Lompat ke isi

Semusim di Neraka

Ini adalah artikel bagus. Klik untuk informasi lebih lanjut.
Halaman yang dilindungi semi
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Semusim di Neraka
Halaman sampul cetakan ke-2
PenyuntingIndrian Koto
PengarangJean Nicolas Arthur Rimbaud
Judul asliUne Saison en Enfer
PenerjemahAn. Ismanto
Perancang sampulKaverboy
NegaraIndonesia
BahasaBahasa Indonesia
GenreAntologi puisi
PenerbitPenerbit Jualan Buku Sastra
Tanggal terbit
28 Maret 2020 (cetakan ke-2)
Jenis mediaCetak (sampul tipis)
Halaman92 (cetakan ke-2)
ISBNISBN 978-623-9216-58-0

Semusim di Neraka adalah buku antologi puisi yang ditulis oleh Jean Nicolas Arthur Rimbaud pada 1873 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh An. Ismanto. Rimbaud sendiri awalnya hendak menerbitkan antologi puisi ini sebagai buku untuk umum. Namun, dikarenakan kekurangan dana atau dia sendiri yang sudah meninggalkan puisi dan sastra, karyanya itu hanya tersimpan di gudang percetakan hingga 1901. Setidaknya sampai dengan tahun 2020, karya tersebut belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia selain oleh Ismanto sendiri. Pengaruh puisi ini dalam karya sastra Indonesia yang paling kentara adalah di dalam sajak Pahlawan Tak Dikenal karya Toto Sudarto Bachtiar. Selain puisi panjang Semusim di Neraka, antologi terjemahan tersebut juga memuat puisi Rimbaud yang lain, yaitu Kapal Mabuk dan Masa Kanak, serta disertai biografi tentang dirinya untuk mempermudah pembaca mengenalinya.

Catatan penerjemah

Une Saison en Enfer yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Semusim di Neraka oleh An. Ismanto adalah kumpulan puisi yang ditulis Rimbaud pada 1873 atau ketika dirinya berusia 19 tahun.[1][2][3] Kumpulan puisi itu terbit di Brussel, tetapi sebagian besar isinya menumpuk di gudang percetakan hingga 1901 karena Rimbaud tidak bisa membayar biaya cetak. Barulah pada 1895, Paul Verlaine yang menjadi pasangan sesama jenis Rimbaud, menerbitkan karya ini secara lengkap.[4]

Arthur Rimbaud, penulis antologi puisi Semusim di Neraka.

Puisi tersebut tiba-tiba merebut perhatian, tetapi sempat meredup begitu saja dan tidak ada yang bisa melacak keberadaannya. Pada 1883, karya itu terlacak kembali ketika seorang importir kopi Arab yang sedang menuju ke Marseille dengan kapal bercerita kepada kenalannya tentang salah satu anak buahnya yang pendiam, tetapi terampil bekerja, yaitu Rimbaud. Kenalan itu terperanjat karena mengingat dan mengenalnya sebagai penyair yang 12 tahun sebelumnya melakukan debut di Paris. Selanjutnya, ketika importir tersebut kembali ke kantornya di Aden, dia ingin berbincang tentang sastra dengan Rimbaud, tetapi anak buahnya yang mantan penyair itu menolak dan mengatakan bahwa puisi-puisinya "absurd, menggelikan, dan menjijikan". Saat itu, Rimbaud sendiri memang telah meninggalkan diri dari puisi dan sastra tahun 1874, ketika usianya belum genap 20 tahun. Dia lalu berkelana ke berbagai tempat dan meninggal dunia di Marseille pada 10 November 1891, ketika berusia 37 tahun karena menderita sinovitis dan kanker di lutut kanannya.[5][6][7]

Dalam cetakan kedua terjemahan bahasa Indonesia ini, dilakukan beberapa penyuntingan untuk mengikuti perkembangan kaidah penulisan bahasa Indonesia, misalnya konteks "di mana" untuk terjemahan "where" diganti menjadi "tempat". Selain itu, penyuntingan lainnya adalah beberapa salah kaprah yang murni kesalahan penerjemah, seperti ejaan "zaman", "hafal", dan "apa pun".[8] Antologi ini sendiri merupakan terjemahan atas terjemahan. Teks bahasa aslinya dalam bahasa Prancis awalnya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Suzanne Bernard dan Andre Guyaux di Rimbaud Ouvres. Teks terjemahan bahasa Inggris ini kemudian diterbitkan di situs Mag4.net dengan judul A Season in Hell. Selain puisi panjang Semusim di Neraka, antologi terjemahan tersebut juga memuat puisi Rimbaud yang lain, yaitu Kapal Mabuk yang berbentuk soneta dan Masa Kanak yang berbentuk naratif, serta disertai biografi tentang dirinya untuk mempermudah pembaca mengenalinya. Buku ini barangkali adalah yang pertama dan satu-satunya di Indonesia yang memuat karya Rimbaud secara tunggal.[9]

