Academia.eduAcademia.edu

KRISIS DAN RESESI EKONOMI

2019, SISTEM EKONOMI INDONESIA

KRISIS & RESESI EKONOMI

SISTEM EKONOMI INDONESIA KRISIS DAN RESESI EKONOMI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Mengikuti Mata Kuliah Sistem Ekonomi Indonesia Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Raja Haji Tanjungpinang Dosen Pengajar: SHAHRIL BUDIMAN, S.Sos., MPM Oleh: ANDRE MANDALA PUTRA 18102004 PROGRAM STUDI: ILMU PEMERINTAHAN SEKOLAH TINGGI ILMU SOSIAL DAN POLITIK TANJUNGPINANG 2019/2020 I. KRISIS EKONOMI A. PENGERTIAN DAN PENJABARAN KRISIS EKONOMI Krisis ekonomi adalah sebuah konsep yang menjelaskan suatu kondisi perekonomian yang mengalami resesi atau depresi, yang diikuti dengan munculnya dampak berupa penurunan PDB, inflasi atau deflasi, terhambatnya likuiditas moneter. Sdangkan Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mendefinisikan krisis sebagai suatu situasi yang genting dan gawat, mengenai suatu kejadian atau peristiwa-peristiwa yang menyangkut kehidupan. Menurut ahli ekonomi, pengertian krisis ekonomi secara sederhana adalah suatu keadaan dimana sebuah Negara yang pemerintahnya tidak dipercaya lagi oleh rakyatnya, khususnya masalah finansial. Rakyatnya tidak mau lagi menyimpan uang di bank-bank yang ada, sehingga bank-bank mengalami kesulitan uang tunai. Jika itu terjadi maka bank sentral akan mencairkan asetnya untuk menalangi semua bank-bank itu. Setelah itu maka harga-harga naik seiring dengan banyaknya uang tunai di masyarakat akibat bank kelebihan uang tunai. Jika keadaan itu terjadi maka negara memasuki masa krisis. Negara tidak mampu membayar hutangnya sehingga hutangnya sudah jauh diatas PDB-nya. Maksudnya, ketika suatu negara mempunyai hutang terhadap negara lain dan bunga dari hutang tersebut semakin bertambah setiap tahunnya, tetapi pendapatan Negara tersebut tidak mengalami pertambahan akibat krisis ekonomi, sehingga membuat Negara tersebut mengalami kesulitan untuk membayar hutang-hutangnya. 1 Krisis ekonomi global merupakan peristiwa dimana seluruh sektor ekonomi pasar dunia mengalami keruntuhan (keadaan gawat) dan memperngaruhi sektor lainnya diseluruh dunia. Akibat dari krisis ekonomi yang terjadi di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, memberi dampak besar pada negara-negara Asia yang sedang berkembang, salah satunya adalah Indonesia pada ekspor perkebunan komoditi kelapa sawit, karet, dan kakao. Ini memberikan tekanan yang cukup besar terhadap kinerja ekspor komoditi tersebut, dimana terjadinya penurunan hraga berbagai komoditas anjlok akibat adanya perlambatan ekonomi dunia, sehingga peluang untuk memasarkan sangat sulit Krisis ekonomi global yang terjadi pada kuartal kedua tahun 2008, memiliki potensi menjadi salah satu krisis terbesar di dunia setelah The Great Depression yang terjadi di Amerika Serikat awal tahun 1930. Melihat kondisi perekonomian global sebelum terjadi krisis ekonomi global pada tahun 2008, dapat disimpulkan bahwa krisis tersebut menjadi semakin meluas dan memberikan dampak yang besar disebabkan oleh adanya akumulasi dari beberapa krisis dalam bidang ekonomi yang melanda dunia dalam jangka waktu beberapa tahun terakhir. Setidaknya ada dua krisis besar yang dapat disebut dalam jangka waktu 2 tahun terakhir, yaitu krisis peningkatan harga minyak mentah dunia dan krisis finansial di Amerika Serikat. Kegagalan Amerika Serikat dalam mengelola sistim keuangan membawa dampak berupa krisis keuangan dalam lingkup internal perekonomian Amerika Serikat. Perekonomian dunia yang bersifat global, membuat krisis finansial di Amerika Serikat berdampak kepada negara-negara lainnya. Selain itu, disadari pula bahwa perekonomian dunia belum lama ini menghadapi krisis peningkatan harga minyak 2 dunia yang sempat membawa keterpurukan yang berkepanjangan bagi dunia industri di banyak negara. Amerika Serikat juga merupakan negara yang terkena dampak dari krisis peningkatan harga minyak dunia. Krisis kenaikan harga minyak ditambah dengan adanya krisis keuangan di Amerika Serikat yang bertransformasi menjadi krisis ekonomi global, mengakibatkan keterpurukan dunia perekonomian di berbagai negara dunia. B. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KRISIS EKONOMI Ada dua faktor yang menyebabkan krisis ekonomi terjadi, yaitu faktor internal dan faktor eksterenal. 1. Faktor Internal a. Laju Pertumbuhan Laju pertumbuhan PDB adalah salah satu indikator utama ekonomi makro yang sering digunakan dalam menganalisis kinerja ekonomi sebuah Negara. PDB (Produk domestik Bruto) merupakan alat pengukur dari pertumbuhan ekonomi. PDB pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu negara tertentu atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. PDB atas dasar harga berlaku dapat digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur ekonomi, sedangkan harga konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun. b. Struktur Ekonomi Kelemahan fundamental ekonomi makro dalam hal stuktur ekonomi juga bisa merupakan salah satu penyebab, mungkin bukan yang membuat terjadinya krisis tetapi yang mengakibarkan krisis tersebut terus berlangsung dan semakain parah. Pada dasarnya 3 struktur ekonomi yang lemah mencerminkan tidak seimbangnya perkembangan dan pertumbuhan antarsektor di satu pihak, dan tidak adanya “sektor