Academia.eduAcademia.edu

Binar dan Kabut Media - Kumpulan Tulisan Remotivi

2024

Kumpulan tulisan saya di Remotivi berkaitan dengan media.

Kata Pengantar Hai, di dalam pengantar singkat ini, saya akan menulis refleksi pribadi sepanjang bekerja di Remotivi sebagai penulis dari tanggal 17 Juni 2022 hingga 28 Mei 2024. Pertama kali saya berkenalan dengan Remotivi ketika masih kuliah. Dari pikiran sebagai anak pers mahasiswa di Jogja kala itu, Remotivi serupa website sakral yang perlu dibaca oleh mereka yang bergelut di isu-isu media. Tulisan-tulisannya kritis, menjadi bahan obrolan, dan riset-risetnya serius. Mengamati kolam media di Indonesia, Remotivi sungguh memiliki posisi strategis dan punya niche-nya sendiri: lembaga studi dan pemantauan media. Dengan cakupan kerjanya meliputi penelitian, advokasi, dan penerbitan. Suatu hari, seorang kawan baik yang saya kenal di sebuah koperasi riset di Jakarta Selatan mengirimi pesan via Instagram, namanya Mas Geger, dia menawari saya untuk menulis di Remotivi. Saya tak berpikir panjang langsung mengiyakan, pun ketika ditawari untuk menjadi bagian jadi penulis lepas di Remotivi dengan melewati proses wawancara bersama Pakdir Mas Yoyon, juga Mas Geger via daring jam 7 malam. Saya masih ingat sepintas isi wawancaranya, Mas Yon bilang, standing point Remotivi adalah memihak pada mereka yang jauh (paling jauh) dari kekuasaan. Dalam hati bilang, Ya Allah, ini yang saya cari. Setelah bekerja di Remotivi, saya mempelajari banyak hal, tak hanya yang berkaitan dengan media, tetapi juga kedisiplinan akan deadline, kerajinan melakukan riset, dan bagaimana menulis yang baik. Saya sangat berterima kasih pada para editor yang telah sabar mengedit dan memberi masukan terhadap tulisan-tulisan saya. Juga untuk para ilustrator yang telah mendukung isi pesan tersampai melalui bahasa visual. Selain itu, terima kasih juga untuk kritik-kritik yang membangun di grup Slack. Jadi, saat tulisan terbit, para kawan di Remotivi memberi komentar akan tulisan itu. Salah satu yang saya ingat terkait komentar, ketika nulis opini itu, yang penting selain data adalah sudut pandang kita melihat sesuatu, analisis khas kita yang gak dipunya oleh orang lain, atau singkatnya opini kita sendiri itu kek mana. Di lain kesempatan, bersama teman-teman Remotivi juga, saya mengikuti berbagai kegiatan, seperti main di taman sambil main kartu, makan chiki-chikian, hingga buah-buahan. Game kartunya pun isinya pertanyaan yang mengundang tawa yang terbahak-bahak. Di lain waktu, juga ikut demo terkait iklim dari Taman Menteng, melewati panasnya Jakarta yang bermatahari dua. Tak jarang pula, Remotivi mengadakan diskusi publik berkaitan dengan media. Termasuk juga obrolan warung kopi di Sabang bareng Ageng, Ilham, Vania, Abel, dan Citra. Terus, nonton bareng film “Eksil” di Plaza Senayan sama Bhena, Vania, Yuni, dan Gendis. Atau juga kegiatan lain yang sering saya tak bisa ikuti karena bertabrakan dengan agenda lain. O iya, orang-orang Remotivi juga tak seserius/sekaku yang saya bayangkan di awal, anggotanya suka kirim-kiriman meme, candaan, dan hiburan lucu lainnya; malah saya sendiri yang sebenarnya serius dan kaku, haha. Hm, obrolan terkait Kota Cepu, Blora, tempat kelahiran saya juga belum selesai sama Mas Yoyon, wkwk. Intinya, saya senang mengenal kalian. 2 Buku "Binar dan Kabut Media" ini terdiri dari 20 tulisan. Judul ini harapannya bisa merepresentasikan tulisan-tulisan tersebut, di mana isinya tak melulu soal konflik, polemik, dan masalah (yang disimbolkan dengan kabut), tetapi juga harapan dan peluang di bidang media. Binar punya padanan kata dengan gala, nyala, cahaya, dan elora—saya terinspirasi buzzwords lagu-lagu Pure Saturday dan Sal Priadi. Ada judul lain juga sebenarnya, “Mediapedia” (Media dan Ensiklopedia), kata ini menjadi nama rubrik yang ada di Remotivi untuk menjelaskan kata-kata atau istilah-istilah yang ada di media tapi belum dikenal luas— meski rubriknya sudah tak ada. Awalnya, saya aktif menulis untuk rubrik ini, tapi setelah itu beralih ke tulisan yang berkaitan dengan isu dan konsep, atau opini. Buku ini sebagai arsip tulisan, sebagaimana arsip-arsip lain dari kumpulan tulisan yang saya lakukan. Terakhir, sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih banyak kepada rekan-rekan di Remotivi: Pakdir Yovantra Arief, kemudian editor-editor yang menemani saya tumbuh, Geger Riyanto, Ageng Yudhapratama, dan Aulia Nastiti. Juga teman-teman: Muhammad Heychael, Bhenageerushtia, Firdan Haslih, Ilham Bachtiar, Surya Putra B, Vania Evan, Yuniarsih Nur Azizah, Citra Maudy Mahanani, Winona Amabel, Fadel Arrumy, Anisa K. Putri, Gendis Kendra Disa, Rafi N. Nidiansyah, Jihan Dzahabiyyah, Raihan Lutfhi, Sae R, Rangga Naviul Wafi, dan lain-lain yang datang kemudian meneruskan semangat Remotivi. Terima kasih. Jakarta, Jumat, 2 Agustus 2024 Isma Swastiningrum 3 Daftar Isi Kata Pengantar........................................................................................................................................ 2 Daftar Isi .................................................................................................................................................. 4 Peran Influencer Menggiring Opini Politik di Media Sosial..................................................................... 6 Ilusi Hijau dan Problem Media dalam Membingkai Alam ..................................................................... 10 Fenomena Speech Delay dan Minimnya Tontonan untuk Balita.......................................................... 15 Pelecehan di Kinderflix adalah Pelecehan Akal Sehat .......................................................................... 19 Mengenal Antropomorfisme dalam Dunia Media ................................................................................ 23 Menumbuhkan Literasi dan Konsumsi Media Berkualitas dengan Culture Pass.................................. 27 Karena Netiket, Netizen Tidak Maha Benar.......................................................................................... 32 Climate Inactivity, Mengapa Kita Bergeming terhadap Krisis Besar? ................................................... 37 “Climate Anxiety”, Gelisah dengan Masa Depan Bumi......................................................................... 41 Apa yang Perlu Diperhatikan dari Migrasi TV Analog ke Digital? ......................................................... 44 Flexing, Pamer Kemewahan Demi Perhatian........................................................................................ 48 Podcast, Media Audio Alternatif yang Kini Mendominasi .................................................................... 52 Yang Dilupakan Green-influencer Ketika Berseru tentang Lingkungan ................................................ 55 Menggugah Khalayak dengan Kampanye Lingkungan Kreatif .............................................................. 59 Terjebak “Oversharing”, Perilaku Berbagi Konten Berlebihan ............................................................. 62 Bahaya “Bothsideism” dalam Isu Perubahan Iklim ............................................................................... 65 Kepentingan Konsumen di tengah Hiruk-Pikuk Pemblokiran PSE ........................................................ 69 Jebakan Elsagate: Tontonan Anak-Anak yang Tidak Ramah Anak........................................................ 73 Death Knock, Saat Duka Kematian Diberitakan .................................................................................... 76 Orkestrasi Pasukan Siber di Media Sosial ............................................................................................. 80 4 Untuk: Editor saya Geger Riyanto dan teman-teman Remotivi 5 Peran Influencer Menggiring Opini Politik di Media Sosial esai |13/02/2024 Media & Demokrasi oleh: Isma Swastiningrum Dibaca normal 9 menit. Influencer punya dampak signifikan untuk mengarahkan opini publik terhadap politik dan politisi. Firdan Haslih/Remotivi Rapper, penulis lagu, dan produser rekaman asal AS, Ye (dulu dikenal sebagai Kanye West), menghebohkan publik setelah membeli media sosial bernama Parler. Dirilis pada 2018, Parler mengklaim diri sebagai platform “kebebasan berbicara”, sehingga seseorang yang ingin mengungkapkan apa pun tak perlu merasa khawatir dibungkam. Alasan Ye membeli Parler berawal dari pengalaman buruknya di akun Twitter yang ditangguhkan selama lebih dari seminggu karena postingannya dianggap melanggar kebijakan. Di sisi lain, media sosial ini juga menjadi platform yang digunakan golongan konservatif dan ekstremis (sayap kanan) di AS untuk menggiring narasi politik tertentu. Parler kemudian dianggap menjadi platform hiperpartisan yang mendukung mantan Presiden AS Donald Trump. Ye, sebagaimana dikabarkan media, menjalin kedekatan dengan Donald Trump dan melobi koalisi agar dinominasikan sebagai presiden AS dalam pemilu 2024 mendatang. Ye ingin menjadikan Trump sebagai calon wakil presidennya. 