Ismanto berpendapat bahwa karya tersebut berbobot dari segi filsafat maupun sastra.[10] Dia mendekati karya ini pertama-tama sebagai sebuah karya prosa agar lebih mudah menyampaikan makna kebahasaan dalam bahasa Indonesia dan menyisihkan sama sekali persoalan aspek kebahasaan. Menurutnya, isi di balik makna kebahasaan itu (meta-semantik atau meta-metafora), sebagaimana dalam semua puisi, tentu saja harus disusun sendiri oleh pembaca berdasarkan penafsiran atas makna kebahasaan itu sendiri.[9] Dia menambahkan bahwa penerjemahan atas karya ini akan lebih bagus jika dilakukan secara langsung dari teks bahasa Prancis. Paling tidak, selisih antara teks bahasa Prancis dan terjemahannya di dalam bahasa Indonesia tidak sebesar selisih antara teks bahasa Indonesia dengan teks bahasa Inggris yang telah lebih dahulu diterjemahkan dari teks bahasa Prancis.[11]

Bentuk puisi

Halaman sampul Une Saison en Enfer cetakan pertama tahun 1873 dalam bahasa Prancis.

Antologi puisi ini adalah karya terakhir Rimbaud karena puisi-puisinya yang lain dalam Illuminations ditulis sebelum Semusim di Neraka, meskipun diterbitkan belakangan oleh Verlaine. Antologi tersebut awalnya hendak diterbitkan sebagai buku untuk umum. Namun, dikarenakan kekurangan dana atau Rimbaud sendiri yang sudah meninggalkan puisi dan sastra, karyanya ini hanya tersimpan di gudang percetakan hingga 1901.[12]

Sebelum Semusim di Neraka, Rimbaud memang pernah menulis karya yang gayanya mirip dan kemudian dikumpulkan dalam antologi Illuminations dan Phrases. Kalimat-kalimatnya disusun seperti prosa, tetapi memberikan efek pembacaan seperti puisi, misalnya intensifikasi pencerapan panca indra. Namun jauh sebelumnya, dia telah menulis sajak-sajak "konvensional", baik yang berbentuk kuatrin maupun soneta.[13] Dia menulis puisi sejak kecil, tetapi catatan karier pertamanya dimulai ketika berumur 13 tahun, yaitu ketika dia mengirimkan puisi berjumlah 16 baris dan berbahasa Latin kepada Napoleon Bonaparte. Ada catatan bahwa Napoleon menerima puisi tersebut, tetapi hilang masyarakat tidak dapat mengetahui isinya.[14]

Bentuk puisi prosa dalam Semusim di Neraka yang lebih cair sebenarnya sudah diisyaratkan dalam Drunken Boat (Kapal Mabuk).[15][16] Kuplet-kuplet dalam puisi 100 baris itu disusun sebagai kuatrin yang rimanya teratur dan larik-lariknya ditulis dengan prinsip persajakan yang dikenal sebagai Alexandrine. Dengan demikian, menurut Ismanto, puisi ini dapat dianggap "bergaya lama".[13]

Dalam Kapal Mabuk, Rimbaud mengumpamakan dirinya sebagai sebuah kapal yang pasrah kepada gelombang laut. Hal ini dapat dimaknai bahwa dia akhirnya menyerahkan bentuk perpuisiannya kepada "gelombang" isi yang hendak disampaikannya. Bentuk puisi prosa yang sangat cair dianggap lebih cocok dalam mengungkapkannya, dikarenakan "gelombang" isi itu adalah gerak jiwa remajanya.[13]

