Rantak Kudo
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Februari 2023. |
Rantak Kudo merupakan sastra lisan Minangkabau yang terdapat di Lubuak Gadang di Rao Utara dan Langsek Kadok di Rao Selatan, Pasaman. Sastra lisan ini berupa kegiatan berpantun lepas diiringi suara rebano dan saluang yang mana pantun-pantun yang dibacakannya tidak mementingkan kesatuan cerita, tetapi mementingkan apresiasi berpantun.[1] Tujuan Rantak Kudo pada awalnya untuk mencari jodoh bagi para tukang dendangnya. Meski demikian, tujuan Rantak Kudo berubah menjadi hiburan ketika ditampilkan kembali tahun 2001 setelah sejak 1974 tidak pernah ditampilkan. Tradisi lisan ini terancam punah di Lansek Kadok karena umumnya hanya orang berusia di atas 30 tahun yang mengetahui tradisi ini.[2]
Asal mula
[sunting | sunting sumber]Asal mula rantak kudo diyakini berasal dari perselisihan antarnagari di Minangkabau. Ketika itu, tiap nagari di Minangkabau memiliki raja (penghulu). Perselisihan tersebut berujung pada meninggalnya salah satu raja dari salah satu nagari ketika ia sedang berburu. Ia meninggal karena jejaknya ditikam[3] oleh raja lainnya dengan keris sakti. Meninggalnya sang raja menyebabkan istrinya meratapi kematiannya. Ketika ia meratap, rentak kuda (bahasa Minangkabau: rantak kudo) dari kandang mengiringi kesedihannya. Karena ratapan istrinya itu berbentuk pantun dan diiringi oleh rentak kuda, maka tradisi ini disebut Rantak Kudo.[4]
Pertunjukan
[sunting | sunting sumber]Rantak Kudo dimainkan setidaknya oleh 2 tukang dendang, 1 laki-laki dan 1 perempuan. Tukang dendang laki-laki harus bujangan atau perjaka sementara tukang dendang perempuan harus gadis atau perawan. Jika tukang dendang hanya dua, tukang dendang laki-laki juga bertindak sebagai pemain rebano dan saluang. Jika tidak, biasanya terdapat penabuh rebano sendiri dan peniup saluang sendiri selain dua tukang dendang tadi. [4]
Pertunjukkan Rantak Kudo dimulai dengan pembukaan, setelah itu dilanjutkan permohonan maaf dan permintaan izin pada ninik mamak. Pada inti acara, pantun diawali oleh tukang dendang perempuan, lalu kemudian dibalas oleh tukang dendang laki-laki.[5]
Bahasa yang digunakan dalam Rantak Kudo adalah bahasa Minangkabau dialek Rao, khususnya logat Langsek Kadok. Meski demikian, kadang kala Rantak Kudo ditampilkan dengan campuran bahasa Minangkabau, bahasa Melayu, dan bahasa Mandailing.[2]
Rantak Kudo dianggap tradisi yang beradab, sehingga biasanya dipertunjukkan di rumah-rumah penduduk atau rumah gadang, bukan di lapangan. Pertunjukkan ini pun tidak dipentaskan pada acara perkawinan, tetapi dipentaskan pada acara-acara adat seperti pengangkatan raja atau penghulu.[6] Tiap nagari memiliki kebanggaan bila dapat menampilkan Rantak Kudo.[4]
Pertunjukkan ini dimulai setelah Isya, kira-kira pukul 9 malam, hingga sebelum subuh, kira-kira pukul 4 pagi.[5]
Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ Amir, Zuriati & Anwar 2006, hlm. 134-135.
- ^ a b Amir, Zuriati & Anwar 2006, hlm. 136.
- ^ Kepercayaan orang Minangkabau dahulu bahwa kesaktian manusia pada zaman itu dapat membuat manusia mampu membunuh musuhnya hanya dengan menikam jejaknya menggunakan keris sakti.
- ^ a b c Amir, Zuriati & Anwar 2006, hlm. 135.
- ^ a b Amir, Zuriati & Anwar 2006, hlm. 137.
- ^ Amir, Zuriati & Anwar 2006, hlm. 136-137.
Referesi
[sunting | sunting sumber]- Amir, Adriyetti; Anwar, Khairil (2006). Pemetaan Sastra Lisan Minangkabau. Padang: Andalas University Press. ISBN 979109708-9.