Lompat ke isi

Gara-Gara Rasamala

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Penulis

[sunting]

Penulis adalah Fatimah Salsabila Azzahra kerap disapa Zahra. Selain bekerja sebagai karyawan di sebuah institusi pendidikan di Yogyakarta, Indonesia, Zahra juga sesekali menulis cerita anak di laman pribadinya, Dongeng Sebelum Tidur, dan membacakan cerita-cerita yang ia tulis pada siniar pribadinya dengan judul yang sama di Spotify. Cerita ini diunggah untuk mengikuti Kompetisi Proyek Yuwana[1] kategori cerita pendek anak.

Premis

[sunting]

Suatu malam Kepala Desa datang ke rumah Kukuh dan kakeknya bersama seorang pria dari kota. Pria itu, Pak Suwito, bermaksud membangun sebuah sekolah di desa itu, tepatnya di atas lahan yang ditumbuhi pohon Rasamala tinggi yang dirawat oleh Ki Nawang, kakek Kukuh. Pak Suwito membujuk Ki Nawang supaya diperbolehkan menebang pohon Rasamala itu, namun Ki Nawang malah memberinya sebuah syarat.

Lakon

[sunting]
  1. Kukuh: anak laki-laki usia 9 tahun, cucu semata wayang yang tinggal berdua dengan kakeknya
  2. Nawang: lelaki tua usia 75 tahun. Beliau lahir dan besar di Desa Kembang hingga dianggap sebagai salah satu tetua di desa tersebut
  3. Suwito: investor kaya dari kota usia 55 tahun yang ingin membangun sekolah di Desa Kembang
  4. Kuswan: Kepala Desa Kembang usia 50 tahun. Pribadi yang baik dan mudah tidak enak hati
  5. Tari: pengusaha pewangi ruangan dari damar rasamala

Latar

[sunting]

Masa kini di Desa Kembang (fiktif)

Cerita Pendek

[sunting]

Laki-Laki Kaya dari Kota

[sunting]

Aku baru saja mencoba memejamkan mata saat tiba-tiba pintu rumah kami diketuk. Terdengar suara Pak Kuswan, kepala desa, menyusul ketukan pelan itu. “Permisi, Ki Nawang!” Kakek sepertinya sudah tertidur karena beliau tidak kunjung menyahut. Aku segera turun dari tempat tidur dan membuka pintu.

“Nak Kukuh, kakekmu ada?” meski nampak terkantuk-kantuk, Pak Kuswan menyapa dan bertanya dengan ramah. Ia tidak datang sendiri, seorang laki-laki seusianya dan berpakaian rapi berdiri di sampingnya.

Tak lama kakek muncul dan menyambut. Rupanya lelaki yang bersama Pak Kuswan adalah tamu dari kota. Namanya Pak Suwito, seorang investor terkenal di kota. Entah apa itu investor, tetapi Pak Kuswan menyebutnya berkali-kali. “Saya memiliki rencana untuk membangun sekolah di kawasan ini, Pak Nawang. Saya rasa, tempat ini sangat tepat untuk membangun sekolah yang bagus dengan fasilitas yang lengkap, dan sehat untuk anak-anak. Maksud saya, lihat desa ini, Pak,” terang Pak Suwito bersemangat. Pak Suwito memang tidak salah, desa tempat tinggalku ini memang sejuk dan menyenangkan. Udaranya bersih dan segar, bebas dari polusi kendaraan. Tanamannya pun beragam dan segar.

“Bayangkan cucu bapak bisa bersekolah di sekolah yang bagus, dengan fasilitas olahraga yang lengkap! Ada kolam renang, lapangan berkuda, perpustakaan luas. Kau suka bukan, Nak…Kukuh?” kini Pak Suwito menatapku dengan senyuman lebar. Tentu saja! Siapa yang tidak mendambakan sekolah sekeren itu! Apalagi jika dekat dengan rumahku!

Kakek mengangguk-angguk mendengarnya. “Terdengar baik sekali itu, Pak Suwito. Lalu, apa yang bisa kubantu?” tanya kakek halus.

