuan sempurna dari dua substansi: tubuh dan jiwa. Dalam risalah terakhirnya yang berjudul Tentang Kepedulian yang Diperlukan bagi Orang Meninggal (De cura pro mortuis gerenda) bab 5, yang ditulisnya pada tahun 420, ia mendesak untuk menghormati jenazah karena tubuh adalah bagian dari kodrat dasar pribadi manusia.[94] Figur favorit Agustinus untuk mendeskripsikan kesatuan tubuh-jiwa adalah perkawinan: "tubuhmu adalah istrimu" (caro tua, coniunx tua).[95][96][97] Pada awal mula, kedua elemen tersebut berada dalam keselarasan yang sempurna. Setelah jatuhnya umat manusia, tubuh dan jiwa mengalami pertempuran dramatis antara satu dengan yang lainnya. Keduanya merupakan 2 hal yang berbeda secara kategoris. Tubuh adalah sebuah objek 3 dimensi yang terdiri dari 4 elemen, sedangkan jiwa tidak memiliki dimensi spasial (ruang).[98] Jiwa adalah suatu jenis substansi, turut serta dalam akal atau daya pikir, dan layak untuk berkuasa atas tubuh.[99] Berbeda dengan Plato dan Descartes, Agustinus tidak disibukkan dengan penelusuran rincian mendetail yang terlalu banyak dalam upaya untuk menjelaskan metafisika persatuan tubuh-jiwa. Baginya cukup untuk mengakui bahwa ada perbedaan metafisik di antara keduanya: menjadi seorang manusia berarti menjadi satu gabungan tubuh dan jiwa, dan jiwa lebih unggul daripada tubuh. Pernyataan yang terakhir itu didasarkan pada klasifikasi hierarkisnya akan segala hal ke dalam: yang sekadar ada, yang ada dan hidup, serta yang ada, hidup, dan memiliki akal.[100][101]

Sebagaimana para Bapa Gereja lainnya seperti Athenagoras,[102] Tertulianus,[103] Klemens dari Aleksandria dan Basilius Agung,[104] Agustinus dengan gigih mengutuk praktik aborsi langsung, dan meskipun ia tidak menyetujui aborsi dalam tahap kehamilan manapun, ia membedakan antara aborsi tahap awal dan yang kemudian.[105] Ia mengakui perbedaan antara janin "berbentuk" dan "belum berbentuk" yang disebutkan dalam Keluaran 21:22-23 terjemahan Septuaginta, yang dipandang sebagai terjemahan yang salah atas kata "bahaya" atau "kerugian" (Alkitab TB LAI menyebutnya "kecelakaan") dari teks asli Ibrani menjadi "bentuk" di dalam Septuaginta Yunani dan berakar pada pembedaan Aristotelian atas janin sebelum dan setelah momen yang diduga sebagai "pemerolehan" kehidupannya, serta tidak mengklasifikasikan aborsi janin "belum berbentuk" sebagai pembunuhan karena ia berpikir bahwa belum dapat dikatakan secara pasti apakah sang janin telah menerima jiwanya.[105][106] Agustinus menyatakan bahwa waktu "pemasukan" jiwa merupakan suatu misteri yang hanya diketahui oleh Allah saja.[107] Bagaimanapun, ia memandang prokreasi sebagai salah satu produk dari perkawinan; aborsi dibayangkan sebagai suatu cara, bersama dengan obat-obatan yang menyebabkan sterilitas, yang merusak kebenaran ini. Aborsi terhampar di sepanjang rangkaian yang mencakup infantisida sebagai suatu contoh 'kekejaman yang penuh nafsu' ataupun 'hawa nafsu yang kejam'. Agustinus menyebut penggunaan segala sarana untuk menghindari kelahiran seorang anak sebagai suatu 'perbuatan jahat': suatu acuan pada aborsi ataupun kontrasepsi atau juga keduanya.[108] Karena "ilmu pengetahuan yang cacat pada zamannya", Uskup Robert F. Vasa mengklaim bahwa Agustinus akan yakin kalau suatu janin yang "belum berbentuk" telah menerima jiwanya "apabila Agustinus telah memiliki akses ke gambar-gambar USG atau apabila ia telah melihat film The Silent Scream."[108]

Perbudakan

sunting

Agustinus menyebabkan banyak klerus di bawah kepemimpinannya di Hippo membebaskan budak mereka "sebagai suatu tindakan kesalehan".[109] Ia dengan berani menulis surat kepada kaisar yang berisi desakan untuk menetapkan suatu hukum baru menentang para pedagang budak dan ia menyampaikan keprihatinan yang besar terkait perdagangan anak-anak. Para kaisar Kristen pada zamannya, selama kurun waktu 25 tahun, mengizinkan perdagangan anak-anak sebagai salah satu cara untuk mencegah infantisida oleh orang tua yang tidak mampu merawat anaknya, bukan karena mereka menyetujui praktik itu. Agustinus mengetahui bahwa para petani penyewa, khususnya, terpaksa menyewakan atau menjual anak-anak mereka sebagai suatu cara untuk bertahan hidup.[110] Dalam Kota Allah, salah satu bukunya yang terkenal, ia menguraikan berkembanganya perbudakan sebagai suatu produk dari dosa dan bertentangan dengan rencana ilahi Allah. Ia menuliskan bahwa Allah "tidak menghendaki makhluk rasional ini, yang diciptakan menurut citra-Nya, untuk berkuasa atas segala sesuatu selain ciptaan irasional – bukan manusia atas manusia, tetapi manusia atas binatang." Dengan demikian ia menuliskan bahwa orang-orang yang dibenarkan pada zaman primitif dijadikan sebagai para gembala ternak, bukan para raja atas manusia. "Keadaan perbudakan merupakan akibat dari dosa," katanya.[111]

Astrologi

sunting

Orang-orang sezaman Agustinus sering kali meyakini astrologi sebagai suatu ilmu pasti dan orisinal. Para praktisinya dianggap sebagai orang-orang terpelajar sejati dan disebut mathemathici. Astrologi memegang suatu peranan utama dalam doktrin Manikean, dan, pada masa mudanya, Agustinus sendiri sempat tertarik dengan buku-buku mereka serta sempat sangat terpesona oleh mereka yang mengklaim mampu meramalkan masa depan. Kelak, sebagai seorang uskup, ia sering memperingatkan agar orang menghindari para astrolog yang menggabungkan ilmu pengetahuan dan horoskop. (Istilah "mathematici" yang dicetuskan Agustinus, yang berarti "astrolog-astrolog", terkadang diterjemahkan secara salah menjadi "matematikawan-matematikawan".) Menurut Agustinus, mereka bukan murid-murid sebenarnya dari Hipparkhos ataupun Eratosthenes, tetapi "penipu-penipu biasa".[112][113]:63[114][115]

 
Lukisan detail St. Agustinus di sebuah jendela kaca patri karya Louis Comfort Tiffany di Museum Lightner, St. Augustine, Florida, Amerika Serikat.

Penciptaan

sunting

Dalam Kota Allah, Agustinus menolak gagasan mengenai keabadian umat manusia yang diajukan oleh kaum pagan maupun pemikiran kontemporer mengenai zaman (seperti yang dikemukakan oleh beberapa orang Yunani dan Mesir) yang berbeda dengan tulisan-tulisan suci Gereja.[116] Dalam Interpretasi Literal Kitab Kejadian (De Genesi ad litteram), Agustinus berpandangan bahwa segala sesuatu di alam semesta diciptakan secara bersamaan oleh Allah, dan bukan dalam 7 hari kalender sebagaimana penafsiran secara literal atau harfiah atas Kitab Kejadian. Ia berpendapat bahwa struktur enam-hari penciptaan dalam Kitab Kejadian menggambarkan suatu kerangka logis, bukan suatu perjalanan waktu secara fisik; maksudnya adalah peristiwa itu mengandung suatu makna spiritual, bukan fisik, yang berarti bukan literal. Salah satu alasan yang menjadi dasar interpretasi ini adalah kutipan dalam Sirakh 18:1 bahwa "Dia ... menciptakan segala-galanya bersama-sama" (creavit omnia simul), yang digunakan oleh Agustinus sebagai bukti bahwa hari-hari dalam Kejadian 1 bukan untuk diartikan secara harfiah.[117] Agustinus juga tidak membayangkan kalau dosa asal menyebabkan perubahan struktural di alam semesta, bahkan mengemukakan bahwa tubuh Adam dan Hawa telah tercipta fana sebelum kejatuhan mereka.[118] Terlepas dari pandangan-pandangan spesifiknya, Agustinus mengakui bahwa penafsiran kisah penciptaan adalah sulit, dan menyatakan bahwa setiap orang seharusnya bersedia untuk mengubah pandangannya mengenai hal tersebut seandainya ada informasi-informasi baru.[119]

Eklesiologi

sunting
 
St. Agustinus, karya Carlo Crivelli.

Agustinus secara khusus mengembangkan ajarannya mengenai Gereja sebagai reaksi terhadap sekte Donatis. Ia mengajarkan bahwa hanya terdapat satu Gereja, tetapi di dalam Gereja ini terdapat dua realitas, yaitu aspek yang kelihatan atau terlihat (hierarki institusional, sakramen-sakramen Katolik, dan umat awam) dan aspek yang tak terlihat (jiwa-jiwa dari orang-orang dalam Gereja, baik yang telah meninggal dunia, umat yang berdosa, ataupun yang terpilih untuk memasuki Surga). Yang pertama disebutkan adalah tubuh institusional yang didirikan oleh Kristus di bumi untuk mewartakan keselamatan dan menyelenggarakan pelayanan sakramen, sementara yang terakhir disebutkan adalah tubuh yang tak terlihat dari umat pilihan, terdiri dari orang-orang percaya sejati dari segala zaman, dan hanya diketahui oleh Allah saja. Gereja, yang terlihat dan bermasyarakat, terdiri dari "gandum" dan "lalang", yaitu orang-orang baik dan jahat (berdasarkan Matius 13:30), hingga berakhirnya dunia ini. Konsep tersebut digunakan untuk menentang klaim Donatis yang menyebutkan bahwa hanya mereka yang berada dalam keadaan rahmat yang adalah Gereja "sejati" atau "murni" di bumi, dan bahwa para imam serta uskup yang tidak berada dalam keadaan rahmat tidak memiliki kewenangan atau kemampuan untuk melayankan sakramen-sakramen.[38]:28 Eklesiologi Agustinus lebih jauh lagi dibahas dalam Kota Allah karyanya. Di dalam karyanya itu ia menyampaikan pemahamannya bahwa Gereja adalah suatu kerajaan atau kota surgawi, yang diperintah oleh kasih, yang pada akhirnya akan berjaya di atas semua kerajaan duniawi yang mengejar kepuasan diri dan diperintah oleh kebanggaan. Agustinus mengikuti pandangan Siprianus dengan mengajarkan bahwa para uskup dan imam Gereja adalah penerus-penerus Para Rasul,[38] dan bahwa otoritas mereka di dalam Gereja adalah pemberian Allah.

