Academia.eduAcademia.edu

Humor Dalam Rambu Lalu Lintas

2019, Widyaparwa

This study discusses about humor in traffic signs. This study discusses three issues, namely the theme of signs, the structure of discourse signs, and the strategy of creating humor. The study is eclectic by utilizing a structural approach and a pragmatic approach. Structural approach to describing the structure of the discourse in order to accommodate humor. Pragmatic approach to describe the theme of signs and strategies for creating humor. This study is qualitative descriptive. Data in the form of humorous traffic signs. Data is obtained by using the refer method, annotated recording technique. Annotations are imposed on the discourse elements that are not in the form of text, for example photos, ornaments, font size, layout. The listening is done online on sites that upload humorous traffic signs. Data that was originally in the form of memes was transcribed by following standard writing rules. After selection, the data used amounted to 31. Based on the study, it was concluded t...

HUMOR DALAM RAMBU LALU LINTAS*) HUMOR IN TRAFFIC SIGNS Edi Setiyanto Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta Jalan I Dewa Nyoman Oka 34, Yogyakarta, Indonesia (Naskah diterima tanggal 20 Oktober 2018, direvisi terakhir tanggal 20 Desember 2018, dan disetujui tanggal 4 Januari 2019) Abstrak Kajian ini membahas humor dalam rambu lalu lintas. Kajian ini membahas tiga permasalahan, yaitu tema rambu, struktur wacana rambu, dan strategi penciptaan humor. Kajian bersifat eklektik dengan memanfaatkan pendekatan struktural dan pendekatan pragmatik. Pendekatan struktural untuk mendeskripsikan struktur wacana demi terakomodasinya humor. Pendekatan pragmatik untuk mendeskripsikan tema rambu dan strategi penciptaan humor. Kajian ini bersifat kualitatif deskriptif. Data berupa wacana rambu lalu lintas yang berunsurkan humor. Data diperoleh dengan menggunakan metode simak, teknik catat beranotasi. Anotasi dikenakan pada unsur wacana rambu yang tidak berupa teks, misalnya foto, ornamen, ukuran huruf, tata letak. Penyimakan dilakukan secara online atas situs-situs yang mengunggah rambu lalu lintas berunsur humor. Data yang semula berupa meme ditranskrip dengan mengikuti kaidah penulisan yang baku. Sesudah diseleksi, data yang digunakan berjumlah 31. Berdasarkan kajian, disimpulkan bahwa unsur humor dalam rambu lalu lintas terwujud karena kekhasan struktur wacananya. Humor terbangun karena adanya pelanggaran terhadap (1) maksim kualitas, (2) maksim relevansi, dan (3) maksim cara. Pelanggaran terhadap maksim cara berkenaan dengan pelanggaran terhadap submaksim (a) kelangsungan, (b) ketakambiguan, dan (c) ketakberlebihan. Kata kunci: prinsip kerja sama, implikatur, gaya bahasa, dialek sosial Abstract This study discusses about humor in traffic signs. This study discusses three issues, namely the theme of signs, the structure of discourse signs, and the strategy of creating humor. The study is eclectic by utilizing a structural approach and a pragmatic approach. Structural approach to describing the structure of the discourse in order to accommodate humor. Pragmatic approach to describe the theme of signs and strategies for creating humor. This study is qualitative descriptive. Data in the form of humorous traffic signs. Data is obtained by using the refer method, annotated recording technique. Annotations are imposed on the discourse elements that are not in the form of text, for example photos, ornaments, font size, layout. The listening is done online on sites that upload humorous traffic signs. Data that was originally in the form of memes was transcribed by following standard writing rules. After selection, the data used amounted to 31. Based on the study, it was concluded that the element of humor in traffic signs was realized due to the peculiarities of the structure of the discourse. Humor is built because there is a violation of (1) the maxim of quality, (2) the maxim of relevance, and (3) the maximal way. Violation of the maxim of the way regarding violations of submaxim (a) continuity, (b) lack of triviality, and (c) lack of excess. Keywords: principles