“Saya sudah memperkirakan lokasi yang paling tepat, yakni di halaman luas depan rumah Pak Nawang. Saya dengar, lahan itu milik desa, namun pohon besar yang di tengah itu, Pak Nawang yang merawat, benar?” tanya Pak Suwito memastikan. Kakek mengangguk, “Benar, aku dulu yang menanam pohon Rasamala itu.”

“Pak Kuswan menyampaikan jika saya ingin menggunakan lahan itu, saya harus meminta izin pada Pak Nawang untuk menebang pohon itu. Apakah diperbolehkan?” Pak Suwito terdengar berbicara dengan hati-hati. “Ditebang?” kakek balik bertanya seolah tak yakin.

“Iya, Pak Nawang, pohon itu perlu ditebang supaya sekolah bisa dibangun. Tenang saja, saya akan siapkan uang sebagai pengganti kerugian bapak, bahkan jika kerugian itu tidak ada,” Pak Suwito mengeluarkan sebuah koper. Seperti di film yang kutonton bersama teman-teman, kuduga isinya adalah uang yang dijanjikan beliau untuk kakek.

Kakek tersenyum, “Aku tidak memikirkan sepeser uang pun saat membesarkan Rasamala itu. Jadi, tidak perlu repot-repot. Aku akan mempertimbangkannya, tapi ada satu syarat,” ujar kakek. Pak Suwito dan Pak Kuswan saling bertatapan. “Syarat apa, Pak?” tanya Pak Suwito.

“Aku ingin Pak Suwito untuk tinggal di sini bersamaku dan cucuku. Membantuku mengurus kebun. Bagaimana? Satu pekan saja.” Mendengarnya, Pak Kuswan terbelalak kaget, “Aduh, Ki, apa… Apa tidak memberatkan Pak Suwito, Ki?”

“Baik, Pak Nawang. Saya… Saya akan berada di sini membantu bapak,” sahut Pak Suwito pelan. “Anda yakin, Pak Suwito?” Pak Kuswan memastikan dengan cemas. “Yakin, Pak. Tidak apa-apa. Sekolah Impian ini adalah proyek yang saya pegang sendiri dengan sungguh-sungguh. Saya ingin memperjuangkannya,” jawab Pak Suwito mantap.

Suasana Baru

[sunting]

Sudah dua hari sejak malam itu Pak Suwito menginap di rumah kami. Beliau tidur di kamarku karena rumah kami hanya ada dua kamar tidur. Pak Suwito sangat baik meski sesekali beliau membicarakan hal-hal tentang kota yang aku tidak terlalu mengerti.

Pak Suwito cukup cekatan membantu kakek. Seharian kemarin, beliau membantu kakek menanam bibit sawi di dekat pohon. Pak Suwito tampak senang dan menikmati suasana di desa. Baginya ini adalah suasana baru yang menarik.

“Kau kelas berapa, Kuh?” tanya Pak Suwito saat kami memilih tomat untuk dipetik di kebun. “Kelas tiga, Pak,” jawabku. “Nanti kalau sekolah yang baru sudah jadi, pindah saja ke sekolahku itu. Ku gratiskan. Kau hobi apa saja nanti kami beri fasilitas juga,” janji Pak Suwito. Hatiku rasanya ingin melompat riang mendengarnya. Sekolahku yang saat ini memang menyenangkan, guru-gurunya baik dan teman-teman sekelasku juga tidak ada yang nakal. Tetapi, jarak dari rumah ke sekolah cukup jauh dan perpustakaan kami juga tidak punya banyak koleksi buku terbaru.

Aku jelas mendukung kehendak Pak Suwito yang ingin membangun sekolah di sini, namun aku juga tahu bahwa tidak mudah bagi kakek untuk melepas pohon Rasamala kecintaannya itu. Bagaimana pun, aku memikirkan harapan dan kehendak kakekku sendiri juga.

Duar!