Tema

Bagi Rimbaud sendiri, puisi tersebut merupakan kesimpulan dari pencariannya. Puisinya itu mengalir dengan plot metafora-alegori dan berisi sarkasme maupun otokritik terhadap dirinya sendiri serta lingkungan sosialnya.[16][17] Puisinya dapat bertahan lama juga disebabkan karena kebeliaan usianya dalam membuat sarkasme.[18] Sarkasme kepada bangsa dan dirinya sendiri menjadi semacam "cambukan" agar seseorang bisa yakin menatap masa depan. Hal tersebut merupakan semacam kebiasaan psikologis bahwa seseorang yang diejek oleh orang lain biasanya akan lebih bersemangat lagi untuk memperbaiki kehidupannya dia akan bangkit dan berjuang serta membuktikan jika ejekan itu tidak benar.[19][20]

Sarkasme ini dapat dilihat dalam salah satu penggal puisinya berikut.[21]

Aku betul sadar bahwa aku selalu berasal dari ras inferior. Aku tak paham pemberontakan. Rasku tak pernah bangkit, kecuali untuk menjarah: seperti serigala mencabik-cabik hewan buas yang tak dibunuhnya.[21]

Tanggapan

Arthur Rimbaud dan Paul Verlaine. Keduanya merupakan pasangan sesama jenis.

Penyair awal yang menanggapi puisi-puisi Rimbaud adalah Verlaine sendiri. Ketika keduanya bertemu, Rimbaud masih berusia 17 tahun, sedangkan Verlaine berusia 27 tahun. Verlaine merupakan penyair tersohor saat itu.[22] Dia kagum setelah membaca Le Bateau Ivre (Kapal Mabuk) yang ditulis Rimbaud.[4] Dia kemudian mengundangnya datang ke Paris pada September 1871 ketika Pemberontakan Commune de Paris telah usai. Dia menulis "ayo sayang sekali hai jiwa besar, anda diundang, kami menunggu anda!"[22]

Rimbaud tiba di Paris tanggal 15 September 1871 dan diperkenalkan sebagai seorang sastrawan. Dia lantas diterima dengan baik oleh para penyair pada zamannya.[22] Verlaine kemudian mengajaknya tinggal serumah bersama istrinya. Hubungan keduanya awalnya seperti saudara, tetapi lama-kelamaan berubah menjadi percintaan dengan latar kehidupan hedonis Paris.[14] Ketika putranya lahir, Verlaine meninggalkan keluarganya untuk hidup bersama Rimbaud. Keduanya hidup sebagai penulis dalam kehidupan penuh kemelut di London dan Brussel.[22]

Setelah hidup bersama selama 18 bulan, hubungan mereka berakhir setelah Verlaine yang sedang mabuk dan histeris menembak lengan Rimbaud sebanyak dua kali. Rimbaud lantas kembali ke Charleville-Mézières dan menyelesaikan Semusim di Neraka puisi yang membuka jalan bagi para penyair modern pada abad ke-20, sedangkan Verlaine dipenjara di Mons (Belgia).[22][23] Kumpulan puisi itu terbit pada 1873 di Brussels, tetapi sebagian besar isinya menumpuk di gudang percetakan hingga 1901. Barulah pada 1895, Verlaine menerbitkannya dengan lengkap.[4]

Pengaruh

Hingga tahun 2020, karya ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia selain oleh Ismanto sendiri kemungkinan belum diterjemahkan secara utuh, meskipun beberapa penyair Indonesia fasih berbahasa Prancis. Ismanto mengatakan bahwa mereka seperti tidak tergerak untuk menerjemahkan dan menerbitkan hasil terjemahannya itu. Kemungkinan lain adalah mereka telah menerjemahkannya, tetapi konsumsinya hanya untuk kalangan sendiri karena mereka menyadari bahwa karya ini memang akan "rusak" jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.[24]

Rumah Dinas Wali Kota Salatiga, tempat Arthur Rimbaud desersi di Salatiga.
Peringatan kedatangan Arthur Rimbaud di Rumah Dinas Wali Kota Salatiga.

