Academia.eduAcademia.edu

DISTORSI PENAFSIRAN TERHADAP AL-QURAN: Telaah atas Kebatilan Pendekatan Hermeneutika Terhadap Al-Quran

Alquran and tafsir study in the beginning was destinated to add that faith and knowledge of Moslem. By deeping Al-Quran and the meaning / tafsir Moslem to be strong and obey to the Islamic teaching. Everything will be realized when someone believed that Al-Quran is Allah statements lafadz and meaning.But in the development, there was movement when then perception toward Al-Quran was changed. For example: when someone asked the otentecity of Alquran as Allah statements, finally Al-Quran study didn't give meaning for the variegated for knowledge of someone. This writing tried to trace back the deviation models in tafsir Al-Quran, mainly in hermeneutic application for Al-Quran study.

PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 9, No. 2, Juli 2007: 192-208 DISTORSI PENAFSIRAN TERHADAP AL-QURAN: Telaah atas Kebatilan Pendekatan Hermeneutika Terhadap Al-Quran Syamsul Hidayat Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl. A. Yani, Tromol Pos I, Pabelan Kartasura, Surakarta 57102 Telp. (0271) 71741, 719483 (Hunting) Faks, (0271) 715448 Abstract Alquran and tafsir study in the beginning was destinated to add that faith and knowledge of Moslem. By deeping Al-Quran and the meaning / tafsir Moslem to be strong and obey to the Islamic teaching. Everything will be realized when someone believed that Al-Quran is Allah statements lafadz and meaning.But in the development, there was movement when then perception toward Al-Quran was changed. For example: when someone asked the otentecity of Alquran as Allah statements, finally Al-Quran study didn’t give meaning for the variegated for knowledge of someone. This writing tried to trace back the deviation models in tafsir Al-Quran, mainly in hermeneutic application for Al-Quran study. Keywords: in vain ta’wil, hermeneutic, world view, ilhad, meaning. 192 Distorsi Penafsiran terhadap Al-Qur’an: Telaah atas ... (Syamsul Hidayat) Pendahuluan Al-Quran sebelum memasuki kandungan-kandungannya telah menyajikan dirinya secara sangat indah bagi orang yang mengimaninya. Al-Quran dibuka dengan surat alFatihah, yang para ahli tafsir (mufassirin) sepakat bahwa ia mengandung pokok-pokok dan garis besar isi AlQuran. Itulah sebabnya ia disebut disebut juga dengan surat Al-Asas, Ummul Kitab, Ummul Quran, al-Sab’ul Matsani dan seterusnya. Begitu memasuki Al-Baqarah, kita disuguhi oleh tipologi atau kriteria manusia dalam merespon hidayah al-Quran. Allah membagi manusia dalam tiga golongan, yaitu: pertama, kelompok yang mengimani kebenaran Al-Quran, dan sama sekali tidak meragukannya. Ini ditunjukkan dengan meyakini segala yang diberitakan AlQuran, meskipun hal-hal yang ghaib sekalipun, dan mereka menjalankan hukum-hukumnya, dicontohkan menegakkan shalat dan membayar zakat (infaq), serta mengimani kebenaran adanya hari Akhir dan mempersiapkannya. Kelompok ini disebut Muttaqin. (Al-Baqarah: 1-5) Kedua, kelompok yangterang-terangan menolak dan mengingkari Al-Quran. Kelompok ini menutup diri dari hidayah alQuran dan akhirnya Allah memperkuat tutupnya pada hati nuraninya, pendengaran dan penglihatannya. Sehingga orang yang seperti itu diberi peringatan atau tidak, sama saja. Kelompok ini adalah kaum kafirun atau alladzina kafaru. (Al-Baqarah: 6-7). Ketiga, kelompok orang yang hakekat kafir, tetapi menampilkan dirinya seolah-olah beriman. Mereka punya penyakit sebagai penipu, yakni menipu Allah dan orang-orang yang beriman. Mereka mengira tipu dayanya bermanfaat bagi diri mereka. Allah tidak dapat ditipu, sebaliknya mereka sendiri yang akhirnya tertipu. Agaknya kelompok yang mirip dengan kelompok yang ketiga inilah yang acapkali melakukan pendistorsian terhadap penafsiran Al-Quran. Seolah-olah mereka mengkaji AlQuran, mengkaji Islam, tetapi pada saat yang sama mereka menghina AlQuran, mereka pertanyakan kembali keotentikan Al-Quran. Padahal, AlQuran telah menegaskan bahwa ia adalah kitab yang la raiba fih. Dan kaum muslimin menyepakati keyakinan ini. Mempertanyakan keotentikan Al-Quran sebagai kalam Allah, sama saja dengan keluar dari Islam (murtad=kafir). Tuduhan-tuduhan keji terhadap Al-Quran telah ada sejak jaman Nabi Muhammad SAW. Jadi hakekatnya, penyimpangan, manipulasi dan penodaan terhadap Al-Quran itu telah ada sejak awal Al-Quran diturunkan. Itulah sebabnya Al-Quran perlu menegaskan otentisitasnya sebagai kalam 193 PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 9, No. 2, Juli 2007: 192-208 Allah. Bukan perkataan penyair dan bukan perkataan dukun (kahin) sebagaimana dituduhkan oleh kaum munafiqun