BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sistem keuangan dan perbankan Islam merupakan bagian dari konsep yang lebih luas tentang ekonomi Islam dimana tujuannya sebagaimana dianjurkan oleh para ulama, adalah memberlakukan sistem nilai dan etika Islam ke dalam lingkungan ekonomi. Karena dasar etika inilah, maka keuangan dan perbankan Islam bagi kebanyakan muslim adalah bukan sekedar sistem transaksi komersial. Persepsi Islam dalam transaksi finansial itu dipandang oleh banyak kalangan Muslim sebagai kewajiban agama. Kemampuan keuangan lembaga Islam menarik investor dengan sukses bukan hanya tergantung pada tingkat kemampuan lembaga itu menghasilkan keuntungan, tetapi juga pada persepsi bahwa lembaga tersebut secara sungguh-sungguh memperhatikan batas-batas yang digariskan oleh Islam.
Upaya insentif pendirian bank Islam (disebut oleh peraturan perundang-undangan Indonesia sebagai “Bank Syariah”) di Indonesia dapat ditelusuri sejak tahun 1988, yaitu pada saat pemerintahan mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (PAKTO) yang mengatur deregulasi industri perbankan di Indonesia. Para ulama waktu itu telah berusaha untuk mendirikan bank bebas bunga tetapi tidak ada satupun perangkat hukum yang dapat dirujuk kecuali adanya penafsiran dari peraturan perundang-undangan yang ada bahwa perbankan dapat saja menetapkan bunga sebesar 0% (nol persen).
Setelah adanya rekomendasi dari Lokakarya Ulama tentang Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua (Bogor) pada 19 – 22 Agustus 1990, yang kemudian diikuti dengan diundangkannya UU No. 7/ 1992 tentang Perbankan dimana perbankan bagi hasil mulai diakomodasi, maka berdirilah bank Muamalat Indonesai (BMI), yang merupakan bank umum Islam pertama yang beroperasi di Indonesia. Pembentukan BMI ini diikuti oleh pendirian Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Namun karena lembaga ini masih dirasakan kurang mencukupi dan belum sanggup menjangkau masyarakat Islam lapisan bawah, maka dibangunlah lembaga-lembaga simpan pinjam yang disebut Baitul Maal wat Tamwil (BMT).
Perkembangan lembaga – lembaga keuangan Islam tersebut tergolong cepat, dan salah satu alasannya ialah karena adanya keyakinan kuat dikalangan masyarakat Muslim bahwa perbankan konvensional itu mengandung unsur riba yang dilarang oleh agama Islam.
Rumusan Masalah
Apa Pengertian dari Bank Syariah ?
Bagaimana Sejarah Berdirinya Bank Syariah ?
Apa Fungsi Bank Syariah ?
Apa Tujuan didirikannya Bank Syariah ?
Bagaimana Kegiatan Operasional Bank Syariah di Indonesia ?
Bagaimana Perkembangan Bank Syariah di Indonesia ?
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Bank Syariah
Kata bank berasal dari kata banque dalam bahasa Perancis, dan dari kata banco dalam bahasa Italia, yang berarti peti/lemari atau bangku. Kata peti atau bangku menyiratkan fungsi sebagai tempat menyimpan benda-benda berharga, seperti emas, berlian, uang, dan lain sebagainya.
Dalam Al-Qur’an, istilah bank tidak disebutkan secara eksplisit. Tetapi, jika yang dimaksud adalah sesuatu yang memiliki unsur-unsur seperti struktur, manajemen, fungsi, hak dan kewajiban, maka semua itu disebutkan dengan jelas, seperti zakat, shodaqoh, ghonimah (harta rampasan perang), bai’ (jual-beli), maal (harta) dan lain sebagainya yang memiliki fungsi yang dilaksanakan oleh peran tertentu dalam kegiatan ekonomi.
Pada umumnya yang dimaksud dengan bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
Sejarah Berdirinya Bank Syariah
Berdirinya Bank Syariah di Dunia
Pemikir-pemikir Muslim yang menulis tentang gagasan bank yang menggunakan sistem bagi hasil telah muncul sejak lama, misalnya Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948), dan Mahmud Ahmad (1952). Begitu juga dengan Mawdudi (1961) dan Muhammad Hamidullah (1962). Mereka bisa dikategorikan sebagai gagasan pendahulu perbankan Islam.