Eskatologi

sunting

Awalnya Agustinus meyakini paham premilenialisme, yaitu bahwa Kristus akan mendirikan suatu kerajaan 1.000 tahun (secara harfiah) sebelum kebangkitan universal, tetapi belakangan menolak keyakinan tersebut, memandangnya duniawi. Ia adalah teolog pertama yang menguraikan suatu doktrin sistematis amilenialisme, kendati beberapa teolog dan sejarawan Kristen meyakini bahwa posisinya lebih mendekati paham yang dianut oleh kaum postmilenialis modern. Gereja Katolik pada abad pertengahan membangun sistem eskatologinya berdasarkan paham amilenialisme Agustinian, di mana Kristus memerintah dunia ini secara rohani melalui Gereja-Nya yang berjaya.[120] Pada saat Reformasi Protestan, para teolog seperti Yohanes Calvin juga menerima paham amilenialisme. Agustinus mengajarkan bahwa nasib kekal jiwa ditentukan pada saat kematian jasmaniahnya,[121][122] dan bahwa api purgatorial dalam keadaan peralihan hanya memurnikan atau menyucikan mereka yang wafat dalam persekutuan dengan Gereja. Ajarannya itu menjadi bekal bagi teologi belakangan.[121]

Epistemologi

sunting

Kepedulian epistemologis membentuk perkembangan intelektual Agustinus. Dialog-dialog awal karyanya, yaitu Contra academicos (386) dan De Magistro (389), keduanya ditulis tidak lama setelah konversinya ke Kekristenan, merefleksikan penerimaannya atas argumen-argumen skeptis dan memperlihatkan perkembangan ajarannya mengenai iluminasi batin. Ajaran mengenai iluminasi ("penerangan") menyatakan bahwa Allah memainkan suatu peranan aktif dan teratur dalam persepsi (bukannya Allah merancang budi manusia agar dapat tetap diandalkan, misalnya seperti yang terkandung dalam gagasan Descartes mengenai persepsi-persepsi yang jelas dan berbeda) dan pemahaman manusia dengan cara menerangi budi sehingga manusia dapat mengenali realitas yang dapat dimengerti bahwa Allah ada. Menurut Agustinus, iluminasi dapat diperoleh pada semua budi rasional, dan berbeda dengan bentuk-bentuk lain persepsi indra. Hal ini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan tentang kondisi-kondisi yang dibutuhkan budi agar terhubung dengan entitas-entitas yang dapat dimengerti.[32] Agustinus juga mengajukan masalah budi lain pada berbagai karyanya, yang paling terkenal mungkin dalam Tentang Trinitas (De Trinitate, VIII.6.9), dan ia mengembangkan apa yang telah menjadi suatu solusi baku: argumen dari analogi menuju budi lainnya.[123] Berbeda dengan Plato dan para filsuf lain sebelumnya, Agustinus mengakui sentralitas kesaksian ("testimoni") pada pengetahuan manusia dan berpendapat bahwa apa yang dikatakan orang-orang lain kepada kita dapat memberikan pengetahuan sekalipun kita tidak memiliki alasan yang independen untuk meyakini laporan-laporan kesaksian mereka.[124]

 
Lukisan Agustinus karya Sandro Botticelli, tahun 1480.

Perang yang dapat dibenarkan

sunting

Agustinus menegaskan bahwa orang Kristen harus bersikap pasifis sebagai suatu pendirian pribadi dan filosofis.[125] Namun, sikap berdamai dalam menghadapi suatu kesalahan berat dan serius, yang hanya dapat dihentikan melalui kekerasan, adalah suatu dosa. Pertahanan atas diri sendiri atau orang lain dapat menjadi suatu keharusan, terutama ketika diizinkan oleh otoritas yang resmi dan sah. Meskipun tidak merinci kondisi-kondisi yang diperlukan agar suatu peperangan dapat dibenarkan, yang biasa disebut dengan istilah just war (perang yang dapat dibenarkan), Agustinus mencetuskan istilah ini dalam Kota Allah karyanya.[126] Pada dasarnya, pencarian akan perdamaian tetap menyertakan pilihan untuk berjuang demi terpeliharanya kedamaian jangka panjang.[127] Perang semacam ini tidak diperkenankan bersifat preemptif (melumpuhkan sebagai tindakan antisipasi), tetapi harus defensif (untuk bertahan), untuk memulihkan perdamaian.[128] Berabad-abad kemudian, Thomas Aquinas menggunakan argumentasi Agustinus dalam upayanya menentukan kondisi-kondisi untuk membenarkan atau menjustifikasi dilangsungkannya suatu peperangan.[129][130]

Mariologi

sunting

Walaupun Agustinus tidak mengembangkan suatu teologi khusus mengenai Mariologi, namun pernyataan-pernyataannya mengenai Maria mengungguli para penulis awal yang lain dalam hal kedalamannya dan banyaknya.[131] Bahkan sebelum Konsili Efesus diselenggarakan ia telah membela Maria yang tetap perawan sebagai Bunda Allah, yang adalah "penuh rahmat" (full of grace, Alkitab TB LAI menulisnya "yang dikaruniai") karena keperawanannya.[132] Dan ia juga menegaskan bahwa Perawan Maria "mengandung sebagai perawan, melahirkan sebagai perawan, dan tetap perawan selamanya".[133]

Pengetahuan kodrati dan penafsiran Alkitab

sunting

Ketika berbicara mengenai penafsiran alegoris Kitab Kejadian dalam De Genesi ad literam, Agustinus berpandangan bahwa teks Alkitab seharusnya ditafsirkan secara metaforis atau sebagai kiasan apabila suatu penafsiran literal (harfiah) bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan akal pemberian Allah. Walau setiap bagian Kitab Suci memiliki suatu makna harfiah, "makna harfiah" itu tidak selalu berarti bahwa Kitab Suci adalah sekadar sejarah belaka; terkadang ayat-ayat tersebut lebih merupakan suatu perluasan metafora.[134]

Dosa asal

sunting
 
Lukisan karya Philippe de Champaigne, abad ke-17.

Agustinus mengajarkan bahwa dosa asal dari Adam dan Hawa merupakan suatu tindakan kebodohan (insipientia) yang diikuti oleh kesombongan dan ketidaktaatan kepada Allah, atau mungkin juga sebenarnya berawal dari kesombongan.[note 3] Pasangan pertama tersebut tidak mematuhi Allah, yang telah mengatakan kepada mereka untuk tidak makan dari Pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat (Kejadian 2:17).[135] Pohon itu merupakan sebuah simbol dari keteraturan penciptaan.[136] Sikap mementingkan diri sendiri menyebabkan Adam dan Hawa memakan buah pohon itu, karenanya mereka gagal memahami dan menghormati dunia yang telah diciptakan Allah, beserta tatanan ciptaan dan nilai-nilainya.[note 4] Mereka jatuh ke dalam kesombongan dan ketiadaan hikmat karena Setan menabur "akar kejahatan" (radix Mali) ke dalam indra-indra mereka.[137] Kodrat mereka terluka oleh konkupisensi atau libido, yang mempengaruhi kehendak dan inteligensi manusia, serta afeksi dan hasrat (atau nafsu), termasuk hasrat seksual.[note 5] Dari segi metafisika, konkupisensi bukanlah suatu keberadaan tetapi merupakan suatu kualitas buruk, kurangnya kebaikan, atau suatu luka.[138]

Pemahaman Agustinus mengenai konsekuensi-konsekuensi dari dosa asal dan perlunya rahmat penebusan dikembangkan dalam perjuangan dia melawan Pelagius dan murid-muridnya penganut Pelagianisme, yaitu Selestius dan Yulianus dari Eklanum, yang telah terinspirasi oleh Rufinus dari Siria, salah seorang murid Theodorus dari Mopsuestia.[139] Mereka menolak untuk sependapat bahwa dosa asal telah melukai budi dan kehendak manusia, bersikeras bahwa kodrat manusia telah diberi kuasa untuk bertindak, berbicara, dan berpikir, saat Allah menciptakannya. Kodrat manusia tidak dapat kehilangan kemampuan moralnya untuk berbuat baik, tetapi setiap orang bebas untuk bertindak ataupun tidak bertindak dengan suatu cara yang benar. Pelagius mencontohkan mata: keduanya memiliki kemampuan untuk melihat, tetapi setiap orang dapat mempergunakannya untuk tujuan yang baik ataupun buruk.[113]:355–356[140] Sama seperti Jovinianus, kaum Pelagian bersikeras bahwa hasrat maupun afeksi manusia tidak terpengaruh oleh kejatuhan manusia pertama. Imoralitas, misalnya percabulan, adalah semata-mata suatu persoalan kehendak, yaitu seseorang tidak menggunakan hasrat alami dengan cara yang tepat. Berlawanan dengan paham tersebut, Agustinus menekankan ketidaktaatan nyata tubuh kepada jiwa, dan menjelaskan hal itu sebagai salah satu akibat dosa asal, hukuman atas ketidaktaan Adam dan Hawa kepada Allah.[141]

Agustinus pernah berperan sebagai seorang "Pendengar" kaum Manikean selama sekitar 9 tahun,[142] yang mengajarkan bahwa dosa asal adalah persetubuhan.[143] Tetapi pergulatannya untuk memahami penyebab kejahatan di dunia ini telah dimulai sebelum itu, pada usia 19 tahun.[144] Melalui malum (kejahatan) ia memahami sebagian besar dari seluruh konkupisensi, yang ia tafsirkan sebagai suatu tindakan atau kebiasaan buruk (bahasa Inggris: vice, bahasa Latin: vitium) yang menguasai manusia dan menyebabkan gangguan moral pada pria maupun wanita. Agostino Trapè menegaskan bahwa pengalaman pribadi Agustinus tidak dapat dikaitkan dengan ajarannya tentang konkupisensi. Di luar konteks perkawinan Kristen, ia menganggap pengalaman Agustinus dalam hal perkawinan adalah sangat normal dan tidak menyedihkan.[145] Sebagaimana ditunjukkan oleh J. Brachtendorf, Agustinus menggunakan konsep Stoikisme dari Cicero mengenai penderitaan, untuk menafsirkan ajaran Paulus mengenai dosa dan penebusan universal.[146]

Pandangan bahwa tidak hanya jiwa manusia, tetapi juga semua indra, yang terkena dampak kejatuhan Adam dan Hawa adalah sesuatu yang lazim pada zaman Agustinus —dan para Bapa Gereja.[147] Jelas bahwa alasan Agustinus menjaga jarak dengan hal-hal kedagingan berbeda dengan Plotinus, seorang Neoplatonis,[note 6] yang mengajarkan bahwa manusia dapat mencapai tingkatan tertingginya hanya dengan memandang rendah hasrat kedagingan.[148] Agustinus mengajarkan bahwa penebusan, yaitu transformasi dan pemurnian, pada tubuh adalah pada saat kebangkitan.[149]

 
St. Agustinus karya Peter Paul Rubens.

