Academia.eduAcademia.edu

Tinjauan Yuridis Terhadap Operasi Tangkap Tangan Dilihat Dari Perspektif Hukum Acara Pidana

Tinjauan Yuridis Terhadap Operasi Tangkap Tangan Dilihat Dari Perspektif Hukum Acara Pidana Paper Assignment Hukum Acara Pidana Seksi C Dosen Denny Kailimang S.H. Praniti Putri Mirza 2014 050 197 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA JAKARTA Prakata Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Esa yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ilmiah mengenai Tinjauan Yuridis Terhadap Operasi Tangkap Tangan Dilihat Dari Perspektif Hukum Acara Pidana. Makalah ilmiah ini telah penulis susun dengan maksimal. Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka penulis menerima segala saran dan kritik agar penulis dapat memperbaikinya dikemudian hari. Akhir kata penulis berharap semoga makalah ilmiah mengenai Tinjauan Yuridis Terhadap Operasi Tangkap Tangan Dilihat Dari Perspektif Hukum Acara Pidana dapat memberikan manfaat. Jakarta, 10 September 2017                                                                                                    Penulis Daftar Isi Prakata .………………………………………… Daftar Isi …………………………………………. Pendahuluan : 1.1 Latar Belakang ………………………….. 1.2 Tujuan Penelitian ……………………….. 1.3 Metodologi ……………………………… 1.4 Rumusan Masalah ……………………… Isi: 2.1 Analisis ………………………………… Penutupan : 3.1 Simpulan ……………………………….. 3.2 Daftar Pustaka …………………………. Pendahuluan Latar Belakang Operasi Tangkap Tangan atau yang lebih dikenal dengan OTT, santer terdengar sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”) kerap menggelar OTT dan menjaring banyak koruptor. OTT sendiri tidak dikenal didalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”). Dalam KUHAP hanya terdapat 2 (dua) istilah yakni Tertangkap Tangan dan Penangkapan, dimana kedua istilah tersebut memiliki prosedur acara yang berbeda dalam pelaksanaannya. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah apakah OTT memiliki payung hukum yang mengakomodir prosedur dari pelaksanaan atau penerapan OTT tersebut. Permasalahan yang utama dari OTT biasanya adalah mengenai apakah penyelidik memiliki Surat Tugas ataupun Surat Perintah Penangkapan, karena pada tahap penyelidikan belum dapat dilakukan penangkapan berbeda dengan Tertangkap Tangan. Beberapa pihak menyatakan bahwa OTT dapat diklasifikasikan dengan Tertangkap Tangan namun pada kenyataannya OTT telah dilakukan perencanaan dan dugaan serta bukti awal sehingga seharusnya digolongkan sebagai upaya Penangkapan dan wajib disertai dengan Surat Tugas dan Surat Perintah Penangkapan. Sehingga OTT seringkali berujung pada proses pengajuan Pra-Peradilan karena pihak yang tertangkap merasa telah terjadi kesewenang-wenangan dan tidak melalui prosedur yang berlaku. Maka dalam makalah kali ini penulis akan membahas mengenai OTT ditinjau dari Hukum Acara Pidana. Tujuan Penulisan Makalah ini disusun bertujuan tidak hanya demi memenuhi tugas semata, namun terlepas dari itu penulis menyusun karya ilmiah ini bertujuan agar dapat memberikan manfaat serta wawasan bagi yang membaca. Secara terperinci tujuan dari penulisan ini adalah : Untuk mengetahui secara komprehensif apakah yang dimaksud dengan OTT dilihat dari sudut pandang Hukum Acara Pidana; dan Untuk dapat membedakan apa yang dimaksud dengan OTT, Tertangkap Tangan, dan Penangkapan. Metodologi Untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan, penulis menggunakan mengkaji peraturan perundang-undangan terkait. Serta menggunakan metode pengumpulan data dengan mencari bahan referensi dari media masa elektronik, makalah para pengamat dan praktisi di bidang nya dan yang paling utama adalah penulis tidak hanya menyadur bahan