of cooperation, implicature, styles, social dialect *) Makalah ini telah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Kebahasaan dan Kesastraan, Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta, 26 dan 27 September 2018. Humor dalam Rambu-rambu Lalu Lintas 99 1. Pendahuluan Rambu lalu lintas adalah bagian dari perlengkapan jalan yang memuat lambang, huruf, angka, kalimat dan/ atau perpaduan di antaranya, yang digunakan untuk memberikan peringatan, larangan, perintah dan petunjuk bagi pemakai jalan (https://id.Wikipedia.org/wiki/Rambu_lalu_lintas). Rambu lalu lintas diatur menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 13 tahun 2014 (Menteri Perhubungan, 2014). Berdasarkan peraturan itu, rambu lalu lintas dibuat dengan ukuran, pemasangan, dan spesifikasi teknis lainnya secara baku seperti contoh (1) dan (2) berikut. (3) Rambu peringatan (4) Rambu larangan (1) Peringatan rawan longsor (2) Perintah kurangi kecepatan Di dalam perkembangannya dijumpai rambu lalu lintas dengan gaya yang lain. Gaya itu berkenaan dengan cara penyampaian yang humoris dan informal, terutama melalui penghadiran kalimat penjelas yang sifatnya mengomentari pesan inti. Contoh untuk itu dapat dilihat pada data (3) dan (4) berikut. Pada (3) kesan informal dan humor tecermin melalui tuturan penjelas Woles Bro yang dapat diartikan ‘Pelan Bung’. Kesan informal dan humor itu selaras dengan penggunaan ragam yang sifatnya gaul, tetapi diterapkan dalam penggunaan yang sifatnya resmi. Seperti (3), pada (4) kesan informal dan humor terwujud melalui tuturan penjelas Valentino Rossi pernah jatuh di sini. Informasi itu memunculkan humor mengingat tak adanya bukti yang memadai bahwa Rossi pernah melewati jalan tersebut, apalagi sampai terjatuh. Menurut penulis, humor pada rambu lalu lintas tadi layak dikaji karena keunikan bahasa dan prinsip-prinsip pragmatiknya. Dari sisi lain, sepengetahuan penulis, belum ada kajian yang secara khusus membahas humor dalam rambu lalu lintas. Kajian yang ada ialah kajian mengenai humor seperti yang dilakukan oleh Sudarsono (2017) dengan judul “Diskreditisasi dan Resis- 100 Widyaparwa, Volume 46, Nomor 2, Desember 2018 tansi Jomblo yang Terepresentasi dalam Wacana Meme Humor”, Listiyorini (2017) dengan judul “Wacana Humor dalam Meme di Media Online sebagai Potret Kehidupan Sebagian Masyarakat Indonesia”, Tiani (2017) dengan judul “Strategi Pragmatik dalam Penciptaan Humor di Televisi”, dan Resticka (2017) dengan judul “Pemanfaatan Aspek Kebahasaan Bentuk Kata Tuturan Humor dalam Karikatur”. Menurut Sudarsono (2017: 419), humor dalam meme jomblo menggambarkan “perang ideologi”. Satu kelompok mendiskreditkan; kelompok yang lain membela. Berbeda dengan Sudarsono, Listiyorini (2017: 76) menyimpulkan bahwa meme humor di media online Indonesia ibarat cermin yang menggambarkan masalah sosial, politik, hukum, dan agama. Meme humor itu disusun untuk tujuan menyindir, menyarankan, atau gabungan menyindir dan menyarankan. Humor dalam meme-meme itu memanfaatkan aspek fonologis dan semantis. Terakhir, menurut Tiani (2017: 50), humor di televisi dalam acara Waktu Indonesia Bercanda diwujudkan dengan membangun kesalahpahaman, kecohan, ejekan, dan permainan bunyi. Melengkapi temuan tiga pengkaji sebelumnya, ditambahkan oleh Resticka (2017: 48--50) bahwa humor pada karikatur juga dibangun melalui pemanfaatan aspek fonologi, terutama dalam bentuk peninggian dan pemanjangan bunyi serta onomatope. Kemungkinan itu sesuai dengan kedistingtifan bunyibunyi secara sintak-matik. Berdasarkan paparan tadi, diketahui bahwa belum ada kajian yang membahas humor dalam rambu lalu lintas. Sehubungan dengan itu, pada kesempatan ini penulis mengkaji permasalahan tersebut dengan judul “Humor dalam Rambu Lalu Lintas”. Permasalahan yang dibahas dalam kajian ini meliputi (1) tema rambu, (2) kekhasan struktur wacana, (3) strategi penciptaan humor. Permasalahan pertama berkenaan dengan adanya empat jenis rambu yang ditetapkan oleh Menteri Perhubungan RI, yaitu (a) peringatan, (b) larangan, (c) perintah, dan (d) petunjuk (Menteri Perhubungan RI, 2014: 35). Permasalahan kedua berkenaan dengan sifat humor yang cenderung bersumber pada tuturan