Beberapa penulis menganggap ajaran Agustinus diarahkan untuk melawan seksualitas manusia, serta menghubungkan desakannya untuk melakukan abstinensi seksual atau mengendalikan nafsu dan berdevosi kepada Allah berasal dari kebutuhan Agustinus untuk menolak kodrat sensualnya sendiri yang besar sebagaimana ia ceritakan dalam Pengakuan-Pengakuan. Tetapi jika melihat semua tulisannya, tampaknya ada kesalahpahaman.[113]:312[note 7] Agustinus mengajarkan bahwa seksualitas manusia telah terluka, bersamaan dengan seluruh kodratnya, dan membutuhkan penebusan oleh Kristus. Penyembuhannya merupakan suatu proses yang diwujudkan dalam tindakan perkawinan (conjugal acts). Kebajikan atau keutamaan abstinensi seksual diperoleh berkat rahmat dari Sakramen Perkawinan, yang karenanya menjadi suatu obat atas konkupisensi (remedium concupiscentiae).[150][151] Namun, penebusan atas seksualitas manusia hanya akan tercapai sepenuhnya dalam kebangkitan badan.[152]

Dosa Adam diwariskan kepada semua manusia. Sejak tulisan-tulisan awal Agustinus sebelum perlawanannya terhadap Pelagianisme, ia telah mengajarkan bahwa dosa asal ditularkan kepada semua keturunannya melalui konkupisensi,[153] yang dipandangnya sebagai penderitaan dari jiwa maupun raga,[note 8] menjadikan umat manusia suatu massa damnata (massa/kumpulan yang dikutuk atau ditentukan untuk binasa) dan banyak melemahkan kehendak bebas, kendati tidak menghancurkannya.[121]:1200–1204

Rumusan Agustinus tentang doktrin dosa asal diteguhkan dalam berbagai konsili, misalnya Kartago (418), Efesus (431), Orange (529), dan Trente (1546), serta oleh para paus, misalnya Paus Innosensius I (401–417) dan Paus Zosimus (417–418). Anselmus dari Canterbury menyatakan dalam Cur Deus Homo karyanya suatu definisi yang kemudian diikuti oleh para terpelajar terkemuka pada abad ke-13, yaitu bahwa dosa asal adalah "ketiadaan kebenaran yang seharusnya dimiliki setiap orang", sehingga membedakannya dengan konkupisensi, sedangkan beberapa pengikut Agustinus menyamakannya[113]:371[154] sebagaimana juga kelak Luther dan Calvin.[121]:1200–1204 Pada tahun 1567, Paus Pius V mengutuk pandangan yang menyamakan dosa asal dengan konkupisensi.[121]:1200–1204

Predestinasi

sunting

Agustinus mengajarkan bahwa Allah mengatur segala sesuatunya namun tetap mempertahankan kebebasan manusia.[155]:44 Sebelum tahun 396, ia meyakini bahwa predestinasi didasarkan pada prapengetahuan (foreknowledge) Allah mengenai siapa individu yang akan percaya kepada-Nya, bahwa rahmat atau kasih karunia Allah adalah "suatu ganjaran atas persetujuan manusia".[155]:48-49 Belakangan, dalam tanggapannya terhadap Pelagius, Agustinus mengatakan bahwa dosa kesombongan terkandung dalam anggapan bahwa "kita adalah orang-orang yang memilih Allah atau juga Allah yang memilih kita (dalam prapengetahuan-Nya) karena sesuatu yang layak dalam diri kita", dan berpendapat bahwa rahmat Allah menyebabkan tindakan keimanan seseorang.[155]:47–48 Para akademisi berbeda pendapat dalam hal apakah ajaran Agustinus menyiratkan predestinasi ganda, yaitu keyakinan bahwa Allah telah memilih sejumlah orang untuk menerima kebinasaan sementara yang lainnya menerima keselamatan. Para akademisi Katolik cenderung membantah kalau ia memegang pandangan seperti itu, sedangkan beberapa akademisi Protestan dan sekuler menyatakan bahwa Agustinus percaya akan predestinasi ganda.[156] Beberapa teolog Protestan, misalnya Justo L. González[38]:44 dan Bengt Hägglund,[157] menafsirkan kalau ajaran Agustinus mengimplikasikan bahwa kasih karunia atau anugerah adalah sesuatu yang tidak dapat ditolak oleh mereka yang ditentukan untuk menerima keselamatan, menyebabkan konversi atau pertobatan mereka, dan menimbulkan ketekunan.

Dalam Tentang Teguran dan Rahmat (De correptione et gratia), Agustinus menulis: "Dan apa yang tertulis, bahwa 'Ia menghendaki supaya semua orang diselamatkan', sementara tidak semua orang terselamatkan, dapat dipahami dalam banyak cara, beberapa di antaranya telah saya sebutkan dalam tulisan-tulisan saya yang lain; tetapi di sini saya akan mengatakan satu hal: Ia menghendaki semua orang untuk diselamatkan, dikatakan demikian bahwa semua yang telah ditentukan [untuk selamat] dapat dipahami dengan hal itu, karena segala jenis orang termasuk di antara mereka."[158]

Kehendak bebas

sunting

Pernyataan bahwa Allah menciptakan manusia dan malaikat sebagai makhluk-makhluk rasional yang memiliki kehendak bebas dapat ditemukan dalam teodisi Agustinus. Kehendak bebas tidak dimaksudkan untuk berbuat dosa, berarti bahwa kehendak bebas tidak memiliki predisposisi yang sama pada kebaikan dan kejahatan. Suatu kehendak yang telah dikotori oleh dosa tidak lagi dianggap "bebas" seperti sebelumnya karena kehendak tersebut telah terikat dengan hal-hal duniawi, yang dapat saja hilang atau sulit dilepaskan, sehingga menyebabkan ketidakbahagiaan. Dosa merusak kehendak bebas, kendati tidak sampai menghancurkannya, sementara anugerah atau rahmat memulihkannya. Hanya suatu kehendak yang dulunya bebas yang dapat terkorupsi oleh dosa.[159] Dengan kata lain, kehendak bebas memungkinkan manusia dapat berbuat dosa sehingga kehendak bebasnya rusak, namun rahmat memulihkan kembali kehendak bebasnya.

Gereja Katolik memandang ajaran Agustinus konsisten dengan kehendak bebas.[160] Ia sering mengatakan bahwa setiap orang dapat diselamatkan jika mereka menginginkannya.[160] Walaupun Allah mengetahui siapa yang akan dan tidak akan terselamatkan, dengan tidak adanya kemungkinan bagi yang tidak ingin diselamatkan untuk dapat diselamatkan dalam kehidupan mereka, hal ini menggambarkan pengetahuan sempurna Allah mengenai bagaimana setiap manusia akan memilih sendiri nasib mereka dengan bebas.[160]

Teologi sakramental

sunting
 
St. Agustinus dalam Studinya, karya Vittore Carpaccio, 1502.

Dalam perlawanannya terhadap Donatisme, Agustinus juga mengembangkan suatu pembedaan antara "kelayakan" dan "validitas" sakramen-sakramen. Menurutnya suatu sakramen dikatakan layak apabila dilayankan oleh klerus dari Gereja Katolik, sementara sakramen yang dilayankan oleh kaum skismatik dipandang tidak layak (irregular). Namun demikian, validitas atau keabsahan sakramen tidak bergantung pada kesucian pastor atau imam yang melayankannya (ex opere operato); oleh karena itu, sakramen yang tidak layak masih dapat diterima secara valid apabila dilayankan dalam nama Kristus dan sesuai prosedur yang telah ditetapkan oleh Gereja. Dalam hal ini Agustinus berbeda dengan ajaran sebelumnya dari Siprianus, yang mengajarkan bahwa para konver dari gerakan skismatik harus dibaptis ulang.[38]

Agustinus mengukuhkan pemahaman Kristen awal tentang kehadiran nyata Kristus dalam Ekaristi (yang disebut transubstansiasi di dalam Gereja Katolik) dengan mengatakan bahwa pernyataan Kristus, "Inilah tubuh-Ku", mengacu pada roti yang dipegang-Nya,[161][162] dan orang-orang Kristen harus mengimani bahwa roti dan anggur tersebut pada kenyataannya adalah Tubuh dan Darah Kristus, terlepas dari apa yang mereka lihat melalui mata jasmani mereka.[163]

Menentang Pelagianisme, Agustinus sangat menekankan pentingnya baptisan bayi. Bagaimanapun, mengenai pertanyaan apakah baptisan adalah syarat mutlak bagi keselamatan, tampaknya Agustinus mengembangkan keyakinannya seiring perjalanan hidupnya, sehingga menyebabkan beberapa kebingungan di antara para teolog setelahnya mengenai posisinya dalam hal ini. Ia mengatakan dalam salah satu khotbahnya bahwa hanya orang yang telah dibaptis yang diselamatkan.[164] Keyakinan ini dianut oleh banyak kalangan Kristen awal. Namun, suatu bagian dari Kota Allah, yang membahas tentang Apokalips, mungkin mengindikasikan bahwa Agustinus meyakininya dalam pengecualian bagi anak-anak yang lahir dari orang tua Kristen.[165]

Orang Yahudi

sunting

Untuk menentang gerakan Kekristenan tertentu, yang beberapa di antaranya menolak penggunaan Alkitab Ibrani, Agustinus menjawab bahwa Allah telah memilih kaum Yahudi sebagai suatu bangsa pilihan,[166] dan ia menganggap tindakan Kekaisaran Romawi menceraiberaikan orang-orang Yahudi sebagai suatu penggenapan nubuat.[167] Ia menolak perilaku membunuh, dengan mengutip bagian dari nubuat yang sama, yaitu "Jangan bunuh mereka, supaya mereka tidak lupa akan hukum-Mu" (Mazmur 59:11). Agustinus, yang meyakini bahwa orang-orang Yahudi akan memeluk Kristen pada "akhir zaman", berpendapat bahwa Allah telah memungkinkan mereka bertahan hidup dalam dispersi mereka sebagai suatu peringatan kepada orang-orang Kristen; karena itu ia berpendapat bahwa mereka seharusnya diizinkan untuk tinggal di tanah orang-orang Kristen.[168] Sentimen yang terkadang dikaitkan dengan Agustinus yang menyebutkan bahwa orang-orang Kristen seharusnya membiarkan orang-orang Yahudi "untuk bertahan hidup tetapi tidak untuk berkembang" (contohnya, hal ini diulang oleh penulis James Carroll dalam bukunya Constantine's Sword)[169][170] adalah apokrif dan tidak ditemukan dalam satu pun tulisannya.[171]

 
Lukisan Santo Agustinus karya Antonio Rodríguez.

