Cinta di Balik Duka
Cinta di Balik Duka
Oleh: Rizqatus Sholehah
“Hidup itu kejam, kamu harus kuat”, itu adalah petuah yang sering diucapkan bulik Eha. Usianya kisaran 40-an tahun, tapi janganlah dibandingkan dengan rupa Song Hye-Kyo yang masih bening semampai. Waktu masih muda, bulik orang pekerja keras, kerja apapun ia lakukan, asalkan halal katanya. Buruh sepatu, buruh cuci, buruh amplop, sampai buruh makcomblang pun sudah dia jalankan.
Sampailah takdir mempertemukan dengan pendamping hidupnya di usianya yang masih belasan. Lantas, apakah takdirnya langsung berubah drastis seperti sinetron di televisi. Sialnya adalah bulik bukan cinderela seperti di drama televisi, yang setelah menikah hidupnya jadi mujur. Tambah keras beban hidupnya setelah menikah. Yang dulu hanya mengurus hidupnya sendiri, sekarang haruslah mengurus suami dan anak-anak.
Tapi, nasib siapalah yang tahu. Sekarang bulik sudah jadi bos besar dari usaha sayur. Banyak orang kata, orang kerja di pasar itu tergolong orang miskin. Padahal asal tahu saja, orang yang kerjanya di pasar, duitnya terkadang lebih banyak daripada orang yang kerja di kantoran. Salah satunya adalah bulik Eha. Siapa yang sangka bulik yang lulusan SD, mampulah sekolahkan anak sampai sarjana.
Namanya Eha
[sunting]Namanya Eha, anak bulik satu-satunya. Pintar nian Eha, entah otaknya dibuat dari apa. Kalau anak lain perlu dikasih pupuk dulu biar tumbuh subur. Eha berbeda, tak perlu ditambah pupuk, cukup siram air, dia sudah subur. Bulik tak pernah daftarkan Eha les seperti kawan-kawannya, tak pernah pun belikan buku yang mahal-mahal. Paling buku bekas atau buku diskonan di toko buku. Tapi, memang benar nasib si anak itu mujur. Dari SMP sampai kuliah pun dia selalu mendapat sekolah favorit. Di kelas pun pastilah ia dapat ranking 10 besar.
Jangankan pandai di kelas, Eha ini aktif dalam berbagai kegiatan. Seringlah dia jadi ketua kepanitiaan. Perangainya halus, kulitnya kuning langsat, senyumnya membuat semua bujang terpikat. Jangan ditanya soal agama, Eha itu gadis muslim yang taat. Beda dengan parangai ibunya yang agak kebrangasan, lelaki manapun akan sungkan jika berhadapan dengan Eha.
Kata orang, Eha mirip dengan bapaknya. Wajar bulik dan paklik adalah sepasang kekasih yang saling melengkapi. Ibarat kata bulik itu matahari, paklik bulannya.
Ian
[sunting]Pada suatu sore hari datanglah bujangan tampan, badannya tinggi, dadanya tegap, dan wajahnya aduhai membuat gadis-gadis di kampung mendadak mabuk terpikat. Bujangan ini namanya Ian. Usut punya usut Ian adalah teman kuliahnya Eha. Tak pernah sekalipun Ian datang ke rumah waktu kuliah dulu. Baru setelah 2 tahun lulus kuliah, Ian datang ke rumah Eha.
“Walaikumsalam, siapa ini? Mau cari siapa kamu?” Tanya bulik Eha di depan pintu rumah, dengan menatap bingung bujangan tampan itu.
“Saya Ian bu, teman Eha kuliah dulu. Saya mau bertemu Eha,” Mengulurkan tangan untuk meminta salim ke bulik.
“Eha-nya nggak ada di rumah, dia pergi ke kampung sebelah bantu saya nagih utang ke pelanggan sayur.” Sahut bulik Eha.
“Oh, inggih saya akan tunggu sampai Eha pulang, ada yang mau saya bicarakan dengan Eha.” Jawab santun Ian.
“Monggo, kalau mau menunggu, saya buatkan teh dulu. Kamu duduk di kursi sini.”