kuci” (walaupun sektor tersebut dominan di dalam sturktur ekonomi dengan suatu kinerja yang baik di pihak lain. Sektor-sektor ekonomi tidak menunjukkan kinerja yang sama, misalnya dalam hal tingkat produktivitas, efisiensi atau profitabilitas, atau kontibusi terhadap pembentukan dan pertumbuhan PDB tidak seimbang antarsektor. c. Perdagangan Luar Negeri (Ekspor Neto) Berdasarkan perdagangan suatu dunia laporan dari menunjukkan WTO bahwa (1996), pada struktur tahun 1995 Indonesia tidak termasuk dalam 25 besar Negara-negara pengespor produk-produk manufaktur. Masih lemahnya Indonesia dalam mengembangkan ekspor bernilai tambah tinggi, sementara masih sangat tergantung pada impor produk-produk bernilai tambah tinggi dapat dianggap sebagai penyebab utama kurangnya cadangan devisa (khususnya dolar AS) yang dimilik Indonesia, untuk mempertahankan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, sehingga rupiah melemah terus dan akhirnya tidak hanya menyebabkan tetapi juga memperparah krisis ekonomi. d. Perkembangan Sektor Industri Manufaktur Dalam fundamentall ekonomi Indonesia pada tingkat meso, ada dua sektor penting yang turut juga bertanggungjawab atas terjadinya atau terus berlangsungnya krisis ekonomi di Indonesia hingga saat ini, yakni sektor industri manufaktur dan sektor perbankan. Perkembangan sektor industri manufaktur di Indonesia yang tidak sehat selama periode Orde Baru, dalam arti tingkat 4 produktivitas, efisiensi dan daya saing yang rendah, serta ketergantungan yang tinggi terhadap impor dan modal asing, juga merupakan salah satu penyebab lemahnya fundamental ekonomi Indonesia. 2. Faktor Eksternal Selain faktor-faktor internal, menurut Fischer (1998), krisis ekonomi di Asia juga diakibatkan oleh perkembangan perekonomian negaranegara maju dan pasar keuangan global yang menyebabkan ketidakseimbangan global. Maksudnya, seperti di Jepang dan Eropa Barat, pertumbuhan ekonomi mengalami kesulitan dan kebijaksanaan moneter tidak berubah serta tingkat suku bunga sangat rendah. Semua ini membuat kedua wilayah itu menjadi kurang menarik bagi investasi. Dengan perkataan lain, dana berlimpah ruah tetapi proyekproyek yang menarik untuk investasi berkurang. Faktor eksternal lainnya adalah disebabkan oleh daya saing Indonesia di Asia yang lemah. Tingkat nilai tukar mata uang-mata uang dari Negara-Negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, terhadap dolar AS yang terlalu kuat (Over valued). Selain faktor-faktor ekonomi, krisis di Asia itu juga disebabkan oleh faktor-faktor nonekonomi, seperti sosial, budaya, kultur dan politik. Dan faktor psikologis juga sangat berperan, paling tidak membuat krisis rupiah itu menjadi suatu krisis ekonomi besar. Dampak psikologis muncul dari krisis di Indonesia adalah merebaknya fenomena kepanikan di mana-mana yang melanda masyarakat keuangan internasional, sehingga para pemilik modal internasional memindahkan modal mereka dari Indonesia secara tiba-tiba dalam jumlah yang sangat besar. Kepanikan ini, kemudian diikuti oleh warga 5 Negara di Indonesia dengan melakukan hal yang sama, hal serupa juga terjadi di Thailan dan Korea selatan. 3. Teori-teori Alternatif Selain faktor-faktor internal dan esksternal (ekonomi dan non ekonomi), ada tiga teori alternatif yang dapat juga dipakai sebagai basic frameworkuntuk menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya krisis ekonomi di Asia. Yaitu: a. Teori Konspirasi Dasar pemikiran dari teori ini adalah bahwa krisis tersebut sengaja ditimbulkan oleh negara-negara industri maju tertentu, khususnya AS karena tidak menyukai sikap arogansi ASEAN selama ini. b. Teori Contagion Krisis di Asia memperlihatkan adanya contagion effect, yaitu menularnya amat cepat dari satu negara ke negara lain. Bermula di Thailand pada pertangan 1997, kemudian menyebar ke Malaysia, Singapura, Filipina, Indonesia dan Korea Selatan. Tetapi di antara negara-negara tersebut, Thailand, Indonesia dan Korea Selatan tertular berat karena ketiganya dalam banyak hal mempunyai permasalahan yang sama. Prosesnya terjadi terutama karena sikap investor-investor asing yang setelah krisis terjadi di Thailan menjadi ketakutan bahwa krisis yang sama juga akan menimpa NegaraNegara tetangga seperti Indonesia, Malaysia dan Filipina. 6 c. Teori Business Cycle Teori business cycle atau konjugtur, atau gelombang pasang surut suatu ekonomi. Inti dari teori ini adalah bahwa ekonomi yang prosesnya sepenuhnya di gerakkan oleh mekanisme pasar (kekuatan permintaan dan penawaran) pasti akan mengalami pasang surut pada suatu periode akan menegalami kelesuan dan pada periode berikutnya akan mengalami kegairahan kembali dan selanjutnya lesu kembali dan seterusnya. Implikasi dari teori ini adalah bahwa kalau memang krisis ekonomi di Asia merupakan suatu gejala konjungtur, maka krisis itu dengan sendirinya akan hilang, tentu dengan syarat bahwa prosesnya sepenuhnya ditentukan oleh kekuatan pasar. C. PREDIKSI KRISIS EKONOMI Dikutip dari RMOLJabar pada senin, 16 September 2019. Pemerintah Indonesia melalui Menteri perdagangan (Mendag), Enggartiasto Lukita memprediksi bahwa dunia akan mengalami krisis ekonomi dalam waktu satu hingga satu setengah tahun ke depan. Demikian disampaikan Enggar, saat mengisi kuliah umum di Kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, Senin (16/9) "Secara relatif krisis ekonomi dunia satu hingga satu setengah tahun ke depan itu sudah meningkat. Sekarang sudah mulai terjadi perlambatan-perlambatan," ucap Enggar. Lebih lanjut, kata Enggar, saat ini harga emas sedang tinggi, belum lagi diperparah dengan 50 persen cadangan minyak Arab meledak. Hal ini jelas berdampak pada harga minyak dunia. "Meledaknya kemungkinan 50 harga persen minyak cadangan naik, minyak dampaknya buat Arab, Arab adalah defisit," ujar Enggar. Oleh karena itu, Indonesia dalam 7 waktu dekat harus membuat langkah taktis, seperti membuat pasar dalam negeri yang diiringi dengan meningkatkan da ya beli masyarakat Indonesia. "Kita net importir, kita harus cepat buat akses pasar baru internal atau dalam negeri. Selain itu harus terisis produk dalam negeri juga," pungkasnya. D. DAMPAK DARI KRISIS EKONOMI 1. Kemiskinan Merajalela Pada rezim Soeharto keberhasilan mengurangi jumlah penduduk miskin selama 30 tahun kini bagai tak berbekas. Krisis ekonomi selama 10 bulan sudah memaksa puluhan juta penduduk Indonesia kemabli terpuruk hidup dibawah garis kemiskinan, pemicu utamanya adalah meroketnya harga-harga kebutuhan pokok, terutama pangan. Hal ini disebabkan karena ternyata unsur pangan didalam perhitungan angka garis kemiskinan teramat dominan, yaitu lebih dari 80%. Akibatnya, kenaikan harga pangan menjadi sangat peka terhadap jumlah orang miskin. Hal ini diperparah dengan membengkaknya tingkat pengangguran yang mencapai lebih dari 10 juta jiwa hanya pada tahun 1998 akibat krisis ekonomi yang terus berlanjut. Nasib para buruh pun kian terpuruk karena tidak adanya kenaikan upah minimum. Sebaliknya, harga-harga kebutuhan pokok meroket sehingga membuat daya beli sebagian pekerja khususnya dan masyarakat umumnya sudah terpangkas ke tingkatan yang sudah sangat mengkhawatirkan. Dampak nyata selanjutnya adalah pada pembengkakan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Dengan mengacu pada angka inflasi Januari-Maret 1998 yang telah mencapai 100%, kalau bisa menggunakan basis perhitungan inflasi tahunan, maka potensi jumlah penduduk yang 8 hidup di bawah garis kemiskinan sudah mencapai lebih dari 100 juta orang. 2. Kebangkrutan Massal Dunia Usaha Memburuknya indikator-indikator makroekonomi telah merambah ke sendi-sendi dunia usaha, sehingga membuat denyut nadi sektor usaha kini melemah. Ketergantungan yang cukup tinggi pada bahan baku impor membuat biaya produksi membengkak. Selain itu, pengusaha kesulitan membuat kalkulasi biaya produksi biaya produksi dan menentukan harga jual produk karena pergerakan kurs yang sangat berfluktuasi. Muncul pula msalah keterbatsan saran transportasi dan kelangkaan peti kemas. Persoalan belum berhenti, karena kalaupun telah berhasil menjual produknya, mereka bingung dalam menempatkan dananya di tengah kemelut perbankan yang justru semakin memburuk. Suku bunga nominal yang sudah sangat tinggi, sekitar 70%, yang tidak mungkinn dapat dipikul pelaku bisnis manapun. Alasannya, pada waktu bersamaan tingkat inflasi telah meroket ke tingkatan yang mendekati tingkat suku bunga nominal. Masalah yang menerpa dunia usaha begitu bertubi-tubi, ditambah pula dengan persoalan-persoalan politik yang seketika berimbas sangat nyata. Mereka harus keluar dari berbagai persoalan pada waktu bersamaan, padahal kemampuan mereka untuk menyesuaikan diri menghadapi lingkungan dan tanatangan baru sangat terbatas. Semua persoalan diatas pada akhirnya bermuara pada kerapuhan eksistensi sejumlah perusahaan. Ratusan usaha besar terancam bangkrut, kebanyakan mereka tidak lagi mampu membayar kewajiban utangnya, baik dalam bentuk rupiah maupun dolar. Kebangkrutan massal tak terhindarkan. Pada 9 gilirannya, hal ini membuat sektor perbankan terpuruk dan kepercayaan masyarakat internasional terkikis. 3. Dampak Terhadap Pertumbuhan Sektor Riil a. Dampak Terhadap Bidang Infrastruktur Sektor Transportasi. Transportasi merupakan penggerak perekonomian masyarakat. Pada daerah yang telah berkembang, pelayanan transportasi dapat meningkatkan kegiatan ekonomi. Kondisi pelayanan transportasi yang memadai dapat mengurangi biaya transportasi yang akhirnya dapat menurunkan biaya produksi dan biaya distribusi. Demikian pula transportasi juga dapat merupakan penggerak kegiatan ekonomi di daerah. Ketersediaan prasarana transportasi dapat berfungsi memperlancar kegiatan ekonomi masyarakat terutama dalam memasarkan produk-produk masyarakat setempat ke daerah pemasaran lokal. Demikian pula transportasi juga dapat menggerakkan kegiatan pemerintahan di daerah. Sektor Perumahan dan Permukiman. Terdapat 3 dampak utama yang dirasakan akibat krisis global yang terkait dengan sektor perumahan dan permukiman, yaitu (1) mengeringnya likuiditas, yang tidak hanya mempengaruhi dunia usaha, melainkan kepada pemerintah untuk membiayai pembangunan; (2) menurunnya tingkat permintaan dan komoditas-komoditas utama ekspor Indonesia tanpa diimbangi peredaman laju impor secara signifikan yang menyebabkan defisit perdagangan; dan (3) menurunnya tingkat kepercayaan konsumen, investor dan pasar terhadap berbagai institusi keuangan yang ada. 10 b. Dampak Terhadap Bidang Pertanian dan Perkebunan Komoditas Pangan. Produksi komoditas pangan nasional pada tahun 2008, dimana saat krisis ekonomi terjadi, secara rata-rata tetap