Karya-karya

sunting

Agustinus adalah salah seorang penulis Latin yang paling produktif dari segi karya-karya yang masih terlestarikan hingga saat ini, dan daftar karyanya mencakup lebih dari 1.000 judul berbeda.[172] Karya Agustinus misalnya karya-karya apologetik dalam perlawanannya terhadap bidah Arianisme, Donatisme, Manikeisme, dan Pelagianisme; teks-teks mengenai doktrin Kristen, khususnya De Doctrina Christiana (Tentang Doktrin Kristen); karya-karya eksegesis seperti komentar mengenai Kitab Kejadian, Mazmur, dan Surat Roma karya Paulus; banyak khotbah dan surat; serta Retractationes, suatu tinjauan yang ia tulis menjelang wafatnya atas karya-karya sebelumnya. Selain itu, Agustinus mungkin paling dikenal karena Pengakuan-Pengakuan karyanya, yang adalah suatu laporan pribadi kehidupannya dahulu, dan De civitate Dei (Kota Allah, meliputi 22 buku), yang ia tulis untuk memulihkan rasa percaya diri sesamanya umat Kristen, yang sangat terguncang oleh peristiwa penjarahan Roma yang dilakukan suku bangsa Visigoth pada tahun 410. Tentang Trinitas karyanya, yang di dalamnya ia mengembangkan apa yang dikenal sebagai 'analogi psikologis' Tritunggal, juga termasuk di antara adikarya Agustinus, dan dapat dikatakan sebagai salah satu karya teologis terbesar hingga zaman sekarang. Ia juga menulis Tentang Pilihan Bebas Kehendak (De libero arbitrio), membahas alasan mengapa Allah memberikan manusia kehendak bebas yang dapat digunakan untuk berbuat jahat.[173]

Pengaruh

sunting
 
St. Agustinus Mendebat Para Bidat, lukisan karya Keluarga Vergós.

Dalam pemikiran filosofis maupun teologisnya, Agustinus banyak dipengaruhi oleh Stoikisme, Platonisme, dan Neoplatonisme, terutama oleh karya Plotinus (penulis Enneades), kemungkinan melalui perantaraan Porfirius dan Victorinus (sebagaimana didalilkan oleh Pierre Hadot). Meskipun ia kemudian meninggalkan Neoplatonisme, beberapa gagasan terkait masih terlihat dalam tulisan-tulisan awalnya.[174] Tulisan awalnya yang berpengaruh mengenai kehendak manusia, suatu topik sentral dalam etika, kelak menjadi fokus para filsuf seperti Schopenhauer, Kierkegaard, dan Nietzsche. Ia juga dipengaruhi oleh karya-karya Virgil atau Vergilius (dikenal karena ajarannya mengenai bahasa) dan Cicero (dikenal karena ajarannya mengenai argumen).[32]

Dalam filsafat

sunting

Filsuf Bertrand Russell terkesan dengan permenungan Agustinus mengenai hakikat dari waktu yang tertulis di dalam Pengakuan-Pengakuan, memandangnya lebih baik daripada versi Immanuel Kant yang menganggap waktu adalah subjektif.[175] Para teolog Katolik umumnya mengikuti keyakinan Agustinus bahwa Allah hadir di luar waktu dalam "masa kini yang kekal"; bahwa waktu hanya terdapat di dalam alam ciptaan karena waktu hanya dapat dirasakan dalam dimensi ruang, yaitu melalui gerak dan perubahan.[176] Permenungan Agustinus tentang hakikat waktu terkait erat dengan pertimbangannya mengenai kemampuan ingatan manusia. Frances Yates dalam studinya pada tahun 1966, The Art of Memory (Seni Daya Ingat), berpendapat bahwa suatu paragraf singkat dari Pengakuan-Pengakuan, X-VIII.12, di mana Agustinus menuliskan tentang perjalanan menaiki suatu tangga dan memasuki bidang ingatan yang sangat luas,[177] jelas menunjukkan bahwa orang-orang Romawi kuno memahami bagaimana menggunakan metafora spasial dan arsitektural sebagai suatu teknik mnemonik untuk mengelola sejumlah besar informasi.

 
Santo Agustinus Bermenung tentang Trinitas ketika Kanak-Kanak Yesus Menampakkan Diri di Hadapannya, karya Keluarga Vergós.

Metode filosofis Agustinus, terutama yang ditunjukkannya dalam Pengakuan-Pengakuan, telah menunjukkan pengaruh yang berkesinambungan dalam filsafat Eropa sepanjang abad ke-20. Pendekatan deskriptifnya atas niat atau intensionalitas, daya ingat, dan bahasa, saat fenomena-fenomena ini dialami di dalam alam kesadaran serta waktu, menginspirasi cara pandang hermeneutika dan fenomenologi modern.[178] Edmund Husserl menuliskan: "Analisis kesadaran akan waktu adalah suatu intisari purba dari psikologi deskriptif dan teori pengetahuan. Pemikir pertama yang memiliki kepekaan mendalam pada kesulitan luar biasa yang dapat ditemukan di sini tersebut adalah Agustinus, yang telah bekerja keras hampir-hampir tanpa harapan dalam mengatasi masalah ini."[179] Martin Heidegger merujuk pada filsafat deskriptif Agustinus di beberapa bagian dalam karyanya yang berpengaruh, Wujud dan Waktu.[note 9] Hannah Arendt memulai tulisannya mengenai filsafat dengan suatu disertasi mengenai konsep cinta menurut Agustinus, Der Liebesbegriff bei Augustin (1929): "Arendt muda berupaya untuk menunjukkan bahwa dasar filosofis untuk vita socialis (kehidupan sosial) pada Agustinus dapat dipahami sebagai berdiam dalam cinta yang bersahabat, berakar dalam pemahamannya mengenai asal mula kemanusiaan."[180] Jean Bethke Elshtain dalam Augustine and the Limits of Politics berusaha untuk mengaitkan Agustinus dengan Arendt dalam konsep mereka mengenai kejahatan: "Agustinus tidak melihat kejahatan sebagai kedurjanaan yang mengagumkan tetapi lebih sebagai ketiadaan kebaikan, sesuatu yang secara paradoks benar-benar tidak ada. Arendt ... bahkan membayangkan kejahatan ekstrem yang menghasilkan Holokaus benar-benar banal [dalam Eichmann in Jerusalem]."[181] Peninggalan filosofis Agustinus terus mempengaruhi teori kritis kontemporer melalui kontribusi-kontribusi dan para figur pewarisnya dari abad ke-20. Dilihat dari suatu perspektif historis, terdapat tiga perspektif utama dalam pemikiran politik Agustinus: pertama, Agustinianisme politik; kedua, teologi politik Agustinian; dan ketiga, teori politik Agustinian.[182]

Dalam teologi

sunting

Thomas Aquinas banyak dipengaruhi oleh Agustinus. Tentang topik dosa asal, Aquinas mengajukan suatu pandangan yang lebih optimis mengenai manusia daripada Agustinus; menurut Aquinas, akal, kehendak, dan penderitaan manusia pertama yang telah jatuh dalam dosa, dan semua keturunannya, hanya bergantung pada daya-daya alamiahnya saja, tanpa "karunia-karunia supranatural".[121]:1203 Dalam tulisan-tulisan awal sebelum perlawanannya terhadap Pelagianisme, Agustinus mengajarkan bahwa rasa bersalah Adam yang diteruskan ke semua keturunannya memperlemah kebebasan kehendak mereka, kendati tidak menghancurkannya, sedangkan para reformator Protestan seperti Martin Luther dan Yohanes Calvin menyatakan bahwa dosa asal sepenuhnya menghancurkan kebebasan (lih. kerusakan total).[121]:1200–1204

Menurut Leo Ruickbie, argumen-argumen Agustinus dalam melawan sihir, membedakannya dengan mukjizat, sangat penting dalam perjuangan Gereja perdana melawan paganisme serta menjadi suatu tesis sentral dalam penolakan terhadap para penyihir dan praktik sihir. Menurut Profesor Deepak Lal, visi Agustinus mengenai kota surgawi telah mempengaruhi berbagai tradisi serta proyek sekuler Abad Pencerahan, Marxisme, Freudianisme, dan eko-fundamentalisme.[183]

Hannah Arendt, seorang ahli teoretikus politik abad ke-20, menulis disertasi doktoralnya dalam filsafat dengan subjek Agustinus, dan tetap mengandalkan pemikiran Agustinus di sepanjang kariernya. Ludwig Wittgenstein banyak mengutip Agustinus dalam Investigasi-Investigasi Filosofis untuk pendekatannya dalam hal bahasa, dan dengan penuh kekaguman menjadikan Agustinus seorang 'rekan kerja' dalam mengembangkan gagasan-gagasannya sendiri, termasuk suatu bagian pembukaan yang ekstensif dari Pengakuan-Pengakuan. Para ahli bahasa kontemporer juga berpendapat bahwa Agustinus telah secara signifikan mempengaruhi pemikiran Ferdinand de Saussure, yang tidak 'menciptakan' disiplin modern semiotika, melainkan membangunnya di atas dasar pengetahuan Aristotelian dan Neoplatonis dari Abad Pertengahan, melalui perantaraan Agustinus: "Adapun untuk konstitusi teori semiotika Saussure, pentingnya kontribusi pemikiran Agustinus (yang dikorelasikan dengan Stoik) juga telah diakui. Saussure tidak melakukan apa-apa selain mereformasi suatu teori kuno di Eropa, berdasarkan urgensi-urgensi konseptual modern."[184]