Batin bulik, bujangan itu mungkin punya maksud penting dengan Eha. Suara adzan maghrib terdengar, decitan pintu rumah itu berbunyi seakan-akan mengisyaratkan ada orang yang akan membuka pintu. Benar, gadis jelita dengan kerudung biru itu masuk ke rumah. Betapa kagetnya ketika ia melihat kawan kuliahnya dulu yang sudah 2 tahun tanpa kabar.
Dengan santun, Eha menyapa Ian, masuklah dia ke dalam, melepas jaketnya dan memberikan uang tagihan ke ibunya. Dia mengangkat gelas teh yang dibuat ibunya tadi, dan meletakkannya di atas nampan. Tatapannya ke bulik mengisyaratkan biar Eha yang memberikan ke bujangan itu.
Bulik mengintip pola dua insan itu di balik lubang tabir pembatas ruangan. Bersyukurlah bulik melihat dua orang itu yang menjaga jarak, tak lihat ada maksud nafsu antara keduanya. Bujangan laki itu memberikan sebuah amplop cokelat besar ke Eha, sambil menahan air mata menatap wajah gadis manis itu.
Eha mengintip amplop cokelat itu dan menutupnya kembali. Bulik masih asyik mengintip dua pemuda itu, sampai tak sadar suaminya ikut mengintip di sebelahnya. Paklik sangat bingung melihat tingkah istrinya yang lupa kalau dia dulu juga pernah muda.
“Hei, daripada kau mengintip, lupakah sekarang jam berapa, sudah waktunya maghrib, ayo sholat jama’ah. Panggil Eha sama temennya itu suruh sholat sekalian.” Bisik paklik di samping bulik Eha.
Bulik mendatangi Eha dan Ian, menyuruh mereka berdua sholat sekalian di mushola kecil dalam rumah. Setelah wudhu, tanpa disadari Ian, paklik menyuruhnya menjadi imam sholat. Wajah Eha memerah, untuk pertama kalinya ia diimami oleh lelaki selain bapaknya.
Tak disangka, suara lantunan surat yang dibacakan Ian membuat hati makmumnya tersentuh. Suaranya sangat halus, iramanya sangat merdu. Dalam hati bulik, bulik bergumam suara Ian lebih baik daripada suara suaminya. Setelah salam ditorehkan, Ian mempersilakan paklik memimpin do’a bersama.
Setelah semua membereskan mukena dan sarung, paklik tanpa ragu-ragu bertanya maksud kedatangan Ian. Tangan yang semula hangat itu seketika menjadi dingin gemetar. Pikiran Ian menjadi kalut tak karuan. Entah pertanyaan yang sesederhana itu, seakan-akan menjadi pertanyaan yang sulit untuk dijawab.
Suasana menjadi hening sejenak. Tak hanya paklik, bulik pun ikut menatap Ian dengan penuh penasarn. Seketika, gadis yang awalnya diam itu tiba-tiba membuka suara sembari menatap Ian.
“Biar nanti Eha yang menjelaskan ke bapak ibu, mas Ian sepertinya ada keperluan yang harus diselesaikan,” menggenggam tangan ibunya dan menatapnya dengan sendu.
Semuanya tampak berdiri di depan pelataran, mengantarkan Ian yang segera pergi meninggalkan rumah itu. Tatapan Ian tertuju pada Eha. Tatapannya sangat dalam, seperti ingin mengucapkan perpisahan yang sangat panjang kepada gadis jelita itu. Eha pun juga membalas tatapannya dengan mencoba menahan air mata. Kedua insan itu pun segera membalikkan punggung menuju arahnya masing-masing.
Di ruang tamu, Eha duduk termenung sejenak sambil melirik amplop cokelat itu yang ditinggalkannya di sofa. Diambilnya amplop itu, dan perlahan ia berjalan ke kamar. Paklik mencoba menahan lengan bulik yang sepertinya ingin mengejar Eha. Paklik menatap bulik, mengisyaratkan bahwa mereka harus menunggu jawabannya untuk saat ini.