dan kafirun Quraisy kepada Nabi Muhammad. (al-Haqqah: 38) Di akhir jaman ini, umat Islam juga dihadapkan kepada banyak bentuk penyimpangan penafsiran (altafasir al-batilah), baik yang dilontarkan oleh kaum kafirun orientalis Barat, maupun kaum “munafiqun” mereka yang masih mengaku dan mungkin merasa sebagai muslim tetapi ragu dan meragukan kebenaran agama dan kitabnya. Salah satu metodologi yang digunakan dan ditawarkan oleh mereka ini adalah metode hermeneutika. Metode ini dipandang sebagai metode alternatif yang lebih produktif, ketimbang tafsir “konvensional” yang selama ini digunakan oleh umat Islam. Prof. Dr. M. Amien Abdullah, gurubesar Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, menyatakan bahwa pembacaan Al-Quran versi tafsir konvensional adalah pembacaan pengulangan belaka dan tidak memberikan makna. Ia menyebut tafsir AlQuran yang ada saat ini adalah qiraah mutakarrirah. Untuk itu perlu dihadirkan pembacaan teks yang lebih produktif yakni hermeneutika Al-Quran, 1 194 yang kemudian disebut dengan qiraah muntijah.1 Patut ditanyakan apakah pernyataan Prof. Amin ini telah benarbenar dibuktikan dengan riset yang mendalam terhadap khazanah Tafsir Al-Quran? Beliau bukan ulama yang mendalami ilmu-ilmu Al-Quran dan tafsirnya. Mana tafsir yang tidak memberi makna. Penyataan seperti ini, agaknya dilatarbelakangi oleh sebuah mitos bahwa orientalis Barat pakar dan kaya akan metodologi, sementara umat Islam miskin metodologi. Hasil akhirnya, kritis terhadap pemikiran para ulama dan mufassirin, bahkan menghujat mereka, dan pada saat yang sama apresiatif bahkan mengkultuskan pemikiran Orientalis Barat yang nyata-nyata kuffar. Meskipun demikian kita tidak a priori terhadap Barat alias serta-merta anti Barat. Pemikiran Barat yang baik dan cocok bagi Islam bisa diambil. Dalam istilah Prof. Syed Naquib AlAttas, kita perlu melakukan borrowing process ketika kita harus menggunakan pemikiran dari luar Islam. Borrowing process itu meliputi selektivitas dalam mengambil, melakukan penyesuaian (islamisasi), sehingga yang sejalan dengan pandangan hidup Islam akan diterapkan dan yang tidak sesuai M. Amin Abdullah, “Al-Ta’wil al-‘Ilmi” Jurnal al-Jamiah Vol. 1999, hlm. 20 Distorsi Penafsiran terhadap Al-Qur’an: Telaah atas ... (Syamsul Hidayat) dikembalikan kepada asalnya.2 Tulisan singkat ini ingin mencermati beberapa penyimpangan pemahaman dan penafsiran Al-Quran yang berujung kepada penghujatan dan penodaan terhadap Al-Quran, baik di masa lalu maupun dan terutama yang berkembang saat ini. Ta’wil Ekstrem (al-ta’wil albaid) dan Tafsir Batil (al-tafsir al-batil) Penafsiran dan penakwilan yang menyimpang atas Al-Quran ini bukanlah barang baru. Sejak masa awal Islam, ketika mulai terpecahnya umat Islam dalam firqah-firqah yang memunculkan banyak firqah bid’iyyah, seperti mu’tazilah, qadariyah, jabariyah, syi’ah, khawarij, murji’ah dan sebagainya, maka bermunculan penafsiran dan penakwilan Al-Quran dengan menyesuaikan dengan pandangan dan hawa nafsunya. Misalnya dengan beralasan memurnikan aqidah tauhid kepada Allah, Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Allah, mereka juga menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat, seperti tentang istawa ’ala al-’arsy. Mereka menakwilkan bahwa Allah memiliki kekuasaan yang tinggi. Sementara kalangan Ahlussunnah atau Ashabul Hadits atau salafush shalih, dan ini juga yang dipegangi Muhammadiyah, melakukan tafwidh kepada Allah. Yakni menyerahkan hakekat makna dan pengertiannya kepada Allah sesuai dengan keagungan dan kekuasanNya.3 Pemahaman ini dirujukan kepada pernyataan Imam Malik, ketika mendapatkan pertanyaan tentang makna istawa ’ala al-’arsy. Beliau menegaskan bahwa al-istiwa’ ma’lum, yakni ma’lum al-ma’na, wal kaifu majhul (bagaimana bentuk dan cara istiwa tidak dapat diketahui), was su’aalu anha bid’ah (adapun menanyakan tentang hal tersebut adalah bid’ah, artinya terlarang.4 Penafsiran yang perlu dicermati juga adalah penafsiran di bidang hukum, yang dapat kita kategorikan tafsir batil, adalah penafsiran tentang tidak wajibnya jilbab. Di antaranya adalah Muhammad Sa’id Al-Asymawi, seorang tokoh liberal Mesir, yang memberikan peryataan kontroversial bahwa jilbab adalah produk budaya Arab. Pemikarannya tersebut dapat Hamid Fahmi Zarkasyi. “Islam sebagai Pandangan Hidup” dalam Syamsul Hidayat, Pemikiran Islam Muhamadiyah: Respon terhadap Liberalisasi Islam. Solo: UMS-Press. 2005, hlm. 25 3 Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, Yogyakarta: PP Muhammadiyah, 1985, hlm. 15 4 Nasir bin Abdullah, al-Risalah fi I’tiqad Ahlisunnah wa Ashabil Hadits wa al-Aimmah. Riyadh: Dar al-Ashimah. 