penjelas. Secara konvensional, rambu lalu lintas cenderung tidak memiliki tuturan penjelas. Permasalahan ketiga berkenaan dengan beragamnya strategi untuk menciptakan humor dalam rambu lalu lintas. Strategi itu berkenaan dengan adanya pelanggaran terhadap maksim dan sub-submaksim dari prinsip kerja sama. Sesuai dengan beragamnya rumusan masalah, kajian ini bersifat eklektik. Kajian mengenai tema dan struktur wacana rambu memanfaatkan pendekatan struktural. Teori yang digunakan ialah teori mengenai struktur wacana seperti dipaparkan oleh Luxemburg (1984: 100). Dalam hubungan itu, sebagai sebuah wacana, rambu lalu lintas dipahami sebagai sebuah konstruksi kebahasaan yang terdiri atas tiga bagian, yaitu (a) pembuka, (b) isi, dan (c) penutup. Bagian pembuka berisi informasi mengenai pihak pembuat rambu. Bagian isi memuat (a) tema rambu (inti pesan) dan (b) tuturan penjelas. Bagian penutup berisi informasi selain informasi perihal pihak pembuat rambu dan tema. Humor pada rambu lalu lintas terjadi pada bagian isi. Yang dimaksud dengan humor di sini ialah rangsangan Humor dalam Rambu-rambu Lalu Lintas 101 yang menyebabkan seseorang tertawa atau tersenyum dalam kebahagiaan. Dalam kaitan itu, ada tiga aspek yang layak diperhatikan, yaitu tindakan verbal atau nonverbal yang merupakan stimulusnya, aktivitas kognitif sebagai alat persepsi dan evaluasi atas rangsangan itu, serta respons yang dinyatakan dengan senyum dan tawa (Wijana, 2004: 37). Pada rambu lalu lintas, humor tersirat dalam proposisi atau relasi-relasi semantik bagian isi wacana. Kajian mengenai strategi penciptaan humor di sini menggunakan pendekatan pragmatik. Dalam hubungan itu, dimanfaatkan teori tentang situasi tutur, implikatur, prinsip kerja sama, juga gaya bahasa. 2. Metode Kajian ini bersifat deskriptif kualitatif. Bersifat deskriptif karena kajian hanya memerikan objek seperti apa adanya, tanpa menilai. Disebut kualitatif karena data tidak bersifat numerik. Data tunggal dan jamak diperlakukan sama (Sugiyono, 2012: 14—16). Data kajian ini berupa wacana humor dalam rambu lalu lintas. Data diperoleh dengan menggunakan metode simak, teknik unduh yang ditindaklanjuti dengan teknik salin (lihat Sudaryanto, 2015: 201 dan seterusnya). Metode simak dilakukan dengan meramban (browsing) situs-situs yang mengunggah rambu-rambu lalu lintas bercirikan humor. Sesuai dengan pengertian humor, rambu-rambu yang digunakan sebagai data ialah rambu lalu lintas yang secara spontan menimbulkan respons senyum atau tawa pada pembacanya. Situs-situs yang dimanfaatkan sebagai sumber data ialah https://cdn.brilio.net/news/2015 /07/11/9350/750xauto-17-foto-rambu- peringatan-yang-unik-dan-lucu1507111. jpg; http://otodriver.com/article/view/pos ter-poster-lucu-penekan-tingkatkecelakaan-mudik-disebar-di-bogor/SkdV2MFXMEF9OY_eloRcEFh9V _9VRUchKSGgRZ-Pfg; dan https://www.google.co.id/search?q=ra mbu+lalu +lintas+lucu&safe. Sesudah rambu diunduh, dilakukan penyalinan. Penyalinan mengikuti kaidah ejaan yang baku, yaitu Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016). Perbedaan ukuran dan jenis huruf, pengurutan, dan pewarnaan demi penonjolan unsur pesan diwujudkan sebagai catatan dalam transkrip. Berdasarkan pelacakan, diperoleh 43 data. Namun, setelah diseleksi, beberapa gugur karena sifatnya yang mengulang atau karena tidak berunsurkan humor. Data yang dimanfaatkan, akhirnya, berjumlah 31. Analisis pada kajian ini menggunakan metode baca markah, metode agih, dan metode padan. Metode baca markah dilakukan dengan mencermati penggunaan tertentu bentuk bahasa yang dipercaya menandai fenomena yang juga tertentu. Misalnya, konjungsi karena yang menandai hubungan sebab. Metode ini diterapkan untuk menganalisis tema. Metode agih, teknik sisip dan teknik balik dilakukan dengan menambahkan unsur tertentu atau memindahkan letak unsur tertentu rambu (Sudaryanto, 2015: 81 dst.). Metode ini diterapkan untuk mengkaji struktur wacana humor dalam rambu lalu lintas. Metode padan, tepatnya padan pragmatik diterapkan untuk mengkaji terwujudnya humor. Penerapan mempertimbangkan aspek-aspek pragmatik, seperti situasi tutur, impli- 102 Widyaparwa, Volume 46, Nomor 2, Desember 2018 katur, prinsip kerja sama, dan gaya bahasa. 