data tersebut namun mengkaji dan menganalisa setiap data yang di dapat dengan cermat dan komprehensif. Rumusan Masalah Melihat semua hal yang melatarbelakangi penulisan mengenai Tinjauan Yuridis Terhadap Operasi Tangkap Tangan Dilihat Dari Perspektif Hukum Acara Pidana. Maka, penulis menarik beberapa masalah yakni sebagai berikut: Apakah yang dimaksud dengan OTT apabila ditinjau dari perspektif Hukum Acara Pidana? Apa perbedaan antara OTT, Tertangkap Tangan dan Penangkapan? ISI Analisis Istilah OTT tidak dikenal dalam KUHAP namun terdapat istilah Tertangkap Tangan dan Penangkapan. Berikut adalah beberapa makna dari istilah Tertangkap Tangan, yakni: Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga tahun 2005 hal.1140 ; Tertangkap tangan adalah : Kedapatan waktu melakukan kejahatan atau perbuatan yang tidak boleh dilakukan; tertangkap basah; Menurut J.C.T Simorangkir (Kamus Hukum, Aksara Baru Jakarta 1983 hal.76) ;Tertangkap tangan sama dengan “heterdaad” yaitu : Kedapatan tengah berbuat tertangkap basah; pada waktu kejahatan tengah dilakukan atau tidak lama sesudah itu diketahui orang; Menurut E. Bonn – Sosrodanukusumo (Tuntutan Pidana, Jakarta: Siliwangi, hal.124). Penyidikan delik tertangkap tangan berasal dari Perancis, dimana sejak zaman Romawi telah dikenal delik tetangkap tangan yaitu: delik yang tertangkap sedang atau segera setelah berlangsung yang mempunyai akibat-akibat hukum yang berbeda dengan delik lain; dan Dalam delik tertangkap tangan disebut oleh orang: i) Romawi delictum flagrans; ii) Jerman atau Belanda kuno handhaft (ig) e daet dan versche daet; iii) Perancis flagrant delit; iv) Jerman frische tat. (Andi Hamzah “Hukum Acara Pidana Indonesia” 2005 ed.rev. hal.120) Berdasarkan KBBI, Kamus Hukum maupun Zaman Romawi diartikan bahwa Tertangkap Tangan adalah peristiwa, dimana kedapatan atau tertangkap basah seseorang pada saat melakukan perbuatan yang tidak boleh dilakukan atau kejahatan, atau setidaknya setelah kejahatan tersebut diketahui oleh orang atau yang tertangkap sedang atau segera setelah berlangsung. Sepintas memang sama dengan pengertian Tertangkap Tangan yang ada dibenak orang awam pada umumnya. Namun demikin, apakah pengertian Tertangkap Tangan menurut KBBI dan Kamus Hukum tersebut sama dengan apa yang telah dirumuskan dalam perundang-undangan yang saat ini berlaku. Dalam hal ini, penulis akan mencoba untuk memberikan gambaran tentang pengertian Tertangkap Tangan yang diatur dalam KUHAP yang merupakan peraturan hukum formil dalam pemeriksaan suatu dugaan tindak pidana. Pasal 1 butir 19 KUHAP yang berbunyi: “Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.” Dari ketentuan pasal Pasal 1 butir 19 KUHAP, terlihat adanya penjelasan yang lebih luas tentang Tertangkap Tangan dengan memberikan klasifikasi khusus terkait unsur perbuatan tertangkap tangan, yaitu: Sedang melakukan tindak pidana atau tengah melakukan tindak pidana, pelaku dipergoki oleh orang lain; Atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan; Atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya; Atau sesaat kemudian pada orang tersebut ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya. Penggunaan kalimat “atau” setelah unsur pertama, menunjukkan bahwa unsur pasal tersebut berdiri sendiri, sehingga untuk terpenuhinya perbuatan tertangkap tangan tidak harus memenuhi seluruh unsur pasalnya. Salah satu unsur saja terpenuhi sudah dapat dianggap perbuatan tertangkap tangan. Perbedaan yang sangat mendasar dalam unsur pasal 1 butir 19 KUHAP terdapat pada unsur ke-empat yaitu “atau sesaat kemudian pada orang tersebut ditemukan benda yang diduga keras telah di-pergunakan untuk melakukan tindak pidana yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya”, yang mungkin pengertian ini tidak terdapat dalam benak pikiran orang awam dan juga tidak termasuk dalam pengertian KBBI dan Kamus Hukum. Unsur ke-empat pasal 1 butir 19 KUHAP tidak membutuhkan adanya perbuatan pidana yang dipergoki atau diserukan oleh khalayak sebagai orang yang melakukan. Yang terpenting terkait unsur ke-empat ini adalah ditemukannya sebuah benda yang diduga keras dipergunakan untuk melakukan tindak pidana, sesaat setelah tindak pidana dilakukan, yang menunjukkan bahwa yang menguasai benda tersebut adalah pelakunya. Sehingga dalam unsur ini perlu dipastikan keterkaitan antara barang bukti dengan dugaan tindak pidana yang dilakukan pada saat tertangkap tangan. Selain itu tidak ada keterangan tentang “sesaat kemudian”. Apakah sesaat kemudian tersebut pada hari yang sama, ataukah dapat juga dihari-hari yang lain, tetapi yang terpenting adalah dapat dibuktikannya korelasi antara barang bukti yang ditemukan dengan dugaan tindak pidana yang diduga dilakukan. Pengertian tentang sesaat kemudian dalam unsur ke-empat pasal 1 butir 19 KUHAP adalah identik dengan pengertian peristiwa pidana tersebut “masih baru” dan ditemukannya suatu benda yang telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut, dimana menunjukkan bahwa seseorang itu adalah pelakunya. Jadi, Pasal 1 butir 19 KUHAP yang mengatur tentang Tertangkap Tangan tersebut mensyaratkan ketentuan waktu yang “sesaat/tidak lama” setelah tindak pidana yang tertangkap tangan tersebut dilakukan oleh pelakunya. Sehingga karakteristik ketentuan Tertangkap Tangan sangat jelas apabila dilihat dari waktu terjadinya tindak pidana dan diketahuinya tindak pidana tersebut dilakukan, dimana kondisi spesifik penangkapan dalam hal tertangkap tangan dilakukan tanpa surat perintah dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera (tidak lebih lama daripada segera setelah perbuatan itu dilakukan) menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik dan merupakan penangkapan (vide Pasal 18 ayat (2) KUHAP) yang tidak direncanakan terlebih dahulu dalam arti pelaku dapat ditangkap dimanapun tanpa batasan tempat dan waktu. Bahwa Pasal 18 ayat (2) KUHAP ditegaskan bahwa: “Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat”. Merujuk Pasal 18 ayat (2) KUHAP tersebut, maka secara hukum selain kondisi-kondisi yang terdapat dalam Pasal 1 angka 19 KUHAP yang harus dipenuhi, masih ada syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam hal tertangkap tangan, yaitu adanya barang bukti pada saat penangkapan tersebut terjadi dan dapat dilakukan tanpa disertai dengan surat perintah penangkapan. https://www.abnp.co.id/news/tertankap-tangan Sedangkan yang dimaksud dengan Penangkapan adalah menurut Pasal 1 angka 20 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut: “Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan/atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.” Soal penangkapan, M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 158) mengatakan bahwa alasan penangkapan atau syarat penangkapan tersirat dalam Pasal 17 KUHAP: seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana; dan dugaan yang kuat itu didasarkan pada bukti permulaan yang cukup. Syarat Penangkapan itu sendiri terdiri dari beberapa hal berikut ini: Penangkapan wajib didasarkan pada bukti permulaan yang cukup; Melakukan penangkapan tidak sewenang-wenang Pasal ini menentukan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana. Kewajiban penyelidik atau penyidik dalam melakukan penangkapan adalah tidak berlaku sewenang-wenang terhadap “terduga”/tersangka tindak pidana. M. Yahya juga mengatakan bahwa penangkapan harus dilakukan menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam KUHAP (hal. 157). Selain itu, penting diingat bahwa alasan untuk kepentingan penyelidikan dan kepentingan penyidikan jangan diselewengkan untuk maksud selain di luar kepentingan penyelidikan dan penyidikan (hal. 159). Berpijak pada landasan hukum Masih berkaitan dengan fungsi penangkapan, menurut M. Yahya (hal. 157) sebagaimana kami sarikan, wewenang yang diberikan kepada penyidik sedemikian rupa luasnya. Bersumber atas wewenang tersebut, penyidik berhak mengurangi kebebasan dan hak asasi seseorang asal masih berpijak pada landasan hukum. Salah satu bentuk pengurangan kebebasan dan hak asasi itu adalah dengan dilakukannya penangkapan. Akan tetapi harus diingat bahwa semua tindakan penyidik mengenai penangkapan itu adalah tindakan yang benar-benar diletakkan pada proporsi demi untuk kepentingan pemeriksaan dan benar-benar sangat diperlukan sekali. Tidak menggunakan kekerasan Setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan penyiksaan tahanan atau terhadap orang yang disangka terlibat dalam kejahatan.Hal ini juga berkaitan dengan salah satu hak yang dimiliki oleh tahanan, yaitu bebas dari tekanan seperti; diintimidasi, ditakut-takuti dan disiksa secara fisik. Penjelasan lebih lanjut mengenai hak-hak di atas dapat Anda simak dalam artikel Perbedaan Hak Tersangka & Terpidana. Penyidik tidak boleh menggunakan kekerasan, kecuali dibutuhkan untuk mencegah kejahatan membantu melakukan penangkapan terhadap pelanggar hukum atau tersangka sesuai dengan peraturan penggunaan kekerasan. Melengkapi penangkapan dengan surat perintah penangkapan Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa. Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat. Dalam melaksanakan penangkapan wajib dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut: keseimbangan antara tindakan yang dlakukan dengan bobot ancaman; senantiasa menghargai/menghormati hak-hak tersangka yang ditangkap; dan tindakan penangkapan bukan merupakan penghukuman bagi tersangka. Secara umum, kewajiban petugas kepolisian dalam melakukan penangkapan, yaitu: memberitahu/menunjukkan tanda identitasnya sebagai petugas Polri; menunjukkan surat perintah penangkapan kecuali dalam keadaan tertangkap tangan; memberitahukan alasan penangkapan; menjelaskan tindak pidana yang dipersangkakan termasuk ancaman hukuman kepada tersangka pada saat penangkapan; menghormati status hukum anak yang melakukan tindak pidana dan memberitahu orang tua atau wali anak yang ditangkap segera setelah penangkapan; senantiasa melindungi hak privasi tersangka yang ditangkap; dan memberitahu hak-hak tersangka dan cara menggunakan hak-hak tersebut, berupa hak untuk diam, mendapatkan bantuan hukum dan/atau didampingi oleh penasihat hukum, serta hak-hak lainnya sesuai KUHAP. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt560b4bb076c30/hal-yang-wajib-diperhatikan-saat-polisi-melakukan-penangkapan OTT sendiri diklasifikasikan sebagai bagian dari Tertangkap Tangan, taktik OTT tersebut adalah guna memenuhi syarat delik formil dan materiil. Namun terdapat pandangan bahwa OTT yang berdasarkan pada tindakan “penjebakan” merupakan tindakan yang melanggar hukum dan HAM. Mengambil contoh dari OTT KPK, berdasarkan pendapat para ahli hukum, dalam OTT, KPK mempergunakan teknik-teknik pengumpulan barang bukti untuk dapat menandingi kecanggihan aktivitas korupsi yang dilakukan oleh koruptor. Adapun teknik yang mengemuka adalah penyadapan dan penjebakan. Penyadapan digunakan KPK sebagai dasar penangkapan pada mantan Ketua MK Akil Mochtar. Sedangkan penjebakan dilakukan KPK dalam operasi tangkap tangan terhadap mantan Komisioner KPU Mulyana Wirakusumah. Menurut Pasal 1 butir 