1998, hlm. 63 2 195 PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 9, No. 2, Juli 2007: 192-208 dilihat dalam buku Kritik Atas Jilbab yang diterbitkan oleh Jaringan Islam Liberal dan The Asia Foundation. Dalam buku tersebut diyatakan bahwa jibab itu tak wajib. Bahkan AlAsymawi dengan lantang berkata bahwa hadis-hadis yang menjadi rujukan tentang pewajiban jilbab atau hijâb itu adalah Hadis Ahad yang tak bisa dijadikan landasan hukum tetap. Bila jilbab itu wajib dipakai perempuan, dampaknya akan besar. Seperti kutipannya: “Ungkapan bahwa rambut perempuan adalah aurat karena merupakan mahkota mereka. Setelah itu, nantinya akan diikuti dengan pernyataan bahwa mukanya, yang merupakan singgasana, juga aurat. Suara yang merupakan kekuasaannya, juga aurat; tubuh yang merupakan kerajaannya, juga aurat. Akhirnya, perempuan serba-aurat.” Implikasinya, perempuan tak bisa melakukan aktivitas apa-apa sebagai manusia yang diciptakan Allah karena serba aurat.5 Buku tersebut secara blakblakan, mengurai bahwa jilbab itu bukan kewajiban. Bahkan tradisi berjilbab di kalangan sahabat dan tabi’in, menurut Al-Asymawi, lebih merupakan keharusan budaya dari- pada keharusan agama.http:// fokammsi.wordpress.com/2008/04/ 23/jilbab-dalam-pandangan-alqur%e2%80%99an/ - _ftn1 Pernyataan kontroversi tentang jilbab juga dilontarkan oleh pakar tafsir Indonesia M. Quraish Shihab. Pemikirannya tersebut dapat dilihat dalam Tafsir Al-Misbah dan Wawasan Al-Qur’an. Dari kedua tulisannya tersebut diketahui, bahwa M. Quraish Shihab memiliki pendapat yang aneh dan ganjil mengenai ayat jilbab. Secara garis besar, pendapatnya dapat disimpulkan dalam tiga hal. Pertama, menurutnya jilbab adalah masalah khilafiyah. Kedua, ia menyimpulkan bahwa ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang pakaian wanita mengandung aneka interpretasi dan bahwa Al-Qur’an tidak menyebut batas aurat. Ketiga, ia memandang bahwa perintah jilbab itu bersifat anjuran dan bukan keharusan, serta lebih merupakan budaya lokal Arab daripada kewajiban agama.6 Para ahli tafsir menggambarkan jilbab dengan cara yang berbeda-beda. Ibnu Katsir mengemukakan bahwa jilbab adalah selendang di atas kerudung. Ini yang disampaikan Ibnu Fahrur Muis. “Jilbab dalam Pandangan Al-Quran: Kritik terhadap atas Penafsiran Quraish Shihab atal Jilbab dalam tafsir al-Misbah” dalam http://fokammsi.wordpress.com/2008/04/23/ 6 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1998), cet VII, hal. 171 5 196 Distorsi Penafsiran terhadap Al-Qur’an: Telaah atas ... (Syamsul Hidayat) Mas’ud, Ubaidah Qatadah, Hasan Basri, Sa’id bin Jubair Al-Nakha’i, Atha Al-Khurasani dan lain-lain. Ia bagaikan “izar” sekarang. Al-Jauhari, ahli bahasa terkemuka, mengatakan izar adalah pakaian selimut atau sarung yang digunakan untuk menutup badan. Muhammad bin Sirin berkata, “Aku bertanya kepada Abidah AsSalmani tentang firman Allah,  ‫ﺟﻠﹶﺎﺑِﻴِﺒ ِﻬ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻦ ِﻣ‬ ‫ﻴ ِﻬ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﲔ‬  ‫ﺪِﻧ‬ ‫ ” ﻳ‬Hendaklah “‫ﻦ‬ mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka “ maka ia menutup wajah dan kepalanya, serta hanya memperlihatkan mata kirinya. http://fo-kammsi. wordpress.com/ 2008/04/23/jilbab-dalampandangan-al-qur%e2% 80%99an/ _ftn11 Para ahli tafsir berbeda pendapat dalam masalah mengulurkan jilbab yang dimaksudkan Allah dalam ayat jilbab. Sebagian mereka ada yang menafsirkan dengan menutup wajah dan kepala serta hanya menampakkan satu mata, dan sebagian mereka ada yang menafsirkan dengan menutup muka mereka. http://fokammsi. wordpress. com/ 2008/04/23/jilbab-dalampandangan-al-qur%e2% 80%99an/ _ftn12 7 8 Menurut Al-Qurthubi, jilbab adalah pakaian yang menutup seluruh badan. Ia juga menyebutkan bahwa menurut Al-Hasan, ayat tersebut memerintah kaum wanita untuk menutup separo wajahnya. 7 http://fokammsi.wordpress.com/ 2008/04/23/jilbab-dalampandangan-al-qur%e2%80%99an/ _ftn13 Azzamakhsyari dalam Alkasysyaf merumuskan jilbab sebagai pakaian yang lebih besar daripada kerudung, tetapi lebih kecil daripada selendang. Ia dililitkan di kepala perempuan dan membiarkannya terulur ke dadanya.8 http://fokam msi. word-press.com/2008/04/23/jilbabdalam-pandangan-al-qur%e2% 80%99an/ - _ftn14 Menurut Abu Bakar Al-Jazairi, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka artinya mengulurkan jilbab ke wajah mereka sehingga yang tampak dari seorang wanita hanyalah satu matanya yang digunakan untuk melihat jalan jika dia keluar untuk suatu keperluan.http://fokammsi.wordpress.com/2008/04/ 23/jilbab-dalam-pandangan-alqur%e2%80%99an/ - _ftn15 At-Tirmidzi dalam Al-Mukhtashar Asy-Syamail Al-Muhammadiyyah