3. Humor dalam Rambu Lalu Lintas 3.1 Tema Rambu Berunsurkan Humor Berdasarkan Permenhub Nomor PM 13 Tahun 2014, tema rambu lalu lintas dipilah dalam empat jenis, yaitu (a) peringatan; (b) larangan; (c) perintah; dan (d) petunjuk. Pada bagian ini dikaji apakah humor pada rambu lalu lintas terjadi pada empat tema itu atau hanya pada tema tertentu. 3.1.1 Tema Peringatan Rambu lalu lintas dengan tema peringatan adalah rambu yang memberikan peringatan mengenai kemungkinan bahaya di jalan atau tempat yang berbahaya pada jalan di samping menginformasikan tentang sifat bahaya (Permenhub Nomor PM 13 Tahun 2014: 5). Berikut contoh rambu peringatan dalam bentuk humor. (5) Hati-hati!!! Anda memasuki kawasan desa 1001 kolam (6) Woles Bro, Banyak tikungan (7) Satuan Lalu lintas / Polres Sambas Pakai tawas rambutan masak Buah kenari di dalam nampan Awas ade jembatan rusak Kurangi kecepatan!!! Rambu (5)—(7) dikategorikan rambu peringatan sesuai dengan digunakannya kata yang secara semantis memarkahi perlunya sikap waspada. Kata tertentu itu pada (5) ialah hati-hati; pada (6) woles (slow ‘pelan-pelan’); pada (7) awas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata hati-hati dan awas dimaknai ‘waspada’. Dalam konteks (5) dan (7) dua kata itu dapat diartikan ‘waspadalah’. Pada (6), kata woles merupakan jargon dari kata Inggris slow yang berarti ‘pelan-pelan’. Dengan kata lain, pada konteks itu juga dapat diartikan “Waspada Bro’. 3.1.2 Tema Larangan Rambu lalu lintas dengan tema larangan adalah rambu yang digunakan untuk menyatakan perbuatan yang dilarang dilakukan oleh pengguna jalan. Misalnya, larangan berjalan terus, larangan masuk, larangan parkir. Contoh rambu humor dengan tema larangan dapat dilihat pada contoh (8)— (10). (8) Operasi Ketupat Lodaya – 2018 Dilarang ngebut ... Penggali kubur sudah pada mudik Lebaran Unit Laka Lantas Polres Bogor (9) Kepolisian Resort Sambas Satuan lalu lintas LGBT: Lagi nyetir Gak Boleh Telefon (10) Operasi Ketupat Lodaya – 2018 Jangan kebut-kebutan Emang mau Lebaran di rumah sakit Unit Laka Lantas Polres Bogor Rambu humor contoh (8)—(10) dikategorikan rambu larangan. Penentuan itu sesuai dengan digunakannya kata dilarang pada rambu (8); ungkapan gak boleh pada rambu (9); kata jangan pada rambu (10). Penggunaan tiga bentuk itu dipahami sebagai pemarkah larangan sesuai dengan pengertiannya Humor dalam Rambu-rambu Lalu Lintas 103 yang berarti ‘menyatakan sesuatu yang sifatnya tidak boleh dilakukan’. Dari data yang diperoleh, tidak ditemukan rambu humor yang temanya berupa perintah atau petunjuk. Dengan kata lain, ciri humor dalam rambu lalu lintas hanya ditemukan pada rambu dengan tema peringatan dan larangan. 3.2 Struktur Wacana Rambu Lalu Lintas Berunsur Humor Struktur wacana rambu lalu lintas berunsurkan humor berbeda dengan struktur wacana rambu konvensional (tidak berunsurkan humor). Perbedaan itu terjadi mengingat unsur humor selalu terkait dengan “tuturan penjelas”, yaitu tuturan yang mengomentari “tuturan tema”. Dari sisi lain, tuturan penjelas tidak selalu ada dalam wacana rambu lalu lintas konvensional atau nonhumor. Kekhasan itu dapat dijelaskan sebagai berikut. Luxemburg (1984 dalam Baryadi, 2002: 14) menjelaskan bahwa, sesuai dengan tahap-tahap komunikasi, secara umum wacana tersusun dari tiga bagian, yaitu (a) bagian awal, (b) bagian tubuh, dan (c) bagian penutup. Setiap bagian memiliki fungsi sendiri-sendiri. Sebagai sebuah struktur, wacana rambu lalu lintas berunsurkan humor memperlihatkan kekhasan. Menyesuaikan dengan itu, bagian-bagian struktur wacananya disebut dengan (a) bagian identitas, (b) bagian isi, dan (c) bagian pelengkap. Bagian identitas berisi informasi mengenai pihak atau institusi pembuat rambu. Misalnya, Unit Laka Lantas Polres Bogor, Satuan Lalu Lintas Luwu Utara. Bagian isi mengungkapkan permasalahan yang diatur oleh rambu. Bagian isi berisi dua hal: tema dan penjelas. Tema memuat inti pesan rambu, misalnya Hati-hati tikungan tajam atau Jangan kebut-kebutan. Penjelas berisi pernyataan yang memperjelas tema. Pada rambu berunsurkan humor, tuturan penjelas menjadi kunci terciptanya humor, terutama jika dikaitkan dengan tema. Bagian