6 Yang menarik di sini, entah sekadar guyon atau memang caranya mencari publisitas, Ye dengan platformnya Parler merupakan salah satu fenomena “influencer politik” yang berkembang seiring menjamurnya media sosial. Dalam kasus Ye, ia tak hanya bertindak sebagai influencer, tetapi juga memiliki “alat produksinya” sendiri untuk menggiring dan mempengaruhi publik. Martin J. Riedl dkk. dalam tulisannya yang berjudul “Political Influencers on Social Media: An Introduction” mendefinisikan influencer sebagai “pengguna media sosial yang memiliki pengikut di platform media sosial karena keahlian khusus mereka dan hubungan otentik yang mereka rawat dengan para pengikutnya.” Influencer dapat dibedakan pula berdasarkan jumlah pengikutnya, dari yang ukurannya nano, mikro, menengah, mega, dan makro. Influencer juga dapat dipilah berdasarkan jumlah platform yang digunakannya. Bahkan, influencer merawat pengikutnya secara berhati-hati dengan mempertimbangkan konten yang ditampilkan, sekaligus menikmati peran mereka dengan berbagai embel-embel kapasitas profesionalnya. Para influencer tersebut menggunakan pengaruh mereka untuk mempromosikan tujuan yang sifatnya spesifik, dari promosi produk perusahaan hingga mengadvokasi pandangan sosial atau politik tertentu. Dalam dunia periklanan, influencer ini mendapat bayaran dan mereka berada di lingkaran emas “komoditas, penjual, pembeli”. Meski demikian, influencer anak-anak dan pemuda dianggap melakukan kerja-kerja bawah umur. Selain itu, New York Times juga mencatat bagaimana kampanye berbayar yang dilakukan oleh influencer mengabaikan aturan iklan politik. Riedl dkk. memiliki istilah khusus untuk menyebut influencer jenis ini yaitu “political influencer” atau “influencer politik”. Mereka merupakan pembuat konten yang mendukung posisi politik dan tujuan sosial kandidat tertentu melalui media yang mereka produksi dan bagikan. Selain itu, influencer politik ini memiliki beberapa kombinasi atribut yang mentereng, seperti atribut yang berkaitan dengan kredibilitas, keahlian, antusiasme, jaringan yang dapat mempengaruhi banyak orang. Influencer ini bertindak secara profesional dan pendapatan utamanya bersumber dari aktivitasnya, meski ada pula sebagian yang bekerja paruh waktu. Orang-orang ini dapat terdiri dari: (1) politisi yang bertindak sebagai influencer di media sosial, (2) influencer politik yang bertindak sebagai penggiring opini, (3) influencer yang menjadi politisi, dan (4) jurnalis yang bertindak sebagai influencer politik. Pertanyaannya kemudian, kenapa kita harus peduli pada influencer politik media sosial ini? Pengaruh Politik Para Influencer Kekuatan pemasaran influencer hari ini sangat terasa, terlebih dengan maraknya media sosial dan iklan di mana-mana. Kesuksesan para influencer politik diukur dari bagaimana algoritma mendukung atau menekan kontennya. Platform adalah infrastruktur yang digunakan oleh influencer untuk terlibat dengan audiens mereka, merentang dari Facebook, Instagram, Telegram, TikTok, Twitch, Twitter, Weibo, YouTube, Google Docs, hingga siniar. Bahkan, dating apps juga bisa digunakan untuk menyebarluaskan pesan. 7 Dua platform yang sangat berpengaruh dalam konteks ini tak lain adalah Tiktok dan Instagram. Kedua platform itu memang dibuat untuk mendukung keseharian influencer. Influencer dapat “menjual” pesan politiknya dengan menggunakan tagar khusus. Tentu saja, efeknya juga berisiko: politik dapat dipahami sebagai sesuatu yang sederhana dan mudah, yang menggiring orang-orang pada sinisme politik berlebihan ataupun menambah ketertarikan (anak muda) terhadap politik. Di Jerman, fenomena itu disebut sebagai “Efek Rezo (Rezo Effect)”, merujuk ke bagaimana influencer di Jerman yang bernama Rezo menyerang partai konservatif Jerman Christian Democratic Union (CDU) dalam sebuah video. Aktivitas Rezo lantas diikuti oleh para influencer lain, yang mampu memberikan peran literasi dan pendidikan politik yang penting bagi publik. Kemudian yang terjadi di India, influencer menjadi alat partai untuk membuat narasi, seperti pembuat opini, memperuncing debat kebijakan dan isu, serta menawarkan arahan ke masyarakat. Dalam kongres Bharatiya Janata Party (BJP), berbagai partai menggunakan figurfigur terkenal dan berpengaruh, merentang dari selebritas, atlet, dan pebisnis sukses untuk meningkatkan suara di pemilihan umum. Bintang yang dipamerkan waktu itu seperti Amitabh Bachchan, Salman Khan, dan Akskhay Kumar. Mereka dilibatkan untuk menciptakan kesadaran terkait agenda partai hingga kebijakan. Untuk mendapatkan audiens yang spesifik, para pendukung calon pejabat politik juga menggunakan influencer yang spesifik, yang non-mainstream atau tidak dikenal dalam dunia infotainment. Berkaca dari kasus di India, ada beberapa praktek yang lazim digunakan oleh politisi. Meskipun demikian, sangat terbuka kemungkinan praktek ini juga dilakukan di negara selain India. Kepentingan Influencer Pertanyaannya kemudian, kenapa kita harus peduli pada influencer politik ini? Masalahnya kemudian, para influencer ini jarang membuka sumber pendapatan mereka. Petra Mahy dkk. dalam “Influencing the Influencers: Regulating the Morality of Online Conduct in Indonesia” mengungkapkan, influencer menghasilkan uang melalui akumulasi modal sosial daring mereka. Seberapa besar jumlah pengikut, like, engagement, dan lain-lain yang dimiliki oleh seorang influencer akan menentukan sejauh mana mereka bisa memanfaatkan pengaruhnya. Singkatnya, influencer dapat melakukan monetisasi atas aktivitas yang mereka lakukan di media sosial. Pengaruh ini bernilai besar bagi para politisi, sebab influencer dianggap mampu “menjual” pesan politik tertentu kepada segmen audiens yang spesifik dengan target yang terukur. Melalui para influencer, politik bisa dibawakan sebagai materi yang sederhana dan ringan, bahkan terkadang receh. Efeknya, influencer dapat menambah ketertarikan khalayak terhadap politik, khususnya di kalangan anak muda. Alhasil, politisi akan dengan senang hati memanfaatkan jasa influencer. Bahkan, politisi tidak hanya memanfaatkan artis dengan nama besar saja untuk menjadi influencer politik. Selain 8 menggandeng artis terkenal, politisi juga kadang mengincar influencer dadakan, yakni mereka yang mendapatkan ketenaran tiba-tiba (notoriety) karena aktivitas media sosial mereka. Di sisi lain, hubungan antara politisi dan influencer merupakan simbiosis mutualisme. Selain mendapatkan uang dari honor sebagai influencer, kedekatan dengan politisi juga berdampak terhadap peningkatan engagement bagi influencer. Semisal, saat influencer Ria Ricis mengunggah video seharinya bersama Joko Widodo dan keluarganya di Istana Kepresidenan di Bogor pada Desember 2018. Tayangan ini sukses mencetak lebih dari delapan juta tayangan di YouTube. Dalam taraf yang membahayakan, influencer memiliki kekuatan untuk mengubah selera dan kecenderungan orang-orang menggunakan fakta, pernyataan, dan standar yang benar. Para influencer ini juga mencari nafkah dengan menjual akun media sosial palsu di bidang bisnis “peternakan klik dan pabrik pengikut (click farms and follower factories)” dengan klien domestik maupun internasional. Mereka tak jarang juga menyebarkan informasi sensasional demi menggaet perhatian dan pengikut baru. Para influencer ini beroperasi melalui ruang-ruang pakaian dan gaya hidup, seperti penggunaan baju Muslim dan pita. Secara mendasar, setiap orang bisa menciptakan audiens mereka sendiri dan mengembangkan dampak mereka. Teknik yang mereka lakukan di antaranya dengan menjadi storyteller. Platform dibuat untuk mempengaruhi kebiasaan pengguna media sosial, dan sebagai ruang sosial untuk berkomunikasi, platform dapat membantu untuk membentuk komunikasi politik (platform politik). Pada Pemilu 2014, misalnya, para influencer politik pendukung Jokowi membagikan gambar di baju mereka, stiker, meme, maupun video yang disebarkan melalui WhatsApp. Bahkan, hal ini sudah dimulai oleh Jokowi sejak ia memasuki gelanggang Pilkada DKI Jakarta 2012. Jokowi menjadi politisi yang memulai tren memaksimalkan media sosial sebagai bagian integral dari kampanye politiknya. Maju ke tahun 2020, kita juga memiliki memori kolektif saat sejumlah pesohor membuat tagar #IndonesiaButuhKerja sebagai bentuk dukungan atas RUU Cipta Kerja. Aktivitas ini sengaja dilakukan untuk menggiring para pengikut agar mendukung pengesahan RUU Cipta Kerja, yang saat itu mendapat tentangan keras dari banyak pihak. RUU kontroversial itu akhirnya berhasil disahkan menjadi UU Cipta Kerja. Namun, ketika influencer politik ini berada di jalan yang benar, mereka dapat menjadi corong untuk mereka yang termarjinalkan. Selain itu, influencer politik bisa menjadi duta bagi pendidikan dan literasi politik. Editor: Ageng Yudhapratama URL: https://www.remotivi.or.id/headline/esai/859 9 Ilusi Hijau dan Problem Media dalam Membingkai Alam esai |08/02/2024 Komunikasi Krisis Iklim oleh: Isma Swastiningrum Dibaca normal 10 menit. Media masih terjebak “ilusi hijau”. Berita lingkungan malah jadi terasa memojokkan alam. Firdan Haslih/Remotivi Gibran Rakabuming Raka sempat menjadi bahan perbincangan dalam debat cawapres terakhirnya. Ia dianggap berusaha menjebak Mahfud MD dengan sebuah konsep asing saat bertanya terkait cara mengatasi green inflation. "Ini tadi tidak saya jelaskan karena beliau ini seorang profesor. Green inflation adalah inflasi hijau, se-simple itu," kata cawapres asal Surakarta itu. Pertanyaan itu lantas dijawab Mahfud dengan konsep hijau lainnya, yaitu ekonomi hijau atau ekonomi sirkuler. Ia menjelaskan bagaimana produk ekonomi bisa didaur ulang kembali (recycle), tanpa membiarkannya mengganggu lingkungan. Mahfud mengambil contoh seperti aktivitas mengolah botol-botol dan sampah plastik yang sudah dipraktekkan oleh masyarakat di Madura. Green inflation dan ekonomi hijau yang disebut dalam fragmen debat di atas, merupakan contoh sempurna bagaimana konsep "hijau" selama ini eksis di publik. Sebuah konsep yang “asing” bagi khalayak umum dan karenanya kerap dieksploitasi di berbagai kesempatan. Sebelumnya, publik juga pernah mengenal aneka konsep hijau yang berbagai-bagai, mulai dari ruang hijau, kota hijau, properti hijau, teknologi hijau, hingga politik hijau. 