Syamsuddin Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, www. altafsir.org Az-Zamkhsyari, Al-Kasysyaf, www. Altafsir.com 197 PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 9, No. 2, Juli 2007: 192-208 menafsirkan mengulurkan jilbab dengan menutup seluruh tubuh, kecuali satu mata yang digunakan untuk melihat. Di antara yang memaknai-nya demikian ialah Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Abidah AsSalmani, dan lain-lain.http:// fokammsi.wordpress. com/2008/04/ 23/jilbab-dalam-pandangan-alqur%e2%80%99an/ - _ftn16 Menurut Wahbah Az-Zuhaili, ayat jilbab menunjukkan wajibnya menutup wajah wanita. Karena para ulama dan mufassir seperti Ibnul Jauzi, At-Thabari, Ibnu Katsir, Abu Hayyan, Abu Su’ud, Al-Jashash, dan Ar-Razi menafsirkan mengulurkan jilbab adalah menutup wajah, badan, dan rambut dari orang-orang asing (non mahram) atau ketika keluar untuk sebuah keperluan.http:// fokammsi.wordpress.com/2008/04/ 23/jilbab-dalam-pandangan-alqur%e2%80%99an/ - _ftn17 Dari rujukan di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa jilbab pada umumnya adalah pakaian yang lebar, longgar, dan menutupi seluruh bagian tubuh. Sementara itu, para ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Di antara tafsiran mereka terhadap ayat tersebut ialah: menutup wajah dan kepalanya, serta hanya memperlihatkan mata kirinya; menutup seluruh badan dan separuh wajah dengan memperlihat- 198 kan kedua mata; dan mengulurkan kain untuk menutup kepala hingga dada. Dengan demikian, dapat kita ketahui bahwa para ahli tafsir dari dahulu hingga sekarang telah bersepakat bahwa jilbab adalah sebuah kewajiban agama bagi kaum wanita. Mereka bersepakat tentang wajibnya memakai jilbab dan berbeda pendapat tentang makna mengulurkan jilbab: apakah mengulurkan ke seluruh tubuh kecuali satu mata, mengulurkan ke seluruh tubuh kecuali dua mata, atau mengulurkan ke seluruh tubuh kecuali muka. Jadi, pendapat M. Qurais Shihab yang menyatakan bahwa kewajiban mengulurkan jilbab adalah masalah khilafiyah jelas tidak berdasar. Sebab, para ulama ahli tafsir sejak dahulu hingga sekarang telah bersepakat tentang kewajiban memakai jilbab bagi kaum muslimah. Sebab, perintah tersebut didasari atas dalil baik dari Al-Qur’an maupun hadits dan qarinah (petunjuk) yang sangat kuat. Satu lagi, tafsir makna “Al-Islam” ‘ala Nurcholish Madjid dan Ulil Abshar Abdalla dan kaum Liberalis lainnya. Konsepsi dan terminologi “alIslam” telah menjadi komoditas yang begitu menarik bagi kaum liberalis untuk menyebarkan virus-virus pemikiran yang membahayakan bagi aqidah dan keyakinan Islam. Upaya tersebut dilancarkan dengan melaku- ‫ﺍﻻﺳﻼﻡ‬ Distorsi Penafsiran terhadap Al-Qur’an: Telaah atas ... (Syamsul Hidayat) kan reduksi pemahaman terhadap ter-minologi al-Islam dan mengaburkan antara konsep “islam” (‫) ﺍﺳﻼﻡ‬ ). Reduksi dengan “al-Islam” ( ini di-awali dengan membawa terminology al-Islam menjadi “islam” dan mengalihkan makna terminologis menjadi makna generiketimologis. Dengan demikian AlIslam dianggap sama saja dengan ‘islam’ yang hanya bermakna “kepasrahan” kepada Allah. Dan pengertian generik itulah yang diangkat sebagai makna substatif Islam. Dengan pengertian tersebut, seseorang dapat mengabaikan aspekaspek aqidah dan syari’ah, yang dipandang sebagai aspek-aspek artificial dari agama. Dan ujungnya adalah semua umat beragama selama memiliki kepasrahan kepada Tuhan yang diyakininya adalah Islam. Dengan demikian, ayat yang berbunyi “inna al-dina ‘indallah al-Islam” bukan untuk menyatakan bahwa al-Islam adalah satu-satunya agama Allah, tetapi semua agama dan pemeluk agama adalah memiliki dan mengandung makna Islam, yang implikasi berikutnya tidak boleh ada truth claim. Bagi mereka yang tidak memahami tata bahasa Arab tentu sangat berbahaya karena mungkin saja mereka akan menganggap penafsiran ini merupakan penafsiran yang menarik, penafsiran yang lebih akademik dan seterusnya. Itulah sekedar beberapa contoh penafsiran yang menyalahi qaidahqaidah tafsir Al-Quran sebagaimana dirintis oleh para Ulama yang otoritatif, yang secara berkesinambungan sejak generasi awal Islam (salafus shalih) hingga masa kini. Hasilnya bisa kita lihat, pengaburan dan pendangkalan makna yang mengakibat kendornya iman dan amal Islami. Hermeneutika Al-Quran Hermeneutika adalah ilmu atau teori penafsiran yang berasal dari warisan mitologi Yunani. Ia kemudian di adopsi oleh orang-orang Kristen untuk mengatasi persoalan yang dihadapi teks Bible. Dalam tradisi intelektual Barat ilmu ini berkembang menjadi aliran filsafat. Sebagai sebuah ilmu ia berkembang menurut latar belakang budaya, pandangan hidup, politik, eknomi dan lain-lain. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa hermeneutika adalah ilmu yang lahir dengan latar belakang pandangan hidup Yunani, Kristen dan Barat. Di kalangan Yunani, terdapat pandangan bahwa (1) hermeneutika berasal dari kata Hermes, nama tokoh mitos utusan para dewa. Hermes adalah utusan para Dewa untuk menyampaikan keputusan dan rencana para Dewa. 2) Tapi Hermes atau penyair tidak dapat menyampaikan semua keputusan para dewa. 3) Karena itu 199 PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 9, No. 2, Juli 2007: 192-208 perlu ilmu interpretasi yang dpt menghubungkan alam pikiran Dewata dengan alam pikiran manusia – antara teks dan makna. Penafsir harus lebih cerdas dari pembawa bahkan penulis pesan yang akan disampaikan. Sementara di kalangan Gereja terdapat pandangan bahwa: 1) Hermeneutika timbul karena status wahyu sebagai sumber worldview Kristen bermasalah. (2) Bahasa Bible tidak asli, (3) Tidak ada otoritas memahami Bible, dan (4) Pandangan hidup dlm Bible bertentangan dengan pandangan hidup zaman sekarang. Maka solusi atas problem bible tersebut adalah hermeneutika. Sebagai dalam gambaran sebagai berikut: Hermeneutika Masyarakat Modern Teks Refleksi dari Mitos Refleksi dari Dunia Ilmiah Hermeneutika Dalam gambar di atas digambarkan bahwa Teks Bible cermin dari pandangan hidup mitologis, sedangkan masyarakat modern adalah refleksi dari dunia ilmiah. Jarak antara isi teks Bible dengan dunia ilmiah perlu dijembatani dengan ilmu hermeneutika. Contoh kasus: kutukan Gereja thdp J.Lepler dan Galelio Gelilie.9 Dr. Syamsuddin Arif menjelaskan bahwa dalam hermeneutika bible terdapat tiga pendekatan, yang ini kemudian banyak berpengaruh terhadap penafsiran Al-Quran, baik yang dilakukan oleh kaum Orientalis maupun kalangan akademisi muslim yang terbaratkan. Tiga pendekatan itu adalah: (1) Bibel menafsirkan dirinya (ipsius interpres), (2) Ayat-ayat saling berkaitan (thematic), (3) Konteks sejarah (Sitz im Leben).10 Pertama, Bibel menafsirkan dirinya (ipsius interpres) memiliki maksud bahwa: (a) Tafsir bibel bukan monopoli Gereja, (b) Ayat-ayat saling menjelaskan (c) Tidak perlu merujuk pada tradisi (pendapat para tokoh Gereja). Pandangan ini berpengaruh kepada penafsiran Al-Quran karena seolah-olah “mirip” (tetapi tidak sama dengan) metode tafsirul Qur’an bil Qur’an. Kedua, Ayat-ayat saling berkaitan (thematic) memiliki pengertian bahwa: (a) Ayat-ayat saling berhubungan, (b) Pemahaman mesti holistik (menyeluruh), (c) Pendekatan tematik. Pandangan ini juga mempengaruhi penafsiran Al-Quran karena “mirip” Hamid Fahmi Zarkasyi. Nilai di Balik Hermeneutika. Jurnal Islamia Vol. 1 No. 1, 2004, hlm. 16 10 Syamsuddin Arif. Mengupas Hermeneutika. Presentasi seminar MPI-UMS, 2008 9 200 Distorsi Penafsiran terhadap Al-Qur’an: Telaah atas ... (Syamsul Hidayat) dengan metode tafsir maudhu’i. Ketiga, Konteks sejarah (Sitz im Leben), dimaksudkan sebagai: (a) Pendekatan sinkronik-diakronik, (b). Pendekatan historis kritis (c) Mempertimbangkan konteks sejarah, budaya, politik masyarakat zaman itu. Pendekatan ini “mirip” (meski tidak sama dengan) pendekatan Asbabun Nuzul. Di samping itu Hermeneutika sebagaimana dikemukakan oleh tokoh-tokoh pengusung hermeneutika seperti Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, Gadamer maupun Habermas, membawa pandangan bahwa : (1) Tidak ada kitab / buku yang suci (semua kitab bukan wahyu atau verbum dei), (2) Kitab yang dipandang suci harus diperlakukan sama dan setara dengan buku-buku lain, (3) Pendekatan sastra (literary approach) atau Bibel sebagai karya sastra. Implikasi dari penggunaan hermeneutika terhadap penafsiran AlQuran antara lain: Pandangan Arkoun dan Pengaruhnya Mohamed Arkoun, guru besar pemikiran Islam di Sorbon, mengatakan bahwa mushaf Uthmani tidak lain hanyalah produk social dan budaya masyarakat dan ia telah dijadikan sebagai sesuatu yang “tak terpikirkan” disebabkan semata-mata kekuatan dan pemaksaan dari penguasa resmi. (Arkoun, 2002: 89) Ia juga menganut pendekatan historis Al-Quran, yang mengatakan bahwa Al-Quran adalah hasil rumusan tokoh-tokoh histories yang kemudian mengangkat status-nya menjadi kitab Suci. Namun ia menyadari bahwa pandangan ini akan menantang penafsiran transenden yang dihasilkan para mufassir yang diikuti mayoritas umat Islam. Berdasarkan pendekatan ini Arkoun, melakukan modifikasi dengan membagi AlQuran dalam dua peringkat. Yang pertama ummul Kitab (induk Kitab) dan peringkat kedua adalah berbagai kitab yang ada seperti Quran, Bibel, Weda dan sebagainya. Ummul Kitab merupakan kitab langit yang bersifat abadi, tak terikat oleh ruang dan waktu, mengandung kebenaran tertinggi. Ia berada di luar jangkauan