ketiga, yaitu pelengkap berisi informasi selain identitas dan isi. Misalnya, Bank Aceh atau YAMAHA Masamba, selaku rekanan pembuat rambu. Wacana rambu lalu lintas berunsur humor dengan struktur berpola Identitas-Isi-Pelengkap dapat dilihat pada contoh (11) dan (12) berikut. (11) (12) Struktur wacana rambu lalu lintas berunsur humor nomor (11) dan (12) merupakan struktur yang bersifat lengkap. Pada wacana itu terdapat bagian identitas, isi, dan pelengkap. Pada (11) bagian identitas berisi tuturan Satuan Lalu Lintas Luwu Utara. Bagian isi berisi tuturan (a) Awas Tikungan Tajam 104 Widyaparwa, Volume 46, Nomor 2, Desember 2018 sebagai tema dan (b) Setajam Silet. Boleh ngebut kalau punya nyawa cadangan. Dilarang kecelakaan di sini. Rumah sakit jauh sebagai penjelas. Bagian pelengkap berisi tuturan Yamaha Masamba. MAF, sebagai sponsor pencetakan rambu. Pada rambu (12) bagian identitas berisi tuturan Satlantas Abes. Bagian isi berupa tuturan (a) zero (tidak eksplisit, misal Awas jalan licin) sebagai tema dan (b) Rossi aja jatuh Bang. Apalagi Abang, Rossi KW .... sebagai penjelas. Bagian pelengkap berisi tuturan Bank Aceh, yang sepertinya juga berfungsi sebagai sponsor. Selain berunsur lengkap, rambu lalu lintas berunsur humor kadang juga hanya terdiri atas dua bagian, seperti terlihat pada contoh (13) dan (14). karena hanya berunsurkan identitas dan isi. Pada (13) bagian identitas diisi tuturan Operasi Ketupat Lodaya 2018, Unit Laka Polres Bogor. Bagian isi berupa tuturan (a) Jangan kebut-kebutan sebagai tema dan (b) Emang mau Lebaran di rumah sakit sebagai penjelas. Pada (14) bagian identitas berisi tuturan Remaja Kemanukan. Bagian isi berupa tuturan (a) Hati-hati sayang!!! sebagai tema dan (b) Selamat datang di Wisata Jeglongan Sewu. Lubang di jalan, gak senikmat lubang berjalan sebagai penjelas. Berdasarkan contoh (14), diketahui bahwa posisi bagian identitas tidak harus di awal wacana, tetapi dapat berada di akhir. Kemungkinan pola yang lain diperlihatkan oleh data (15) dan (16) berikut. (13) (15) (14) (16) Wacana (13) dan (14) tergolong wacana dengan unsur yang tak lengkap Wacana rambu lalu lintas nomor (15) dan (16) merupakan contoh wacana rambu yang sederhana. Wacana itu Humor dalam Rambu-rambu Lalu Lintas 105 hanya tersusun dari satu bagian, yaitu isi. Pada (15) isi itu berupa tuturan (a) Hati-hati sebagai tema dan (b) Selamat datang di jalan uji nyali. ... sudah banyak korban sebagai penjelas. Pada (16) bagian isi. Bagian isi itu berupa tuturan (a) Hatihati sebagai tema dan (b) Anda memasuki kawasan desa 1001 kolam!!! sebagai penjelas. 3.3 Strategi Penciptaan Humor dalam Rambu Lalu Lintas Humor dalam rambu lalu lintas terdapat pada bagian isi. Humor terwujud terutama karena janggalnya pertalian semantis antara tuturan penjelas (proposisi penjelas tema) dan tema (proposisi inti rambu) atau karena janggalnya proposisi-proposisi pada tuturan penjelas. Dengan kata lain, humor terbangun karena adanya pelanggaran prinsip kerja sama. Grice (1975 dalam Wijana, 1996:46 dan seterusnya) menyebutkan empat maksim kerja sama, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara. Setiap peserta tutur wajib memahami dan mematuhi maksim tersebut atau mempertanggungjawabkan setiap pelanggaran pemakaiannya (Allan, 1986 dalam Wijana, 1996:45). Berikut disajikan macam pelanggaran prinsip kerja sama yang dimanfaatkan dalam rambu lalu lintas untuk menciptakan efek humor. 3.3.1 Pelanggaran Maksim Kualitas Maksim kualitas adalah maksim yang mewajibkan setiap peserta tutur untuk hanya mengatakan hal-hal yang benar berdasarkan bukti-bukti yang memadai (Baryadi, 2015: 89 dan Wijana, 1996: 48). Pelanggaran terhadap hal itu harus dilandasi alasan yang akan dapat dipahami setiap peserta tutur, misalnya untuk melucu seperti pada rambu lalu lintas berikut. (17) Awas tikungan tajam Setajam silet Data (17) merupakan bagian isi rambu dengan tema berupa Awas tikungan tajam dan penjelas berupa Setajam silet. Humor pada rambu (17) terdapat pada tuturan penjelas setajam silet. Berdasarkan maksim kualitas, ketajaman tikungan seharusnya digambarkan dengan ukuran sudut dalam satuan derajat. Semakin kecil sudut berarti semakin tajam tikungan. Misalnya, 1200, 