10 Dengan begitu, “hijau” bukan lagi hanya memiliki makna material, tetapi juga memiliki makna ideologis. “Hijau” tidak hanya menyoal sebuah tempat yang penuh pepohonan, ada aliran sungai, dan ditumbuhi bunga-bunga. Lebih dari itu, “hijau” juga melambangkan kedekatan dengan alam, ramah lingkungan, serta keberlanjutan. Ideologisasi konsep hijau ini lalu mendapat sokongan juga dari media seiring dengan masifnya penggunaan slogan "go green". Akan sangat mudah ditemukan embel-embel “hijau” mulai di koran, televisi, iklan properti yang dipasang di pohon, sampai videotron di jalan-jalan besar. Kembali ke “green inflation”, apabila mengetikkan kata kunci di laman pencari Google, maka hasil pencarian teratas dari Kompas, CNBC, Bisnis Indonesia, Liputan6, Tribunnews, dan Tempo tak lepas dari riding the wave yang dihubungkan dengan debat cawapres. Dari berbagai pengertian di berbagai media tersebut, secara umum inflasi hijau didefinisikan sebagai kenaikan harga barang dan jasa yang disebabkan oleh kebijakan lingkungan berupa transisi hijau. Baik itu kenaikan material mentah maupun energi. Kebijakan ini bersifat jangka panjang karena melibatkan upaya penggunaan energi yang ramah lingkungan. Cita-cita yang terlahir dari turunan varian konsep hijau beberapa dekade ini memang tengah menjadi tren dunia. Apalagi setelah adanya Paris Agreement, berbagai negara di dunia berupaya menurunkan efek rumah kaca yang disebabkan dari produksi karbon yang berlebihan. Ironisnya, konsep hijau yang ditampilkan di media hari ini makin lama malah lebih tampak sebagai ilusi hijau. Abidin Kusno (2011) dalam penelitiannya yang berjudul "The Green Governmentality in An Indonesian Metropolis" mengkritik bagaimana istilah "ilusi hijau" menjadi bahasa perlawanan yang digunakan oleh arsitek hingga aktivis urban dalam gerakan lingkunganisme. Istilah itu muncul untuk menggambarkan diskursus hijau yang saat ini diterima bentuknya sebagai kekuasaan yang memanipulasi, mengkondisikan, dan mengamankan sumber daya produktif bagi kelas-kelas menengah atas, alias untuk para elit. Sialnya, media ikut berperan dalam mendukung ilusi hijau tersebut. Perang Hijau di Media Perang konsep hijau sebenarnya berlangsung dengan sengit secara tak kasat mata di media. Sebab utamanya, media masih mau menerima aneka konsep hijau secara mentah-mentah tanpa berusaha membongkarnya lebih dalam. Konsep “hijau” hanya gimmick dan lip services yang seolah mendukung alam. Padahal seringkali konsep itu hanya sekadar istilah tempelan atau keren-kerenan. Lebih parah lagi, konsep itu akhirnya menjadi ilusi karena dipakai untuk menutupi hal-hal yang sebetulnya “tidak hijau”. Dalam problem ilusi hijau, media juga ikut membantu para pemilik bisnis besar dalam ajakan-ajakan penanaman pohon dari yang jumlahnya ratusan sampai puluhan ribu dengan bantuan para relawan. Alih-alih mengkritisi aksi itu sebagai "pajak eksploitasi” yang dilakukan oleh para perusahaan besar, media cenderung melabelinya sebagai upaya penghijauan yang "ramah lingkungan". Berikutnya, penghijauan juga menjadi upaya untuk 11 branding kota yang tentu bisa menarik wisatawan baik lokal maupun interlokal untuk datang dan berinvestasi. Penelitian berjudul "The Green Battle in The Media: A Framing Analysis of Environmental Press Coverage" dari Anna Mateu dan Marti Dominguez menerangkan terkait bagaimana cara media menggemakan isu dan kontroversi berkaitan dengan lingkungan hidup. Mereka menggunakan analisis framing untuk menjelaskan berita hingga opini terkait lingkungan hidup yang terbit tahun 1980-2018 di Spanyol. Dalam penelitian Mateu dan Dominguez tersebut, terdapat beberapa tipologi framing yang berlaku untuk masalah lingkungan. Di antaranya, di dalam konteks kemajuan sosial, alam muncul sebagai kebalikan dari gagasan kemajuan. Alam mendapat konotasi negatif dalam konteks kemajuan sosial. Alam juga dikonsepkan sebagai sesuatu yang “berbahaya”, “tidak nyaman”, bahkan “liar”, yang harus diintervensi dengan pembangunan. Alam mendapatkan konotasi demikian karena alam dianggap sebagai hambatan dalam pembangunan. Sebuah cara pandang yang jelas salah kaprah. Sebab dalam banyak kasus, pembangunan lah yang seringkali menghambat upaya pelestarian alam. Persis di titik ini media telah ikut berperan menyumbang dikotomi palsu. Padahal kemajuan tak bisa berjalan dengan baik tanpa selaras dan menaruh hormat pada alam. Terlebih ketika membicarakan terkait pembangunan yang "berkelanjutan". Narasi yang merugikan alam akan terlihat pula, misal, saat isu lingkungan ditempatkan sebatas sebagai penopang pembangunan, tanpa mempertimbangkan risikonya yang lebih besar bagi masyarakat. Contohnya, bagaimana gentrifikasi yang terjadi di Teluk Jakarta justru mengorbankan ekosistem laut yang ada di sana, dan menurunkan permukaan tanah tiap tahun. Sebaliknya, jika berbicara di dalam konteks keindahan, alam justru dibingkai sebagai sesuatu yang ideal, memancing kekaguman, dan mengandung nilai estetis. Perspektif yang ditekankan di sini adalah sudut pandang romantis. Kita bisa membaca sendiri hamburan berita sebagai contoh konkret bagaimana media meromantisasi alam. Media kerap menulis tentang alam dengan deskripsi yang begitu menggugah indra dan penuh dengan nuansa keindahan. Kita akan bisa dengan sangat mudah mengetik di pencarian berita dengan buzzwords “pesona”, “keindahan”, “kecantikan”, “wisata” yang berkaitan dengan gunung, pantai, sungai, dan danau yang memancing kegiatan tadabur alam. Namun jangan harap menemukan banyak berita soal sampah di kawasan wisata, perusakan situs alam, pengusiran endemik hewan, penggundulan hutan. Sebab berbagai jejak muram itu bukanlah bagian dari “keindahan alam”. Sedangkan dalam konteks ekonomi dan daya saing, alam dipandang sebagai sumber bahan baku dan nilainya tergantung pada perspektif ekonomi seperti pariwisata, pertanian, perburuan, properti, dan penciptaan lapangan kerja. Bingkai ini juga seolah menyiratkan jika manusia dianggap punya hak untuk mengeksploitasi alam guna mencapai tujuan. Oleh 12 karenanya, alam harus bisa profitable, bersedia tunduk pada eksploitasi, dan mendukung kepentingan ekonomi. Bingkai antroposentris dalam framing ilusi hijau sangat terasa kuat. Kepentingan manusia– yang kebanyakan tinggal di kota besar–akan pemenuhan material dari alam justru jauh lebih ditekankan dalam berita-berita “hijau” daripada isu-isu seputar ekologi dan sosial. Berbanding terbalik, keberadaan teks-teks yang mendukung gagasan terkait keanekaragaman hayati malah kurang terlihat di media. Ini didukung dengan anggapan bahwa alam merupakan “hak warga negara" yang diatur dalam undang-undang. Kasarnya, alam dianggap sebagai barang dagangan publik, elemen rekreasi, hingga kesenangan manusia. Sementara itu, kebijakan ekologi masih harus bertabrakan dengan bagaimana manusia menikmati alam, atas nama kepentingan umum, warisan publik, dan kawasan wisata populer. Hijau di Ranah Politik Pada tahun 1970-an, muncul tren politik hijau dengan ideologi politik yang mencakup pembangunan berkelanjutan, perdamaian, kemajuan sosial, hingga demokrasi di tataran akar rumput. Di negara-negara maju seperti Inggris, Jerman, Belanda, dan Spanyol, gagasan eko-politik berkembang. Negara-negara yang terbelakang dalam kelestarian lingkungan diberikan gambaran suram, termasuk di negara-negara kawasan Asia. Seolah-olah semua menyepakati jika sistem harus “dihijaukan”, termasuk soal politik. Lingkungan hidup dalam konteks ini tak bisa dilepaskan dari politik. Kali ini, Pemilu 2024 akan menjadi tonggak sejarah penting bagaimana isu lingkungan hidup ke depan di Indonesia disikapi. Jika memperhatikan dengan seksama, dalam debat cawapres terakhir– yang salah satu topiknya adalah lingkungan, pernyataan dan pertanyaan ketiga cawapres masih menyudutkan alam sebagai basis dari ideologisasi hijau. Sementara itu, argumen-argumen yang mereka bangun mencerminkan "sikap arogan" manusia ketika mesti menghadapi konsekuensi negatif yang mengorbankan alam. Misalnya, ketika membahas kebijakan pertambangan bahan mineral untuk mendukung hadirnya teknologi tertentu. Ironisnya, demi menyusun argumen mendukung kebijakan yang membawa dampak negatif bagi lingkungan, para kandidat menyebut berbagai contoh dengan embel-embel hijau, seperti penggunaan kendaraan listrik dan teknologi hijau lainnya. Dalih yang selalu mereka kemukakan, adanya teknologi mutakhir tersebut dibutuhkan oleh masyarakat dan dampak negatifnya masih bisa diterima oleh lingkungan. Padahal, tidak. Ozzie Zehner, penulis buku Green Illusions mengkritik, solusi yang berkaitan dengan perubahan iklim, baik itu mobil listrik, sel surya, dan turbin angin, memang mestinya dipahami sebagai ilusi. Masyarakat hingga politisi kerap menggunakan ilusi itu untuk meyakinkan diri bahwa mereka bisa hidup secara berkelanjutan tanpa mengurangi konsumsi. Ilusi ini membuat seseorang mempercayai jika teknologi energi terbarukan memberikan manfaat bagi umat manusia dan planet. 13 Bagi Zehner, masalah utama dalam ilusi hijau bukanlah krisis energi, melainkan konsumsi. Jika konsumsi adalah masalah utamanya, maka fokus perlu diubah dengan mengalihkan pada "energi alternatif" yang “dicurigai” memberikan perbaikan fundamental dalam ranah sosial dan politik. Langkah-langkah itu seperti dukungan terhadap komunitas yang ramah pejalan kaki, tata kelola lingkungan yang lebih baik, hingga peningkatan peran dan hak-hak perempuan. Termasuk dukungan terhadap kebebasan pers yang lebih tinggi, yang memberi manfaat pada peningkatan kualitas lingkungan. Tak kalah penting, media yang seharusnya berperan penting dalam membantah berita yang merusak dan menyudutkan alam, ternyata masih gagap membingkai ideologisasi hijau yang lebih kritis dan berpihak pada alam. Padahal informasi lingkungan hidup berperan sangat penting dan tak terpisahkan dari evolusi gerakan lingkungan hidup, yang sebagian besar isunya berada di tataran lokal. Ditambah lagi, musuh yang dihadapi tentu adalah perusahaan-perusahaan besar dan oligarki pemerintah. Dari berbagai diskusi publik yang digelar untuk menguliti calon presiden dan calon wakil presiden–beserta dengan nama-nama terkenal di belakang mereka, kita tahu mereka semua memiliki hubungan/afiliasi dengan perusahaan energi dan tambang dalam kadarnya masing-masing. Dalam hal ini, para jurnalis lingkungan sangat perlu mendapat dukungan kolektif. Harapannya, dukungan seperti itu akan cukup efektif untuk mencegah virus ilusi hijau menyebar semakin parah dan menghancurkan alam yang kita tempati bersama. Editor: Ageng Yudhapratama URL: https://www.remotivi.or.id/headline/esai/858 14 Fenomena Speech Delay dan Minimnya Tontonan untuk Balita esai |13/12/2023 Media & Keberagaman oleh: Isma Swastiningrum Dibaca normal 9 menit. Gangguan speech delay pada anak usia dini dapat diatasi dengan kehadiran tontonan berkualitas. Namun, Kinderflix saja tidak cukup. Firdan Haslih/Remotivi Ada satu fakta terbaru mengenai kondisi balita di Indonesia yang tampaknya belum terlalu banyak dibicarakan. Hari ini, sebagian mereka mengalami darurat gangguan keterlambatan bicara (speech delay). Saat pandemi Covid-19, angka keterlambatan bicara mencapai angka 20 persen dari jumlah total anak-anak di Indonesia. Artinya, 2 dari 10 anak susah melafalkan satu-dua kosakata tertentu pada usia mereka yang seharusnya. Bahkan, beberapa diantaranya sangat kesulitan atau tak bisa bicara. Jumlah anak penderita gangguan ini semakin tahun semakin meningkat, dan membuat resah banyak pihak. Keterlambatan bicara salah satunya dipicu oleh kurangnya interaksi anak dengan orang tua maupun dengan orang-orang di sekitarnya. Gangguan ini memberi dampak krusial pada kecerdasan dan perilaku anak. Sebagian kecil kasus itu memang terungkap oleh media karena melibatkan nama-nama selebritis tanah air yang anaknya mengalami keterlambatan bicara. Hal tersebut terjadi pada 15 buah hati Nycta Gina, putri bungsu Shireen Sungkar, hingga