Sejarah perkembangan bank syariah modern tercatat di Pakistan dan Malaysia sekitar tahun 1940, yaitu upaya pengelolaan dana jamaah haji secara non-konvensional.
Rintisan bank syariah lainnya adalah adalah Mit Ghamr Lokal Saving Bank di Mesir pada tahun 1963 yang didirikan oleh Dr. Ahmad el-Najar. Permodalan bank ini dibantu oleh Raja Faisal dari Arab Saudi.
Untuk lebih mempermudah berkembangnya bank syariah di negara-negara Muslim, perlu ada usaha bersama di antara negara Muslim. Maka pada bulan Desember 1970, pada Sidang Menteri Luar Negeri negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Karachi-Pakistan, delegasi Mesir mengajukan proposal untuk mendirikan bank syariah.
Dan pada Sidang Menteri Luar Negeri OKI yang selanjutnya yang bertempat di Benghazi-Libya pada bulan Maret 1973 diputuskan agar OKI memiliki bidang yang khusus menangani masalah ekonomi dan keuangan.
Pada bulan Juli 1973, komite ahli yang mewakili negara-negara Islam penghasil minyak bertemu di Jeddah-Arab Saudi untuk membicarakan pendirian bank syariah.
Akhirnya, pada Sidang Menteri Luar Negeri OKI di Jeddah tahun 1974 disetujui rancangan pendirian Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IDB) dengan modal awal 2 miliar dinar.
Berdirinya Bank Syariah di Indonesia
Di Indonesia, regulasi mengenai bank syari’ah tertuang dalam UUD No.21 Tahun 2008 tentang perbankan syari’ah. Bank Syari’ah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syari’ah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syari’ah, Unit Usaha Syari’ah, dan Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah (BPRS).
Bank Umum Syari’ah adalah bank syari’ah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. BUS dapat berusaha sebagai bank devisa dan bank non devisa. Bank devisa adalah bank yang dapat melaksanakan transaksi keluar negeri atau yang behubungan dengan mata uang asing secara keseluruhan seperti transfer ke luar negeri, inkaso ke luar negeri, pembukaan letter of credit, dan sebagainya.
Unit Usaha Syari’ah adalah unit kerja dari kantor pusat bank umum konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan diluar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syari’ah dan/unit syari’ah. UUS berada satu tingkat dibawah direksi bank umum konvensional bersangkutan. UUS dapat berusaha sebagai bank devisa dan bank non devisa.
Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah adalah bank syari’ah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. BPRS hanya boleh dimiliki oleh WNI dan/badan hukum Indonesia,pemerintah daerah, atau kemitraan antara WNI atau badan hukum Indonesia dengan pemerintah daerah.
Gagasan untuk mendiirkan bank syariah di Indonesia sebenarnya sudah muncul sejak pertengahan tahun 1970-an. Hal ini dibicarakan pada seminar nasional Hubungan Indonesia-Timur Tengah pada 1974 dan pada tahun 1976 dalam seminar internasional yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK) dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika.
Dan gagasan mengenai bank syariah itu muncul lagi pada tahun 1988, di saat pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (Pakto) yang berisi liberalisasi industry perbankan. Para ulama pada waktu itu berusaha untuk mendirikan bank bebas bunga, tetapi tidak ada satupun perangkat hukum yang dapat dijadikan sebagai rujukan.
Setelah adanya rekomendasi dari lokakarya ulama tentang bunga bank dan perbankan di CIsarua-Bogor tanggal 19-22 Agustus 1990, yang kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV Majelis Ulama Indonesia yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, 22-25 Agustus 1990, dan dibentuklah suatu kelompok kerja untuk mendirikan bank syariah di Indonesia.
Bank Muamalat Indonesia lahir sebagai hasil kerja tim perbankan MUI. Akte pendirian PT Bank Muamalat Indonesia ditandatangani pada tanggal 1 November 1991 dan mulai beroperasi pada 1 Mei 1992.