900, 700. Penggambaran ketajaman tikungan dengan ketajaman alat pemotong (silet, pisau, golok, dan yang sejenisnya) melanggar maksim kualitas. Pelanggaran itu memunculkan humor. Contoh lain humor pada rambu lalu lintas yang diciptakan dengan pelanggaran maksim kualitas dapat dilihat pada data berikut. (18) JANGAN MENDAHULUI Tikungan tajam Valentino Rossi pernah jatuh di sini (19) LGBT Lagi nyetir Gak Boleh Telefon Pada (18) pelanggaran maksim kualitas terdapat pada tuturan Valentino Rossi pernah jatuh di sini. Tuturan itu, secara kualitas, membangun humor karena tidak adanya bukti yang menguatkan bahwa Valentino Rossi pernah sampai di lokasi rambu, apalagi sampai terjatuh. 106 Widyaparwa, Volume 46, Nomor 2, Desember 2018 Pada (19) pelanggaran maksim kualitas terjadi pada tuturan Lagi nyetir, Gak, Boleh, Telefon sebagai bentuk lengkap singkatan LGBT. Tuturan itu, secara kualitas, menjadi lucu karena LGBT sebenarnya singkatan dari lesbi, gay, biseksual, dan transgender. 3.3.2 Melanggar Maksim Relevansi Maksim relevansi adalah adalah maksim yang mewajibkan setiap peserta tutur untuk memberikan kontribusi yang sesuai dengan yang sedang dibutuhkan (Baryadi, 2015: 91 dan Wijana, 1996: 49 dan 50). Humor pada rambu lalu lintas yang dibangun dengan teknik ini ditemukan satu buah. (20) Operasi Ketupat Lodaya 2018 Melawan orang tua aja dosa. Apalagi melawan arus ... Bisa mati Unit laka Lantas Polres Bogor Bagian isi pada rambu (20) tidak mengeksplisitkan tema, tetapi memiliki tiga tuturan penjelas, yaitu (a) melawan orang tua aja dosa, (b) Apalagi melawan arus, dan (c) Bisa mati. Jika dieksplisitkan, tema dapat berupa tuturan Awas jalan satu arah. Pada data (20) humor terjadi karena adanya pelanggaran maksim relevansi. Pelanggaran itu terjadi pada tuturan penjelas (a), yaitu Melawan orang tua aja dosa. Tuturan itu melanggar maksim relevansi karena tidak koheren dengan tuturan penyangatnya, yaitu Apalagi melawan arus. Tuturan itu dapat dikoherenkan dengan mengubah tuturan Melawan orang tua aja dosa dengan tuturan Melawan lampu merah saja berbahaya. Dengan pengubahan itu. diperoleh rangkaian tuturan Melawan lampu merah saja berbahaya. Apalagi melawan arus. Bisa mati yang sifatnya koheren. Namun, pengubahan itu menghilangkan muatan humornya. 3.3.3 Pelanggaran Maksim Cara Maksim cara adalah maksim yang mewajibkan setiap peserta tutur untuk selalu mewujudkan tuturannya secara langsung, tidak ambigu, tidak berlebihan, dan tidak kabur (Baryadi, 2015: 90 dan Wijana, 1996: 50—52). Dalam rambu lalu lintas dijumpai humor yang diciptakan dengan melanggar maksim cara. Berikut contoh dan pembahasan lebih lanjut untuk itu. 3.3.3.1 Pelanggaran Submaksim Kelangsungan Submaksim kelangsungan adalah submaksim yang mengharuskan tuturan untuk disampaikan tanpa berbelit-belit, apa adanya, dan tanpa pengandaian. Humor dalam rambu lalu lintas ada yang diwujudkan dengan melanggar submaksim kelangsungan. Berikut contoh untuk itu. (21) Woles Bro, Banyak tikungan Data (21) merupakan bagian isi rambu yang tersusun dari tema dan penjelas. Tema berupa tuturan Banyak tikungan, sedangkan penjelas berupa tuturan Woles Bro. Humor pada data (21) terjadi pada tuturan Woles Bro yang merupakan bentuk jargon. Sebagai bentuk jargon, tuturan woles Bro ada kemungkinan tidak langsung dipahami oleh kelompok sosial tertentu (Chaedar dan Leonie Agustina, 2004: 68). Penggunaan jargon itu mencirikan penggunaan yang sifatnya tidak langsung demi diperolehnya efek humor. Nilai humor akan hilang jika bentuk jargon Humor dalam Rambu-rambu Lalu Lintas 107 diganti dengan bentuk yang lazim, misalnya Pelan-pelan Pak. Contoh lain humor yang dibentuk dengan melanggar submaksim kelangsungan dapat dilihat pada data berikut. ambiguan atau ketakkaburan untuk memunculkan ciri humor dapat dilihat pada data berikut. (24) Awas tikungan tajam ....... Dilarang kecelakaan di sini Rumah sakit jauh (22) Satuan Lalu Lintas Polres Sambas Pakai tawas, rambutan masak Buah Kenari, di dalam nampan Awas ade jembatan rusak Kurangi kecepatan!!!! (23) Hati-Hati Jatuh di aspal tidak seindah jatuh cinta Pada (22) pelanggaran submaksim kelangsungan terdapat pada tuturan penjelas Pakai tawas, rambutan masak. Buah kenari, di dalam nampan yang difungsikan sebagai sampiran. Pelanggaran submaksim kelangsungan itu untuk menciptakan humor karena mengajak pembaca untuk menebaknebak dan berandai-andai terlebih dahulu. Pada (23) pelanggaran submaksim kelangsungan terjadi pada tuturan penjelas, tidak seindah jatuh cinta sebagai kias dari rasa orang yang jatuh dari kendaraan. Kias itu menjadikan kelucuan karena membingkai pengertian yang sebaliknya, yaitu sakit. 