Academia.eduAcademia.edu

Arsitektur Masjid Jawa

Arsitektur Masjid Jawa Perkembangan Islam di nusantara terutama di pulau Jawa tidak terlepas dari peranan mubaligh dan penyiar agama Islam yang berdakwah dengan mendirikan pesantren  di daerah bagian Utara Jawa lengkap dengan langgar atau masjidnya. Untuk menyesuaikan nilai-nilai budaya masyarakat Jawa yang saat itu yang telah memiliki budaya yang kuat, maka para wali tersebut tidak mudah menggantikannya dengan nilai –nilai budaya Islam yang masih baru dikenal. Oleh karena itu maka mereka berusaha untuk memasukkan ajaran islam ke dalam kesenian Jawa, termasuk dalam membangun langgar dan masjid  ini para wali tidak menerapkan bentuk dan pola masjid yang ada di negeri Islam tempat mereka berasal. Tidak ada bentuk masjid yang berkubah dan bermenara yang menjulang tinggi, yang dibangun justru selalu memanfaatkan potensi setempat dari bangunan-bangunan ibadah agama hindu dan bangunan umum berdenah luas (Joglo).   Peranan para wali dan raja-raja Jawa sejak Raden Patah di Demak sampai Mataram Jawa Tengah sangat besar artinya bagi penyebaran dan pengembangan agama dan kebudayaan Islam di Jawa dan sekitarnya. Namun demikian potensi yang menonjol ini sedikit demi sedikit mengelami kesuraman dengan semakin mendalamnya pengaruh dari kekuasaan penjajah Belanda (VOC) yang memiliki latar belakang budaya dan agama yang berlainan. Para bupati yang berkuasa di Jawa timur, mempertahankan tradisi penataan pola kota yang berasal dari tradisi Pajang dan Mataram, walaupun di beberapa kota terpaksa menyesuaikan dengan kondisi daerah. Di daerah ini dibangun masjid jamik dengan skala kota yang terletak di sebelah Barat dari alun-alun kota kabupaten.            Gambaran PolaTata Kota umum di Pulau Jawa Sumber : Handinoto dan Soehargo (1996) Prijotomo juga menyatakan arsitektur (klasik)Jawa dikenal dengan tampilannya yang dapat dikelompokkan ke dalam lima tipe bangunan yaitu tipe masjid/Tajug, tipe joglo,tipe limasan tipe kampung, dan tipe panggang-pe. Mengenai tipe tajug banyak ditampilkan pada masjid  dan berbagai tempat ibadah. Tampilan tipe ini memang memiliki kekhasan yaitu atapnya berbentuk piramida tanpa bubungan yang jelas-jelas menjadi pembedanya. Mengenai tipe bangunan ini berasal dari kata taju yang dalam bahasa Arab berarti mahkota, namun kemudian lebih populer disebut tajuk. Berkaitan dengan hirarki ruang masjid Yosep Prijotomo (1991) dana gunawan T (1992) mengungkapkan kemungkinan bentuk dan hirarki peruangan masjid Jawa diadopsi oleh organisasi ruang” Dalem” yang ada dalam khasanah arsitektur rumah tradisional Jawa.           Jenis rumah tradisional Jawa Sumber : Handinoto                Morfologi Masjid Jawa Sumber : Fanani (2009)             Pada tahun 1947, peneliti Belanda G.F. Pijper telah menyebutkan bahwa tipe bentuk masjid di Indonesia berasal dari Masjid Jawa. Menurutnya ada enam karakter umum tipe Masjid Jawa itu yakni: 1) berdenah bujur sangkar, 2) lantainya langsung berada pada fundamen yang masif atau tidak memiliki kolong lantai sebagaimana rumah-rumah vernakular Indonesia atau tempat ibadah berukuran kecil seperti langgar (Jawa), tajug (Sunda), dan bale (Banten), 3) memiliki atap tumpang dari dua hingga lima tumpukan yang mengerucut ke satu titik di puncaknya, 4) mempunyai ruang tambahan pada sebelah barat atau barat laut untuk mihrab, 5) mempunyai beranda baik pada sebelah depan (timur) atau samping yang biasa disebutsurambi atau siambi (Jawa) atau tepas masjid (Sunda), dan  6) memiliki ruang terbuka yang mengitari masjid yang dikelilingi pagar pembatas dengan satu pintu masuknya di bagian muka sebelah timur.             