Tiba-tiba suara petir terdengar. Rupanya hujan akan segera turun. Aku cepat-cepat membereskan alat berkebun sementara Pak Suwito mengangkat keranjang besar yang penuh dengan tomat segar. “Aduh, sudah hujan ini! Ayo, Kukuh, kamu duluan saja. Tidak perlu menunggu saya, nanti kehujanan,” kata Pak Suwito. Aku pun berlari masuk ke dalam rumah sementara Pak Suwito menyusul sambil menerjang hujan yang mulai deras.

Hujan tak lama reda, namun rupanya kini Pak Suwito menggigil kedinginan. Beberapa kali ia bersin disusul batuk-batuk kecil. “Wah, sepertinya Pak Suwito masuk angin. Sudah ku masakkan air panas. Dipakai saja untuk mandi, lalu istirahat,” kata kakek.

Keesokan harinya Pak Suwito nampak lebih sehat. Flu nya sudah hilang. Tetapi tidak dengan batuknya. “Uhuk! Uhuk!” Pak Suwito batuk berkali-kali hingga hampir tersedak.

“Silahkan dinikmati sup khusus buatanku. Semoga bisa membantu meredakan tenggorokan Pak Suwito,” ujar kakek sembari menyuguhkan semangkuk sup hangat untuk sarapan. Pak Suwito pun berterima kasih dan menikmati sup buatan kakek.

“Hm, ini lezat sekali, Pak Nawang. Menghangatkan tenggorokan dan perut saya juga. Sup apa ini?” tanya Pak Suwito. Kakek tersenyum, “Itu sup daun rasamala,”

Pak Suwito mengernyit, “Tapi… daunnya terlihat berbeda, Pak,” ujarnya heran. “Harus pakai daun yang muda, bukan yang hijau tapi yang merah. Itu daun yang masih muda. Itu bagus untuk batuk bapak yang belum sembuh,” terang kakek.

Benar saja, selepas kami salat Zuhur, batuk Pak Suwito tidak separah tadi pagi. Kini beliau siap untuk diajak kakek berkunjung ke rumah tetangga. Seperti biasanya, setiap hari Rabu kakek selalu berkunjung ke rumah Bu Tari untuk mengantar damar rasamala. Aku senang bermain ke rumah Bu Tari karena sangat nyaman dan wangi.

“Bau apa ini, Kukuh? Kau pakai parfum?” bisik Pak Suwito saat kami menginjakkan kaki di depan rumah Bu Tari. “Aih, akhirnya datang juga, Ki Nawang,” sambut Bu Tari. “Pak Suwito, perkenalkan, ini Bu Tari. Beliau ini setiap hari membuat pewangi ruangan untuk dijual di kota juga. Bu Tari ini hebat, karyawannya saja sudah empat!” puji kakek.

“Ah, Ki Nawang bisa saja. Tanpa damar rasamala yang aki bawakan, kami tidak bisa berjalan,” sahut Bu Tari tersenyum. Kemudian beliau mengajak Pak Suwito melihat-lihat proses pembuatan pewangi ruangan.

“Sejak kapan Bu Tari punya bisnis pewangi ruangan ini? Kenapa saya tidak banyak menjumpai di kota, ya. Wangi nya enak sekali. Khas!” kata Pak Suwito bersemangat. “Saya hanya meneruskan usaha keluarga dari turun temurun, Pak. Sejak dulu, nenek dan ibu saya membuat wewangian dari damar rasamala. Memang sekarang selain kami kirim ke kota, ada permintaan ke luar negeri juga. Jadi mungkin bapak tidak melihat banyak tersedia di kota,” terang Bu Tari.

“Bapak lihat ibu itu?” Bu Tari menunjuk ke seorang wanita paruh baya yang dengan uletnya merapikan botol-botol pewangi yang akan dikemas. “Namanya Mbok Imas. Sudah lama suaminya meninggal karena sakit. Bersyukur usaha kami ini dapat membantunya tetap bertahan hidup dan berpenghasilan. Entah apa jadinya kalau Ki Nawang berhenti mengirimkan damar dan kami tidak bisa membuat wewangian lagi….” lirih Bu Tari.

Pak Suwito terdiam, entah apa yang ia pikirkan.