menunjukkan peningkatan. Bahkan, apabila dibandingkan produksi tahun 2007, jumlah peningkatannya cukup besar. Beras/padi sebagai komoditas pangan utama, produksi pada tahun 2008 mencapai 60,28 juta ton gabah kering giling (GKG) atau meningkat 5,46 persen dibandingkan tahun 2007. Demikian juga untuk jagung dan kedelai, produksi pada tahun 2008 meningkat masing-masing menjadi 15,86 juta dan 761 ribu ton atau meningkat 19,36 dan 28,47 persen dibandingkan tahun 2007. Komoditas Perkebunan. Komoditas perkebunan merupakan komoditas yang paling rentan terhadap krisis keuangan global. Hal ini tidak terlepas dari sifat komoditas perkebunan yang berorientasi ekspor dan diperdagangkan secara internasional. Harga komoditas perkebunan tidak hanya dipengaruhi dengan jumlah permintaan dan penawaran, namun juga sangat rentan dengan aksi spekulasi yang muncul di dalam pasar komoditas tersebut. Dengan demikian, hal yang perlu diperhatikan dalam perdagangan komoditas perkebunan di pasar internasional adalah perkembangan ekonomi negara pengimpor serta tindakan spekulasi yang menyebabkan fluktuasi dan ketidakpastian harga. Hal ini akan membahayakan kelangsungan usaha komoditas primer serta kesulitan dalam perencanaan usaha. Komoditas Hortikultura. Tanaman hortikultura berfungsi sebagai fungsi pangan (sumber vitamin, mineral, serat, antioksidan, energi), fungsi ekonomi, fungsi kesehatan, serta fungsi budaya. Namun demikian, meski memiliki peranan penting, konsumsi sayuran masyarakat Indonesia masih kurang dibandingkan dengan anjuran 11 konsumsi seharusnya. Pada tahun 2003 misalnya, konsumsi sayuran per kapita per tahun hanya 28,00 kg dari anjuran sebanyak 62,50 kg. Demikian juga dengan konsumsi buah pada tahun tersebut hanya 49 kg buah per kapita per tahun atau lebih rendah dari anjuran sebanyak 62,5 kg. Komoditas Peternakan dan Hasil Turunannya. Krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2008 tidak berpengaruh signifikan terhadap komoditas peternakan dan hasil turunannya di dalam pasar dalam negeri. Kondisi ini terlihat dari jumlah populasi ternak dan produksi hasil ternak yang cenderung meningkat, serta relatif stabilnya harga dalam negeri walaupun menunjukkan tren peningkatan pada akhir tahun. 4. Dampak Terhadap Bidang Kelautan dan Perikanan Krisis keuangan yang dimulai dari Amerika Serikat dapat berdampak terhadap produk perikanan walaupun belum terasa signifikan di sektor perikanan. Berdasarkan hasil ekspor perikanan, terdapat kenaikan nilai ekspor hasil perikanan dari US $ 2,259 miliar pada tahun 2007 menjadi US $ 2,410 miliar pada tahun 2008, yang terutama diekspor ke negara Amerika Serikat, Jepang dan EU. Khusus untuk Amerika Serikat, produk utama adalah udang (55%), ikan laut non tuna (30%) dan tuna (10%). Namun demikian, terjadi penurunan volume ekspor produk perikanan yaitu dari 845 ribu ton pada tahun 2007 menjadi 745 ribu ton pada tahun 2008. Sementara itu, dari sisi produksi perikanan terdapat peningkatan dari 8,24 juta ton pada tahun 2007 menjadi 8,71 juta ton pada tahun 2008. Peningkatan produksi perikanan ini terutama dikontribusi oleh perikanan budidaya. Penyediaan ikan untuk konsumsi juga 12 mengalami peningkatan, dari 28,28 kg/kap/th pada tahun 2007 menjadi 29,98 kg/kap/th pada tahun 2008. 5. Dampak Terhadap Bidang Kehutanan Lahan yang luas dan kekayaan sumber daya alam yang beragam merupakan potensi yang dimiliki negara Indonesia untuk mendukung dan mewujudkan pembangunan. Namun pada kenyataannya pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam dan lahan masih belum optimal dalam mewujudkan kesejahteraan dan mengatasi kemiskinan. Salah satu permasalahan yang terjadi adalah adanya konflik kepemilikan lahan serta perambahan sumber daya alam yang tidak berorientasi ekologis. 6. Dampak terhadap Bidang Lingkungan Hidup Krisis ekonomi tahun 2008 terjadi di tengah krisis lingkungan yang meliputi krisis energi, air, pangan dan dampak dari akumulasi perubahan iklim. Kondisi ini akan berdampak terhadap kebutuhan untuk menata lingkungan, menurunkan karbon dioksida di atmosfir dan berinvestasi untuk energi ramah lingkungan akan mengakibatkan ongkos energi naik 20 persen dan barang-barang bertambah mahal. Sementara itu, krisis kelangsungan hidup menyebabkan kerusakan ekologi dan rusaknya jaminan terpenuhinya kebutuhan pokok/dasar telah mencapai tingkat yang tidak terpulihkah. Krisis ini berdampak bagi Penduduk yang berusaha bertahan hidup tidak berpikir panjang tentang kondisi bumi tempat mereka tinggal. Hutan, laut, tambang atau sumber daya alam apa pun dijarah untuk pemenuhan kebutuhan dasar. Eksploitasi alam yang telah terjadi mengakibatkan kualitas SDA dan lingkungan menurun (kualitas 13 tanah semakin menurun, pencemaran air, dan penurunan sepertiga keanekaragaman hayati sejak tahun 1970 (WWF, 2005). D. LANGKAH YANG DIAMBIL PEMERINTAH PASCA KRISIS EKONOMI 1. Kebijaksanaan Moneter Pemerintahan negara yang terkena krisis ini menerapkan kebijaksanaan moneter yang ketat untuk mendorong nilai tukar ke tingkat yang lebih wajar dan untuk menurunkan inflasi. Maksudnya, tingkat suku bunga SBI ditingkatkan, pada saat itu tingkat suku bunga SBI untuk 1 bukan naik 22 persen menjadi 45 persen (dengan tingkat bunga efektif tahunan sebesar 55 persen). Tingkat suku bunga SBI ysng tinggi ini hingga oktober 1998 tetap dipertahankan dan membuat suku bunga dipasar uang juga tetap tinggi dan membuat atau mendorong nilai tukar ke tingkat yang lebih wajar dan menurunkan inflasi. 