Minaret atau menara tidak dikenal dalam arsitektur mesjid kuno Jawa. Sebagai gantinya untuk memanggil jemaah untuk salat, dipergunakan ‘bedug’. Jadi bedug merupakan ciri khas mesjid Jawa kuno. Amen Budiman (1979:40) bahkan mengatakan asal usul dari bedug yang diletakkan di serambi-serambi mesjid Jawa, merupakan pengaruh dari arsitektur Cina, dimana bedug diletakkan tergantung di serambii kelenteng. Tapi di mesjid menara Kudus, bedugnya justru diletakkan dibagian atas Menara. Yang cukup menarik pada mesjid kuno Jawa adalah adanya makam, yang diletakkan pada bagian belakang atau samping mesjid. Jadi selain arsitektur religius, uniknya, hampir tidak jauh dari komplek mesjid kuno Jawa selalu terdapat makam-makam yang disakralkan dan dimitoskan. Pengeramatan tersebut tidak hanya terjadi di mesjid-mesjid yang terletak di desa seperti misalnya mesjid Sendang Duwur di Paciran Lamongan atau mesjid Mantingan di Jepara, tapi juga mesjid-mesjid kuno yang ada di Kudus (mesjid Menara Kudus), Surabaya (mesjid Sunan Ampel), mesjid Agung Demak, mesjid Agung Banten dsb.nya. Bentuk seperti ini merupakan cirri khas dari mesjid kuno di Jawa (Handinoto,2007).  Morfologi Masjid Agung Demak Sumber : Handinoto             Beberapa ilmuwan lainnya juga telah mendiskripsikan karakteristik Masjid Jawa ini. Gambaran secara umum terlihat hampir sama, hanya terdapat perbedaan dari cara mengungkapkan atau cara pandang masing-masing. Yang jelas, ciri bentuk Masjid Jawa seperti itu sejatinya sangat unik dan menunjukkan perbedaan yang sangat mencolok jika dibanding dengan bentuk-bentuk arsitektur masjid di berbagai belahan dunia lainnya.Prototipe denahnya dapat digambarkan seperti dibawah ini :  Denah Masjid Jawa Sumber : Handinoto  1. Mihrab:Tempat kecil pada pusat tembok sebelah Barat dipakai oleh Imam mesjid 2. Ruang utama mesjid9: Ruang yang dipakai untuk sembahyang oleh kaum pria 3. Serambi: Beranda sebuah mesjid 4. Pawestren: Tempat sembahyang bagi wanita 5. Kolam: Tempat berisi air yang digunakan untuk wudhu 6. Garis axis menuju Mekah: Garis maya sebagai orientasi pada pembangunan sebuah mesjid 7. Makam: Kuburan 8. Pagar Keliling: Pagar pembatas komplek mesjid 9. Gerbang: Pintu masuk utama di komplek mesjid atau makam             Pernyataan Pijper bahwa tipe bentuk masjid di Indonesia berasal dari Masjid Jawa tadi tampaknya juga diikuti oleh hampir semua kalangan termasuk para ilmuwan atau akademisi hingga sekarang. Bahkan ada pula yang menyebutkan bahwa pengaruh bentuk arsitektur Masjid Jawa ini bukan hanya pada tipe masjid di Indonesia, namun hingga masjid-masjid di seluruh Asia Tenggara, antara lain Malaysia, Thailand (Patani), dan Philipina (Mindanau). Setelah kemerdekaan Indonesia, mulai bermunculan masjid yang berkonstruksi beton dengan banyak kubah di atasnya. Pola-pola masjid ini kemudian mempengaruhi pola masjid yang dibangun setelahnya. Di daerah Jawa timur tepatnya di surabaya dibangun Masjid mujahidin di daerah tanjung perak yang menggunakan perpaduan anara bentuk tradisional yang beratap tajug dan bentuk kubah yang amat besar di puncaknya serta kubah-kubah kecil di keempat sudutnya. Pola kombinasi ini