Ada yang Hilang
Sinopsis
[sunting]Seorang lelaki paruh baya menyesali perbuatannya di masa lalu. Dia mengenang, semasa muda tidak memikirkan dampak dari pembukaan lahan untuk perkebunan sawit di desanya. Bardi, seorang lelaki paruh baya, kini sudah mengetahui dampak buruk dari pembukaan lahan itu. Penyesalannya menjadi pelajaran berharga bagi Korie, anak satu-satunya yang selalu menemani Bardi sejak kematian istrinya.
Tema
[sunting]Perubahan Iklim dan Kemanusiaan
Sasaran
[sunting]Untuk usia 17 tahun ke atas.
Tokoh
[sunting]- Bardi Tokoh Utama
- Korie Anak Bardi
Latar Tempat
[sunting]Danau Sembuluh, Desa Lanpasa, Kec. Seruyan Raya, Kabupaten Seruyan, Provinsi Kalimantan Tengah .
Penafian
[sunting]Cerita ini hanya fiktif belaka meski menggunakan latar tempat yang nyata. Jika ada kesamaan nama tokoh, atau pun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
Isi Cerita
[sunting]
Pergi Memancing
[sunting]Semilir angin mengusik ketenangan dedaunan yang sedang menikmati usia senja. Dedadunan itu tetap tegar dan tak goyah meski warnanya telah memudar. Mereka mengenang semasa hijau, ketika hidupnya masih menabur kesegaran untuk alam raya.
Angin berhembus kencang lalu mematahkan tangkai daun tua yang rapuh itu. Dia terjatuh melayang-layang mengikuti aliran gaya gravitasi. Kenangan pun semakin memudar seiring dengannya yang semakin mendekati permukaan air.
"Korie, ada yang ingin aku sampaikan kepadamu." Lelaki paruh baya itu memulai pembicaraannya kali ini. Seperti biasa, setiap sore setelah ashar Bardi dan anaknya, Korie pergi memancing di danau Sembuluh yang berada di ujung desa tempat tinggal mereka. Setelah seharian memanen buah Sawit, memancing menjadi hiburan yang biasa dilakukan penduduk di desa itu.Danau Sembulah adalah danau terbesar di Kalimantan Tengah, terletak di tiga desa yang semuanya masuk wilayah Kecamatan Seruyan Raya, Kabupaten Seruyan. Salah satu desanya adalah Desa Lanpasa yang batas desanya berbatasan langsung dengan bibir danau.
"Ada cerita apa, Ayah? Sepertinya ada hal penting yang ingin Ayah sampaikan." Korie menjawab, sambil melemparkan kail yang sudah diisi umpan dari potongan daging ayam. Dia menggunakan umpan itu dengan harapan bisa mendapatkan ikan Toman yang dia lihat sedang melongok ke permukaan kemarin sore.
"Kamu tahu, akhir-akhir ini udara terasa seperti di neraka."
"Ah, Ayah. Seolah pernah merasakan api neraka saja." tukas Korie bercanda.
"Bukan, maksudku, suhu udara naik dengan drastis mengikuti harga BBM. Kau tahu apa sebabnya?" Bardi bertanya dengan candaan khasnya.
"BBM naik mungkin karena terjadi kelangkaan atau permainan politik. Ah, itu urusan orang yang di atas. Kalau suhu naik, tentu karena sekarang sudah memasuki musim kemarau, yah." Jawab Korie sambil memandang ujung pancing yang mulai bergerak. Sepertinya umpannya mulai menarik perhatian ikan.
Korie menjadi teman sehari-harinya Bardi setelah istrinya meninggal. Dia adalah anak laki-laki satu-satunya. Meski usia Korie masih remaja, Bardi menganggapnya sebaya karena pemikiran dia yang dewasa. Oleh karena itulah Bardi sering mengajaknya berbicara masalah yang bertema berat.
"Kau benar, Korie. Sekarang memang sudah memasuki musim kemarau. Tapi, kau tidak melihat di berita kalau suhu global tahun ini meningkat drastis? Dan juga hawa panas kemarau tahun ini rasanya lebih menyengat dari tahun kemarin." Bardi pun mulai serius.
"Ya, Ayah. Memang apa yang hendak kamu sampaikan sebenarnya?"
Sebelum Bardi sempat menjawab, Korie merasakan umpan dipancingnya mulai dimakan. Dia lalu memberikan sedikit tarikan, dan tiba-tiba, sesuatu besar menarik umpannya dengan kuat.
"Wah, ikan Toman sepertinya ini!" ucap Korie dengan mata berbinar.
Tali pancingnya mulai tertarik keluar, menghentak di atas permukaan air. Korie tahu bahwa ini bukanlah pertarungan biasa. Ia bertekad untuk menangkap ikan tersebut, memacu adrenalinnya semakin tinggi karena harapannya hari ini seolah akan terwujud.