putra pertama pemeran Jeng Yah dalam serial “Gadis Kretek”, Dian Sastrowardoyo. Kita mafhum apabila para pesohor tersebut dengan mudah dapat membawa anaknya untuk berobat ke terapis, dokter spesialis, atau rumah sakit anak yang mahal. Masalahnya, bagaimana dengan para orangtua dari golongan papa yang anaknya mengalami gangguan serupa? Kurangnya Tayangan Berkualitas untuk Balita Delfano Charies barangkali merupakan salah satu orang yang tahu persis isu darurat ini dan mampu memberikan alternatif solusinya. Bersama Kak Nisa, Kak Aldy, Kak Zalfa, dan Om Kumis sebagai host, ia membuat kanal Kinderflix di YouTube. Kanal ini menyajikan alternatif tontonan bagi orang tua agar dapat mengajak anak-anak balita mereka berinteraksi secara komunikatif dengan melafalkan kata-kata sederhana. Terlepas dari hiruk pikuk tidak bermutu yang sempat membuat Kinderflix viral di media sosial, kanal ini memang memiliki potensi besar untuk membantu anak-anak dengan gangguan keterlambatan bicara. Popularitas video-video Kinderflix yang telah ditonton jutaan kali dalam waktu singkat membuktikan mereka dapat membantu orang tua dari semua golongan kelas. Apalagi kanal ini juga didukung dengan latar belakang pendidikan psikologi dan komunikasi yang dimiliki oleh para host-nya. Tayangan Kinderflix memiliki semangat yang sama dengan apa yang dilakukan YouTuber asal Amerika Serikat, Rachel Griffin-Accurso, dalam kanalnya "Ms Rachel - Toddler Learning Videos". Baik Kindeflix maupun Ms. Rachel, sama-sama membantu orangtua yang buah hatinya mengalami keterlambatan bicara. Mereka dapat mengisi ruang kosong konten berkualitas untuk anak usia dini. Pada tahun 2022, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah anak usia dini di Indonesia sebanyak 30,73 juta jiwa atau 11,21 persen dari total penduduk. Dari jumlah tersebut, sebanyak 12,11 persen berusia kurang dari satu tahun; 58,78 persen berusia 1-4 tahun; dan 29,11 persen berusia 5-6 tahun. Jumlah balita tersebut tentu tak sepadan dengan jumlah tayangan yang sebenarnya dibutuhkan oleh balita. Bahkan data tahun 2019 menunjukkan, hanya 0,07 persen acara televisi yang berkriteria mendidik anak. Jumlah ini hanya serupa kerikil kecil di antara konten tayangan televisi di Indonesia yang menurut data dari Komisi Penyiaran Indonesia/KPI (2019) dikuasai oleh 39 persen iklan, 31 persen sinetron, 15 persen berita. Atas nama bisnis, program-program ini terus kejar tayang dan memburu rating di jam-jam emas (prime time). Pihak Komisioner KPI juga menyebut jika di lingkup dalam negeri, konten anak sangatlah kurang sehingga para pekerja kreatif diminta untuk meningkatkan produksinya menjadi lebih banyak. Tak hanya soal durasi atau jam tayang yang tak cocok terhadap usia anak, tetapi juga konten. Konten yang disajikan di layar kaca Indonesia belum ramah anak, berpihak pada anak, atau sesuai dengan kebutuhan anak. Kondisi tersebut semakin sulit ketika tayangan edukasi seringkali disalahartikan sebatas tayangan trivia instan berjudul “Tujuh Hal Teraneh, Terbesar, Ter-bla-bla-bla”. 16 Di sisi lain, tayangan iklan dewasa juga memberi dampak tersendiri. Penelitian dari Gorn & Florsheim menunjukkan bagaimana paparan iklan produk dewasa mempengaruhi anak-anak. Mereka menyelidiki bagaimana efek paparan iklan lipstik dan minuman diet membuat anakanak perempuan mempunyai perspektifnya sendiri terhadap dunia orang dewasa. Anakanak tersebut juga berpotensi menggunakan produk tersebut di masa depan. Adapun konten-konten yang rentan di dalam advertensi seperti iklan rokok, atau tayangan reality show, infotainment, hingga program yang mengandung adegan kekerasan juga bisa mempengaruhi psikologi anak. Padahal, tayangan berkualitas sangat diperlukan oleh anak-anak dari berbagai rentang usia. Tayangan tak sebatas pada kartun-kartun hiburan seperti Doraemon, Masha and The Bear, atau Shaun The Sheep saja. Melainkan juga secara khusus tayangan edukasi yang memuat pelajaran sosial, budaya, kesehatan, dan pendidikan itu sendiri. Apalagi secara psikologi, anak-anak sangat cepat menyerap apa yang diajarkan lingkungan, apa yang ditonton anak akan menjadi tuntunan bagi dirinya berpikir dan bertindak. Tidak heran, di tengah kering kerontangnya tayangan anak tersebut, kehadiran Kinderflix dan Ms Rachel terasa menyejukkan. Orang tua memanfaatkan kanal ini untuk menerapi anak atau anggota keluarganya yang mengalami gangguan telat bicara. Mereka mampu hadir sebagai jawaban atas terbatasnya kuantitas tayangan media yang ditujukan khusus untuk anak-anak balita usia nol sampai lima tahun. Bahaya Overstimulasi di Tayangan Balita Setelah Undang-Undang Penyiaran berjalan lebih dari dua dekade, kondisi layar kaca untuk anak-anak Indonesia belumlah banyak perubahan. Solusi yang sekarang hadir pun tidak datang dari layar televisi, tapi dari tayangan YouTube yang saat ini digemari dan mendisrupsi pola menonton masyarakat di seluruh dunia. Hampir setiap orang sekarang ini bisa mencari tayangan apapun yang ingin ditontonnya di aplikasi ini, termasuk tayangan untuk anak yang didukung dengan warna-warna cerah dan lagu-lagu yang menarik. Khusus untuk mewadahi penonton berusia belia, YouTube bahkan meluncurkan aplikasi YouTube Kids. Dari informasi resmi laman YouTube Kids, aplikasi tersebut diciptakan untuk membentuk ekosistem tontonan yang aman dan sesuai dengan anak, serta bisa dikontrol oleh orangtua. Pihak YouTube Kids juga bekerja untuk menjamin video yang ditonton sesuai dengan anak menggunakan filter dan teknik tertentu. Laman YouTube Kids juga menjelaskan jika "tidak ada keluarga yang sama". Maka mereka membuat berbagai fitur terkait pemilihan konten, waktu menonton, dan blokir video, sesuai karakter keluarga masing-masing. Jenis video yang diberikan pun puspa ragam, mulai dari seni dan kerajinan, mainan dan bermain, pelajaran dan hobi, serta acara dan kartun. Meskipun sekilas melulu positif, tayangan di YouTube Kids belumlah sempurna. Beberapa tayangan anak di YouTube Kids masih perlu mendapat perhatian karena dianggap menyebabkan ‘overstimulasi’ atau terlalu merangsang anak menjadi overaktif. Gangguan ini dikenali dengan tanda-tanda anak menjadi mudah marah, lebih tantrum, mengalami gangguan perhatian, hingga mengurangi rasa empati. 17 Pakar anak usia dini, Jerrica Sannes, menyebutkan beberapa contoh kasus seperti ini terjadi setelah anak menonton tayangan seperti Cocomelon, Hey Bear Sensory, Peppa Pig, PJ Masks, dan Go, Dog, Go!. Belum lagi, ada jebakan Elsagate yakni perangkap tontonan anak yang awalnya berisi kartun, kemudian berubah menjadi konten lain yang mengandung unsur kekerasan, horor, dan porno. Sannes juga mengingatkan rentang perhatian pendek yang dialami orang dewasa ketika menonton TikTok, juga dialami oleh balita pada tayangan-tayangan anak yang dengan tempo yang cepat sehingga menimbulkan dampak pada rentang perhatian anak-anak. Rata-rata adegan hanya berlangsung sekian detik, otak balita dirangsang secara berlebihan, dopamin terus disuntik agar anak tenang. Namun, balita menjadi tiba-tiba marah ketika tayangan layar itu berhenti bekerja. Sementara itu, Laporan IDAI menyebut, tayangan interaktif seperti melakukan video-calling atau live video-chatting, ternyata bisa memacu anak mempelajari kosa kata baru serta meningkatkan kemampuan pemahaman pada anak dan membantunya untuk latihan bicara. Pada akhirnya, hal tersebut bisa meminimalisir gangguan speech delay. Sebaliknya, ketika anak dibiarkan menonton kanal anak-anak melalui layar gawai tanpa pendampingan, maka komunikasi terjadi hanya satu arah. Hal ini membahayakan perkembangan kemampuan bahasa pada anak. Untuk itu, kontribusi orang tua menjadi penting. Orang tua wajib terlibat dalam memilih tayangan yang baik. Selain itu, orang tua tetap diharapkan berperan aktif dalam mendampingi anak menonton. Sehingga anak usia dini tidak dibiarkan menikmati screentime mereka sendirian tanpa pendampingan. Idealnya, tontonan ramah balita perlu mendapatkan dukungan dari semua pihak terkait, terutama orang tua dan KPI untuk memberi ruang pada tayangan yang ramah anak. Perlu pengkonsepan ulang model kanal televisi anak-anak di Indonesia. Para pendidik, ahli, dan praktisi pengembangan tayangan anak di Indonesia mesti didukung dalam karya kreatif mereka. Kanal-kanal ramah anak perlu diperbanyak karena kita masih membutuhkan keragaman pada konteks-konteks tayangan anak yang lainnya. Kinderflix saja tidaklah cukup. Editor: Agung Yudhapratama URL: https://www.remotivi.or.id/artikel/854 18 Pelecehan di Kinderflix adalah Pelecehan Akal Sehat esai |20/11/2023 oleh: Isma Swastiningrum Dibaca normal 9 menit. Bagaimana mungkin sebuah kanal pendidikan untuk balita justru dipenuhi aneka komentar tidak senonoh dari begundal-begundal media sosial? Firdan Haslih/Remotivi Kinderflix merupakan kanal pendidikan bagi balita di YouTube yang dibuat sejak 4 September 2023. Kanal ini didirikan oleh YouTuber dan selebgram asal Semarang kelahiran 1994 bernama Delfano Charies. Tayangan ini dikemas secara menarik dan dipandu oleh beberapa host yang ekspresif untuk membantu anak-anak terbebas dengan gangguan speech delay. Tayangan ini bisa melatih anak-anak yang kesulitan bicara untuk belajar kosa kata yang jamak digunakan setiap hari. Delfano menggandeng para host yaitu, Anisa Rostiana (Kak Nisa), Muhammad Algunadi (Kak Aldy), Zalfa Ghina Khairunnisa (Kak Zalfa), dan Agan Gani (Om Kumis). Tayangan yang ditujukan kepada “KinderParents” dan “KinderFriends” itu mengajak balita untuk belajar melafalkan kata. Selain itu, Kinderflix ingin membantu tumbuh kembang di masa keemasan anak secara motorik, dengan mendengarkan, berbicara, bergerak, hingga menyanyi. Wajar jika kanal Kinderflix lantas dicintai oleh penonton setia dari segala usia. Ia tak hanya disukai oleh anak-anak, tetapi juga orang dewasa. Banyak orangtua memberi apresiasi karena kanal ini ikut mendorong tumbuh kembang buah hatinya. Mereka juga mendapatkan quality time pada melalui momen-momen membersamai sang anak ketika menyaksikan Kinderflix. 