Sumberagung, Kepohbaru, Bojonegoro
Sumberagung | |||||
---|---|---|---|---|---|
Negara | Indonesia | ||||
Provinsi | Jawa Timur | ||||
Kabupaten | Bojonegoro | ||||
Kecamatan | Kepohbaru | ||||
Kode Kemendagri | 35.22.09.2016 | ||||
Luas | ... km² | ||||
Jumlah penduduk | ... jiwa | ||||
Kepadatan | ... jiwa/km² | ||||
|
Sumberagung adalah desa di kecamatan Kepohbaru, Bojonegoro, Jawa Timur, Indonesia.
Bermula dari awal abad 20 pada zaman penjajahan Belanda, terdapatlah dua desa berhimpitan, bernama Ngrayudan dan Ngasem. Masing-masing dipimpin oleh seorang kepala desa dengan sebutan ‘petinggi’. Ngrayudan yang terletak di sebelah timur dipimpin oleh seorang petinggi bernama Mashadi Taman sedangkan Ngasem terletak di sebelah barat dipimpin oleh seorang petinggi.
## Nama petinggi itu hingga kini tetap melegenda, mengantar kenangan bersejarah tentang Sumberagung dari masa ke masa ## Petinggi dengan segenap pembawaan dan kiprah kememimpinannya pada masa itu tidak bisa lepas dari kontrol otoritas tunggal yang tiada lain adalah kolonialis Belanda. Namun demikian, siasat dan taktik pribumi yang sudah mulai kentara turut menentukan jalan sejarah bangsa ini. Ini biasanya muncul sebagai kecerdikan para tokoh otoritas tertentu seperti kyai dan tokoh-pemikir nasionalis. Petinggi, apapun keadaannya akan tetap menjadi tokoh tengah-tengah sesuai misi mempertahankan stabilitas keamanan dan politik serta “memakmurkan” rakyat, yang sebenarnya adalah stabilitas dan kemakmuran semu, sebab semua hanya akan bermuara tujuan pada kemapanan imperial-kolonialis bercokol dan kemakmuaran bagi mereka belaka, ##
Biasanya, para petinggi akhirnya hanya bisa bersiasat dengan antar petinggi di hadapan penguasa (imperial-kolonialis yang berada di wilayahnya) dalam bentuk kompetisi di Babagan stabilitas politik dan keamanan, adapun urusan kemakmuran tentunya nomer lain. Tujuan siasah tiada lain adalah prestasi khusus dan hasrat mempertahankan kedudukan, syukur perluasan wilayah ‘kekuasaan’, atau diberikannya naik jabatan dan kedudukan oleh pemerintah Hindia Belanda melalui “Ndoro Kanjeng” Wedono selaku kedudukan terbawah dalam struktur pemerintahan penjajah, membawahi para petinggi, ## Tentu, semua bisa kita pahami selagi tidak ada kepecundangan terhadap arah perjuangan kebangsaan dan agama sendiri ##
Alkisah, “taktik” sepihak telah dilancarkan oleh petinggi Taman terhadap petinggi, pada kesempatan tak boleh dilewatkan, saat keramaian hiburan tayub di suatu tempat di desa lain yang berjauhan, keduanya bareng-bareng berada di sana. Siapa sangka atau kebetulan, tak lama sepeninggal keduanya menuju keramaian itu di desa Ngasem kehadiran perampok memporak-porandakan pedusunan. Saatnya tiba, petinggi Taman berkepentingan membujuk teman seprofesi itu agar tetap ‘nyante saja’ guna pulang keesokan harinya. Di sinilah jelas, rupa-rupanya Hadi Taman sudah tahu dan menunda / merahasiakan kabar perampokan itu.