Apa pun alasan ketiadaan teks terjemahannya dalam bahasa Indonesia, karya ini penting tidak hanya bagi karier kepenyairan Rimbaud yang relatif singkat (sekitar empat atau lima tahun), tetapi juga bagi perkembangan kesusasteraan Prancis dan dunia. Semusim di Neraka dianggap sebagai salah satu karya awal puisi bebas.[4][15] Bentuk puisi prosa di dalamnya awalnya digunakan oleh Charles Baudelaire dan Stéphane Mallarmé sebelum dilanjutkan dalam Semusim di Neraka.[24] Puisi ini berpengaruh bagi para penyair dan seniman pada masa selanjutnya, mulai dari Patti Smith, André Breton, hingga Jim Morrison.[19][24][25]

Puisi-puisi Rimbaud, termasuk Semusim di Neraka, hingga kini telah dikenal oleh masyarakat luas. Puisi-puisinya juga mengantarkannya "kembali" ke Indonesia. Dia dikenal publik Indonesia paling tidak sejak 1970-an, yaitu ketika Wing Kardjo menerbitkan buku terjemahan sajak Prancis-nya. Dalam buku tersebut, diterjemahkan pula puisi Rimbaud yang berjudul Impian Musim Dingin, sebuah puisi erotis yang disusun dalam bentuk soneta. Pengaruh perpuisiannya dalam karya sastra Indonesia yang paling kentara adalah di dalam sajak Pahlawan Tak Dikenal karya Toto Sudarto Bachtiar. Perbandingan sajak itu dapat dilihat dengan The Sleeper in the Valley karya Rimbaud.[26]

Rimbaud sendiri memang pernah berada di Indonesia (saat itu masih bernama Hindia Belanda), tepatnya di Kota Salatiga.[27][28] Dia berusia 22 tahun ketika mendaftarkan diri sebagai serdadu Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL), yang akan dikirim ke Hindia Belanda pada 18 Mei 1876.[29][30] Jean Rocher dan Iwan Santosa dalam buku Sejarah Kecil Indonesia-Prancis 1800–2000 turut membahas mengenai perjalanan Rimbaud di Jawa. Keduanya menjelaskan bahwa durasinya ketika berada di Indonesia sangat pendek karena dia melakukan desersi. Pada 2 Agustus 1876, dia dan para serdadu tiba di Semarang, tetapi mereka kemudian melarikan diri dengan kereta api karena melihat kekejaman kolonialisme.[31] Mereka lantas tiba di Stasiun Tuntang (saat itu Jenderal Janssens telah menandatangani kapitulasi dari pasukan Prancis-Belanda kepada jenderal Inggris bernama Auchmuty) dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.[27] Mereka dapat memasuki barak di Kota Salatiga dalam waktu dua jam dan akhirnya singgah di Rumah Dinas Wali Kota Salatiga.[31] Pada 15 Agustus 1876, Rimbaud tidak hadir dalam apel pagi dan dinyatakan hilang pada 30 Agustus 1876.[29] Dia diam-diam kabur dengan memakai pakaian biasa supaya tidak mudah dikenali dan meninggalkan seragamnya di tangsi Salatiga.[5] Dia lantas berjalan kaki dari Salatiga ke Semarang yang berjarak sekitar 48 kilometer. Tak ada catatan yang menjelaskan secara detail caranya bisa kembali ke Eropa.[32][33] Namun satu hal yang pasti, demi menghindari aparat Belanda, mau tidak mau dia harus naik kapal non-Belanda.[29] Setidaknya, menjelang tahun baru 1877 atau tanggal 31 Desember 1876, dia sudah berada di rumah keluarganya, yaitu di Charleville-Mézières.[34][35]