Tuduhan

sunting

Beberapa kalangan, misalnya dari Gereja Ortodoks Timur, memandang beberapa ajaran Agustinus (terutama mengenai dosa dan anugerah) tidak tepat, salah dimengerti dan kontroversial (sehingga menimbulkan perpecahan dalam Kekristenan Barat), bahkan ada pula yang menjulukinya "bidat terbesar". Namun tidak sedikit juga yang membelanya, bahkan dari kalangan Gereja Ortodoks sendiri. Uskup Agung Chrysostomos dalam sebuah resensi buku karya Pastor Seraphim Rose, The Place of Blessed Augustine in the Orthodox Church, menuliskan bahwa, "Walau ide-ide Agustinus mungkin telah digunakan dan terdistorsi di Barat untuk menghasilkan teori-teori lebih modern (seperti predestinasinya Calvinisme, sola gratia, atau bahkan Deisme), sang Santo sendiri tidaklah bersalah atas beragam jenis teologi inovatif ... ."[185] Sebuah artikel dalam Orthodox Tradition (Vol.XIV, No.4, p. 33-35) menuliskan, " ... berbagai distorsi dan pernyataan berlebihan tertentu dalam ajaran-ajaran teologisnya oleh para pemikir Abad Pertengahan dan Reformasi telah dikaitkan dengan tidak adil kepada sang Santo sendiri."[185] Uskup Agung Mark dari Gereja Ortodoks Rusia di Luar Rusia mengatakan bahwa, "Kita dapat menemukan titik-titik lemah yang serupa dalam tulisan-tulisan hampir semua bapa Suci (Bapa Gereja) ... ."[185]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting

Catatan

sunting
  1. ^ Nomen Wawanus sebenarnya tidak bermakna apa-apa, lebih sebagai penanda kewarganegaraan Romawi (lih. (Inggris) Salway, Benet (1994). "What's in a Name? A Survey of Roman Onomastic Practice from c. 700 B.C. to A.D. 700". The Journal of Roman Studies. Society for the Promotion of Roman Studies. 84: 124–45. doi:10.2307/300873. ISSN 0075-4358. JSTOR 300873. ).
  2. ^ Hieronimus menulis kepada Agustinus pada tahun 418: "Engkau dikenal di seluruh dunia, umat Katolik menghormati dan menghargai engkau sebagai orang yang telah mendirikan kembali Iman kuno" (conditor antiquae rursum fidei). Lih. (Latin) Epistola 195; (Inggris) TeSelle, Eugene (1970). Augustine the Theologian. London. hlm. 343. ISBN 0-223-97728-4.  March 2002 edition: ISBN 1-57910-918-7.
  3. ^ Ia menjelaskan kepada Yulianus dari Eklanum mengenai sulitnya membedakan apa timbul pertama kali: Sed si disputatione subtilissima et elimatissima opus est, ut sciamus utrum primos homines insipientia superbos, an insipientes superbia fecerit. (Contra Julianum, V, 4.18; PL 44, 795)
  4. ^ Agustinus menjelaskannya demikian: "Mengapa karenanya [budi] memerintah atas dirinya sendiri, bahwa [budi] perlu mengenal dirinya sendiri? Saya kira, agar [budi] dapat mengambil pertimbangan sendiri, dan hidup menurut kodratnya sendiri; yaitu, berusaha untuk diatur menurut kodratnya sendiri, dengan kata lain, di bawah Dia kepada siapa [budi] harus tunduk, dan di atas hal-hal yang adalah kecenderungan [budi]; di bawah Dia oleh siapa [budi] harus diperintah, di atas hal-hal yang harus [budi] perintah. Sebab [budi] melakukan banyak hal melalui hasrat keji, seolah-olah dalam keterlupaan akan dirinya sendiri. Sebab [budi] melihat beberapa hal pada hakikatnya sangat baik, karena kodrat yang jauh lebih baik yang adalah Allah: dan sementara [budi] harus tetap kukuh agar dapat menikmati hal-hal itu, [budi] berpaling dari Dia, dengan keinginan untuk memantaskan hal-hal itu bagi dirinya sendiri, serta tidak untuk menjadi serupa dengan Dia melalui karunia-Nya, tetapi untuk menjadi apa yang adalah Dia melalui kepunyaannya sendiri, dan [budi] mulai bergeser serta tergelincir jatuh ke dalam secara bertahap sedikit demi sedikit, yang dikira [budi] lebih dan lebih banyak lagi." ((Inggris) "On the Trinity" (De Trinitate) X, 5:7; CCL 50, 320 [1–12])
  5. ^ Dalam satu karya akhir Agustinus, Retractationes, pada buku II:XXII(XLIX) ia membuat suatu pernyataan penting yang menunjukkan cara ia memahami perbedaan antara libido moral rohaniah dan hasrat seksual: Dixi etiam quodam loco: «Quod enim est cibus ad salutem hominis, hoc est concubitus ad salutem generis, et utrumque non est sine delectatione carnali, quae tamen modificata et temperantia refrenante in usum naturalem redacta, libido esse non potest». Quod ideo dictum est, quoniam libido non est bonus et rectus usus libidinis. Sicut enim malum est male uti bonis, ita bonum bene uti malis. De qua re alias, maxime contra novos haereticos Pelagianos, diligentius disputavi. Lih. De bono coniugali, 16.18; PL 40, 385; De nuptiis et concupiscentia, II, 21.36; PL 44, 443; Contra Iulianum, III, 7.16; PL 44, 710; ibid., V, 16.60; PL 44, 817. Lihat pula (Prancis) Idem (1983). Le mariage chrétien dans l'oeuvre de Saint Augustin. Une théologie baptismale de la vie conjugale. Paris: Études Augustiniennes. hlm. 97. 
  6. ^ Walau Agustinus memujinya dalam Pengakuan-Pengakuan VIII:II, telah diakui secara luas bahwa sikap Agustinus terhadap filsafat pagan tersebut adalah layaknya seorang rasul Kristen, sebagaimana dituliskan oleh T.E. Clarke SJ: "Di sepanjang hidupnya, terdapat suatu sikap yang jelas ambivalen ke arah Neoplatonisme; orang perlu menghadapi kesesuaian maupun perbedaan yang tajam, derivasi tetapi juga penolakan. Dalam hal yang menjadi perhatian kita di sini, kesesuaian dengan Neoplatonisme (dan dengan tradisi Platonis pada umumnya) berpusat pada dua konsep terkait: ketakberubahan sebagai karakteristik utama keilahian, dan keserupaan dengan keilahian sebagai panggilan utama jiwa. Ketidaksesuaiannya terutama berkenaan dengan, seperti yang telah dikatakan, dua dogma sentral Kristen yang berkaitan: Inkarnasi Putra Allah dan kebangkitan daging". (Inggris) Clarke, SJ, T. E. "St. Augustine and Cosmic Redemption". Theological Studies. 19 (1958): 151.  Cf. É. Schmitt's chapter 2: L'idéologie hellénique et la conception augustinienne de réalités charnelles in: (Prancis) Idem (1983). Le mariage chrétien dans l'oeuvre de Saint Augustin. Une théologie baptismale de la vie conjugale. Paris: Études Augustiniennes. hlm. 108–123.  (Inggris) O'Meara, J.J. (1954). The Young Augustine: The Growth of St. Augustine's Mind up to His Conversion. London. hlm. 143–151 and 195f.  (Prancis) Madec, G. Le "platonisme" des Pères. hlm. 42.  in Idem (1994). Petites Études Augustiniennes. «Antiquité» 142. Paris: Collection d'Études Augustiniennes. hlm. 27–50.  Thomas Aq. STh I q84 a5; (Inggris) Augustine of Hippo, City of God (De Civitate Dei), VIII, 5; CCL 47, 221 [3–4].
  7. ^ Komentar Gerald Bonner menjelaskan sedikit mengapa terdapat banyak penulis yang menulis hal-hal salah mengenai pandangan Agustinus: "Tentu saja selalu lebih mudah untuk menentang dan mencela daripada untuk memahami."
  8. ^ Pada tahun 393 atau 394 ia berkomentar: "Bahkan, apabila ketidakpercayaan adalah percabulan, dan ketidakpercayaan pemberhalaan, serta pemberhalaan keserakahan, tidak perlu diragukan bahwa keserakahan adalah juga percabulan. Maka siapakah yang dalam kasus tersebut dapat dengan benar memisahkan setiap hawa nafsu haram apa pun itu dari kategori percabulan, apabila keserakahan adalah percabulan? Dan dari sini kita melihat, bahwa karena hawa nafsu haram, bukan hanya yang mana yang bersalah dalam tindakan kecemaran dengan suami atau istri orang lain, tetapi setiap hawa nafsu haram apa pun itu, yang menyebabkan jiwa menggunakan tubuh secara salah untuk menyimpang dari hukum Allah, dan untuk dirusak secara mengerikan dan keji, seorang laki-laki mungkin, tanpa salah, menceraikan istrinya, dan seorang istri menceraikan suaminya, karena Tuhan menjadikan hal percabulan suatu pengecualian; di mana percabulan, sesuai dengan pertimbangan di atas, kita dipaksa untuk memahaminya sebagai umum dan universal." ((Inggris) "On the Sermon on the Mount", De sermone Domini in monte, 1:16:46; CCL 35, 52)
  9. ^ Sebagai contoh, artikulasi-artikulasi Heidegger tentang bagaimana "Wujud-di-dunia-ini" dideskripsikan melalui berpikir mengenai melihat: "Prioritas yang luar biasa atas 'melihat' utamanya telah diketahui oleh Agustinus, dalam kaitannya dengan penafsirannya atas concupiscentia." Heidegger kemudian mengutip Pengakuan-Pengakuan: "Melihat selayaknya adalah milik mata. Tetapi kita bahkan menggunakan kata 'melihat' ini untuk indra lainnya ketika kita menumpukannya untuk mengenal... Kita tidak hanya mengatakan, 'Lihat bagaimana sinarnya', ... namun kita bahkan mengatakan, 'Lihat bagaimana kedengarannya'". (Inggris) Being and Time, Trs. Macquarrie & Robinson. New York: Harpers, 1964, p. 171.