3.3.3.2 Melanggar Ketakambiguan atau Ketakkaburan Prinsip ketakambiguan, sebagai salah satu maksim khusus dari maksim cara, dapat didefinisikan sebagai maksim yang mengharuskan bahwa tuturan yang disampaikan tidak boleh bersifat taksa atau memiliki pengertian lain. Dalam kaitan dengan ketakkaburan, tuturan harus mengungkapkan satu pesan dengan jelas. Contoh rambu lalu lintas yang melanggar prinsip ketak- Data (24) merupakan bagian isi rambu yang tersusun dari tema dan penjelas. Tema berupa tuturan Awas tikungan tajam, sedangkan penjelas berupa tuturan Dilarang kecelakaan di sini. Rumah sakit jauh. Humor pada (24) terjadi pada tuturan Rumah sakit jauh sebagai penyebab dilarangnya kecelakaan. Pernyataan itu memunculkan implikatur bahwa kecelakaan boleh terjadi jika di dekat lokasi ada rumah sakit. Implikatur seperti itu memperlihatkan bahwa tuturan bersifat ambigu. Dengan kata lain, melanggar prinsip ketakambiguan. Pada kasus ini, keambiguan justru digunakan untuk membangkitkan nilai humor. (25) Operasi Ketupat Lodaya 2018 Dilarang ngebut .... Penggali kubur sudah pada mudik Lebaran Pada data (25), bagian isi wacana terdiri atas tema dan penjelas. Tema berupa tuturan Dilarang ngebut. Bagian penjelas berupa tuturan Penggali kubur sudah pada mudik Lebaran. Humor pada (25) terjadi pada tuturan Penggali kubur sudah pada mudik Lebaran sebagai penyebab dilarangnya tindakan mengebut. Pernyataan itu memunculkan implikatur bahwa mengebut (yang dapat menyebabkan kecelakaan hingga meninggalnya pelaku) boleh dilakukan jika penggali kubur belum mudik 108 Widyaparwa, Volume 46, Nomor 2, Desember 2018 Lebaran. Implikatur seperti itu memperlihatkan bahwa tuturan melanggar prinsip ketakambiguan. Pada kasus ini, keambiguan sengaja digunakan untuk membangkitkan nilai humor. 2.3.2.3 Melanggar Submaksim Ketakberlebihan Prinsip ketakberlebihan, sebagai salah satu maksim khusus dari maksim cara, mensyaratkan bahwa tuturan yang disampaikan tidak boleh bertele-tele atau menyangat-nyangatkan melalui penggunaan bahasanya. Ragam yang digunakan seharusnya ragam baku sesuai dengan fungsinya selaku regulator. Ragam lain, seperti ragam percakapan atau ken ‘merengek-rengek’ (Chaer, 200466—68), sebaiknya tidak digunakan. Contoh rambu lalu lintas yang melanggar prinsip ketakberlebihan dapat dilihat pada data berikut. (26) Bang jangan ngebut Mimi gak mau ditinggal Pipi Operasi Ketupat Lodaya – 2018 Unit Laka lantas Polres Bogor Pada data (26), bagian isi rambu tersusun dari tema dan penjelas. Tema berupa tuturan Bang jangan ngebut, sedangkan penjelas berupa tuturan Mimi gak mau ditinggal Pipi. Humor pada (26) terjadi pada tuturan Mimi gak mau ditinggal Pipi sebagai alasan mengapa dilarang mengebut. Kelucuan pada tuturan itu berkenaan dengan penggunaan ragam cakapan melalui penyebutan Mimi ‘Mama’ dan Pipi ‘Papa’. Penggunaan sebutan itu menjadikan tuturan melanggar submaksim ketakberlebihan melalui penggunaan ragam bahasa yang sifatnya nonformal. Pelanggaran itu sengaja digunakan untuk memunculkan ciri humor. (27) Kepolisian Resor Sambas Satuan Lalu Lintas Mobil/motor masih kredit Karena lalai Abang tabrakin Abang jahhaaaattttt .... Berbeda dengan (26), pada (27) bagian isi rambu hanya tersusun dari penjelas yang berupa tuturan (a) Mobil/motor masih kredit. (b) Karena lalai, Abang tabrakin. (c) Abang jahhaaaatttt. Humor pada (27) terwujud pada tiga tuturan itu, terutama melalui penggunaan bentuk kredit yang mencerminkan ragam basilek serta bentuk tabrakin dan jahhaaaattttt yang mencerminkan ragam “ken” (cant ‘rengek’) (Chaer, 2004: 66—68). Penggunaan bentuk-bentuk itu menjadikan tuturan melanggar submaksim ketakberlebihan. Dalam hal ini, tuturan menjadi tidak formal dalam konteks (rambu kelalu-lintasan) yang seharusnya formal. Pada kasus ini, pelanggaran sengaja dipilih untuk mewujudkan ciri humor. 