2. Kebijaksanaan Perbankan Langkah-langkah penting dalam restrukturisasi sektor perbankan yang telah dilakukan pemerintah hingga saat ini adalah termasuk pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yang salah satu contohnya di Indonesia pada tanggal 14 Februari 1998 mulai menangani 54 bank yang memperoleh pinjaman darurat dari BI yang melebihi 200 persen modalnya, atau yang pada bulan desember 1997 memiliki modal kurang dari 5 persen dari nilai aktivannya. Pada tanggal 31 maret tahun 1998, pemerintah lewat BPPN mengabil alih 6 bank swasta, yakni BDNI, Bank Modern, BUN, Bank Danamon, Bank PDFCI dan Bank Tiara, dan disusul BCA. Agustus 1998, dibentuk 14 Asset Management Unit (AMU), yakni suatu lembaga khusus yang berada di bawah BPPN dengan tugas utama menampung semua kredit bermasalah. Oktober tahun 1998, dibentuk Bank Mandiri, bank baru milik pemerintah yang akan menggabungkan Bank Exim, BBD, BDN dan Bapindo. Selain itu, tanggal 24 Agustus tahun 1998 lalu pemerintah telah mengajukan konsep Rancangan Undang-Undang (RUU) perubahan UU perbankan No.7 Tahun 1992 dalam sidang paripurna DPR. RUU itu antara lain memberi hak kepada investor asing untuk menguasi saham di perbankan nasional sampai dengan 100 persen. Dalam RUU itu, masyarakat juga dimungkinkan untu mengetahui sisi aktivitas dari neraca perbankan. 3. Program Kesempatan Kerja Pemerintah Negara yg terkena krisis ini memperluas program Social Safety Net, atau program padat karya di sektor pekerjaan umum dan penyediaan kesempatan kerja sementara khusus bagi penduduk termiskin yang menganggur (mereka yang di PKH-kan akibat krisis), dengan bantuan pembiayaan dari Bank Pembangunan Asia (ADB), Bank Dunia, dan bantuan bilateral. Alokasi anggaran dalam APBN untuk program ini juga telah ditingkatkan. Di samping itu, untuk mempertahankan kesempatan kerja, ketersediaan berbagai skema kredit dengan subsidi dari pemerintah untuk membantu usaha kecil dan menengah (UKM) telah diperbanyak. 4. Reformasi dan Privatisasi BUMN Pemerintah Negara yang terkena Krisis ini mengupayakan untuk mempercepat keuntungannya reformasi dan BUMN guna meningkatkan memperkuat sumbangannya tingkat kepada penerimaan Negara. Upaya tersebut diharapkan dapat penurunan 15 penerimaan Negara sebagai akibat dari berkurangnya penerimaan pajak, peningkatan subsidi yang lebi besar daripada yang dianggarkan semula, dan biaya untuk restrukturisasi perbankan. Maksudnya, pada saat itu telah diangkat seorang Menteri Negara Pendayagunaan BUMN dengan tugas mendayagunakan perusahaan-perusahaan di sektor publik yang berjumlah 164, termasuk lembaga-lembaga keuangan. Dalam tahun 1998-1999, pemerintah merencakan penjualan saham-saham enam BUMN yang telah tercatat di pasar modal, dan yang bergerak dalam pasar kompetitif seperti PT Telkom, PT Indosat, PT Semen Gresik, dan PT Krakatau Steel. 5. Restrukturisasi Utang Luar Negeri (ULN) Swasta Pemerintahan Negara yg terkena krisis ini contohnya Indonesia sejak Februari 1998 telah dilakukan beberapa kali pertemuan antara Steering Committee para kreditor bank asing dan Contact Group dari para debitor, serta tim penanggulangan ULN Swasta. Dengan bantuan penasihat dari luar Negeri dan dengan berkonsultasi dengan Contact Group, Steering Committe, staf IMF, ADB, bank dunia, dan pemerintahan Negara sahabat yang berminat, tim penanggulan ULN swasta telah menyiapkan kerangka kerja untuk restrukturisasi ULN swasta. Salah satunya pertemuan yang terkenal adalah pertemuan Frankfrut bulan juli 1998. Pertemuan itu menghasilkan program INDRA ( Indonesian Debt Restructuring Agency ) yang dibentuk pada tanggal 1 Agustus 1998. Dalam Program ini, perusahaan yang bermasalah yang sudah mempunyai kesepakatan dengan kreditornya dapat menukar rupiahnya dengan Dolar AS dengan kurs rata-rata selama 20 hari terakir. Perusahaan bisa untung kalau kurs tersebut lebih rendah daripada kurs yang berlaku di pasar pada saat itu, tetapi sebaliknya rugi apabila kebalikannya. Pada pertengahan tahun 1998 mulai 16 dirasakan bahwa masalah ULN swasta, khususnya perbankan semakin berat, sementara hingga saat itu belum ada perusahaan bermasalah yang menggunakan fasilitas INDRA. Jumlah perusahaan yang bermasalah terlalu banyak, sehingga penanganannya secara konvensional semata tidak cukup lagi. Mengajukan kasus kredit bermasalah ke pengadilan kepailitan juga tidak menyelesaikan atau meringankan persoalan. Selain prosesnya memakan waktu, juga dikhawatirkan hampir semua pelaku bisnis bermasalah dinyatakan bangkrut. Melihat kenyataan itulah pemerintah membentuk Prakarsa Jakarta yang dikoordinasi oleh Ketua Tim Penanggulangan ULN Swasta. Pinjaman bermasalah diatas dalam lembaga khusus dengan segala fasilitas kemudahan dari pemerintah, yang intinya memang berupa penyelesaian utang di luar jalur pengadilan. II. RESESI EKONOMI A. PENGERTIAN DAN PENJABARAN RESESI EKONOMI Secara sederhana resesi ekonomi dapat dipahami sebagai kelesuan ekonomi. Mengutip dari Wikipedia, resesi diartikan sebagai kondisi di mana produk domestik bruto (GDP) mengalami penurunan atau pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal secara berturut-turut atau lebih