manusia. Wahyu yang seperti ini diamankan di Lauh Mahfudz, dan tetap berada bersama Tuhan sendiri. Sedangkan mushaf yang ada ini adalah edisi dunia. Pada peringkat ini wahyu telah mengalami modifikasi, revisi dan substitusi.11 Secara historis, menurut Arkoun Al-Quran mengalami tiga fase Adnin Armas, Arthur Jeffery: Orientalis Penyusun al-Qur’an Edisi Kritis”, Majalah Islamia, Vol III No.1, 2006, hlm 63 11 201 PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 9, No. 2, Juli 2007: 192-208 perkembangan: (1) masa pewahyuan yang disebut Prophetic Discourse (diskursus kenabian), (2) masa pengumpulan dan penetapan mushaf dan (3) masa pensakralan (ortodoksi). Menurut Arkoun pada masa kenabian, AlQuran lebih suci, lebih otentik dan lebih dapat dipercaya di banding dalam bentuk tertulis. Sedangkan ketika Al-Quran dibukukan dan ditetapkan sebagai mushaf resmi statusnya sebagai kitab yang diwahyukan menjadi berkurang. Dengan demikian mushaf Utsmani yang dipandang sebagai mushaf resmi tidak layak mendapatkan status kesucian, meskipun muslim ortodoks meninggikan dan mengangkat statusnya sebagai kitab suci kalam Tuhan.12 Pandangan Arkoun ini di antaranya diikuti oleh sarjana lulusan UIN Yogyakarta, yang mengatakan: “Umat harus terlebih dulu menempatkan Mushaf Utsmani itu setara dengan teks-teks lain. Dengan kata lain, Mushaf itu tidak sakral dan absolut, melainkan profan dan fleksibel.”.13 Pandangan Nasr Hamid Abu Zayd Nasr Hamid Abu Zayd adalah tokoh intelektual Mesir yang kontro- versial. Ia telah divonis “murtad” alias “kafir” oleh majelis ulama Mesir dan diharuskan menceraikan istrinya dan keluar dari Mesir. Ia merupakan tokoh penting yang menawarkan penerapan hermeneutika dalam studi Al-Quran. Senada dengan Dilthey, Zayd berpendapat bahwa Al-Quran adalah teks manusiawi. Kalam Ilahi terwujud dalam bahasa manusia, karena jika tidak maka kalam Ilahi tidak akan dimengerti manusia. Dalam pandangannya, penekanan Muslim terlalu berlebihan kepada dimensi Ilahi (Divine Dimension) merupakan penyebab terjadinya stagnasi dan kebekuan pemikiran Islam. Bagi Nasr Hamid, Al-Quran adalah perkataan Muhammad yang merekam apa yang beliau anggap sebagai Kalam Ilahi. Ini menunjukan bahwa Nasr tidak yakin atau meragukan bahwa Al-Quran sebagai kalam Allah. Lebih jauh Nasr menyatakan: ”Bagaimana pun, Kalam Ilahi perlu mengadaptasi diri –dan menjadi manusiawi, karena Tuhan ingin berkomunikasi dengan manusia. Jika Tuhan berbicara dengan bahas Tuhan, manusia tidak akan mengerti. Intinya menurut Nasr, Al-Quran adalah bahasa manusia. Perubahan teks Ilahi menjadi teks manusia terjadi Ibid. Aksin Wijaya, Menggugat otentisitas Al-Quran. Ygyakarta: Safiria Insania, 2004 12 13 202 Distorsi Penafsiran terhadap Al-Qur’an: Telaah atas ... (Syamsul Hidayat) sejak peristiwa yang dianggap turunnya wahyu pertama kepada Muhammad. Dalam pandangan Nasr, teks AlQuran turun bergumul dan terbentuk dalam realitas dan budaya selama 23 tahun. Oleh karena itu, Al-Quran bukan lagi dianggap sebagai wahyu suci dari Allah SWT kepada Muhammad saw, melainkan merupakan produk budaya (muntaj tsaqafi). Namun, katanya, ia selanjut menjadi Muntij Tsaqafi (produsen budaya), karena menjadi teks yang disakralkan dan hegemonik, serta menjadi rujukan bagi teks lainnya. Karena realitas dan budaya tidak bisa dipisahkan dari bahasa manusia, maka Nasr menganggap Al-Quran adalah teks bahasa, teks budaya dan teks sejarah. Artinya Al-Quran sama saja dengan teks-teks lainnya sebagai benda kebudayaan.14 Dengan pemahaman demikian, maka studi Al-Quran tidak memerlukan metode dan persyaratan yang khusus, meskipun diakui asal muasalnya dari Tuhan. Jika menggunakan metode dan persyaratan khusus, maka hanya sebagian manusia saja yang memiliki kemampuan untuk memahaminya. Manusia pada umumnya tertutup untuk memahami teks-teks agama. Ini jelas merupakan adopsi teori hermeneutika Schleiermacher dan Dilthey. Nasr menyalahkan penafsiran yang telah dilakukan leh mayoritas mufassir yang selalu menafsirkan al-Quran dengan muatan metafisis Islam. Menurut Nasr Hamid, metode seperi itu tidak melahirkan sikap ilmiah, sebaliknya hanya sebuah dogma yang hegemonik dan apologetik.15 Bahaya Tafsir Batil dan Hermeneutika Al-Quran Bahaya tafsir batil atau dalam istilah ilmu tafsir adalah tafsir bi al-ra’yi al-madzmum atau dapat disebut juga tafsir bil hawa, berbentuk pendangkalan dan pembelotan aqidah, perubahan hukum-hukum baik ibadah, muamalah maupun ahwal syahsiyyah, atau berupa praktek sufi yang dipenuhi kebid’ahan. Namun dapat dikatakan mereka masih mengakui otentisitas Al-Quran sebagai wahyu Allah. Ini dapat kita lihat pada tafsir kalangan Syi’ah, Mu’tazilah, Ahmadiyah