Sumber

sunting
  1. ^ Hall, James (1996). Hall's Dictionary of Subjects and Symbols in Art (edisi ke-2nd). John Murray. hlm. 35. ISBN 0-7195-4147-6. ; Daniel, Howard (1971). Encyclopedia of Themes and Subjects in Painting. Thames and Hudson. hlm. 35. ISBN 0-500-18114-4. 
  2. ^ Siecienski 2010.
  3. ^ Bonaiuti, Ernesto, and Giorgio La Piana. “The Genesis of St. Augustine’s Idea of Original Sin.” The Harvard Theological Review, vol. 10, no. 2, 1917, pp. 159–75. JSTOR, http://www.jstor.org/stable/1507550. Accessed 20 Jun. 2022.
  4. ^ Augustine. "What Is Called Evil in the Universe Is But the Absence of Good". Enchridion. Diakses tanggal 17 November 2012. 
  5. ^ Greenblatt 2017.
  6. ^ Ryan 1908.
  7. ^ St. Augustine, The Harmony of the Gospels, Book 1 chapter 2 paragraph 4. from hypothesis.com
  8. ^ Esmeralda n.d.
  9. ^ Austin 2006.
  10. ^ "Deity". Online Etymology Dictionary. Diakses tanggal 6 June 2017. 
  11. ^ Huffington 2013.
  12. ^ Wilhelm 1910.
  13. ^ Jenson 2006.
  14. ^ Literal Interpretation of Genesis 1:19–20, Chapt. 19
  15. ^ The Literal Interpretation of Genesis 2:9
  16. ^ Demacopoulos & Papanikolaou 2008, hlm. 271.
  17. ^ "CHURCH FATHERS: On Merit and the Forgiveness of Sins, and the Baptism of Infants, Book I (Augustine)". www.newadvent.org. 
  18. ^ Confessions – Book VIII Chapters 1–6
  19. ^ On Christian Doctrine – Preface Section 4
  20. ^ Altaner, Bertold (1949), “Augustinus und Irenäus”. Theologische Quartalschrift, 129: 162–172.
  21. ^ Enchiridion on Faith, Hope and Love – 8
  22. ^ Quintilian 1939, X.1.126.
  23. ^ Schaff 1887, hlm. 146.
  24. ^ Augustine of Hippo, Confessions, VIII,II, 3-6.
  25. ^ Cary, Phillip (June 17, 2019). "The Meaning Of Protestant Theology: Luther, Augustine, And The Gospel That Gives Us Christ". IDOCPUB (dalam bahasa Inggris). Baker Publishing Group. Diakses tanggal April 15, 2022. The drama of Protestant theology begins on a stage set in large part by Augustinian spirituality, 
  26. ^ Nguyen & Prior 2014, hlm. 66.
  27. ^ Portalié 1907a.
  28. ^ "Augustine of Hippo, Bishop and Theologian". justus.anglican.org. Society of Archbishop Justus. Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 August 2017. Diakses tanggal 22 January 2018. 
  29. ^ (Inggris) The American Heritage College Dictionary. Boston, MA: Houghton Mifflin Company. 1997. hlm. 91. ISBN 0-395-66917-0. 
  30. ^ Dalam Gereja Ortodoks – (Inggris) "Augustine Hippo". OrthodoxWiki. Diakses tanggal 17 September 2015. [pranala nonaktif permanen]
  31. ^ (Inggris)   Portalié, Eugène (1913). "St. Augustine of Hippo". Dalam Herbermann, Charles. Catholic Encyclopedia. New York: Robert Appleton Company. Diakses tanggal 30 June 2016. 
  32. ^ a b c (Inggris) Mendelson, Michael. Saint Augustine. The Stanford Encyclopedia of Philosophy. Diakses tanggal 21 December 2012. 
  33. ^ (Inggris) TeSelle, Eugene (1970). Augustine the Theologian. London. hlm. 347–349. ISBN 0-223-97728-4.  March 2002 edition: ISBN 1-57910-918-7.
  34. ^ (Inggris) Durant, Will (1992). Caesar and Christ: a History of Roman Civilization and of Christianity from Their Beginnings to A.D. 325. New York: MJF Books. ISBN 1-56731-014-1. 
  35. ^ (Inggris) Wilken, Robert L. (2003). The Spirit of Early Christian Thought. New Haven: Yale University Press. hlm. 291. ISBN 0-300-10598-3. 
  36. ^ a b (Inggris) Know Your Patron Saint. catholicapologetics.info
  37. ^ Hägglund, Bengt (2007) [1968]. Teologins historia [History of Theology] (dalam bahasa German). Translated by Gene J. Lund (edisi ke-4th rev.). St. Louis, Missouri: Concordia Publishing House. hlm. 139–140. ISBN 978-0758613486. 
  38. ^ a b c d e (Inggris) Gonzalez, Justo L. (1970–1975). A History of Christian Thought: Volume 2 (From Augustine to the eve of the Reformation). Abingdon Press. ISBN 0687171830. 
  39. ^ St. Augustine of Hippo. "On Rebuke and Grace". Dalam Philip Schaff. Nicene and Post-Nicene Fathers, First Series, Vol. 5. Translated by Peter Holmes and Robert Ernest Wallis, and revised by Benjamin B. Warfield (revised and edited for New Advent by Kevin Knight) (edisi ke-1887). Buffalo, New York: Christian Literature Publishing Co. 
  40. ^ (Inggris) "SOME UNDERLYING POSITIONS OF THIS WEBSITE". www.romanity.org. Diakses tanggal 2015-09-30. 
  41. ^ (Inggris) "Limits of Church". www.fatheralexander.org. Diakses tanggal 2015-09-30. 
  42. ^ a b c (Inggris) Rev. Dr. George C. Papademetriou, "Saint Augustine in the Greek Orthodox Tradition" Diarsipkan 2010-11-05 di Wayback Machine.
  43. ^ Siecienski 2010, hlm. 53-67.
  44. ^ (Inggris) "Gregory Palamas' Use of Augustine's De Trinitate for Original Sin and its Application to the Theotokos & Scholarius' Palamitico-Augustinianism of the Immaculate Conception (Stockholm 28.VI.15)". Diakses tanggal 2015-09-30. 
  45. ^ (Inggris) Archimandrite. "Book Review: The Place of Blessed Augustine in the Orthodox Church". Orthodox Tradition. II (3&4): 40–43. Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 July 2007. Diakses tanggal 28 June 2007. 
  46. ^ (Inggris) MacKendrick, Paul. (1980). The North African Stones Speak, Chapel Hill: University of North Carolina Press, p. 326, ISBN 0-7099-0394-4.
  47. ^ (Inggris) Ferguson, Everett. (1998). Encyclopedia of Early Christianity, Taylor & Francis, p. 776, ISBN 0-8153-3319-6.
  48. ^ (Inggris) Vesey, Mark, trans. (2007) "Confessions Saint Augustine", introduction, ISBN 978-1-59308-259-8.
  49. ^ a b (Inggris) Hollingworth, Miles (2013). Saint Augustine of Hippo: An Intellectual Biography. Oxford University Press. hlm. 51. ISBN 9780199861590. 
  50. ^ (Inggris) FROST, MAURICE (1942-07-01). "A NOTE ON THE BERBER BACKGROUND IN THE LIFE OF AUGUSTINE". The Journal of Theological Studies. os-XLIII (171-172). doi:10.1093/jts/os-XLIII.171-172.188. ISSN 0022-5185. 
  51. ^ (Inggris) Leith, John H. (1990). From Generation to Generation: The Renewal of the Church According to Its Own Theology and Practice. Westminster John Knox Press. hlm. 24. ISBN 9780664251222. 
  52. ^ (Inggris) Catholic World, Volumes 175-176. Paulist Fathers. 1952. hlm. 376. The whole of North Africa was a glory of Christendom with St. Augustine, himself a Berber, its chief ornament. 
  53. ^ Ep., CXXXIII, 19. English version, Latin version
  54. ^ Confess., VIII, 6, 14. English version, Latin version
  55. ^ Contra Faustum, I, 1. English version, Latin version
  56. ^ (Inggris) Lancel, Serge (2002) Saint Augustine, Hymns Ancient & Modern, p. 5, ISBN 0-334-02866-3.
  57. ^ a b (Inggris) Power, Kim (1999) "Family, Relatives", pp. 353–54 in Augustine Through the Ages: An Encyclopedia. Allan D. Fitzgerald, ed. Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans, ISBN 978-0-8028-3843-8.
  58. ^ (Inggris) Michael Brett and Elizabeth Fentress, The Berbers, Wiley-Blackwell, 1997, pp. 71, 293
  59. ^ (Inggris) Andrew Knowles and Pachomios Penkett, Augustine and his World Ch. 2.
  60. ^ a b Augustine of Hippo, Confessions, 2:4
  61. ^ a b c d e (Inggris) Encyclopedia Americana, v. 2, p. 685. Danbury, CT: Grolier, 1997. ISBN 0-7172-0129-5.
  62. ^ Augustine of Hippo, Confessions, 3:4
  63. ^ (Inggris) Pope, Hugh. "Saint Monica". Catholic Encyclopedia. Diakses tanggal 20 April 2012. At Carthage Augustine had become a Manichaean and when on his return home he propounded certain heretical propositions she drove him away from her table, but a strange vision urged her to recall him. It was at this time that she went to see a certain holy bishop, whose name is not given, but who consoled her with the now famous words, "the child of those tears shall never perish." 
  64. ^ Augustine of Hippo, Confessions, 2:3
  65. ^ Augustine of Hippo, Confessions, 8:17
  66. ^ (Inggris) Ranke-Heineman, Uta (1988). Eunuchs for the Kingdom of Heaven: Women, Sexuality and the Catholic Church. US: Penguin Books. ISBN 9780385265270. 
  67. ^ a b (Inggris) "Don't Blame the Devil: St Augustine and Original Sin". Utne Reader, May 2015.
  68. ^ Augustine of Hippo, Confessions, 4:2
  69. ^ a b (Inggris) Brown, Peter (1970). Augustine of Hippo: A Biography. Berkeley: University of California Press. hlm. 63. 
  70. ^ (Inggris) O'Donnell, James J. "Augustine the African", Georgetown University. Faculty.georgetown.edu. Retrieved on 2015-06-17.
  71. ^ a b c d e (Inggris) Portalié, Eugène. "Life of St. Augustine of Hippo" The Catholic Encyclopedia. Vol. 2. New York: Robert Appleton Company (1907). Retrieved 30 September 2011