dari satu tahun. Sesuai dengan namanya yang berarti kelesuan atau kemerosotan, resesi mengakibatkan penurunan secara simultan pada setiap aktivitas di sektor ekonomi. Sebut saja lapangan kerja, investasi, dan juga keuntungan perusahaan. Terjadinya resesi ekonomi menimbulkan efek domino pada masing-masing kegiatan ekonomi tersebut. Ketika investasi mengalami penurunan, maka tingkat produksi atas produk atau komoditas juga akan menurun. Dampaknya akan terjadi banyak pengangguran akibat pemutusan 17 hubungan kerja. Secara lebih lanjut, kondisi tersebut mengakibatkan daya beli masyarakat menurun yang berimbas pada turunnya keuntungan perusahaan. Terjadinya resesi ekonomi sering kali diindikasikan dengan menurunnya harga-harga yang disebut dengan deflasi, atau sebaliknya inflasi di mana harga-harga produk atau komoditas dalam negeri mengalami peningkatan secara tajam. Jika tak segera diatasi, resesi akan berlangsung dalam jangka waktu lama sehingga menjadi depresi ekonomi, yang bisa berakibat pada kebangkrutan ekonomi atau ekonomi kolaps. Jika ekonomi suatu negara sudah sampai pada tahap ini, maka pemulihan ekonomi akan lebih sulit dilakukan. B. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB RESESI EKONOMI Suatu negara dikatakan masuk masa resesi, apabila muncul beberapa indikator berikut. 1. Terjadi ketidakseimbangan antara produksi dengan konsumsi Ekonomi tak jauh-jauh dari produksi dan konsumsi. Keseimbangan diantara keduanya menjadi dasar pertumbuhan ekonomi. Di saat produksi dan konsumsi tidak seimbang, maka akan terjadi masalah dalam siklus ekonomi. Apabila tingginya produksi tidak diikuti dengan tingginya konsumsi, akan berakibat pada penumpukan stok persediaan barang. Sebaliknya, jika produksi rendah sedang konsumsi tinggi maka kebutuhan dalam negeri tidak akan mencukupi sehingga harus dilakukan impor. Hal ini akan berakibat pada penurunan laba perusahaan sehingga berpengaruh pada lemahnya pasar modal. 18 2. Pertumbuhan ekonomi lambat bahkan merosot selama dua kuartal terturut-turut Dalam perekonomian global, pertumbuhan ekonomi digunakan sebagai ukuran untuk menentukan baik buruknya kondisi ekonomi suatu negara. Jika pertumbuhan ekonomi suatu mengalami kenaikan secara signifikan, artinya negara tersebut dalam kondisi ekonomi yang kuat. Demikian pula sebaliknya. Nah, pertumbuhan ekonomi ini menggunakan acuan produk domestik bruto yang merupakan hasil penjumlahan dari konsumsi, pengeluaran pemerintah, investasi dan ekspor yang dikurangi impor. Jika produk domestik bruto mengalami penurunan dari tahun ke tahun, dapat dipastikan bahwa pertumbuhan ekonomi negara yang bersangkutan mengalami kelesuan atau resesi. 3. Nilai impor jauh lebih besar dibandingkan nilai ekspor Dalam perdagangan internasional, kegiatan impor dan ekspor sangatlah wajar. Selain untuk menjalin kerja sama ekonomi, tujuan dari impor dan ekspor salah satunya adalah untuk memenuhi kebutuhan penduduk di kedua negara. Negara yang kekurangan komoditas karena tidak bisa memproduksi sendiri, bisa mengimpor dari negara lain. Sebaliknya, negara yang memiliki kelebihan produksi bisa mengekspor ke negara yang membutuhkan komoditas tersebut. Namun, jika impor dengan ekspor tidak stabil bisa berdampak pada perekonomian negara. Nilai impor yang jauh lebih besar dibandingkan nilai ekspor berisiko pada defisit anggaran negara. 19 4. Terjadi inflasi atau deflasi yang tinggi Untuk alasan dan kepentingan tertentu, inflasi memang diperlukan. Namun, inflasi yang terlalu tinggi justru mempersulit kondisi ekonomi, karena harga-harga komoditas melonjak sehingga tak bisa dijangkau oleh semua kalangan masyarakat, utamanya yang kelas ekonominya menengah ke bawah. Kondisi ekonomi akan semakin parah apabila inflasi tidak diikuti dengan daya beli masyarakat yang tinggi. Tak hanya inflasi yang berdampak pada resesi, tetapi juga deflasi. Harga-harga komoditas yang menurun drastis bisa mempengaruhi tingkat pendapatan dan laba perusahaan yang rendah. Akibatnya, biaya produksi tidak tertutup sehingga volume produksi rendah. 5. Tingkat pengangguran tinggi Tenaga kerja menjadi salah satu faktor produksi yang memiliki peranan penting dalam menggerakkan perekonomian. Jika suatu negara tidak mampu menciptakan lapangan kerja bagi tenaga kerja lokal, maka tingkat pengangguran di negara tersebut jelas akan tinggi. Risikonya, daya beli rendah bahkan memicu tindak kriminal guna memenuhi kebutuhan hidup. C. PREDIKSI RESESI EKONOMI Dikutip dari KONTAN.CO.ID – JAKARTA Kamis, 26 September 2019. Resesi global dikhawatirkan bakal terjadi dalam waktu dekat. Meski hal ini masih menjadi perdebatan para ekonom, sejumlah riset 20 menunjukkan tanda-tanda resesi semakin nyata dan bisa mengancam ekonomi tahun depan. Yang terbaru, United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) dalam laporannya memberi peringatan kalau resesi global bisa terjadi di tahun 2020. UNCTAD melihat tanda-tanda resesi muncul dari memanasnya tensi perdagangan, pergerakan mata uang dunia, utang korporasi, Brexit tanpa kesepakatan, dan kurva yield obligasi AS yang terbalik (inverted yield curves). "Ini adalah salah satu sinyal bagi para pemangku kebijakan untuk mempersiapkan diri atas gejolak tersebut," ujar laporan UNCTAD yang dirilis Kamis (26/9) seperti dilansir New Strait Times. Laporan itu