19 Di tengah gersangnya tayangan pendidikan Indonesia yang menyasar balita, kehadiran Kinderflix adalah angin segar. Tak mengherankan, popularitas Kinderflix meningkat dalam waktu singkat. Hingga Senin (13/11) pukul 14.00 WIB, kanal ini telah mencatat 202 ribu subscribers. Video mereka juga telah diputar lebih dari 11,6 juta dari total 7 video yang telah diunggah di kanal ini. KBGO yang Berbalut Candaan Sayangnya, kepopuleran Kinderflix dicederai dengan adanya komentar-komentar tak bertanggungjawab yang kemudian menjadi viral di media sosial, seperti TikTok dan Instagram, hingga membuat pihak Kinderflix menonaktifkan komentar YouTube-nya. Penampilan para host yang atraktif menuai pelecehan seksual oleh para netizen. Pelecehan ini tak hanya menimpa host perempuan, tetapi juga host laki-laki di Kinderflix. Salah satu yang menjadi sorotan di Kinderflix adalah Kak Nisa. Wajah dan fisik Kak Nisa menjadi sasaran aksi Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang melampaui batas, genit, dan tidak senonoh. Tampil dengan pakaian tertutup dan berhijab, nyatanya tidak membuat dia lepas dari ancaman objektifikasi seksual. Bahkan pelaku dapat melakukan KBGO dengan sangat mudah karena mereka menjalankan aksinya secara daring. Pelakunya pun tidak hanya laki-laki (yang menyasar Kak Nisa), tetapi juga dilakukan oleh perempuan yang menyasar Kak Aldy. Komentar para perempuan–sebagian menyebut diri mereka “bunda”–kepada Kak Aldy terbukti juga kelewat batas dan sudah masuk dalam kategori KBGO. Ironisnya, komentar-komentar yang menjurus pada seksualitas kepada orang lain itu tak saja dilakukan secara terang-terangan, tetapi juga dianggap sebagai sekadar jokes. Pelaku (barangkali) tak menyadari bahwa tindakannya itu bukanlah candaan, melainkan KBGO. Ada beberapa alasan mengapa perilaku pengguna media sosial ini disebut sebagai KBGO. Pertama, korban mengalami pelecehan online secara verbal oleh pelaku dengan adanya lontaran-lontaran tidak senonoh, catcalling daring, hingga rayuan-rayuan yang merugikan. Komentar-komentar itu seolah mengobjektifikasi korban, baik Kak Nisa maupun Kak Aldy, sebagai ‘pemuas ego dan hasrat semata’ bagi laki-laki atau perempuan dewasa. Kedua, penghinaan dan pencemaran nama baik dengan cara memberikan komentar kasar atau menggambarkan korban sebagai "objek seksual" yang merendahkan korban. Hal ini membuat korban jadi merasa sedih, malu, dan menderita berbagai kerugian seperti keterasingan sosial dan mobilitas yang terbatas. Ketiga, perusakan reputasi yang dilakukan oleh pelaku kepada korban dengan mengubah citra yang merusak tentangnya, semisal kesan edukator yang sengaja dirusak dengan citra lain yang lebih buruk. Intimidasi psikologis juga terjadi baik secara daring maupun luring yang menimbulkan kesan tidak nyaman. Bahkan di antara mereka melakukan penguntitan informasi terkait korban. Kak Nisa sendiri telah angkat bicara dan mengaku sedih dan down terhadap reaksi tak pantas dari orang-orang yang tak bertanggung jawab itu. Tujuan baiknya yang hendak memberi pendidikan kepada anak-anak, justru disalahgunakan. Namun, lulusan Psikologi dari 20 Universitas Kristen Maranatha Bandung tersebut tidak ingin menanggapi lebih lanjut komentar-komentar tersebut. Ia mengambil sikap memilih fokus pada produksi konten di kanal Kinderflix yang sedang berkembang. Media Ikut Mempertebal Masalah Rasa judeg saya makin bertambah karena melihat tingkah media dalam memberitakan kasus KBGO yang menimpa Kak Nisa dan Kak Aldy. Banyak media yang memiliki focus-angle sama banalnya dengan para komentator online yang jarinya sudah tak punya filter itu. Alih-alih membantu korban, media malah membantu mengipasi kasus itu dengan menjual sensasi yang lain yang justru makin mengobjektifikasi korban. Cara media memberitakan kasus ini menunjukkan mereka tidak ambil pusing untuk repot-repot memihak pada korban dan memberikan pemahaman yang benar kepada publik tentang KBGO. Coba sama-sama kita pikirkan, pemahaman seperti apa yang hendak disampaikan ketika media membuat judul “8 Potret Cantik Nisa Kinderflix yang Kini Ramai Disorot, Interaksinya Bikin Balita dan Dewasa Anteng - Salah Tingkah & Baper”? Belum lagi judul-judul berita terkait penggambaran paras Anisa yang cantik yang bikin salah fokus, sukses membuat balita jadi anteng, sampai gaya OOTD dan gaya hijab. Kira-kira, untuk siapa judul-judul bombastis yang mudah “mencuri perhatian” itu ditujukan? Yang jelas, tentu saja bukan untuk balita! Namun demikian, ada perbedaan perlakuan media Kak Nisa dan Kak Aldy, meski keduanya sama-sama menjadi korban. Jika membandingkan dari berbagai media yang saya perhatikan, pemberitaan terkait Kak Aldy lebih menyorot terkait profil, sosoknya yang diidolakan emakemak, dan dirinya yang sama-sama menjadi korban seperti Nisa. Dalam hal ini, perempuan korban KBGO tetap berada dalam posisi lebih rentan untuk diberitakan dengan berbagai focus-angle di luar yang seharusnya, yang bahkan tidak menyentuh sama sekali isi masalah. Apa yang dilakukan media dengan model judul-judul yang menyasar pada Kak Nisa bisa disebut sebagai "pornographizing", yang diartikan perilaku media dalam membuat berita dengan menampilkan suatu imajinasi seksual atau rangsangan tertentu kepada pembaca, tanpa berempati pada korban. Pembaca dihadirkan oleh berbagai judul banal, berita yang buruk, dan bahasa yang vulgar yang disadari atau tidak memojokkan korban pelecehan seksual. Maka semestinya media memiliki peran yang strategis dalam upaya pencegahan kekerasan, khususnya terhadap anak dan perempuan. Selain itu, media seharusnya memiliki tugas melakukan edukasi kepada publik dalam melindungi hak-hak korban. Namun yang terjadi, terkadang media–khususnya media online–malah terjebak di dalam situasi sensasional. Media online larut dalam fenomena riding the wave, dan turut melanggar dan menurunkan perlindungan serta privasi korban. Lalu, bagaimana seharusnya media bersikap? Mari kita tarik ingatan sejenak ke kasus yang berbeda. Tentu ingatan kolektif kita masih bisa mengingat bagaimana seorang guru perempuan di Mataram, Nusa Tenggara Barat, bernama Baiq Nuril dipenjara karena merekam ucapan mesum kepala sekolahnya? Baiq Nuril sebagai korban dan penyintas kekerasan seksual justru kemudian dibui karena dianggap melanggar Undang-Undang 21 Informasi dan Transaksi Elektronik dengan hukuman enam bulan penjara serta denda. Kala itu, media memiliki peran yang kuat melakukan pembelaan dan keberpihakan pada Baiq Nuril yang dilecehkan–dan dikriminalisasi–oleh atasannya sendiri. Dalam konteks Kinderflix, seharusnya media berperan memberi dampak positif dan memberi pendidikan pada publik termasuk tentang bagaimana melawan kekerasan seksual dengan cara yang sederhana, seperti bijak dalam berkomentar dan membangun solidaritas terhadap korban. Di sisi lain, media memiliki power untuk membahas hal-hal bersama yang lebih urgen untuk diselesaikan, bukannya malah menambah masalah baru dengan perilaku yang mempertebal stigma pelecehan terhadap korban dan penyintas KBGO. Dengan adanya kasus pelecehan yang menimpa pada para host Kindeflix, masyarakat yang cerdas sudah semestinya bisa menjaga diri dari perilaku yang tidak senonoh dan merugikan orang lain. Kindeflix yang merupakan sebuah tayangan edukasi bagi anak-anak balita (toddler) seharusnya disambut positif dengan respon yang bermartabat. Dengan begitu, akal sehat publik pun bisa terjaga. Jika tidak, saya mengkhawatirkan bagaimana jika kasus KBGO ini justru membuat Kak Nisa dan Kak Aldy memilih mengakhiri kariernya sebagai host Kinderflix dan tidak ada orang lain yang mau menggantikan posisi mereka karena takut mengalami kejadian mengerikan yang sama? Saya tentu juga sangat geram jika harus membayangkan inisiatif-inisiatif serupa Kinderflix akan sulit terlahir di negeri ini, atau bahkan mengalami degradasi, akibat para pembuat konten berpikir tayangan anak-anak seperti Kinderflix ternyata mendapat apresiasi yang layak dari publik. Oh, semoga saja kecemasan saya itu tidak akan pernah terjadi. Editor: Ageng Yudhapratama URL: https://www.remotivi.or.id/headline/esai/850 22 Mengenal Antropomorfisme dalam Dunia Media KONSEP & ISU |08/11/2023 oleh: Isma Swastiningrum Dibaca normal 8 menit. Melalui karakter binatang dan benda mati, antropomorfisme bisa menjadi sarana manusia memahami lingkungan sekitarnya. Firdan Haslih/Remotivi Bobo menjadi salah satu karakter hewan yang lama dikenal di Indonesia sejak tahun 1973. Dia menjadi ikon majalah anak-anak berjudul sama, Bobo, yang menyajikan cerita keseharian seputar kehidupan si kelinci biru dan teman-teman di sekitarnya. Bobo beserta dengan Bona, Ola, dan Rongrong, menjadi karakter yang mudah disukai anak-anak di majalah Bobo. Karakter-karakter hewan itu digambarkan dengan cara yang serupa: bisa berpikir, merasa, dan bertindak sebagaimana manusia. Penempelan sifat-sifat manusia terhadap entitas non-manusia, seperti binatang, tumbuhan, hingga benda mati ini dikenal sebagai antropomorfisme. Figur antropomorfisme seperti Bobo tersebar di mana-mana. Ia hadir di media massa, dari film, buku, majalah, TV, radio, hingga iklan. Figur-figur tersebut mudah dijumpai sebab kehadiran mereka memang dapat menciptakan efek kesadaran tertentu pada manusia. Memanusiakan Entitas Non-Manusia Kata antropomorfisme sendiri dari Bahasa Yunani, 'anthropos' (manusia) dan 'morphe' (bentuk). Antropomorfisme merupakan proses dari pengandaian kehendak, usaha, emosi, kesadaran, perilaku, yang khas dimiliki manusia untuk dilekatkan kepada entitas non23 manusia. Konsep ini juga diartikan sebagai tendensi psikologis dari individu untuk memanusiakan entitas non-manusia. Nils Klowait membagi antropomorfisme ke dalam tiga jenis: (1) antropomorfisme sebagai penampakan mirip manusia; (2) antropomorfisme sebagai pengganti manusia; (3) antropomorfisme yang menjadikan manusia interaktif. Sementara itu, penelitian dari Agrawal, Khandelwal, dan Bajpai (2020) mendefinisikan antropomorfisme sebagai proses pengantribusian karakteristik yang khas manusia, baik intensi hingga perilaku ke dalam suatu objek tertentu, baik itu melalui binatang maupun benda-benda mati. Lebih lanjut, antropomorfisme dapat menguji bagaimana entitas nonmanusia diimajinasikan atau “dimanusiakan”. Selain itu bagaimana objek tertentu di luar manusia dilihat, diberikan pengalaman, dan lebih kapital lagi menjadi konsumen yang menjadi sasaran pasar. Fenomena ini telah menjadi kecenderungan global yang mengandung penilaian sehari-hari, tendensinya berlanjut sepanjang hidup. Lebih lanjut, antropomorfisme menjadi penyampai pesan yang bagus dalam media massa serta membagikan pengaman yang positif ke lingkungan, dari kesejahteraan hingga aktivitas lingkungan yang divariasikan ke dalam berbagai