19 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, “Penyadapan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan atau penyidikan dengan cara menyadap pembicaraan, pesan, informasi, dan/atau jaringan komunikasi yang dilakukan melalui telepon dan/atau alat komunikasi elektronik lainnya.” Penyadapan dengan tujuan mendapatkan informasi secara tidak sah merupakan pelanggaran HAM menurut Penjelasan Pasal 40 UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, karena melanggar hak pribadi seseorang terkait kepemilikan atas informasi pribadi. Pengaturan tentang penyadapan dalam Pasal 12 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi legitimasi bagi KPK dalam melakukan penyadapan terhadap para koruptor. Masalahnya, UU No. 30 Tahun 2002 tidak menjelaskan secara detail mengenai prosedur penyadapan oleh KPK. Selama ini penyadapan yang dilakukan oleh KPK didasarkan kepada prosedur tetap (Protap) dan standard operational procedures (SOP) sendiri. Hal ini berbeda dengan aturan penyadapan yang terdapat pada UU No. 35 Tahun 2009, UU No. 36 Tahun 1999, dan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Terorisme. Ketiga Undang-Undang ini mengatur lebih jelas mengenai prosedur penyadapan terutama berkaitan dengan izin dan jangka waktu dilakukannya penyadapan. Selain penyadapan, KPK juga melakukan “penjebakan” dalam operasi tangkap tangan. “Penjebakan” merupakan istilah yang tidak lazim digunakan dalam hukum pidana Indonesia. “Penjebakan” berasal dari kata asing entrapment yang banyak digunakan di Amerika Serikat. Meski hukum pidana Indonesia tidak mengenal adanya penjebakan, namun pada pengungkapan tindak pidana narkotika dan psikotropika digunakan teknik serupa dengan “penjebakan” yaitu teknik penyidikan penyerahan yang diawasi/di bawah pengawasan dan teknik pembelian terselubung. Kedua teknik ini diatur Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika jo. Pasal 75 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Penggunaan teknik ini ditentang oleh beberapa kalangan untuk dipakai dalam mengungkap tindak pidana korupsi dengan beberapa alasan antara lain karena tidak ada hukum yang mengatur penjebakan terkait korupsi di Indonesia; penjebakan harusnya dilakukan terhadap orang yang telah melakukan suap sebelumnya dengan sempurna; dan penjebak harusnya merupakan penyidik KPK. Aturan yang sangat minim tentang penyadapan dan ketiadaan aturan penjebakan oleh KPK sangat rentan terhadap penyalahgunaan. Ketiadaan hukum yang jelas tentang penyadapan membuat KPK dapat melakukan penyadapan terhadap siapapun dan apabila hasil penyadapan berada di tangan pihak yang salah dapat dimanfaatkan untuk memeras pihak yang disadap. Sedangkan berkaitan dengan “penjebakan”, pada dasarnya dapat dilakukan selama diatur secara jelas dalam UU berkenaan dengan kapan penjebakan dapat dilakukan, siapa yang berhak menjebak dan siapa yang berhak mengeluarkan izin penjebakan. http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-V-24-II-P3DI-Desember-2013-4.pdf Penutup Simpulan OTT dengan Tertangkap Tangan adalah sama dalam prosedur pelaksanaannya, namun berbeda dengan Penangkapan. Meskipun OTT tidak diakomodir secara eksplisit oleh satu aturan tertentu namun KUHAP masih dapat memayungi dan memberikan legal standing yang kuat terhadap perbuatan OTT. Daftar Pustaka Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukun Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) https://www.abnp.co.id/news/tertankap-tangan http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt560b4bb076c30/hal-yang-wajib-diperhatikan-saat-polisi-melakukan-penangkapan http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-V-24-II-P3DI-Desember-2013-4.pdf