menyerukan agar para pembuat kebijakan tetap fokus pada peningkatan lapangan kerja, upah, dan investasi publik. Bahkan dengan mengabaikan risiko penurunan terburuk, laporan itu memproyeksikan pertumbuhan global bakal turun menjadi 2,3% pada 2019 dibandingkan dengan 3% pada 2018. Laporan itu menyebut, beberapa negara berkembang sudah masuk ke jurang resesi. Sementara beberapa negara maju, termasuk Jerman dan Inggris sangat dekat dengan resesi. UNCTAD juga menilai pertumbuhan perdagangan akan melambat tajam di tahun ini menjadi 2% dari 2,8%, menyusul pelemahan permintaan global yang diperparah oleh tarif sepihak yang diberlakukan pemerintah Amerika Serikat (AS). Bahkan, 10 tahun setelah krisis keuangan tahun 2008-2009, ekonomi global dinilai masih sangat rapuh. Laporan itu juga mencatat bahwa utang telah menjadi pendorong dominan pertumbuhan global. Namun, sayangnya tetap gagal mendorong investasi produktif. 21 Sebaliknya, utang tinggi malah memicu spekulasi keuangan. Negaranegara berkembang telah melihat kalau utang sudah berubah dari instrumen pembiayaan jangka panjang, menjadi aset keuangan yang berisiko tinggi. Resesi merupakan kontraksi ekonomi yang ditandai dengan penurunan pertumbuhan signifikan setidaknya selama enam bulan atau dua kuartal berturut-turut. Setidaknya, tanda-tanda awal resesi terlihat dari lima indikator ekonomi, yakni produk domestik bruto (PDB) riil, data pendapatan, pekerjaan, manufaktur, dan penjualan ritel. Banyak yang mengatakan resesi terjadi ketika tingkat pertumbuhan PDB negatif (negative growth) dalam dua kuartal berturut-turut atau lebih. Tetapi resesi juga bisa dimulai sebelum laporan data PDB triwulanan keluar. Itu sebabnya, the National Bureau of Economic Research mengukur empat faktor lainnya dalam resesi. Ketika indikator ekonomi ini menurun, PDB juga akan turun. Probabilitas resesi Tak dipungkiri, investor semakin takut terhadap resesi global. Hal ini setidaknya terlihat dari berbagai survey yang dilakukan terhadap aset manajemen besar di dunia. Dari survei Absolute Strategy Research peluang terjadinya resesi mencapai 52%. ASR mensurvei lebih dari 200 lembaga yang mengelola aset gabungan senilai US$ 4,1 triliun. Prospek kepercayaan bisnis dan pendapatan perusahaan telah meredup. Tingkat pengangguran AS juga diprediksi meningkat sepanjang tahun depan. UBS melakukan survei terhadap 360 kantor keluarga global dengan kekayaan keluarga rata-rata US$ 1,2 miliar. Hasilnya, 55% di antaranya memprediksi resesi pada 2020. Untuk memitigasi risiko itu, 45% responden sudah menyesuaikan portofolio mereka termasuk beralih ke obligasi dan properti. Sementara 42% lainnya meningkatkan cadangan dana kas. Direktur Investa 22 Saran Mandiri Hans Kwee mengatakan, dalam teori ekonomi, kecemasan awal pelaku pasar akan resesi benar-benar bisa memicu terjadinya resesi. Pasalnya, pelaku pasar yang berpikir negatif akan cenderung menahan konsumsi. Sehingga permintaan akan turun dan ekonomi melambat. "Ada peluang resesi negara-negara maju bisa terjadi," ujarnya kepada KONTAN. Tanda-tanda resesi Dari sejumlah analisis ekonom dan pelaku pasar, setidaknya ada beberapa hal yang menjadi tanda-tanda bahwa resesi kian nyata, di antaranya: 1. Yield kurva terbalik AS Kurva imbal hasil obligasi yang terbalik atau inverted yield curve dapat menjadi tanda awal resesi ekonomi. Kurva imbal hasil terbalik menandakan bunga obligasi pemerintah jangka pendek lebih tinggi ketimbang bunga obligasi jangka panjang. Dalam ekonomi yang sedang tumbuh, tingkat pengembalian yang lebih tinggi diperlukan sebagai kompensasi bagi investor untuk menahan uang mereka dalam jangka waktu lebih lama. Namun, ketika kurva imbal hasil berbalik, investor menganggap prospek ekonomi jangka panjang tidak menarik. Sejak tahun 1955, setiap resesi yang terjadi di AS didahului oleh kurva imbal hasil terbalik. Sehingga, ketika yield obligasi 10 tahun AS untuk pertama kalinya sejak tahun 2007 jatuh di bawah imbal hasil obligasi dua tahun pada Agustus lalu, investor langsung cemas bahwa ini merupakan tanda resesi lagi. Menurut Credit Suisse, resesi terjadi sekitar 22 bulan setelah terjadi inversi rata-rata. 23 2. Perlambatan ekonomi Eropa dan AS Resesi juga kemungkinan terjadi di Eropa, terlihat dari data pertumbuhan ekonomi yang terus melemah. Di Jerman, data purchasing managers’ index (PMI) semakin mencemaskan, yakni 49,1 pada September, turun dari 51,7 pada bulan Agustus. "PMI tersebut juga menjadi tanda bahwa ekonomi Jerman semakin pesimis," ujar Hans. Angka di bawah 50 menunjukkan kontraksi. Jerman telah mengalami perlambatan terbesar dalam aktivitas pabrik sejak krisis keuangan, yang meningkatkan kecemasan bahwa ekonomi zona Eropa juga tengah menuju jurang resesi. Sementara itu, PDB AS juga melambat. Ekonomi kuartal II hanya tumbuh 2%, turun dari 3% dari kuartal sebelumnya dan menjadi yang terendah sejak kuartal IV 2018 lalu. 3. Laba bersih korporasi menyusut Mengutip CNBC, salah satu tanda-tanda resesi AS juga terlihat dari pertumbuhan laba bersih perusahaan AS yang turun drastis tahun ini. Akhir Desember lalu, analis memperkirakan earnings growth S&P 500 akan berkisar 7,6%. Saat ini, angka tersebut hanya berkisar 2,3%. Bahkan, Goldman Sachs dan Citigroup Strategist sudah memangkas estimasi laba bersih untuk perusahaan di indeks S&P 500, sejalan dengan perlambatan ekonomi dan devaluasi mata uang. 4. Kontraksi manufaktur Pertumbuhan industri manufaktur AS melambat ke level terendah sejak 10 tahun terakhir pada Agustus lalu. PMI manufaktur As mencapai 49,9 pada bulan Agustus, turun dari 50,4 24 di bulan Juli. Angka ini di bawah ambang batas netral untuk pertama kalinya sejak September 2009. 