Keputusan Besar

[sunting]

“Karena sudah akhir pekan, saya rasa ini waktu yang tepat untuk berpamitan,” Pak Suwito membuka suara di tengah sarapan pagi kami hari Minggu. “Soal pohon Rasamala, saya mengurungkan niat untuk menebangnya, Pak,” lanjut Pak Suwito pelan.

Aku terkejut, tidak jadi ditebang? Berarti tidak akan ada sekolah baru?

“Aku belum memberi izin boleh atau tidak, tetapi Pak Suwito memilih tidak melanjutkannya. Ada apa?” tanya kakek.

“Ya, saya rasa pohon Rasamala di depan rumah Pak Nawang dan Kukuh bukan sekadar pohon biasa. Pohon itu, bukan hanya memberi manfaat buat saya ketika sakit, juga penghidupan masyarakat di desa ini, termasuk mereka yang bekerja pada Bu Tari. Saya tidak pernah berpikir sejauh itu. Saya rasa saya tidak akan mampu menebangnya,” jelas Pak Suwito dengan raut wajah yang ikhlas.

Kakek mengangguk-angguk seolah memahami. Pak Suwito kemudian berpamitan. Sementara aku masih merasa kesal dan kecewa karena harapanku untuk pindah ke sekolah yang bagus kini sirna. Bukannya aku tidak senang kalau pohon Rasamala itu tetap ada, tapi aku sudah terlanjur terbayang-bayang akan sekolah baru yang bagus itu.

Setelah dua bulan Pak Suwito berpamitan, tiba-tiba kakek jadi sibuk bertelepon dengan beliau sejak semalaman. Entah apa yang dibicarakan tetapi katanya akan ada kabar baik. Bahkan esok Pak Suwito akan berkunjung kembali.

Aku jadi tidak sanggup memejamkan mata memikirkan hari esok. Akankah pohon Rasamala kami akhirnya ditebang? Akankah sekolah baru jadi dibangun?

Pagi tiba. Aku bergegas mandi dan sarapan, padahal ini hari Minggu. Setelah membantu kakek mengambil telur ayam di kandang, aku mendengar deru mobil.

Tidak hanya mobil, dua truk besar turut menyusul di belakang. “Kukuh!” Pak Suwito melambaikan tangannya dari mobil. Kakek dan Pak Kuswan sudah menyambut di depan pintu. Pak Suwito kemudian menjabat tangan kakek dan mengelus kepalaku, “Kamu jadi pindah ke sekolah yang baru, ya!”

Mendengarnya, aku sungguh terkejut. Namun melihat pohon Rasamala yang menjulang tinggi di hadapanku, perasaanku jadi mendadak tidak enak. “Lalu, bagaimana dengan pohon itu, Kek?” bisikku pada kakek.

“Tidak perlu khawatir. Sekolah baru ini akan benar-benar menyenangkan dan tidak perlu ada pohon yang ditebang!” kata Pak Suwito meyakinkan.

Rupanya setelah berpikir matang, Pak Suwito memutuskan untuk kembali dengan ide sekolah alam. Beliau ingin, sekolah yang ia bangun tidak hanya memberikan kenyamanan saja untuk siswa-siswi nya, melainkan pembelajaran dan pembiasaan untuk bersahabat dan melestarikan alam.

Pak Suwito mengajak kakek untuk turut mengajari siswa-siswi berkebun dan mengenal tanaman. Tentu kakek sangat senang! Banyak warga desa yang terlibat. Putri sulung Pak Kuswan yang baru tamat kuliah bahkan menjadi guru dan juru dongeng. Setiap hari ia mendongeng untuk para siswa di bawah pohon Rasamala. Siswa-siswi juga diberi kesempatan untuk belajar sekaligus membantu Bu Tari membuat pewangi ruangan dari damar rasamala.

Tidak kusangka aku tetap bisa bersekolah di sekolah yang menyenangkan tanpa harus kehilangan pohon yang jadi tumpuan kami. Aku sungguh bahagia dan bersyukur.

  1. Wikibuku:Proyek Yuwana