Dalam menjalankan perannya , bank syariah berlandaskan pada UU Perbankan No. 7 tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil yang kemudian dijabarkan dalam S.E. BI No. 25/4/BPPP tanggal 29 Februari 1993.
Fungsi Bank Syariah
Fungsi bank syariah diantaranya tercantum dalam pembukuan standar akuntansi yang dikeluarkan oleh AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution), sebagai berikut :
Manajer investasi, bank syariah dapat mengelola investasi dana nasabah.
Investor, bank syariah dapat menginvestasikan dana yang dimilikinya maupun dana nasabah yang dipercayakan padanya.
Penyedia jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran, bank syariah dapat melakukan kegiatan jasa layanan perbankan sebagaimana lazimnya.
Pelaksanaan kegiatan sosial, sebagai ciri yang melekat pada entitas keuangan syariah, bank Islam juga memiliki kewajiban untuk mengeluarkan dan mengelola zakat serta dana-dana sosial lainnya.
Tujuan Bank Syariah
Bank syariah mempunyai beberapa tujuan, diantaranya sebagai berikut :
Mengarahkan kegiatan ekonomi untuk ber-muamalah secara Islam, khususnya muamalah yang berhubungan dengan perbankan, agar terhindar dari praktek riba atau jenis usaha/perdagangan yang mengandung unsure ghoror (tipuan), dimana jenis-jenis usaha tersebut selain dilarang dalam Islam, juga telah menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan ekonomi rakyat.
Untuk menciptakan suatu keadilan di bidang ekonomi dengan jalan meratakan pendapatan melalui kegiatan investasi, agar tidak terjadi kesenjangan yang amat besar antara pemilik modal dengan pihak yang membutuhkan dana.
Untuk meningkatlan kualitas hidup umat dengan jalan membuka peluang berusaha yang lebih besar, terutama kelompok miskin, yang diarahkan kepada kegiatan usaha yang produktif, menuju terciptanya usaha yang mandiri.
Untuk menanggulangi masalah kemiskinan, yang pada umumnya merupakan program utama dari negara-negara yang sedang berkembang. Upaya bank syariah dalam mengentaskan kemiskinan ini berupa pembinaan nasabah yang lebih menonjol sifat kebersamaan dari siklus usaha yang lengkap seperti pembinaan pengusaha, pembinaan pedagang perantara, program pengembangan modal kerja dan program pengembangan usaha bersama.
Untuk menjaga stabilitas ekonomi dan moneter. Dengan aktivitas bank syariah akan mampu menghindari pemanasan ekonomi diakibatkan adanya inflasi, menghindari persaingan yang tidak sehat antara lembaga keuangan.
Untuk menyelamatkan ketergantungan umat Islam terhadap bank non-syariah.
Kegiatan Operasional Bank Syariah di Indonesia
Kegiatan bank syariah baik dalam penghimpunan dana dan penanaman dana maupun pemberian jasa-jasa berdasarkan Petunjuk Pelaksanaan Kantor Bank Syariah, Bank Indonesia (1999) adalah sebagai berikut :
Penghimpunan dana
Prinsip operasional syariah yang telah ditetapkan secara luas dalam penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip wadi’ah dan mudharabah.
Prinsip wadi’ah (prinsip titipan atau simpanan)
Dalam kegiatan penghimpunan dana masyarakat di bank syariah, prinsip wadi’ah dapat diterapkan pada rekening giro dan tabungan (giro wadi’ah dan tabungan wadi’ah).
Prinsip mudharabah (prinsip bagi hasil)
Mudharabah muthlaqah
Dalam kegiatan penghimpunan dana pada bank syariah, prinsip mudharabah muthlaqah dapat diterapkan untuk pembukaan rekening tabungan dan deposito (tabungan mudharabah dan deposito mudharabah).
Mudharabah muqayyadah
Jenis ini merupakan simpanan khusus (restricted investment) dimana pemilik dana menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus diikuti oleh bank syariah.