5. Indeks Ketidakpastian Kebijakan Ekonomi Meningkat Economic Policy Uncertainty Index (EPU) atau Indeks Ketidakpastian Kebijakan Ekonomi, sebuah indeks yang dirancang untuk mengukur kekhawatiran terkait kebijakan di seluruh dunia, mencapai level tertinggi sepanjang masa, yakni 342 pada Juni lalu. Indeks EPU melacak berapa kali artikel surat kabar menggunakan kata kunci yang terkait dengan ketidakpastian ekonomi dan politik. Selain itu, ini mengukur spektrum ketidaksepakatan di antara para ekonom: Semakin banyak perbedaan pendapat, semakin tinggi indeks berjalan. Indeks membara di bulan Juli ke level 280 di tengah harapan kesepakatan perdagangan antara AS dan China akan terselesaikan. Berbagai tanda-tanda resesi global ini harus diwaspadai lantaran Indonesia juga bakal terdampak. "Sebagai negara net importir pasti kita terkena dampak. Pemerintah juga sudah memandang ekonomi tahun depan cenderung konservatif," tandas Hans. D. DAMPAK DARI RESESI EKONOMI 1. Resesi ekonomi menyebabkan pendapatan dan profit menurun Baik bisnis besar ataupun bisnis kecil, keduanya bakal kena imbas terjadinya resesi ekonomi. Imbas ini tampak pada menurunnya pendapatan (revenue) dan keuntungan (profit) yang diperoleh perusahaan. Sebagai solusi, perusahaan bakal berhenti buat merekrut karyawan baru. Perusahaan juga mengurangi 25 ongkos produksi dengan mengurangi pembelian peralatan baru, pengembangan produk baru, hingga meminimalkan pengeluaran buat pemasaran. Adanya pengurangan-pengurangan tersebut nantinya memengaruhi bisnis lainnya yang selama ini bersinggungan. 2. Turunnya pendapatan diikuti dengan merosotnya harga saham dan dividen Perusahaan yang berstatus terbuka atau Tbk. wajib melaporkan pendapatan dan laba yang diperolehnya dalam laporan keuangan tiap kuartal. Perubahan yang terjadi di laporan keuangan memberi pengaruh yang gak sedikit terhadap perubahan harga saham. Harga saham bisa naik kalau pendapatan dan profit perusahaan meningkat. Sementara harganya bakal merosot seandainya pendapatan dan profit perusahaan menurun. Merosotnya harga saham tampak jelas saat terjadinya resesi ekonomi. Soalnya para investor gak mau ambil risiko menempatkan dananya dalam waktu yang lama dalam bentuk saham. 3. Pembayaran kredit perusahaan tersendat-sendat Gangguan yang terjadi pada bisnis akibat resesi ekonomi menyebabkan perusahaan kesulitan membayar kredit yang menjadi kewajibannya. Pasalnya, pendapatan yang turun menjadi hambatan perusahaan dalam membayar kredit atau utang. Dalam situasi tertentu, perusahaan bisa berada dalam situasi gagal bayar atau default karena gak bisa membayar utangnya ke bank ataupun para pemilik obligasi. Singkatnya, perusahaan bisa dikatakan mengalami kebangkrutan. Reputasi perusahaan pun menjadi jelek karena terlambat atau menunggak membayar kredit atau utang. 26 Buruknya reputasi membuat perusahaan bakal sulit dalam memperoleh dana pinjaman. 4. Resesi ekonomi mengakibatkan terjadinya PHK dan berkurangnya benefit karyawan Terjadi pengurangan tunjangan hingga PHK. (Shutterstock) gajiji karyawan termasuk salah satu komponen dari ongkos produksi. Perusahaan yang pendapatan dan profitnya berkurang akibat resesi ekonomi mau gak mau meminimalkan ongkos produksi dengan membatalkan kenaikan upah. Terkadang dalam suatu situasi, pihak perusahaan dan para karyawan bertemu buat membicarakan penyelamatan perusahaan. Beberapa cara ditempuh, mulai dari pengurangan upah hingga pengurangan tunjangan. Kemungkinan-Kemungkinan buruk yang bisa aja terjadi adalah keputusan buat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Bahkan, bukan tidak mungkin, terjadi penutupan pabrik yang dimiliki perusahaan tersebut. 5. Berkurangnya kualitas atau kuantitas dari produk dan jasa yang dihasilkan perusahaan Kualitas barang dan jasa berkurang. (Shutterstock) pemangkasan ongkos produksi atau pengeluaran juga memberi dampak dampak pada kualitas atau mutu dari produk ataupun jasa yang dihasilkan perusahaan. Sebab, kalau kualitas tetap dipertahankan, perusahaan mau gak mau menerima konsekuensi turunnya pendapatan atau profit lebih dalam lagi. 27 DAFTAR PUSTAKA Tulus T.H. Tambunan, Perekonomian Indonesia Era Orde Lama Hingga Jokowi, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2015 ). Musni Umar, Dkk. Terobosan Pemulihan Ekonomi Indonesia, (Jakarta: Forum Kampus Kuning, 2002). Faisal H. Basri, Perekonomian Indonesia, Tantangan dna Harapan bagi kebangkitan Ekonomi IndonesiaI, (Jakarta:Erlangga, 2002). Brata Trisnu Nugroho, Prahara Reformasi Mei 1998, (Semarang: UPT UNNES Press, 2006). Krisis ekonomi global dan upaya penanggu langannya, chapter II. PDF. Ridwan Abdul Malik. (2019, September 16), RMOLUJabar 2019, from http://www.rmoljabar.com/read/2019/09/16/105397/Prediksi-Enggar-TahunDepan-Bakal-Terjadi-Krisis-Ekonomi-GlobalNarita Indrasiti. (2019, September 26), Kontan 2019, from https://www.google.com/amp.kontan.co.id./news/ancaman-resesi-di-depanmata-cermati-tanda-tandanya 28