  72. ^ (Inggris) Kishlansky, Mark; Geary, Patrick; O'Brien, Patricia (2010). Civilization in the West (edisi ke-Volume 1: to 1715). New Jersey: Pearson Education Inc. hlm. 142–143. 
  73. ^ (Inggris) BeDuhn, Jason David (28 October 2009). Augustine's Manichaean dilemma: Conversion and apostasy, 373–388 C.E. University of Pennsylvania Press. hlm. 163. ISBN 978-0-8122-4210-2. Diakses tanggal 17 June 2011. 
  74. ^ a b c (Inggris) Outler, Albert. ""Medieval Sourcebook." Internet History Sourcebooks Project". Fordham University, Medieval Sourcebook. Fordham University. Diakses tanggal 30 October 2014. 
  75. ^ Augustine of Hippo, Confessions, 6:15
  76. ^ (Inggris) Burrus, Virginia (2011). ""Fleeing the Uxorious Kingdom": Augustine's Queer Theology of Marriage". Journal of Early Christian Studies. Johns Hopkins University Press. 19 (1): 1–20. doi:10.1353/earl.2011.0002. 
  77. ^ (Inggris) Ferguson, Everett (1999) Christianity in Relation to Jews, Greeks, and Romans, Taylor & Francis, p. 208, ISBN 0-8153-3069-3.
  78. ^ Augustine of Hippo, Confessions, 8:12
  79. ^ (Inggris) Augustine of Hippo, Bishop and Theologian. Justus.anglican.org. Retrieved on 2015-06-17.
  80. ^ Augustine of Hippo, Confessions, 10:27
  81. ^ (Inggris) Pope, Hugh. "Saint Monica". Catholic Encyclopedia. Diakses tanggal 20 April 2012. Here death overtook Monica and the finest pages of his "Confessions" were penned as the result of the emotion Augustine then experienced. 
  82. ^ Possidius, v. Aug. 3.1
  83. ^ Lepelley, 2:176-77
  84. ^ (Inggris) A'Becket, John. "CATHOLIC ENCYCLOPEDIA: Adeodatus". Diakses tanggal 20 April 2012. 
  85. ^ Augustine, ep.126.1
  86. ^ (Inggris) Saint Augustine of Hippo at saints.sqpn.com. Retrieved 30 September 2011
  87. ^ a b c (Inggris) Weiskotten, Herbert T. (2008). The Life of Saint Augustine: A Translation of the Sancti Augustini Vita by Possidius, Bishop of Calama. Merchantville, NJ: Evolution Publishing. ISBN 1-889758-90-6. 
  88. ^ (Inggris) "St Augustine of Hippo" at PhilosophyBasics.com. Retrieved 30 September 2011.
  89. ^ (Inggris) "New Advent – Pope Boniface VIII". Diakses tanggal 26 February 2012. 
  90. ^ (Inggris) Augustine's tomb, Augnet Diarsipkan 2014-02-22 di Wayback Machine.. Augnet.org (2007-04-22). Retrieved on 2015-06-17.
  91. ^ (Inggris) Dale, Shanon (2001). "A house divided: San Pietro in Ciel d'Oro in Pavia and the politics of Pope John XXII". Journal of Medieval History. 27: 55. doi:10.1016/S0304-4181(00)00016-6. 
  92. ^ (Inggris) Stone, Harold Samuel (2002) St. Augustine's Bones: A Microhistory (Studies in Print Culture and the History of the Book) Amherst: University of Massachusetts Press, ISBN 1-55849-388-3.
  93. ^ (Inggris) "Saint Augustine – Philosophical Anthropology". Encyclopedia of Philosophy. Stanford. Diakses tanggal 23 March 2011. 
  94. ^ Augustine of Hippo, De cura pro mortuis gerenda CSEL 41, 627[13–22]; PL 40, 595: Nullo modo ipsa spernenda sunt corpora. (...)Haec enim non ad ornamentum vel adiutorium, quod adhibetur extrinsecus, sed ad ipsam naturam hominis pertinent.
  95. ^ Augustine of Hippo, Enarrationes in psalmos, 143, 6.
  96. ^ CCL 40, 2077 [46] – 2078 [74]; 46, 234–35.
  97. ^ Augustine of Hippo, De utilitate ieiunii, 4,4–5.
  98. ^ Augustine of Hippo, De quantitate animae 1.2; 5.9.
  99. ^ Augustine of Hippo, De quantitate animae 13.12: Substantia quaedam rationis particeps, regendo corpori accomodata.
  100. ^ Augustine of Hippo, On the free will (De libero arbitrio) 2.3.7–6.13.
  101. ^ (Inggris) Mann, WE (1999). "Inner-Life Ethics". Dalam Matthews, GB. The Augustinian Tradition. University of California Press. hlm. 141–42. ISBN 0-520-20999-0. 
  102. ^ (Inggris) the Athenian, Athenagoras. "A Plea for the Christians". New advent. 
  103. ^ (Inggris) Frank K. Flinn, J. Gordon Melton, Encyclopedia of Catholicism (Facts on File Encyclopedia of World Religions 2007 ISBN 978-0-8160-5455-8), p. 4
  104. ^ (Inggris) Kristin, Luker, Abortion and the Politics of Motherhood (University of California Press 1985 ISBN 978-0-520-90792-8), p. 12
  105. ^ a b (Inggris) Bauerschmidt, John C (1999). "Abortion". Dalam Fitzgerald, Allan D. Augustine Through the Ages: An Encyclopedia. Wm B Eerdmans. hlm. 1. ISBN 978-0-8028-3843-8. 
  106. ^ (Inggris) Respect for Unborn Human Life: the Church's Constant Teaching
  107. ^ (Inggris) M. Therese Lysaught, Joseph Kotva, Stephen E. Lammers, Allen Verhey, ed. (2012). On Moral Medicine: Theological Perspectives on Medical Ethics. Wm. B. Eerdmans Publishing. hlm. 676. ISBN 978-0-8028-6601-1. 
  108. ^ a b (Inggris) "Modern Look at Abortion Not Same as St. Augustine's". www.ewtn.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-12-20. Diakses tanggal 2016-12-04. 
  109. ^ (Inggris) Augustine, "Of the Work of Monks", p. 25, Vol. 3, Nicene & Post-Nicene Fathers, Eerdman's, Grand Rapids, MI, Reprinted 1986
  110. ^ (Inggris) The Saints, Pauline Books & Media, Daughters of St. Paul, Editions du Signe (1998), p. 72
  111. ^ (Inggris) Augustine, The City of God, Ch. 15, p. 411, Vol. II, Nicene & Post-Nicene Fathers, Eerdman's, Grand Rapids, MI, Reprinted 1986
  112. ^ (Inggris) Van Der Meer, F (1961). Augustine the Bishop. The Life and Work of the Father of the Church. London – New York. hlm. 60. 
  113. ^ a b c d (Inggris) Bonner, G (1986). St. Augustine of Hippo. Life and Controversies. Norwich: The Canterbury Press. ISBN 0-86078-203-4. 
  114. ^ (Inggris) Testard, M (1958). Saint Augustin et Cicéron, I. Cicéron dans la formation et l'oeuvre de saint Augustin (dalam bahasa French). Paris: Études Augustiniennes. hlm. 100–6. 
  115. ^ Augustine of Hippo, Confessions 5,7,12; 7,6
  116. ^ (Inggris) Augustine of Hippo, Of the Falseness of the History Which Allots Many Thousand Years to the World's Past, The City of God, Book 12: Chapt. 10 [419].
  117. ^ (Inggris) Teske, Roland J (1999). "Genesi ad litteram liber imperfectus, De". Dalam Fitzgerald, Allan D. Augustine Through the Ages: An Encyclopedia. Wm B Eerdmans. hlm. 377–78. ISBN 978-0-8028-3843-8. 
  118. ^ On the Merits, 1.2; City of God, 13:1; Enchiridion, 104
  119. ^ (Inggris) Young, Davis A. "The Contemporary Relevance of Augustine's View of Creation", Perspectives on Science and Christian Faith 40.1:42–45 (3/1988). Retrieved 30 September 2011.
  120. ^ (Inggris) Blomberg, Craig L. (2006). From Pentecost to Patmos. Apollos. hlm. 519. ISBN 0805432485. 
  121. ^ a b c d e f g (Inggris) Cross, Frank L.; Livingstone, Elizabeth, ed. (2005). The Oxford Dictionary of the Christian Church. Oxford: Oxford University Press. ISBN 0-19-280290-9. 
  122. ^ Augustine of Hippo, Enchiridion, 110
  123. ^ (Inggris) Matthews, Gareth B. (1992). Thought's ego in Augustine and Descartes. Cornell University Press. ISBN 0801427754. 
  124. ^ (Inggris) King, Peter; Nathan Ballantyne (2009). "Augustine on Testimony" (PDF). Canadian Journal of Philosophy. 39 (2): 195. doi:10.1353/cjp.0.0045. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2011-09-11. Diakses tanggal 2016-12-17. 
  125. ^ (Inggris) A Time For War? Christianity Today (2001-01-09). Retrieved on 2013-04-28.
  126. ^ (Inggris) Augustine of Hippo. Crusades-encyclopedia.com. Retrieved on 2013-04-28.
  127. ^ (Inggris) St. Augustine of Hippo, Crusades-Encyclopedia
  128. ^ (Inggris) Saint Augustine and the Theory of Just War Diarsipkan 2013-11-03 di Wayback Machine.. Jknirp.com (2007-01-23). Retrieved on 2013-04-28.
  129. ^ (Inggris) The Just War Diarsipkan 2021-04-23 di Wayback Machine.. Catholiceducation.org. Retrieved on 2013-04-28.
  130. ^ (Inggris) Gonzalez, Justo L. (1984). The Story of Christianity. San Francisco: Harper. ISBN 006185588X. 
  131. ^ (Jerman) O Stegmüller, Marienkunde, 455
  132. ^ Augustine of Hippo, De Sancta Virginitate, 6,6, 191.
  133. ^ Augustine of Hippo, De Sancta Virginitate
  134. ^ Augustine of Hippo, De Genesi ad literam 1:19–20, Chapt. 19 [408], De Genesi ad literam, 2:9
  135. ^ Augustine of Hippo, On the Literal Meaning of Genesis (De Genesi ad litteram), VIII, 6:12, vol. 1, p. 192-3 and 12:28, vol. 2, p. 219-20, trans. John Hammond Taylor SJ; BA 49,28 and 50–52; PL 34, 377; cf. idem, De Trinitate, XII, 12.17; CCL 50, 371–372 [v. 26–31;1–36]; De natura boni 34–35; CSEL 25, 872; PL 42, 551–572