Di kamar, dibukanya amplop cokelat itu. Isinya hanya 2 lembar kertas. Kertas pertama berupa lembar copyan dan yang kedua adalah selembar surat tulisan tangan dari Ian. Dibacanya dengan perlahan tulisan Ian yang sangat rapi itu. Tak sengaja air mata Eha mulai menetes dan kemudian mengalir dengan derasnya. Gadis itu menangis sesenggukan, sampai dadanya terasa sesak dan susah untuk bernapas.
Bulik ingin membuka pintu kamar Eha, tapi setelah menguping dari luar terdengar Eha menangis, niat itu pun dirungkan. Mungkin benar kata suaminya, saat ini membiarkan Eha sendiri itu jawaban yang lebih baik. Ada rasa sakit yang mungkin diderita anaknya itu saat ini.
Ketika Pertemuan Itu Datang
[sunting]Pagi cerah seperti biasanya, tapi bedanya kicauan burung Pak Amar itu tak terdengar. Burung itu menjadi lantunan musik setiap pagi di kampung. Kicauannya sangat nyaring, tapi mendengarnya mengingatkan semua orang untuk selalu bersemangat. Tak jarang juga banyak warga kampung yang ikut memberi makan, termasuk keluarga bulik. Tak ada kicauan burung Pak Amar, menjadikan suasana kampung ada yang kurang, tak ada gairah seperti biasanya.
Seperti biasa, bulik mencatat dagangan sayur di toko miliknya. Bulik adalah tengkulak sayuran di kampung, semua hasil panen dari petani antar desa disetorkan ke bulik. Dan setiap pagi selalu ada orang yang mengambil puluhan kilo sayuran bulik untuk disalurkan ke pasar-pasar. Sisa sayuran yang tidak diambil oleh para distributor itu, dijual bulik eceran di toko, biasanya dibeli orang sekitaran kampung untuk lauk pauk setiap hari.
Usai kuliah di kota, Eha memutuskan menjadi guru di kampung. Dia membangun sekolah setingkat SD bersama kawan-kawannya sekampung yang juga lulusan sarjana. Gajinya mungkin tidak terlalu besar, tapi bagi Eha kebermanfaatan jauh lebih bermakna daripada gaji. Andaikata dia mau melamar di perusahaan ternama, mungkin dia juga akan diterima, otak dan perangainya tak bisa diragukan.
Setiap pagi Eha biasanya membantu ibu dan bapaknya menyiapkan dagangan sayur. Tapi pagi ini Eha tak keluar dari kamarnya. Bulik yang merasa khawatir, mulai mencoba mengetuk pintu kamar Eha. Kalut pikirannya, bulik tak tahu sebab gerangan apa yang membuat putrinya seperti ini. Tak disangka, pintu kamar Eha sebenarnya tidak terkunci. Dibukanya pintu itu dengan perlahan, dan terlihat Eha yang sedang duduk tenang di atas kasur fokus membaca buku yang tebalnya hampir 5 cm.
Bulik tahu kebiasaan unik anak gadisnya itu. Kalau anak lain, setelah nangis pasti akan tidur. Tapi Eha berbeda, setelah nangis dia pasti akan baca buku sampai lupa waktu. Mata Eha masih terlihat sembab, mungkin karena semalaman dia begadang untuk menangis. Sampai tak sadar, kalau ibunya sudah duduk di sampingnya, Eha masih asyik membaca buku. Bulik mendeham, sontak saja Eha terkaget karena sang ibu tiba-tiba di sampingnya.
Bulik memegang tangan Eha dengan lembut. Dipeluknya anak tersebut dengan sangat hangat.
“Jika Eha nggak bisa untuk cerita, tak usah diceritakan. Tapi jika terasa sakit, mari bagi sakit itu ke ibu,” kata bulik sambil menepuk perlahan punggung Eha.