Penyaluran dana
Dalam menyalurkan dana kepada nasabah, secara garis besar terdapat 4 (empat) kelompok prinsip operasional bank syariah, yaitu:
Prinsip Jual Beli (bai’)
Prinsip Sewa Beli (ijarah wa iqtina/ijarah muntahiyyah bit tamlik)
Prinsip Bagi Hasil (syirkah) dan
Pembiayaan Lainnya.
Dalam prakteknya, untuk memperoleh pendapatan yang berasal dari aktivitas non pembiayaan, bank syariah dapat menyediakan jasa-jasa perbankan syariah (fee-based services). Selanjutnya, dalam melakukan fungsi sosial, bank syariah juga melakukan kegiatan pengelolaan dana kebajikan yang diperoleh dari zakat, infaq, shadaqah, hibah, atau dana sosial lainnya. Hal tersebut dinamakan qardhul hasan (pinjaman kebajikan). Qardhul hasan adalah pinjam meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu. Atas jasa pinjaman qardh ini, bank syariah dapat membebankan kepada nasabah biaya administrasi.
Perkembangan Bank Syariah di Indonesia
Di Indonesia, perkembangan bank syari’ah dapat diuraikan sebagai berikut:
1980 : Muncul ide dan gagasan konsep lembaga keuangan syari’ah, uji coba BMT salman di Bandung dan koperasi Ridho Gusti.
1990 : Lokakarya MUI dimana para peserta sepakat mendirikan bank syari’ah di Indonesia.
1992 : Pada tanggal 1 mei 1992 bank syari’ah pertama bernama Bank Muamalah Indonesia mulai beroperasi.
1992 : Kemunculan BMI ini kemudian diikuti dengan lahirnya UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang mengakomodasi perbankan dengan prinsip bagi hasil baik bank umum maupun BPRS.
1998 : Keluar UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 Tahun 1992 yang mengakui keberadaan bank syari’ah dan bank konvensional serta memperkenankan bank konvensional membuka kantor cabang syari’ah.
1999 : Keluar UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang mengakomodasi kebijakan moneter berdasarkan prinsip syari’ah dimana BI bertanggung jawab terhadap pengaturan dan pengawasan bank komersial termasuk bank syari’ah. BI dapat menetapkan kebijakan Moneter dengan menggunakan prinsip syari’ah. Pada tahun ini dibuka kantor cabang bank syari’ah untuk pertama kali.
2000 : BI mengeluarkan regulasi opersiaonal dan kelembagaan bank syari’ah dimana BI menetapkan peraturan kelembagaan perbankan syari’ah. Pengembangan pasar uang antarbank syari’ah (PUAS) dan sertifikat wadi’ah Bank Indonesia (SWBI) sebagai instrumen pasar uang syari’ah.
2001 : Pendirian unit kerja biro perbankan syari’ah di Bank Indonesia untuk menangani perbankan syari’ah.
2002 : Peraturan BI No. 4/1/2002 mengenai pengenalan pembuktian bersih cabang syari’ah yang merupakan penyempurnaan jaringan kantor cabang syariah.
2004 : Keluar UU No. 3 tahun 2004 tentang perubahan UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang makin mempertegas penetapan kebijakan moneter dengan yang dilakukan oleh BI dapat dilakukan dengan prinsip syariah.
2005 : Di era UU No. 10/1998 secara teknis mengenai produk mengacu pada PBI No. 7 /46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana bagi bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, yang kemudian sudah diganti dengan PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan Prinsip syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah.
2006 : Pemberian layanan syariah juga semakin dipermudah dengan diperkenalkannya konsep office channeling, yakni semacam counter layanan syariah yang terdapat dikantor cabang/kantor cabang pembantu bank konvensional yang sudah memiliki UUS.
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Prenadamedia) hlm. 63-65
2015 : Sampai dengan saat ini jumlah Bank Syariah, adalah sebagai berikut:
Laporan Statistik Perbankan Syariah Otoritas Jasa keuangan (OJK)
Bank Umum Syariah
Jumlah Bank : 12
Jumlah Kantor : 2.145
Unit Usaha Syariah
Jumlah Bank Konvensional yang Memiliki UUS : 22
Jumlah Kantor : 322
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)
Jumlah Bank : 164
Jumlah Kantor : 477
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Saran
11