4. Penutup Rambu lalu lintas berunsurkan humor hanya ditemukan pada rambu dengan tema peringatan dan larangan. Berdasarkan data yang diperoleh, rambu berunsur humor tidak ditemukan pada rambu bertema perintah dan petunjuk. Humor pada rambu lalu lintas terwujud dengan adanya perubahan struktur wacana rambu, terutama bagian isi. Pada rambu humor, bagian isi selalu tersusun dari tema (inti pesan rambu) dan penjelas (tuturan yang memperjelas tema). Humor tercipta karena proposisi yang tak lazim atau karena pertalian semantis antara tema dan penjelas yang melanggar prinsip kerja sama. Berdasarkan data, pelanggaran prinsip kerja sama itu terjadi Humor dalam Rambu-rambu Lalu Lintas 109 pada (1) maksim kualitas, (2) maksim relevansi, dan (3) maksim cara. Pada maksim cara, pelanggaran terjadi pada (a) submaksim kelangsungan, (b) submaksim ketakambiguan, dan (c) submaksim ketakberlebihan. Strategi penciptaan humor itu berbeda dengan strategi penciptaan humor pada umumnya. Pada rambu lalu lintas, penciptaan humor cenderung memanfaatkan pelanggaran maksim cara, terutama melalui gaya bahasa dan penggunaan dialek sosial. Sebagai wacana regulasi, rambu dalam bentuk humor sebenarnya kurang efektif karena tingkat keterbacaannya yang kurang. Namun, sebagai penghibur, keberadaannya sangat fungsional. Karena alasan itu, pemasangan rambu humor sebaiknya didahului dengan rambu yang sifatnya konvensional. Kajian ini belum membahas seluruh permasalahan. Belum dibahas misalnya pembuatan rambu humor yang setidaknya dapat dipilah menjadi (1) menyindir (data (5)) atau (2) menyangatkan (data (12)). Hal lain yang juga pantas ditindaklanjuti ialah produktifnya pelanggaran maksim cara sebagai pembentuk humor. Terkait dengan hal itu, perlu dikaji lebih lanjut, yaitu penggunaan gaya bahasa dan dialek sosial sebagai pembentuk humor. Saran ini tidak lepas dari masih terbatasnya kajian terhadap maksim cara jika dibandingkan dengan kajian atas tiga maksim yang lain. Daftar Pustaka Baryadi, I. Praptomo. 2002. Dasar-Dasar Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Gondho Suli. ________. 2015. Teori-Teori Linguistik Pascastruktural: Memasuki Abad ke-21. Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2016. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Listiyorini, Ari. 2017. “Wacana Humor dalam Meme di Media Online sebagai Potret Kehidupan Sebagian Masyarakat Indonesia”. Dalam Litera, Volume 16, Nomor 1, April 2017. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Menteri Perhubungan. 2014. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 13 tahun 2014. (http://jdih.dephub. go.id/produk_hukum/view/ VUUwZ01UTWd WRUZJVlU0Z01qQXhOQT09; diunduh Selasa, 11 September 2018; pukul 10:54) Resticka, Gita Anggria. 2017. “Pemanfaatan Aspek Kebahasaan Bentuk Kata Tuturan Humor dalam Karikatur”. Dalam Haluan Sastra Budaya, Vol. 1, No. 1, Juni 2017. Halaman 1--60. Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman. Sudarsono, Sony Christian. 2017. “Diskreditisasi dan Resistansi Jomblo yang Terepresentasi dalam Wacana Meme Humor” dalam Seminar Tahunan Linguistik 2017, Auditorium Sekolah Pascasarjana UPI. Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press. Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Rdan D. Bandung: Penerbit Alfabeta. 110 Widyaparwa, Volume 46, Nomor 2, Desember 2018 Tiani, Riris. 2017. “Strategi Pragmatik dalam Penciptaan Humor di Televisi”. Dalam NUSA, Vol. 12. No. 2 Mei 2017. Semarang: FIB, Universitas Diponegoro. Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi. ________.2004.Kartun. Yogyakarta: Ombak. Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Edisi Revisi. Jakarta: PT Rineka Cipta. Daftar Sumber Data http://multirambuts.blogspot.com/2014/07/pengertia n-rambu-lalu-lintas.html (Diunduh Senin, 10 September 2018; pukul 10.17) http://satlantaspolrestabessemarang.blogspot.com/ 2013/04/jenis-rambu-rambu-lalulintas-versi.html (Diunduh Senin, 10 September 2018; pukul 09.23) https://id.wikipedia.org/wiki/Rambu_ lalu_lintas (Diunduh Senin, 10 September 2018, pukul 10:38) Humor dalam Rambu-rambu Lalu Lintas 111