“Jerman. Adakalanya janji tidak bisa dipegang. Kepercayaan antara manusia juga tak bisa selalu ada. Ibu, seseorang yang kutunggu memilih pergi meninggalkan. Padahal, setiap pagi aku selalu menanti kabarnya, sampai aku lupa bahwa sebenarnya ada seseorang yang lebih menanti dan menyayangiku, seperti ibu dan bapak,” Eha menangis terisak di pelukan ibunya. Penantian yang selalu ia pendam, kini akhirnya keluar dari mulutnya.
Setelah perasaannya tenang, perlahan Eha berjalan menghampiri meja belajarnya, mengambil amplop cokelat itu. Dibukanya amplop cokelat itu, dan diberikan ke ibunya selembar surat dari Ian. Bulik membaca setiap kata yang ditulis Ian. Tak disangka, rupa yang terlihat begitu ramah itu ternyata berhasil menuliskan kalimat yang menyakitkan hati putrinya.
Ian yang dikira bulik datang melamar Eha, ternyata hanya datang untuk mengucapkan kalimat perpisahan dan juga mengumumkan pernikahannya dengan wanita lain. Usai membaca surat dari Ian, Eha menunjukkan lembar copyan yang diberikan Ian. Karena lembaran itu berbahasa inggris, Eha coba menjelaskan apa maksud dari lembaran tersebut. Lembaran tersebut adalah surat dari pimpinan perusahaan tempat Ian bekerja, isinya tentang penunjukkan Ian sebagai kepala cabang perusahaan di Munich, Jerman.
Entah apa yang ada di pikiran Ian, hingga akhirnya dia melanggar janji yang ia buat dengan Eha dua tahun tahun yang lalu. Ian berjanji akan melamar Eha setelah dia mendapat pekerjaan yang stabil. Ian adalah kakak tingkat selisih dua tahun di atas Eha. Sebelum perpisahan itu dimulai, Ian berjanji kepada Eha bahwa dia akan melamar Eha tepat dua tahun setelah Eha lulus kuliah. Tapi, janji itu bagi Eha sekarang hanya sebuah ucapan kosong yang tiada punya arti.
Bulik menatap Eha dengan penuh kesedihan. Ia melihat putrinya yang untuk pertama kalinya menangis karena cinta. Eha tak pernah bercerita apapun tentang kisah percintaannya. Dia hanya bercerita tentang sekolah dan teman-temannya. Eha adalah gadis yang selalu tersenyum. Dia hanya akan menangis ketika ibu dan bapaknya yang sakit.
Bulik menyadari satu hal, bahwa selama ini dia belum memahami Eha seutuhnya. Apa yang dia pikirkan dan apa yang dia nantikan. Mungkin, setiap hari Eha selalu menderita kesakitan karena penantian yang tak kunjung datang. Jika disuruh memilih lelaki mana yang Eha suka, pasti Eha bisa langsung memilihnya sebagai suami. Banyak jejaka muda yang mengantre melamar Eha, tapi tak satupun yang Eha terima. Kesetiaannya pada Ian terus ia jaga, walaupun selama 2 tahun itu tak ada kabar apapun dari Ian.
Bulik menghapus air mata anaknya dengan tangannya. Memeluk kembali putri tunggalnya itu.
“Menangislah jika ingin, jangan ditahan. Hatimu mungkin sangat sakit saat ini, tapi percayalah waktu yang akan menyembuhkan. Tetaplah kuat dan selalulah sehat Eha, putri kesayanganku,”
Flashback Dua Tahun Lalu
[sunting]“Aku ingin seperti jaman dulu mas, kita hanya berkabar lewat surat, itu lebih romatis menurutku. Aku akan kembali ke kampung membangun sekolah impianku. Mas Ian kejarlah karir yang mas Ian mau, selama itu baik aku akan mendukungmu,” Sahut Eha saat wisuda sarjananya kepada Ian yang buru-buru datang dari Jakarta ke Surabaya.
Ian sudah lulus kuliah 2 tahun tahun yang lalu. Setelah lulus dia langsung mendapatkan tawaran pekerjaan di perusahaan multinasional. Ian sengaja tidak melamar Eha langsung walaupun saat itu secara finansial dia sudah mapan. Ian ingin memberikan kebebasan Eha untuk mencapai mimpinya membangun sekolah impian di kampung. Waktu dua tahun bagi Ian adalah waktu yang Eha butuhkan untuk merintis. Kedua insan itu saling mendukung dan berbagi motivasi.