saluran. Eksposur antropomorfisme ini meluas dari sarana yang tradisional seperti televisi dan majalah menuju dunia yang lebih kontemporer seperti video game (semisal gim Arknights). Fenomena ini masih terus tumbuh untuk melayani tujuan sosial, juga bertujuan untuk mempengaruhi, mengedukasi, dan mempengaruhi publik. Antropomorfisme berkaitan pula dengan kebutuhan primordial manusia untuk menemukan predator yang tersembunyi di sekitar secara cerdik. Hal ini bisa dimulai juga dari bagaimana anak-anak mulai memproyeksikan kebutuhan mereka dalam boneka dan mainan lainnya. Kebalikan dari antropomorfisme adalah dehumanisasi. Dari Film hingga Iklan Dalam film, strategi antropomorfisme digunakan sebagai alat pendidikan bagi anak, memudahkan transfer pengetahuan kepada anak dan menambah pemahaman terkait isu sosial. Misal, karakter antropomorfis yang menyasar anak perempuan bisa ditemukan dalam Hello Kitty dan My Little Pony. Sementara itu, anak laki-laki dapat didekati melalui karakter yang lebih maskulin, seperti Batman, Spiderman, hingga Toy Story. Tak kalah masif, antropomorfisme juga marak di dunia bisnis. Hal ini diterapkan oleh jenama (brand) Starbucks yang memiliki logo makhluk mitologi Yunani serupa putri duyung bernama Siren. Sedangkan jenama Versace mengambil bentuk kepala Medusa sebagai logonya. Penggunaan karakter antropomorfis dalam dunia bisnis dianggap sangat efektif, karena ia memberikan dampak yang besar terhadap jenama. Ia dapat meningkatkan kredibilitas pesan, keterhubungan (engagement), sikap seseorang terhadap jenama, hingga hasrat seseorang untuk membeli. 24 Sedangkan di dalam iklan, antropomorfisme menjadi strategi komunikasi yang dianggap memberikan pemahaman yang lebih baik pada konsumen. Para ahli mengungkap produk yang diiklankan dengan unsur antropomorfisme cenderung lebih disukai konsumen. Unsur tersebut dianggap dapat digunakan untuk menimbulkan emosi positif konsumen, yang membantu pesan dari iklan itu tersampaikan secara mudah. Selain itu, antropomorfisme membantu memberikan atraksi yang memikat karena merasa terhubung dengan iklan. Seperti iklan sebuah perusahaan asuransi asal Inggris yang memanfaatkan meerkat rusia yang diberi nama Aleksandr Orlov. Bahkan dengan adanya karakter si meerkat rusia tersebut, pengunjung kebun binatang London meningkat beberapa bulan semenjak iklan perusahaan itu diluncurkan. Pro-Kontra Menilai Antropomorfisme Perkembangan antropomorfisme ini semakin pesat dari bentuknya yang tradisional semenjak ada YouTube, Vimeo, Instagram, Facebook, dan beragam media lainnya. Hal itu tampak jelas dari munculnya karakter antropomorfis di banyak film populer, seperti Madagascar (2005), serial Bojack Horseman (2014), Kung Fu Panda (2008), Tom and Jerry (1940), Rascal Raccoon (1977), Finding Nemo (2003), dan Strays (2023). Binatang bukanlah satu-satunya entitas antropomorfik yang ada di dalam media, meski secara frekuensi kemunculan binatang cukup dominan. Ada pula entitas non-manusia selain binatang yang mengalami proses antropomorfisme. Banyak tayangan anak-anak yang memberi sifat antropomorfis pada benda-benda mati. Bahkan, peta dan tas juga bisa hidup dalam dunia serial animasi Dora the Explorer. Meski begitu, para kritikus menganggap antropomorfisme dapat mengeksploitasi realitas non-manusia menjadi berwajah manusia. De Waal dalam penelitian Grasso dkk mencontohkan, salah satu fenomena yang mendunia terkait “disneyfikasi”. Bagaimana tokoh-tokoh ciptaan Walt Disney mempengaruhi dunia. De Waal menulis, "Walt Disney membuat kita lupa bahwa Mickey adalah tikus dan Donald adalah bebek." Sebagaimana antropomorfisme adalah keia mengkritik antropomorfisme cenderung meninggikan karakteristik manusia dari makhluk non-manusia. De Waal juga mendeskripsikan humanisasi hewan tingkat tinggi dengan istilah "bambifikasi". Istilah ini diambil dari animasi Bambi yang diciptakan Disney, dia adalah rusa kecil yang memiliki mata besar dan lembut. Bambi memiliki berbagai atribut yang seluruhnya mirip dengan manusia, dari pikiran, perasaan, ucapan, dan tindakan. Dalam penelitian Grasso dkk, mereka meneliti sekitar 150 kontributor dari berbagai penelitian, termasuk artikel ilmiah, prosiding, buku, yang didapat dari Google Scholar, Scopus, PubMed, Web of Science, dan Science Direct. Mereka mempertanyakan, apa dampak negatif dari efek antropomorfisme binatang di media massa? Upaya menentang antropomorfisme juga datang dari People for the Ethical Treatment on Animals (PETA). Organisasi ini konsisten mengutuk penggunaan hewan-hewan asli sebagai iklan. Mengambil contoh kasus Aleksandr Orlov, eksistensi si meerkat rusia ikut menciptakan gelombang protes bagi perusahaan asuransi yang mempopulerkan karakter tersebut, 25 Compare the Market. Kelompok pemrotes mengutuk adanya karakter meerkat rusia pada iklan perusahaan itu. Penolakan juga dilakukan karena mereka mendukung isu konservasi dan pencegahan perdagangan hewan. Elemen antropomorfis juga dianggap mengganggu dan kontraproduktif ketika seseorang, khususnya anak-anak, tengah mempelajari dunia biologi. Ada persepsi berbeda yang ditimbulkan, antara dunia fiksi dibandingkan non-fiksi. Dampaknya, kemampuan anak dapat dalam mempelajari binatang dapat tereduksi dan anak-anak terdorong untuk mengadopsi karakter antropomorfis binatang ke dalam dunia nyata. Fitur binatang memiliki peran antropomorfis yang kurang ketika mereka cenderung dipotret sebagai karakter yang memiliki sifat baik. Sementara itu, media yang dianggap memberi pandangan antropomorfik serta menyimpang terkait satwa liar bisa menimbulkan hingga melanggengkan budaya yang menghargai, selain itu mendorong adanya kesalahan persepsi terkait perilaku spesies dan status konservasi. Dampak selanjutnya, antropomorfisme cenderung mendemoralisasi karakter binatang dari sifat aslinya. Mereka bahkan juga berpakaian sebagaimana manusia, menggunakan waktunya tipikal seperti perilaku manusia, dan ditempatkan di lingkungan manusia entah di urban atau desa. Dari contoh-contoh di atas, antropomorfisme menjadi penting saat mereka dihadirkan dalam media. Media, baik dalam bentuknya yang tradisional maupun kontemporer, menjadi sarana komunikasi yang ampuh untuk menyebarkan fenomena antropomorfisme. Kehadiran entitas non-manusia yang dibuat menyerupai manusia di dalam buku, film, iklan, hingga acara televisi, nyatanya menjadi budaya populer yang menarik perhatian bagi penonton dan masyarakat. Pada akhirnya, proses antropomorfisme ini menjadi penentu yang penting terkait bagaimana manusia berusaha mempelajari dan memahami entitas-entitas non-manusia di sekitar mereka. Editor: Ageng Yudhapratama URL: https://www.remotivi.or.id/headline/konsep-dan-isu/849 26 Menumbuhkan Literasi dan Konsumsi Media Berkualitas dengan Culture Pass KONSEP & ISU |29/09/2023 Media & Demokrasi oleh: Isma Swastiningrum Dibaca normal 11 menit. Culture pass bisa menjadi terobosan baru yang berpihak pada dunia media di Indonesia. Firdan Haslih/Remotivi Dunia media tampaknya masih saja kepayahan beradaptasi menghadapi revolusi digital. Mereka masih sering menuai kritik karena tampilan situs yang penuh dengan interupsi iklan dan kerap menyuguhkan berita dangkal berbumbu clickbait. Di beberapa kasus, media digital kadang ikut terpeleset menyebarkan misinformasi, atau bahkan hoaks. Kritik-kritik tersebut sebenarnya dapat diatasi jika media digital memiliki basis audiens loyal yang mau mengeluarkan uang untuk berlangganan konten yang media sajikan. Sayangnya, konten media digital pada layanan langganan dan berbayar cenderung sepi peminat dibandingkan dengan konten media digital yang bersifat gratis. Jajak Pendapat yang dilakukan oleh Kompas (2021) menunjukkan hanya 2 dari 10 responden yang berlangganan konten media digital berbayar. Survei tersebut membagi beberapa jenis konten digital berbayar yang mayoritas diminati orang Indonesia dari pelanggan terbanyak hingga yang paling sedikit. Konten hiburan berbasis video on demand (VoD) menempati peringkat tertinggi. 55% responden mengaku berlangganan VoD seperti Netflix, Iflix, dan semacamnya. Lalu disusul konten hiburan 27 berbasis music streaming, seperti Spotify, Joox, dan sejenisnya (42%). Konten edukasi, seperti Ruangguru, Zenius, Quipper, dan sejenisnya, berada di posisi berikutnya (36%). Terakhir, konten berita/informasi, seperti Kompas.id, Kumparan+, Tempo.co, dan semacamnya (18%). Posisi media digital berlangganan yang berada di urutan buncit menunjukkan fakta pahit. Bagi sebagian besar responden, menikmati konten berita/informasi digital secara berbayar masih menjadi hal yang tidak diminati. Padahal keberadaan konten berbayar ini krusial untuk menjamin masyarakat mendapat asupan berita/informasi dengan mutu lebih baik. Untuk menjembatani itu, beberapa negara membuat suatu kebijakan yang secara umum bisa disebut sebagai culture pass. Sebuah program yang menyediakan dana bagi para anak muda untuk mengakses berbagai produk kebudayaan dan seni berbayar. Program culture pass bertujuan untuk mendekatkan kebudayaan, khususnya pada anak muda. Akan tetapi, culture pass bukan sekadar insentif untuk menonton film, menikmati konser, atau berkunjung ke museum dan pameran. Culture pass juga bisa dipakai untuk membeli buku, dan seharusnya juga bisa diarahkan untuk mendorong masyarakat berlangganan akses media berbayar. Belajar dari Prancis Prancis bisa dikatakan sebagai negara yang mempopulerkan program ini. Negara memberi €300-350 selama dua tahun kepada setiap anak muda untuk bisa mengakses lebih dari 8.000 institusi seni, dari tiket hingga kelas melukis. Para anak muda di Prancis bisa memanfaatkannya untuk membeli tiket, buku, dan kelas melalui aplikasi Pass Culture. Fasilitas ini juga bisa memungkinkan untuk dipakai berlangganan layanan streaming musik dan film yang terbatas bagi perusahaan Prancis. Ia juga dapat dimanfaatkan untuk mengakses game, meski khusus untuk game yang dibuat oleh orang Perancis. Program ini dirilis oleh Kementerian Pendidikan Nasional, Pemuda, dan Olahraga, yang bekerjasama dengan Kementerian Budaya. Presiden Prancis, Emmanuel Macron, yang turut memprakarsai program ini menyebutnya sebagai kemenangan luar biasa bagi anak muda akan budaya. Meski ada pula pandangan miring yang menilai dana itu merupakan pemborosan uang pajak dengan cara yang naif. Menariknya, ternyata sebagian besar anak muda Prancis tak tertarik memanfaatkan Pass