  136. ^ Augustine of Hippo, On the Literal Meaning of Genesis (De Genesi ad litteram), VIII, 4.8; BA 49, 20
  137. ^ Augustine of Hippo, Nisi radicem mali humanus tunc reciperet sensus ("Contra Julianum", I, 9.42; PL 44, 670)
  138. ^ Non substantialiter manere concupiscentiam, sicut corpus aliquod aut spiritum; sed esse affectionem quamdam malae qualitatis, sicut est languor. (De nuptiis et concupiscentia, I, 25. 28; PL 44, 430; cf. Contra Julianum, VI, 18.53; PL 44, 854; ibid. VI, 19.58; PL 44, 857; ibid., II, 10.33; PL 44, 697; Contra Secundinum Manichaeum, 15; PL 42, 590.
  139. ^ Marius Mercator Lib. subnot.in verb. Iul. Praef.,2,3; PL 48,111 /v.5-13/; (Inggris) Bonner, Gerald. Rufinus of Syria and African Pelagianism. hlm. 35(X).  in: Idem (1987). God's Decree and Man's Destiny. London: Variorum Reprints. hlm. 31–47 (X). ISBN 0-86078-203-4. 
  140. ^ Augustine of Hippo, De gratia Christi et de peccato originali, I, 15.16; CSEL 42, 138 [v.24–29]; Ibid., I,4.5; CSEL 42, 128 [v.15–23].
  141. ^ Augustine of Hippo, Against Two Letters of the Pelagians 1.31–32
  142. ^ (Inggris) Brown, Peter. Augustine of Hippo. Berkeley: University of California Press, 1967. ISBN 0-520-00186-9, 35
  143. ^ (Inggris) "The Manichaean Version of Genesis 2–4". Archived from the original on 29 October 2005. Diakses tanggal 25 March 2008. . Translated from the Arabic text of Ibn al-Nadīm, Fihrist, as reproduced by G. Flügel in Mani: Seine Lehre und seine Schriften (Leipzig, 1862; reprinted, Osnabrück: Biblio Verlag, 1969) 58.11–61.13.
  144. ^ Augustine of Hippo, De libero arbitrio 1,9,1.
  145. ^ (Italia) Trapè, A. S. Agostino: Introduzione alla Dottrina della Grazia. I – Natura e Grazia. hlm. 113–114. 
  146. ^ (Inggris) Brachtendorf, J. (1997). "Cicero and Augustine on the Passions": 307. hdl:2042/23075.  templatestyles stripmarker di |id= pada posisi 1 (bantuan)
  147. ^ Lihat: (Italia) Sfameni Gasparro, G. (2001). Enkrateia e Antropologia. Le motivazioni protologiche della continenza e della verginità nel christianesimo del primi secoli e nello gnosticismo. Studia Ephemeridis «Augustinianum» 20. Rome. hlm. 250–251. ; (Prancis) Somers, H. "Image de Dieu. Les sources de l'exégèse augustinienne". Revue des Études Augustiniennes. 7 (1961): 115. ISSN 0035-2012. hdl:2042/712.  templatestyles stripmarker di |id= pada posisi 1 (bantuan). Cf. John Chrysostom, Περι παρθενίας (De Sancta Virginitate), XIV, 6; SCh 125, 142–145; (Inggris) Gregory of Nyssa, On the Making of Man, 17; SCh 6, 164–165; and (Inggris) On Virginity, 12.2; SCh 119, 402 [17–20]. Cf. (Inggris) Augustine of Hippo, On the Good of Marriage, 2.2; PL 40, 374.
  148. ^ (Inggris) Gerson, Lloyd P. Plotinus. New York, NY: Routledge, 1994. 203
  149. ^ Augustine of Hippo, "Enarrations on the Psalms" (Enarrationes in psalmos), 143:6; CCL 40, 2077 [46] – 2078 [74]; On the Literal Meaning of Genesis (De Genesi ad Litteram), 9:6:11, trans. John Hammond Taylor SJ, vol. 2, p. 76-77; PL 34, 397.
  150. ^ Augustine of Hippo, De continentia, 12.27; PL 40, 368; Ibid., 13.28; PL 40, 369; Contra Julianum, III, 15.29, PL 44, 717; Ibid., III, 21.42, PL 44, 724.
  151. ^ (Inggris) "A Postscript to the Remedium Concupiscentiae". The Thomist. 70: 481–536. 2006. 
  152. ^ (Inggris) Merits and Remission of Sin, and Infant Baptism (De peccatorum meritis et remissione et de baptismo parvulorum), I, 6.6; PL 44, 112–113; cf. On the Literal Meaning of Genesis (De Genesi ad litteram) 9:6:11, trans. John Hammond Taylor SJ, vol. 2, pp. 76–77; PL 34, 397.
  153. ^ Augustine of Hippo, Imperfectum Opus contra Iulianum, II, 218
  154. ^ (Inggris) Southern, R.W. (1953). The Making of the Middle Ages. London. hlm. 234–7. 
  155. ^ a b c (Inggris) Levering, Matthew (2011). Predestination: Biblical and Theological Paths. New York: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-960452-4. 
  156. ^ (Inggris) James, Frank A., III (1998). Peter Martyr Vermigli and Predestination: The Augustinian Inheritance of an Italian Reformer. Oxford: Clarendon. hlm. 102 – via Questia. ((Perlu berlangganan (help)). 
  157. ^ (Inggris) Hägglund, Bengt (2007) [1968]. Teologins historia (dalam bahasa German). Translated by Gene J. Lund (edisi ke-4th rev.). St. Louis, MO: Concordia Publishing House. hlm. 139–140. ISBN 978-0758613486. 
  158. ^ (Inggris) St. Augustine of Hippo. "On Rebuke and Grace". Dalam Philip Schaff. Nicene and Post-Nicene Fathers, First Series, Vol. 5. Translated by Peter Holmes and Robert Ernest Wallis, and revised by Benjamin B. Warfield (revised and edited for New Advent by Kevin Knight) (edisi ke-1887). Buffalo, NY: Christian Literature Publishing Co. 
  159. ^ (Inggris) Meister, Chad; Copan, Paul, ed. (2012). The Routledge Companion to Philosophy of Religion. Routledge Philosophy Companions (edisi ke-2nd). London. ISBN 9780415782944. 
  160. ^ a b c (Inggris) Portalié, Eugène. "Teaching of St. Augustine of Hippo" The Catholic Encyclopedia. Vol. 2. New York: Robert Appleton Company (1907). Retrieved 30 September 2011
  161. ^ (Inggris) Augustine of Hippo, Explanations of the Psalms 33:1:10 [405]
  162. ^ (Inggris) Augustine of Hippo, Sermons 227 [411]
  163. ^ (Inggris) Augustine of Hippo, Sermons 272
  164. ^ (Inggris) Augustine of Hippo, A Sermon to Catechumens on the Creed, Paragraph 16
  165. ^ (Inggris) Augustine of Hippo, City of God, Book 20, Chapter 8
  166. ^ (Inggris) Diarmaid MacCulloch. The Reformation: A History (Penguin Group, 2005) p 8.
  167. ^ (Inggris) Augustine of Hippo, City of God, book 18, chapter 46.
  168. ^ (Inggris) Edwards, J. (1999) The Spanish Inquisition, Stroud, pp. 33–35, ISBN 0-7524-1770-3.
  169. ^ (Inggris) James Carroll, Constantine's Sword (Houghton Mifflin Harcourt, 2002), p. 219.
  170. ^ (Inggris) Paula Fredriksen, interviewed by David Van Biema, "Was Saint Augustine Good for the Jews?" in Time magazine, December 7, 2008.
  171. ^ (Inggris) Fredriksen interviewed by Van Biema, "Was Saint Augustine Good for the Jews?"
  172. ^ (Inggris) Wright, F.A. and Sinclair, T.A. (1931) A History of Later Latin Literature, Dawsons of Pall Mall, London, pp. 56 ff.
  173. ^ Hill, Edmund (1961). "St Augustine on the Trinity—I". Life of the Spirit. 15 (180): 540–548. JSTOR 43705747. 
  174. ^ (Inggris) Bertrand Russell History of western Philosophy Book II Chapter IV
  175. ^ (Inggris) Bertrand Russell, A History of Western Philosophy, 1946, reprinted Unwin Paperbacks 1979, pp. 352–353.
  176. ^ Pengakuan-Pengakuan, Kitab XI-XIII: Renungan Kitab Kejadian dan Nilai Rohani Penciptaan
  177. ^ (Latin)(Inggris) Confessiones Liber X: commentary on 10.8.12
  178. ^ (Inggris) de Paulo, Craig J. N. (2006). The Influence of Augustine on Heidegger: The Emergence of an Augustinian Phenomenology. The Edwin Mellen Press. ISBN 0773456899. 
  179. ^ (Inggris) Husserl, Edmund (1964) Phenomenology of Internal Time-Consciousness. Tr. James S. Churchill. Bloomington: Indiana UP, p. 21.
  180. ^ (Inggris) Chiba, Shin (1995). "Hannah Arendt on Love and the Political: Love, Friendship, and Citizenship". The Review of Politics. 57 (3): 505–535 (507). doi:10.1017/S0034670500019720. JSTOR 1408599. 
  181. ^ (Inggris) Tinder, Glenn; Elshtain, Jean Bethke (1997). "Augustine and the Limits of Politics, by Jean Bethke Elshtain". American Political Science Review. 91 (2): 432–433. doi:10.2307/2952372. 
  182. ^ (Inggris) Woo, B. Hoon (2015). "Pilgrim's Progress in Society—Augustine's Political Thought in The City of God". Political Theology. 16 (5): 421–441. doi:10.1179/1462317X14Z.000000000113. 
  183. ^ (Inggris) Lal, D. (March 2002) "Morality and Capitalism: Learning from the Past". Working Paper Number 812, Department of Economics, University of California, Los Angeles.
  184. ^ (Inggris) Munteanu, E. "On the Object-Language / Metalanaguage Distinction in Saint Augustine's Works - De Dialectica and de Magistro". Dalam Cram, D., Linn, A. R., & Nowak, E. History of Linguistics 1996: Volume 2: From Classical to Contemporary Linguistics (edisi ke-1999). John Benjamins Publishing Company. hlm. 65. ISBN 9789027283818. 
  185. ^ a b c (Inggris) "Blessed Augustine of Hippo: His Place in the Orthodox Church - A Corrective Compilation". Orthodox Christian Information Center. 

Bacaan lanjutan

sunting

Pranala luar

sunting

Bibliografi

sunting

Karya-karya Agustinus

sunting

Biografi dan kritik

sunting