Setelah menghadiri wisuda Eha, Ian kembali lagi ke Jakarta untuk melanjutkan pekerjaannya. Namun, satu hari setelah ia sampai di Jakarta, tetangga di kampungnya menelepon Ian mengabari bahwa ayah Ian telah meninggal dunia. Sontak saja Ian terjatuh, lemas tak berdaya. Orang tua satu-satunya yang sangat ia sayangi telah tiada.
Saat itu juga Ian kembali ke kampung halamannya dan mengabaikan semua tanggung jawabnya di kantor. Ian tidak berpikir panjang apa yang akan terjadi dengan urusannya di kantor. Setelah urusan pemakaman selesai, ia segera kembali ke Jakarta melanjutkan tanggung jawabnya di kantor.
Masalah kembali datang, sebagai seorang manager keuangan, Ian harus mempertanggungjawabkan upaya korupsi yang dilakukan oleh bawahannya. Beberapa staff bawahannya diduga melakukan transaksi hitam dalam setiap proyek. Masalah juga bertambah saat proyek yang menjadi target divisinya gagal dilakukan, padahal surat perjanjian kerjasama sudah disetujui oleh berbagai pihak.
Untuk pertama kalinya, dia tak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Bahkan, berhari-hari dia tidak bisa tidur. Emosinya tidak bisa ia kontrol. Sampai pada suatu titik, dia secara tidak sadar berdiri di atas gedung dan ingin saja menjatuhkan dirinya dari lantai tertinggi di gedung itu. Beruntung pimpinan perusahaan itu melihat Ian yang sudah mulai tidak waras, sehingga tindakan bodoh itu dia urungkan.
Pimpinan perusahaan itu sangat menyayangi Ian seperti anaknya sendiri. Masalah yang dialami Ian juga sangat membuat terenyuh pimpinan tersebut. Hingga pada suatu ketika pimpinan itu berkata, “Ian, aku sangat menyayangimu sama seperti menyayangi anak sendiri. Kau tahu aku tidak pernah menikah, dan tak mungkin juga mempunyai keturunan. Aku dengar beberapa bulan ini tugasmu berantakan. Aku tidak akan menyalahkanmu. Aku selalu melihat rekapan medismu dari beberapa psikiater kenalanku. Kau butuh lingkungan baru. Perusahaan ini akan membangun kantor cabang di Munich. Disana aku juga punya kawan dokter hebat untuk mengobati penyakit mental. Pergilah ke sana,”
“Apakah Anda menyuruh saya menjadi pimpinan cabang dalam kondisi mental saya yang seperti orang gila ini?” Sahut Ian dengan matanya yang memerah.
“Apakah kau anggap aku gila hingga merekrut orang gila sepertimu? Aku melihat potensi yang ada dalam dirimu. Dan ini yang bisa kubantu untukmu. Kau membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyembuhkan lukamu itu. Di jerman ada orang kepercayaanku yang bisa membantumu di sana. Setelah sembuh kau pimpin cabang baru itu,”
Seketika pembicaraan itu mengingatkan janjinya kepada Eha dua tahun setelah Eha lulus akan ia lamar. Tapi, sepertinya janji itu terlalu berat dan sulit bagi Ian. Ia tak ingin membuat orang yang ia cintai memikul beban berat karena bersama dengan orang yang tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri.
Puluhan surat yang dikirim Eha ia baca, ia balas, tetapi balasannya tidak pernah ia kirimkan. Nomor hp dan kontak apapun itu sudah ia ganti dengan yang baru. Ian berharap, Eha sudah tak memikirkannya lagi. Tapi, tetap janji ia akan datang 2 tahun setelah Eha lulus kuliah, walaupun hanya untuk mengucapkan perpisahan kepada Eha.
Penulis
[sunting]bisa dikunjungi di situs website