Korie memutar tuas gulungan pancingnya secara perlahan. Setiap putarannya terasa seperti pertarungan sengit dengan sang ikan. Tali pancingnya menari-nari di atas air seperti seorang penari ronggeng yang sedang menari di atas panggung.
"Malam ini makan besar, kita!" ucap Bardi dengan semangat sambil melihat perjuangan Korie menaklukan ikan.
Beberapa saat kemudian, Korie berhasil mendekatkan ikan ke permukaan air. Mata mereka berdua berbinar melihat ikan Toman yang akhirnya takluk. Ikan itu cukup besar. Mungkin beratnya sekitar sepuluh kilogram. Korie dengan cekatan mengangkat ikan besar itu ke pinggir danau.
Bardi melupakan pembicaraan tentang udara panas yang sedang melanda. Hari beranjak senja. Mereka berdua pun pergi meninggalkan tepian danau yang membayang cahaya matahari berwarna jingga.
Di Beranda Rumah
[sunting]Rintihan binatang malam seperti mendendangkan sebuah lagu kepedihan. Mereka menyanyikan lagu tentang alam yang telah kehilangan keasriannya. Dahulu desa ini sejuk, kini terkena dampak ketamakan manusia. Nyanyian itu menggetarkan jiwa, membawa pesan bahwa bumi sudah tidak baik-baik saja.
Setelah kenyang menikmati buruannya di danau sore tadi, malam ini Bardi terhenyak dalam lamunan penyesalannya. Ingatan tentang masa lalu membayangi pikirannya. Dia merasa telah ingkar sebagai manusia dengan tugas suci dari Tuhan untuk merawat bumi.
"Korie, soal pembicaraan sore tadi. Aku sungguh serius ada hal penting yang harus aku sampaikan kepadamu.” Bardi menghentikan lamunannya. Bagi dia, berlarut-larut dalam penyesalan hanya akan membuat kebenaran yang telah ia temukan tidak berguna.
“Apalagi, Ayah? Aku kira sudah selesai pembahasan tentang udara yang seperti neraka itu.”
Meskipun jawabannya seolah tidak ingin melanjutkan pembicaraan sore tadi, Korie tidak bisa memendam rasa penasarannya. Dia ingin tahu, hal apa yang hendak disampaikan oleh orang tua ini. Korie menghormati ayahnya. Meski umur mereka berbeda tiga puluh tahun, Korie menganggap ayahnya sebagai teman bicara yang seru.
“Kenaikan suhu global yang kita rasakan akhir-akhir ini, salah satunya adalah ulahku, Rie.” Dengan nada bersalah, Bardi mulai menyampaikan kebenaran yang telah ia temukan.
“Kenapa bisa begitu yah? Memangnya apa yang telah ayah lakukan?”
“Dulu desa ini sangat asri. Ada banyak pohon di samping rumah kita. Tanah yang menjadi tempat kita mencari makan ini, dulunya adalah hutan yang sejuk. Aku mempelopori penduduk desa yang lain menebangi pepohonan itu untuk dijadikan kebun Sawit. Pepohonan itu dibabat habis tanpa menyisakan satu pun lalu kami mengeringkan air yang menggenang agar bisa ditanami pohon Sawit. Kamu tahu dampaknya apa?" Bardi mulai bercerita tentang awal mula pembukaan lahan sawit di desanya.
“Apa dampaknya, Yah?”
“Mengeringkan air tanah di lahan gambut dan mengalihfungsikan hutan menjadi kebun itu tentu meningkatkan emisi gas rumah kaca. Sama halnya dengan meningkatkan suhu global.” Bardi memperbaiki posisi duduk lalu menyeruput kopi sebelum melanjutkan perkataannya. “Bayangkan, Korie. Setiap tahun, milyaran pohon di dunia ini ditebang. Berapa banyak emisi gas rumah kaca yang terbentuk?”
Korie berusaha keras untuk mencerna perkataan ayahnya. Seperti biasa, Bardi selalu membahas hal-hal berat kepada anaknya yang baru berusia lima belas tahun. Kecerdasannya yang di atas rata-rata membuat Korie lebih nyambung jika diajak membahas hal yang berat.
“Dampak terbesarnya adalah perubahan iklim. Lalu, musim tidak menentu, udara terasa sangat panas, dan dampak terbesar adalah wabah penyakit yang menjangkit lima tahun yang lalu. Penyakit baru yang membuat ibumu harus pulang lebih awal.” Bardi menundukkan kepalanya, merasa seolah dia adalah manusia paling berdosa dan bertanggung jawab atas kematian istrinya.
“Ayah, tidak perlu berlarut-larut dalam penyesalan. Bukankah Ayah yang selalu mengajarkan kepadaku kalau masa lalu adalah pelajaran yang berharga untuk mempersiapkan masa depan? Mengapa Ayah sendiri yang tidak bisa menjalani pelajaran itu?” Korie mencoba menghibur Bardi dengan kata-kata yang sering dia dengar darinya.