ternyata juga melanda masjid-masjid baru di daerah lain. Ketika di Indonesia telah berhasil mencetak arsitek-arsitek muslim, maka kemudian muncul corak baru yang mewarnai arsitektur masjid di Indonesia. Dengan dibangunnya masjid Salman dengan atap relatif datar dengan orientasi ke arah kiblat dengan jelas dan bentuk interior dan eksterior yang lebih geometris,  dari bangunan ini bentuk kubah sudah tidak dimanfaatkan lagi, pola inipun kemudian menjalar ke kota-kota lain terutama kota-kota besar di Indonesia. Masjid dengan bentuk ciri kubah yang amat dominan , masih tetap muncul dengan berbagai variasi bentuk, lambat laun fungsi masjid yang dahulu dibatasi sebagai pusat ibadah , maka lambat laun fungsi masjid dikembalikan lagi ke fungsinya semula sebagai pusat ibadat dan kebudayaan islam (Gazalba,1962)  Masjid Era Modern Perbedaan cara pandang suatu masyarakat terhdap ritual dan kegiatan yang terjadi di dalam sebuah masjid  secara meyakinkan memiliki pengaruh besar tehadap perancangan dan bentuk fisik dari masjid yang dihasilkan (Utaberta,2004) Pendekatan yang dipakai untuk merancang masjid terdapat dalam 2 aspek :             Aspek pertama bahwa masjid adalah sebuah produk arsitektur untuk mewadahi berbagai kegiatan ritual, ia meletakkan aspek ritual sebagai sebuah masalah utama kemudian menjadikan arsitektur sebagai sebagai suatu produk yang harus mendukung proses ritual tadi. Semakin baik suatu karya arsitektural mewadahi suatu kegiatan spiritual maka akan semakin baik arsitektur religius tersebut. Suatu pemahaman yang berbicara dalam tataran ibadah dan pengabdian kepada Dzat yang dipertuhankan. Aspek ini tak hanya terjadi di dalam arsitektur Islam namun ia terjadi juga pada berbagai agama dan keyakinan diseluruh dunia. Aspek keagamaan ini tidak dapat dipungkiri memberikan sebuah andil yang besar dalam dunia arsitektur . Banyak sekali karya-karya besar arsitektur merupakan produk dari sebuah peradaban yang lahir sebagai bentuk dari pengabdian suatu makhluk kepada penciptanya. Aspek religius ini merupakan faktor utama yang tidak dapat disangsikan lagi peranannya.Dengan pandangan ini, maka masjid dibuat sebagai sebuah ruang yang sangat khusus, menjamin kekhusukan bahkan sebaik mungkin agar orang yang berada di dalamnya merasa semakin dekat dengan Tuhannya. Pendekatan ide tentang masjid ini tentu akan memiliki implikasi yang sangat besar terhadap perancangan sebuah masjid. Aspek kedua, adalah sebuah pendekatan yang berbeda dimana kita melihat nilai-nilai dasar dalam islam secara integral dan menyeluruh. Islam tidak meletakkan sebuah perbedaan antara aspek yang bersifat ritual dengan aspek kehidupa keseharian. Pemahaman mendasar ini menghilangkan garis yang membedakan antara ritual keagamaan dengan usaha/ikhtiar keduniaan namun ia justru membawa kepada sebuah pemahaman kehidupan yang utuh dan integral.islam melihat masjid dalam perspektif yang lebih besar dari sekedar tempat ritual. Bila kita mempelajari sejarah kit akan mendapati sebuah kenyataan bahwa masjid pada jaman Rasulullah memiliki banyak sekali fungsi –fungsi lain selain hanya sekedar tempat ibadah. Pada jaman Rasulullah ia juga menjadi pusat pemerintahan, pusat proses legislasi, pusat interaksi masyarakat dan berbagai fungsi duniawi lainnya. Kenyataan sejarah ini memberikan sebuah visi dan pemahaman yang integral kepada kita akan peranan masjid dalam Masyarakat islam. Dari visi dan pemahaman ini tentu akan memiliki implikasi yang berbeda pula terhadap perancangan sebuah masjid.                      