Culture untuk membeli karya terbaik Proust atau melihat Molière. Alih-alih berminat dengan produk seni seperti musik dan teater, animo anak muda Prancis lebih tinggi untuk membeli manga. Seperti kisah Juliette Sega yang membeli komik-komik Jepang dan novel distopia The Maze Runner. Buku-buku itu ia beli seharga €40 (atau sekitar $47). Ini sejalan dengan data dari aplikasi Pass Culture. Semenjak program itu diluncurkan, 75 persen dari dana program tersebut digunakan untuk membeli buku. Pengelola toko buku independen di Paris, Naza Chiffert, juga menyatakan jika Pass Culture memberi dampak positif bagi bisnisnya, meski ia harus bersaing dengan Amazon dan toko buku besar lain. 28 Namun, dampak positif Pass Culture tak hanya dirasakan dunia perbukuan Prancis. Sebab aplikasi tersebut juga mengizinkan penggunanya membelanjakan hingga €100 untuk berlangganan media online. Sebuah terobosan menarik jika dikaitkan dengan pembangunan literasi digital bagi masyarakat. Seorang profesor di Universitas Paris 1 Panthéon-Sorbonne, Jean-Michel Tobelem, pun mengapresiasi Pass Culture. Dia menyebut program ini patut dipuji karena memberi manfaat bagi media arus utama agar produknya bisa diakses dan dinikmati oleh banyak orang. Praktik tersebut seharusnya menjadi angin segar bagi dunia media kiwari. Insentif yang tepat terbukti efektif untuk meningkatkan minat masyarakat untuk berlangganan media dengan kualitas yang lebih baik. Praktik di Jerman, Spanyol, Italia, dan Amerika Serikat Beranjak ke Jerman, negara tetangga Prancis ini memiliki program serupa dengan nama Kulturpass, yang baru diluncurkan pada 14 Juni 2023. Melalui Kulturpass, Jerman menganggarkan dana sebanyak €200 atau sekitar Rp3,23 juta untuk setiap orang, dengan total anggaran yang digelontorkan sebanyak €100 juta. Dana ini menyasar hampir 750 ribu orang yang berusia di atas 18 tahun. Menteri Keuangan Jerman, Christian Lindner menyampaikan, program itu sebagai cultural start-up capital (modal awal budaya) yang bisa dipakai oleh penerimanya selama dua tahun untuk kegiatan yang berhubungan dengan budaya dan seni. Suatu aplikasi akan menghubungkan pemuda dengan berbagai pasar virtual, dari teater, konser, toko buku, sampai aplikasi berlangganan. Menariknya, dana hibah ini tak hanya diberikan pada warga asli saja. Kulturpass juga diberikan pada para warga asing yang sedang tinggal di Jerman. Dalam prosesnya, pemerintah menggaet penyelenggara kebudayaan yang juga mitra program melalui aplikasi Kulturpass. Melalui aplikasi ini pula, para anak muda bisa mendaftarkan diri, cukup dengan memasukkan identitas mereka. Di Spanyol program serupa diselenggarakan dengan anggaran €400 untuk program serupa yang ditujukan bagi anak muda yang sudah berusia 18 tahun. Sebanyak 281.557 anak muda Spanyol terlibat untuk mengonsumsi produk budaya, termasuk media massa berlangganan. Jerman dan Spanyol sama-sama terinspirasi dari suksesnya model kebudayaan yang diluncurkan oleh Prancis semenjak Menteri Kebudayaan Rima Abdul Malak pada Mei 2021. Sementara itu, Italia memberikan anggaran €500 untuk menjalankan program culture pass dengan menggunakan aplikasi bernama 18app. Bahkan Italia sudah memulai program ini sejak tahun 2016, jauh sebelum Prancis meluncurkan program serupa. Seperti di Spanyol, anak muda Italia juga bisa menggunakan dana culture pass untuk berlangganan koran dan produk media digital. Maka, anak muda Italia bisa mengakses produk media yang berformat digital, sekaligus menumbuhkan budaya konsumsi berita digital di kalangan anak muda. Adapun di New York, Amerika Serikat, program culture pass diberlakukan untuk remaja berusia 13 tahun ke atas. Sedangkan di Greater Louisville, program ini diperuntukkan bagi kaum muda usia 0-21 tahun. Warga juga bisa menggunakan kartu perpustakaan yang 29 menjadi simbol legitimasi culture pass ini untuk meminjam buku serta e-book. Juga mengunduh media digital, mengakses database online, dan arsip lainnya. Mereka bisa mendaftar di 92 perpustakaan yang bekerja sama menyediakan kartu culture pass. Ringkasnya, program culture pass adalah terobosan baru yang bertujuan untuk mendekatkan kebudayaan khususnya pada anak muda. Beberapa negara (dan kota) yang telah menerapkan program ini, tak hanya ingin mendukung ekosistem seni. Lebih penting dari itu, mereka ingin mendorong anak muda bisa mengembangkan daya kreativitas serta imajinasi. Peluang bagi Media di Indonesia Skema seperti ini memang belum pernah dikembangkan di Indonesia. Namun dalam konteks pemajuan kebudayaan, seni, dan–khususnya–media di Indonesia, skema ini dapat diadopsi sebagai alternatif kebijakan yang bisa dipertimbangkan. Maka inisiasi program ini perlu berangkat dari pemahaman jika akses terhadap produk kebudayaan adalah hak asasi manusia. Produk kebudayaan juga tak cukup dipahami sebatas dalam bentuk seni, tetapi juga media dan akses masyarakat terhadap informasi berkualitas. Spesifik dalam bidang media, culture pass ini dapat menjadi solusi pula untuk memajukan tingkat konsumsi media berlangganan di Indonesia. Program ini bisa menjadi gebrakan besar untuk memberikan inspirasi serta pengalaman baru bagi anak muda yang tinggal di daerahdaerah dengan tingkat literasi media rendah. Bahkan apabila adopsi program culture pass tak hanya ditujukan bagi remaja saja –seperti yang diterapkan di beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat–, dampak program ini bisa semakin luas lagi. Sebut saja, jika program ini bisa diakses juga oleh balita dan anak-anak (dengan pengawasan orang tua), maka program ini akan mendobrak rintangan yang selama ini membatasi anak-anak mengakses konten media berlangganan yang ramah anak. Culture pass dalam konteks tersebut bisa dimulai dengan mengadakan kolaborasi dengan berbagai institusi media, baik nasional hingga lokal, sehingga koneksi bisa tercapai. Jika di Amerika Serikat kolaborasi bisa dijalin dengan kerjasama antar perpustakaan dan museum, maka di Indonesia kerjasama bisa dijalin dengan berbagai platform media untuk mendukung inisiatif ini. Perlu diingat bahwa culture pass tak harus melulu berupa pemberian dana dalam bentuk sejumlah uang tunai/saldo kepada masyarakat. Akan tetapi, yang terpenting adalah pemberian akses media kepada masyarakat dengan insentif yang disediakan dari pemerintah. Apalagi penelitian menunjukkan, jika berlangganan media berbayar merupakan pilihan realistis dalam model bisnis media di Indonesia. Peneliti jurnalisme Adek Media Roza dalam tulisannya di The Conversation menyebut, dalam satu dekade terakhir, model bisnis dalam industri media menjadi pekerjaan rumah terbesar. Kemudian, model langganan berbayar ini menjadi pilihan yang paling realistis. Model ini bukan hanya bisa menyelamatkan industri pers itu sendiri, tetapi juga bisa menjaga kualitas produk jurnalistik. Kualitas profesionalisme dalam kerja jurnalistik ini memang 30 mengorbankan banyak hal dari waktu, tenaga, hingga nyawa. Sebab itu, kualitas kerja ini mesti mendapat penghargaan dan "bayaran" yang layak dan sebanding. Ini didukung pula dari data Kompas yang menunjukkan jika sebagian besar pendapatan media didapatkan dari iklan, alih-alih model berlangganan yang menitikberatkan pada kepercayaan dan loyalitas pelanggan. Iklan tentu sangat berpengaruh dan bisa mempengaruhi independensi media, iklan juga membuat media menjadi sekadar robot untuk memenuhi apa yang diinginkan oleh algoritma sedangkan kesejahteraan karyawannya tak bergerak kemana-mana. Walakin, karena dana culture pass berasal dari pemerintah, wajar jika timbul kekhawatiran kalau-kalau insentif ini membuat media kelak terjebak dalam kendali pemerintah. Kalaupun tidak, bisa saja media dalam kondisi rentan untuk disetir oleh aktor-aktor yang memiliki kedekatan dengan pemerintah atau memiliki kepentingan politik tertentu. Situasi kerawanan seperti ini perlu diantisipasi dan dihindari sedari dini. Oleh sebab itu, perlu adanya aturan main yang mencegah culture pass disalahgunakan sebagai alat kontrol media. Independensi media yang telah dipagari dalam bentuk kode etik perlu tetap dijaga. Jangan sampai gagasan keberadaan culture pass justru dimanfaatkan secara keliru oleh pihak-pihak yang tidak memihak pada kepentingan publik. Sebagai penutup, culture pass merupakan pelicin untuk memulai kualitas media yang lebih baik di Indonesia. Adanya kebijakan ini bisa mendorong masyarakat meningkatkan konsumsi media yang lebih bermutu. Alhasil para jurnalis tak lagi berlomba-lomba membuat berita absurd berjudul heboh. Para editor juga tak perlu menghamba pada klik dan iklan, yang nominal insentifnya sama sekali tak berpihak pada kesejahteraan pekerja media. Pada akhirnya, loyalitas masyarakat terhadap media berkualitas perlu ditumbuhkan. Ekosistem yang sehat di dunia media juga perlu dibangun. Dan culture pass–atau mungkin lebih spesifik lagi, media pass– bisa menjadi pintu masuk untuk meraih tujuan tersebut. Editor: Ageng Yudhapratama URL: https://www.remotivi.or.id/fokus/detail-843 31 Karena Netiket, Netizen Tidak Maha Benar esai |22/09/2023 oleh: Isma Swastiningrum Dibaca normal 11 menit. Etika dalam membuat postingan sehari-hari bisa menjadi cermin kualitas kontrol diri. Errizqi Dwi C./Remotivi Di suatu siang yang panas, di tengah obrolan ngalor ngidul saat jam istirahat kantor, ada salah kolega saya yang tiba-tiba saja nyeletuk saat melihat salah satu postingan status di media sosial. "Bikin status lebay banget sampai nangis-nangis! Emang ada yang peduli?" begitu celetuknya. “Aku kalau buat status ya yang senang-senang saja, yang sedih-sedih nggak aku tunjukkan. Kalau sedih aku sebar, kayak merendahkan diri sendiri saja!” cerocosnya lagi. Omelan dia tak berhenti sampai di situ. Seakan belum puas, dia masih melanjutkan gerutunya dengan orang-orang yang suka berdoa di media sosial. Sebuah tindakan yang menurutnya tidak penting. Meminjam jokes yang ia lontarkan sendiri, “Tuhan tak memakai media sosial.” Mendengar celotehan kolega tersebut, tiba-tiba alarm keamanan di pikiran saya menyala. Saya spontan terpikir, hal-hal apa saja yang seharusnya boleh dan tidak boleh dilakukan di media sosial? Lalu, satu pikiran lain ikut muncul dalam benak saya: Bagaimana etika di media sosial atau netiket berfungsi untuk mengontrol itu semua? Pikiran ini lantas membuat saya tergerak untuk mencari beberapa contoh kasus yang kurang lebih berbicara terkait etika bermedia sosial dalam konteks yang lebih luas. Saya coba mengumpulkan 10 sampel status/berita yang berkaitan dengan etika dalam media sosial. 