Malam semakin larut. Semilir angin malam yang sejuk membelai wajah mereka berdua yang sedang menikmati percakapan di beranda rumah. Cahaya bulan terlihat samar, terhalang oleh pepohonan sawit yang menjulang tinggi di tepi ladang. Korie terhenyak dalam pikirannya. Dia mencoba menerka perkataan ayahnya dan menghubungkan dengan pelajaran yang dia peroleh di sekolah.
"Kenapa manusia melakukan hal ini, Yah? Guru di sekolah bilang bahwa manusia seharusnya merawat bumi. Apakah mereka sadar bahwa perbuatannya itu telah merusak bumi ini?" Pertanyaan Korie memecah keheningan.
"Manusia punya kecenderungan unik, Rie. Manusia hidup dengan bekerja untuk memenuhi kebutuhannya. Tetapi, banyak manusia tidak pernah puas dengan hal itu. Mereka memiliki hasrat yang semakin besar. Ada orang yang dengan keji melakukan kejahatan demi hasratnya terpenuhi. Mereka mencuri, merusak, bahkan merampas dari yang lain. Dan yang lebih parah, mereka tidak menyadari perbuatannya itu. Termasuk diriku dulu ketika membabat hutan di desa ini. Waktu itu yang ada dipikiranku hanya ingin menjadi petani sawit yang sukses dan hidup nyaman bersama anak istri. Tetapi, kenyataannya aku salah." jawab Bardi masih dengan ekspresi penyesalannya.
"Lalu, apa yang bisa kita lakukan, Ayah?"
Bardi memandang ke arah langit. Memandangi gemerlap pantulan sinar bulan di pelepah sawit yang seolah menari-nari menyapa Bardi.
“Kamu tahu, Korie, hidup ini tidak hanya tentang mengambil, tetapi juga tentang memberi. Alam ini memberikan kita begitu banyak keindahan dan sumber daya. Tapi sayangnya, banyak orang yang hanya mengambil keuntungan darinya.” jawab Bardi.
Korie memeluk kedua kakinya sambil mengangguk sepakat setelah memikirkan kata-kata ayahnya.
“Kita bisa melakukan sebaliknya. Kita harus hidup dengan memberi kepada bumi. Dengan perbuatan-perbuatan kecil yang berdampak besar. Seperti, memberi pemahaman kepada orang lain tentang dampak buruk merusak bumi.” Bardi kemudian terdiam dan menatap Korie dengan tatapan yang dalam.
“Kamu paham, Rie. Hidup bukan hanya tentang memenuhi hasrat pribadi, tetapi tentang menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar. Kita tidak hidup sendirian di bumi ini. Benar apa yang dikatakan gurumu itu. Kita sebagai manusia berkewajiban merawat bumi. Itu berarti kita berkewajiban merawat hubungan baik dengan sesama makhluk yang hidup di bumi. Sesama manusia kita harus saling tolong menolong dan dengan makhluk yang lain kita harus merawatnya.”
“Ya, Ayah.” Korie mengiyakannya.
“Tujuan hidup dari manusia adalah mencapai kebahagiaan. Dan kebahagiaan sejati hanya ada ketika kita saling berbagi. Namun, ada yang hilang. Kita sendiri telah kehilangan diri sebagai manusia yang sejati.” Bardi mengakhiri kata-katanya. Dia lalu menghabiskan tegukan terakhir kopi yang sudah dingin itu dan berdiri mengajak Korie untuk beristirahat.
Malam semakin larut, dan Korie belum juga beranjak dari beranda rumah. Suasana tenang malam itu bertolak belakang dengan pikirannya. Korie masih tenggelam pada kata-kata ayahnya yang begitu dalam. Kata-kata itu terus bergejolak memenuhi setiap sudut pikirannya, menjadi sebuah refleksi mendalam tentang tanggung jawabnya sebagai manusia terhadap alam dan sesama.
Daftar Istilah
[sunting]Istilah | Arti |
---|---|
Gambut | Gambut adalah jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang setengah membusuk; oleh sebab itu, kandungan bahan organiknya tinggi. |
Suhu Global / Pemanasan Gobal | Pemanasan global (bahasa Inggris: global warming) juga disebut perubahan iklim atau krisis iklim adalah suatu proses meningkatnya suhu rata-rata udara, atmosfer, laut, dan daratan bumi. |
Penulis bernama pena Aksata Kivandra yang lahir di wilayah kecil di Provinsi Jawa Tengah. Aktivitas sehari-harinya sekarang adalah bekerja. Dia menyukai penjelajahan, perjalanan, dan eksplorasi hal-hal yang baru. Pernah juga bekerja di perkebunan sawit di Kalimantan Tengah sebagai pemanen. Dengan pengalaman penjelajahannya itu dia menemukan cerita-cerita menarik yang kemudian di tulis di buku hariannya. Menulis merupakan salah satu kegemaran dari beberapa kegemaran yang dijalaninya.