Masjid Istiqlal Jakarta Aspek lain yang tak kalah pentingya adalah pemahaman tentang arsitektur yang religius adalah pemahaman suatu tempat ibadah sebagai rumah Tuhan. Konsep ini sebenarnya  merupakan konsep yang sudah sangat tua karena peninggalannya dapat kita lihat pada berbagai peradaban di dunia. Secara sederhana konsep ini meletakkan tempat ibadah sebagai tempat dimana Tuhan bersemayam. Karena Tuhan bersemayam dalam suatu rumah ibadat maka ia membawa sebuah implikasi langsung yang sangat besar. Tuhan tentua Maha Besar maka bangunan untuknya tentu saja harus besar, Tuhan tentu Maha Indah mka bangunan untuknya tentu harus cantik dan indah, Tuhan tentu Maha Kaya maka bangunan untuknya tentu harus semahal mungkin. Maka banyak tempat ibadah yang dibina diluar skalanya (sangat besar) dibuat dengan sebagus-bagusnya dengan bahan yang semahal mungkin. Pola dan metode pemikiran ini bahkan menjadi sebuah standar dalam pembuatan sebuah rumah ibadah, ia harus besar, indah dan mahal. Pandangan ini dengan mudah dipatahkan dengan pandangan bahwa Jika tuhan Maha Besar dan Indah  maka apapun yang kita lakukan sebesar-besarnya dan seindah-indahnya, tetaplah kecil dalam pandanganNya, maka  konsep rumah ibadah sebagai rumah Tuhan tidak memiliki sebuah dasar yang cukup dan tidak dapat diterima dalam konsep Arsitektur Islam.                  Masjid Dian Al-Mahri,Depok (satu dari 3 masjid berkubah emas di dunia)             Hidayat (2004) menyatakan negara-negara yang penduduknya mayoritas Islam (termasuk Indonesia) peranan masjid lebih kepada konsep rumah Ibadah dan Rumah Tuhan dibandingkan konsep sebagai pusat pembangunan masyarakat. Konsep rumah Ibadah berasal dari masyarakat barat zaman modern yang sekian lama telah memisahkan aspek keagamaan dan aspek keduniawiaan atau aspek sosiopolitik dengan aspek kejiwaan serta kerohanian. Rumah Ibadah inilah tempat khusus untuk individu dan masyarakat atau bersembahyang dan beruzlah bagi melupakan soal keduniaan.  Sedangkan konsep rumah Tuhan berkaitan enggan arsitektur dengan arsitektur yang menempatkan berhala dan patung-patung yang menjadi wakil atau representasi  Tuhan atau zat ketuhanan. Sehingga umat Islam di mana-mana kini sudah mulai berlomba-lomba membangun masjid yang besar , termahal, masjid yang mempunyai kubah tterbesar dan tercantik, memiliki menara yang tertinggi dan terbayak. Pemahaman bahwa rumah Tuhan seharusnya diagungkan dengan pembangunan yang terbaik dan terindah karena pembangunan itu adalah RumahNya dan masjid itu symbol keagungan Islam. Hal ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam sendiri yaitu agar tidak mendirikan masjid sehingga menimbulkan kemudaratan (QS. At-Taubah : 107)             Islam sendiri memerintahkan cara untuk memakmurkan (mengaktifkan) masjid bukanlah dengan memperindah secara fisik melainkan lebih ke tatanan optimalisasi kefungsian masjid sebagai salah satu wadah beribadah kepada Allah SWT (QS. At-taubah : 18) karena itu diperlukan pengkajian kembali konsep fungsional sebuah masjid dalam usaha untuk mengembalikan, memberitahukan, mengingatkan pemahaman kepada umat islam, akan ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad terutama terkait dengan eksistensi sebuah masjid si tengah keberadaan masyarakat Muslim.