dan sebagainya. Firqahfirqah ini adalah firqah bid’iyyah, yang mayoritas umat Islam meyakini kesesatannya. Namun mereka masih mengakui keotentikan Al-Quran Adnin Armas., Arthur Jeffery: Orientalis Penyusun al-Qur’an Edisi Kritis”, Majalah Islamia, Vol III No.1, 2006, hlm. 77 15 Ibid. hlm. 78 14 203 PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 9, No. 2, Juli 2007: 192-208 sebagai kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW, hanya saja penaf-siran mereka yang mulhid dan mulgha. Sementara itu pengusung hermeneutika Al-Quran dari kalangan Liberalis, tidak hanya melakukan ilhad dalam pemahaman dan studi Quran, mereka tidak lagi beriman kepada keotentikan Al-Quran sebagai kalam Allah. Mereka menuduh al-Quran adalah karya Muhammad. Bahkan mereka memandang bahwa mushaf Al-Quran mengandung banyak masalah, sehingga Al-Quran perlu diedit ulang sesuai dengan perkembangan pemikiran. Karena Al-Quran dipandang sebagai produk budaya, dengan hermeneutika semua orang bebas memahami Al-Quran, sesuai dengan alam pikir masing-masing, Semua orang juga bebas memilih cara membacanya, karena teks mushaf Quran yang asli tidak ada tanda bacanya. Kaedah-kaedah baku yang selama ini dipraktekkan para ulama tidak perlu digunakan lagi, karena hanya akan membelenggu pemikiran. Hermeneutika yang merupakan sumber liberalisasi penafsiran AlQuran lebih berbahaya daripada ta’wil al-ba’id atau tafsirul hawa di atas. Kalau pemahaman Ahmadiyah tentang makna khataman nabiyyin telah dipandang sesat, bahkan Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah 204 memfatwakan termasuk kafir, maka sesungguhnya hermeneutika AlQuran yang membuah totalitas liberalisasi tafsir Quran lebih dari itu, karena metode ini melahirkan kekafiran kepada kebenaran Al-Quran. Keluar dari rukun Iman, alias keluar dari bingkai Islam. Bahkan tidak hanya kafir, tetapi kuffar, karena melawan dan memusuhi al-Quran. Catatan Akhir Pemahaman atau Studi Quran dengan tafsir bil ra’yi (al-madzmum = bil hawa) dan hermeneutika, jelasjelas tidak sesuai dengan apa yang diajarkan oleh al-Quran sendiri. AlQuran adalah wahyu Allah yang otentik, la raiba fih, bukan perkataan Muhammad, bukan perkataan penyair, bukan pula perkataan peramal, tukang tenung ataupun orang gila. AlQuran menantang sekiranya manusia dan jin berkumpul untuk membuat semisal Al-Quran meski satu ayat saja mereka takkan bisa membuatnya. Al-Quran yang kebenarannya hanya dapat diyakini dengan keimanan, maka para ulama yang otoritatif seperti Imam Al-Tabari, mensyaratkan aqidah dan niat yang ikhlas dan komitmen terhadap Sunnah sebagai syarat utama penafsiran Quran. Orang yang cacat aqidah tidak akan dapat mengemban amanah keduniaan dengan baik, apalagi Distorsi Penafsiran terhadap Al-Qur’an: Telaah atas ... (Syamsul Hidayat) urusan keagamaan. Imam al-Suyuti juga menyebutkan bahwa sikap sombong cenderung kepada bid’ah, menggoyahkan iman dan menumbuhkan cinta dunia yang berlebihan dan terus melakukan dosa. Sikap ini akan menjadi hijab penghalang dari menerima hidayah Allah. Orang yang seperti ini akan sulit memahami AlQuran apa lagi menafsirkannya secara benar. Komitmen kepada Sunnah dan teladan salafus shalih juga menjadi syarat pemahaman Al-Quran, sehingga tidak mudah untuk melakukan ilhad, baik dalam bentuk pendangkalan dan pengaburan aqidah, maupun perubahan hukumhukum Al-Quran dan Sunnah karena kepentingan hawa nafsu keduniaan. Sangat menarik kita perhatikan ayat berikut ini: “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan (setelah Allah menunjukkan) ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” Ayat di atas di angkat oleh KH. Ahmad Dahlan sebagai tema utama dan pertama dalam Tafsir 17 Kelompok Ayat Al-Quran. Dengan ayat ini beliau menggembleng kikhlasan para salafush shalih (al-sabiqunal awwalun) Muhammadiyah. Para pejuang Muhammadiyah harus memurnikan niatnya hanya karena Allah. Ini dibuktikan dengan kebersediaannya untuk mengorbankan harta, waktu, tenaga, pikiran dan segala yang dimilikinya untuk mempelajari, mengamalkan dan memperjuangan Islam. Mujahidin Muhammadiyah melakukan tazkiyatun nafs dari segala dorongan hawa nafsu yang akan membawa seseorang kepada kesesatan. 16 Pandangan ini sejalan dengan Syeikh Abdurrahman Nasir al-Sa’di dalam tafsir Taisir Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan, yang menyatakan bahwa orang menjadikan hawa nafsu sebagai ilahnya akan tersesat dan disesatkan Allah meskipun dia berilmu, yakni telah datang penjelasan dan hujjah tentang H.R. Hajid. Tafsir 17 Kelompok Ayat Al-Quran. Yogyakarta: LPPI-PP Muhammadiyah, 2006. 