Lihat pula

Rujukan

  1. ^ History.com (tanpa tanggal). "French Poet Arthur Rimbaud is Born". A & E Television Networks. Diakses tanggal 23 Juni 2020. 
  2. ^ Academy of American Poets (tanpa tanggal). "Arthur Rimbaud". Academy of American Poets. Diakses tanggal 22 Juni 2020. 
  3. ^ Graphic Arts Collection (29 November 2014). "A Season in Hell". Graphic Arts Collection (Special Collections, Firestone Library, Pricenton University). Diakses tanggal 22 Juni 2020. 
  4. ^ a b c d Kurnia (2019), hlm. 46
  5. ^ a b Rocher & Santosa (2013), hlm. 124
  6. ^ Kurnia (2019), hlm. 47
  7. ^ Robb (2001), hlm. 440–441
  8. ^ Rimbaud (2020), hlm. 17
  9. ^ a b Rimbaud (2020), hlm. 8
  10. ^ Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta (8 Mei 2013). "Malam Perjamuan Sastra (MPS): Diskusi Dua Buku Terjemahan". Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Diakses tanggal 16 Juni 2020. 
  11. ^ Rimbaud (2020), hlm. 8–9
  12. ^ Rimbaud (2020), hlm. 6–7
  13. ^ a b c Rimbaud (2020), hlm. 7
  14. ^ a b Normanda, Nosa (5 September 2013). "Remeh-Temeh Rimbaud". Indo Progress. Diakses tanggal 22 Juni 2020. 
  15. ^ a b Davies-Mitchell, Margaret C. (tanpa tanggal). "Arthur Rimbaud". Encyclopaedia Britannica. Diakses tanggal 22 Juni 2020. 
  16. ^ a b Djokosujanto, dkk (2020), hlm. 157–159
  17. ^ Miller (1962), hlm. 119
  18. ^ Fowlie (1966), hlm. 44
  19. ^ a b Poetry Foundation (tanpa tanggal). "Arthur Rimbaud". Poetry Foundation. Diakses tanggal 22 Juni 2020. 
  20. ^ Fowlie (1966), hlm. 44–45
  21. ^ a b Rimbaud (2020), hlm. 28
  22. ^ a b c d e Rocher & Santosa (2013), hlm. 119
  23. ^ Islam, Putri Ainur (3 November 2017). "Petualangan Arthur Rimbaud, Menjadi Penyair yang Disegani Hingga Berkarier di Dunia Penyelundupan Senjata". Okezone. Diakses tanggal 23 Juni 2020. 
  24. ^ a b c Rimbaud (2020), hlm. 9
  25. ^ Kurnia (2019), hlm. 38
  26. ^ Rimbaud (2020), hlm. 13
  27. ^ a b Rohman (2020), hlm. 116
  28. ^ Mason (2003), hlm. 17–22
  29. ^ a b c Matanasi, Petrik (10 November 2019). "Arthur Rimbaud, Penyair Prancis yang Jadi Desertir KNIL di Jawa". Tirto.id. Diakses tanggal 22 Juni 2020. 
  30. ^ Dorleans (2006), hlm. 474
  31. ^ a b Rocher & Santosa (2013), hlm. 123
  32. ^ Thamrin, Mahandis Yoanata (5 April 2019). "Adakah Hubungan Antara Salatiga, Arthur Rimbaud, dan Soekarno?". National Geographic Indonesia. Diakses tanggal 22 Juni 2020. 
  33. ^ Patnistik, Egidius (29 April 2012). "Gila-Gilaan Orang Hutan: Arthur Rimbaud di Jawa". Kompas. Diakses tanggal 23 Juni 2020. 
  34. ^ Iqbal, Muhammad (22 Maret 2020). "Desersi Sang Penyair Arthur Rimbaud". Historead. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-10-21. Diakses tanggal 23 Juni 2020. 
  35. ^ Dorleans (2006), hlm. 478

Daftar pustaka

Buku

  • Djokosujanto, Apsanti, dkk (2020). Pengarang Prancis Sepanjang Masa Abad XV–XXI. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. ISBN 978-602-4339-92-0. 
  • Dorleans, Bernard (2006). Orang Indonesia dan Orang Prancis: Dari Abad XVI Sampai dengan Abad XX. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 978-602-4245-68-9. 
  • Fowlie, Wallace (1966). Rimbaud: Complete Works, Selected Letters. Chicago: University of Chicago Press. ISBN 978-022-6719-73-3. 
  • Kurnia, Anton (2019). Ensiklopedia Sastra Dunia. Bantul: Diva Press. ISBN 978-602-3916-62-7. 
  • Mason, Wyatt (2003). Rimbaud Complete. New York: Modern Library. ISBN 978-037-5757-70-9. 
  • Miller, Henry (1962). The Time of the Assassins: A Study of Rimbaud. New York: New Directions Publishing. ISBN 978-081-1201-15-5. 
  • Rimbaud, Arthur (2020). Semusim di Neraka. Yogyakarta: Penerbit Jualan Buku Sastra. ISBN 978-623-9216-58-0. 
  • Robb, Graham (2001). Rimbaud. London: Pan Macmillan. ISBN 978-033-0488-03-7. 
  • Rocher, Jean; Santosa, Iwan (2013). Sejarah Kecil Indonesia-Prancis 1800–2000 (Petite Histoire de L'Indonesie et du Francais). Jakarta: Kompas. ISBN 978-979-7097-67-7. 

Jurnal

Pranala luar