Keesokan hari tersentak kesadaran petinggi, maka telah lewatlah kesempatan melaporkan kejadian perampokan semalam itu kepada atasan dan berakhir jatuhnya sanksi baginya, copot kedudukan sebagai petinggi ! Secepatnya, Tamanlah yang dikukuhkan oleh Hindia Belanda untuk menjadi petinggi dengan perluasan wilayah Ngrayudan dan Ngasem (disatukan). Semenjak itu tidak ada lagi desa Ngasem. Namun demikian, secara formal juga tidak ada desa Ngrayudan, sebab guna arah persatuan dan kesatuan, saat itu juga dikukuhkan nama desa yang baru: DESA SUMBERAGUNG pada tahun 1905 ( H. DARMIN, 1989).
Selanjutnya Desa Sumberagung di bagi menjadi 4 dusun, yaitu Tanggir, Ngasem, Sumberagung dan Klewer dengan pusat pemerintahan yang tidak jelas resmi, tergantung di belahan mana kediaman Sang Petinggi berada, maka masyarakat tinggal mengikuti. Di era berikutnya melalui penyesuaian aturan pemerintah pusat dan daerah istilah “petinggi” di formalkan menjadi “Kepala Desa” bagi yang di pedesaan dan “Lurah” bagi yang di kotamadya. Di samping itu, kedudukan pusat pemerintahan pun harus jelas dan memiliki kantor pemerintahan desa. Ini terbukti pada tahun 1979 Kepala Desa H. Darmin melaksanakan.
Apa arti sebuah nama?
Kondisi alam desa di saat mana penduduknya pernah mengalami susah payah mendapatkan air penghidupan merupakan block setting hingga sebuah nama hadir - seperti suatu kesepakatan yang sama-sama tak disadari - tak lain adalah makna kesejarahan kolektif masyarakat yang mengalami gelora harapan di antara rasa susah dan peluh di badan, sedíh dan do’a: ” Ngrayu udan” yang bermakna kerinduan akan air dan sumbernya yang melimpah ruah. Benar memang, bahwa berbagai ritual merayu-rayu tak jarang digelar agar mendung berkenan turunkan hujan. Di musim kemarau yang kering kerontang, gerimispun besar artinya bagi hidup dan kehidupan.
“Sumberagung”, walaupun tampak lawan arti “Ngrayudan”, tak lain dan tak bukan bermakna dan berkonotasi sama, sebuah pengharapan sebagaimana tergambar dalam realitas kehidupan yang tenteram damai apabila tak jauh dari air. Hadi Taman sebagai pemilik kebijakan tak mudah melepaskan dua julukan ini, karena disamping mempertahankan natural spirit yang begitu saja terjadi, secara politis nama baru itu pun menjadi simbul kejayaan kekuasaan. Namun, juga sekaligus demi persatuan dan kesatuan baru, menyentuh bawah sadar awam untuk sekadar melupakan lembaran lama yang mungkin masih erat melekat, Ngrayudan dan Ngasem (Arif Mahfudzi, 2009) keputusan untuk berpusat pemerintahan dan berkantor di dusun Ngasem. Dengan menata dan menempati eks ruang sekretariat Lumbung Desa (kini gedung MI Nurul Hidayah sisi selatan) saat itulah Kantor Desa Sumberagung pertama kali berdiri.
Masih berpedoman deret aturan tersebut, normalisasi kapasitas jumlah penduduk sebuah dusun pun harus dilaksanakan. Sangat dimungkinkan dusun tertentu wajib merger dengan dusun lain atau justru membelah menjadi dua. Maka pada era kepemimpinan Kepala Desa H. Darmin pada tahun 1979 - karena kapasitas jumlah penduduk dua dusun di wilayah barat belum memenuhi sarat - diadakanlah pergeseran. Dusun Tanggir dan Dusun Ngasem disatukan menjadi “Dusun Ngasem” saja, itu pun masih ditambahkan sebagian kecil wilayah dusun Sumberagung, yaitu RT.6 dan RT.7, sedang yang lannya tetap. Semenjak itu, Desa Sumberagung terdiri atas Dusun Ngasem, Dusun Sumberagung dan Dusun Klewer.(Arif Mahfudzi, 2009). (LK-KIM)
{{kelurahan-stub