16 205 PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 9, No. 2, Juli 2007: 192-208 kebenaran. Kesesatan itu berwujud berupa kesombongan, yakni menolak kebenaran dan meremehkan sesama manusia. Mungkin bisa disimpulkan bahwa pusat dan asal muasal kesesatan dan aliran sesat adalah ittiba’ul hawa, yang berwujud kesombongan, arogansi dan mengusung liberalisasi. Mestinya yang pertama-tama dibekukan atau dibubarkan adalah Liberal Islam, semisal JIL, dan sejenisnya. Memahami, menafsirkan kemudian mengamalkan dan memperjuangkan Al-Quran dan Sunnah mem-butuhkan jiwa dan hati nurani yang mukhlis, aqidah yang sahihah dan salimah, kemudian didukung ilmu-ilmu tentang metode dan qawaid al-tafsir. Insyaallah hasilnya tidak akan lari dari kebenaran. Wama taufiqi illah billah, wa fauqa kulli dzi ’ilmin ’Alim. Daftar Pustaka al-A’zami, Muhammad Mustafa. 2005. The History of The Qur’anic Text From revelation to Compilation: A Comparative Study With The Old and New Testaments, (Jakarta: Gema Insani Press) Amal, Taufik Adnan. 2002. “Al-Qur’an edisi kritis,” dalam Wajah Liberal lslam di Indonesia (Jakarta: TUK) _________. 2001. Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an.(Yogya-karta: FkBA) http://fokammsi.wordpress.com/category/kajian-pemikiran/ _ftnref1__________, “Al-Qur’an Edisi Kritis” dalam kolom website Jaringan Islam Liberal. Armas, Adnin. 2005. Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an. (Jakarta: Gema Insani Press) http://fokammsi.wordpress.com/category/kajian-pemikiran/ _ftnref4_______, “Arthur Jeffery: Orientalis Penyusun al-Qur’an Edisi Kritis”, Majalah Islamia, Vol III No.1, 2006, hlm 73. ________. 2003. Pengaruh Kristen – Orientalis terhadap Islam Liberal. (Jakarta: Gema Insani Press) 206 Distorsi Penafsiran terhadap Al-Qur’an: Telaah atas ... (Syamsul Hidayat) Husaini, Adian. 2005. Wajah Peradaban Barat. (Jakarta: Gema Insani Press) Majalah Pemikiran dan Peradaban, ISLAMIA, Shalahuddin, Henry. 2007. Al-Qur’an Dihujat. (Jakarta: Al-Qolam) http://fokammsi.wordpress.com/category/kajian-pemikiran/ - _ftnref2Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, (Yogya-karta: FkBA, 2001). http://fokammsi.wordpress.com/category/kajian-pemikiran/ - _ftnref3Untuk dukungan tokoh-tokoh yang lain silahkan lihat artikel, Adhian Husaini, “Ramai-Ramai Menghujat al-Qur’an”, www.hidayatullah. com: CAP ke-97 Abu Ali Al-Fadhl bin Hasan bin Fadhl Ath-Thabrasi. 1997. Majma’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an. Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah. Abu Bakar Al-Jazairi, Aisarut Tafasir. www.altafsir.com Al-Hafidz Ibnu Katsir. 2003. Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim. Cairo: Darul Hadits. At-Tirmidzi. Al-Mukhtashar Asy-Syamail Al-Muhammadiyyah. tt.Urdun: AlMakatabah Al-Islamiyyah. Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf. www. altafsir.com H.A. Djazuli dan I. Nurol Aen. 2000. Usul Fiqih, Metodologi Hukum Islam. Jakarta: Rajawali Press. Ibnu Abbas, Tanwirul Miqbas min Tafsir Ibn Abbas. www. altafsir. com Ibnu Mandzur, Lisanul Arab.tt. Beirut: Dar Shadir. Muhammad Ali Ash-Shabuny. 2002. Cahaya Al-Qur’an, Tafsir Tematik Surat An-Nur-Fathir, (terj.) Munirul Abidin, MA, dari judul Qabasun min Nuril Qur’anil Karim. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Majma’ Al-Lughah Al-Arabiyyah. Al-Mu’’jam Al-Wasith, tt. Muhammad Al-Muqaddam. 2003. Fiqih Asyratus Sa’ah. Iskandaria: Dar Alamiyah. 207 PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 9, No. 2, Juli 2007: 192-208 Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. 2000. Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an. Mekah: Muassasah Ar-Risalah. Muhammad Jawad Mugniyyah. 1999. Fiqih Lima Mazhab, (terj.) Masykur A.B, Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff, dari judul Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib alKhamsah, Jakarta: Penerbit Lentera. Muhammad Mutawalli Sya’rawi. 2006. Fiqih Wanita, (terj.) Ghozi. M, dari judul Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah. Jakarta: Pena Pundi Aksara. M. Quraish Shihab. 2003. Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian AlQuran Jakarta: Lentera Hati. M. Quraish Shihab. 1998. Wawasan Al-Quran. Bandung: Mizan. Sayyid Sabiq. 2006. Fiqih Sunnah, (terj.) Nor Hasanuddin, dkk. dari judul Fiqhus Sunnah. Jakarta: Pena Pundi Aksara. Sayyid Qutb. Fi Zhilalil Qur’an. www. altafsir.com Syamsuddin Al-Qurthubi. Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an. www. altafsir.org Wahbah Az-Zuhaili. 1991. At-Tafsir Al-Munir fil Aqidah was Syari’ah wal Manhaj. Damaskus: Darul Fikr. Wikipedia Indonesia www.hidayatullah.com www. islamlib.com Yusuf Qaradhawi. 1995. Fatwa-Fatwa Kontemporer. Jakarta: GIP. 208