32 Status/berita tersebut saya ambil dari: Twitter, Instagram, Kompas, BBC, Republika, Detik, Suara, Liputan6, CNN, dan The Conversation. Kasus yang berurusan dengan etika itu memiliki beragam bentuk. Mulai dari pencemaran nama baik, penyebaran data pribadi, perilaku cyberbullying, plagiasi (kasus Afi Nihaya Faradisa), penyebaran video aniaya (kasus Mario Dandy), hingga aksi joget tenaga kesehatan di depan pasien cuci darah. Perilaku tersebut ada yang dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja. Kasus-kasus itu juga menyebar di berbagai wilayah di Indonesia. Netiket: Eksistensi Etika di Media Sosial Menurut berbagai laporan, para pihak yang melanggar netiket di media sosial kebanyakan yaitu remaja yang merupakan bagian dari generasi milenial. Golongan ini dianggap memiliki kontrol diri yang masih kurang dan masih dalam upaya mencari jati diri, termasuk dalam berperilaku di dunia maya. Hal itu diperkuat oleh survei dari smartinsights.com, yang menyebut golongan ini adalah mereka berada pada usia sekitar 18-34 tahun. Hal itu tampak dalam 2 dari 10 sampel status/berita yang tercantum di atas, yakni kasus yang melibatkan Mario Dandy dan Afi Nihaya Faradisa. Salah satu contoh pro-kontra berkaitan dengan netiket tersebut menimpa pula Rafi Azzamy, remaja berusia 19 tahun yang “mencintai pendidikan tapi membenci sekolah”. Pada tanggal 24 Juni 2023, Dia membuat status viral yang membuat publik geger di akun Twitter-nya (@Rafilsafat). Rafi yang baru saja memutuskan “hijrah” dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ke Universitas Brawijaya (UB) mengatakan jika kampus dia sebelumnya merupakan kampus toxic dan durjana. Gedung jelek, dosen yang jarang masuk, kampus yang kerap dikotori kotoran kucing, serta birokrat penjilat, adalah beberapa alasan yang disebut Rafi. Status Rafi tersebut kontan menuai banyak tanggapan pengguna Twitter. Dari ribuan tanggapan pengguna Twitter, sebagian di antara mereka menyoroti terkait “etika”, “adab”, dan “manners”. Sementara di dunia nyata, cuitan Rafi membuatnya mendapat somasi dari dua pengacara yang memperoleh kuasa dari UMM. Uniknya, aksi somasi itu tak berlanjut karena pengguna media sosial (netizen) juga menganggap cara ini menyimpang dari “value” Muhammadiyah. Publik menilai UMM seharusnya bisa menyelesaikan ini bukan dengan tekanan dan persekusi, melainkan dengan cara-cara yang lebih demokratis dan mencerdaskan. Dalam studinya, Stina Bengtsson pernah meneliti tentang bagaimana pengorganisasian etika di media sosial. Akademisi dari Södertörn University, Swedia, ini menjelaskan jika media sosial merupakan suatu organisasi ruang yang etis. Penelitian ini secara tidak langsung telah menjawab pertanyaan jika etika itu eksis di media sosial. Bengtsson yang mengambil perspektif etika dari Michel Foucault menjelaskan, etika tak bisa ditemukan dalam kriteria atau prinsip yang bersifat abstrak dan sering dipertimbangkan secara tidak sadar. Etika lebih dapat dilihat dari praktik sehari-hari seseorang, contohnya, bagaimana seseorang melakukan negosiasi dan berartikulasi. 33 Sebab hal itu, bagi Bengtsson, etika berlaku secara "diam-diam" dan dibuat berdasarkan atas kesepakatan, alih-alih aturan; etika hadir melalui praktik, alih-alih pengetahuan. Sehingga secara tidak langsung, etika ini secara implisit bisa dilihat dari perilaku, perasaan, emosi ketimbang suatu aturan atau petunjuk yang rasional. Sementara di dalam Majalah Basis Nomor 05-06 tahun 2023 (hlm. 6), A. Sudiarja menulis, dalam rumusan Foucault, etika adalah suatu praksis yang dilakukan oleh suatu subjek dalam rangka untuk menyatakan dirinya. Foucault tidak mempersoalkan baik-buruk sebagaimana Nietzsche dalam Beyond Good and Evil, tapi bagaimana si subjek, melalui etikanya, mengungkapkan keterampilan, keahlian, dan kebijaksanaan yang dimiliki guna menunjukkan diri sebagai “subjek yang patut diperhitungkan”. Foucault sebagaimana seorang sejarawan, mengamati dan memperlihatkan pemahaman terhadap moral di suatu zaman. Berdasarkan pandangan Foucauldian tersebut, misalnya dalam kasus Rafi, dia hendak menunjukkan “dirinya” sebagai seorang mahasiswa atau “subjek kritis” melalui statusnya di media sosial dengan harapan ada perubahan yang lebih baik. Semangatnya dalam mengubah bangsa adalah semangat banyak siswa dan mahasiswa juga. Mantan Ketua Ikatan Pelajar Muhammadiyah itu berargumen sekolah tak mampu mendidik siswa menjadi lebih merdeka dan progresif. Sekolah justru diciptakan untuk melakukan monopoli pemikiran dan membatasi kreativitas. Namun demikian, individu yang bertindak sebagai agen moral yang bebas juga harus menyadari ia menanggung dampak dari apa yang dilakukannya. Terlebih, karakter media sosial yang inklusif membuatnya bisa diakses oleh siapa saja. Contohnya, dalam 10 sampel status/berita di atas, telah membuat para pelakunya mendapat respons dari subjek masyarakat yang lebih luas juga beberapa pihak yang merasa dirugikan. Ruang Publik dan Batasannya Media sosial dianggap sebagai salah satu perwujudan ruang publik di mana setiap orang bisa berpartisipasi di dalamnya secara bebas. Tiap orang juga mempunyai kesempatan yang sama dalam hal menyebarkan informasi serta argumentasi akan fenomena yang dialami seharihari. Pengguna media sosial bahkan bisa melaporkan setiap kejadian yang dialaminya tanpa ada sensor, termasuk dengan melakukan berbagai diskusi untuk membentuk diskursus dan wacana tertentu. Media sosial memungkinkan pula para penggunanya merepresentasikan diri, yang mendorong khalayak ramai untuk memberikan persepsi dan interaksi, termasuk di dalamnya adalah etika. Penelitian berjudul "Social Media Research: A Guide to Ethics" melakukan sebuah penelitian terkait bagaimana menemukan standar etik tertinggi yang memungkinkan untuk dilakukan ketika meneliti media sosial. Sebenarnya, etika tradisional bisa menjadi panduan untuk memulainya, meskipun perlu menyesuaikan dengan perkembangan yang ada. Meski tulisan ini merujuk pada bagaimana etika dalam meriset di media sosial, tapi beberapa perspektif yang ditawarkan relevan pula terkait bagaimana seseorang beretika di media sosial. Sementara, Jennifer Boddy dan Lena Dominelli (2017) menjelaskan masalah-masalah yang menyangkut media sosial, seperti kerahasiaan, pernyataan persetujuan, privasi, hingga 34 konflik kepentingan. Penelitian ini mencoba untuk mengeksplorasi pengalaman dan fenomena media sosial setiap hari yang terjadi sehari-hari di dunia nyata. Sebab batas-batas antara yang nyata dan yang maya kini juga kabur. Bahkan untuk mendekatkan antara dunia maya dan nyata, pihak aplikasi mencoba membuat ruang "live". Tentu hal ini bisa mendekatkan antara komunikator dan komunikan di media sosial yang memberi kesempatan adanya komunikasi dua arah dan bersifat timbal balik. Ruang ini tentu memberi pembaca menanggapi atau merespon apa yang disampaikan oleh pembuat status. Di depan media sosial, Boddy dan Dominelli menganggap kita semua adalah komoditas. Sebab dalam media sosial, terjadi komodifikasi terhadap pengguna media sosial. Hampir segala konten di media sosial memang bisa dinikmati secara gratis oleh pengguna. Akan tetapi, crowd pengguna media sosial juga sekaligus menjadi komoditas utama media sosial, untuk dijual kepada pihak-pihak yang bersedia membayar demi memanfaatkan crowd tersebut. Untuk itulah, dengan bantuan algoritma, pengguna media sosial dibuat betah menikmati berbagai keseruan yang ditampilkan di media sosial. Media sosial dipenuhi dengan umpan klik (clickbait) yang mengundang perhatian dan akan membuat orang tergantung kepadanya. Terlebih jika ada kasus-kasus viral, atau perdebatan yang melibatkan nilai moral baik-buruk, atau tema-tema lain yang mudah digoreng seperti agama dan etika. Maka berdasarkan kasus-kasus yang telah dijelaskan di awal menunjukkan jika etika di media sosial itu ada. Meski belum ada kesepakatan pasti terkait etika ini, namun setidaknya pengguna media sosial bisa merujuk pada penelitian Townsend dan Wallace (2018). Menurut mereka berdua, terdapat empat batasan yang bisa menjadi pertimbangan dalam meneliti media sosial yang juga bisa ditempatkan dalam konteks membuat status. Pertama, terkait yang privat dan yang publik. Yang menjadi catatan di sini, ketika status dilontarkan dan akun memang tidak diprivat, maka indikasi jika itu bersifat "publik". Selain itu, ketika mendaftar media sosial, semua orang setuju dengan terms and conditions yang telah ditetapkan, di sana etika pun ditulis apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Kedua, pernyataan persetujuan (informed consent) yang melibatkan partisipan yang diteliti. Ketiga, anonimitas, terlebih untuk subjek-subjek atau isu-isu yang sensitif. Keempat, risiko yang ditimbulkan dari pembuatan status tersebut. Etika di sisi lain berhubungan dalam membangun kepercayaan dan kredibilitas seseorang terhadap audiens yang dia sasar. Untuk itu, tiap pengguna media sosial perlu berhati-hati dan bertanggungjawab atas representasi dan etika yang ingin ditampilkannya. Ini juga untuk memastikan, media sosial menjadi ruang publik yang aman. Ketika pengguna media sosial memiliki kontrol diri dan kesadaran terkait etika yang minim, maka hal tersebut akan menimbulkan masalah. Kontrol diri dan kesadaran etika di sini meliputi, bagaimana cara berkomunikasi yang baik, risiko berbagi informasi yang sensitif, hingga risiko misinformasi. Apalagi ke depan semakin majunya teknologi juga menghadirkan berbagai tantangan yang bersifat etis. 35 Pun demikian, masih terlalu banyak bentuk-bentuk konten lain yang hingga kini tak mudah dikategorikan apakah ia melanggar batas etika atau tidak. Sebab semakin hari semakin kabur pula batas-batas tersebut di dunia maya. Daftar Pustaka Bengtsson, S. (2018). Sensorial Organization as an Ethics of Space: Digital Media in Everyday Life. Media and Communication, 6(2), 39-45. Boddy, Jennifer dan Lena Dominelli. 2017. Social Media and Social Work: The Challenges of a New Ethical Space. Australian Social Work. Vol. 70. Townsend, Leanne dan Claire Wallace. 2018. Social Media Research: A Guide to Ethics. University of Aberdeen. Editor: Ageng Yudhapratama URL: https://www.remotivi.or.id/artikel/841 36 Climate Inactivity, Mengapa Kita Bergeming terhadap Krisis Besar? KONSEP & ISU |11/05/2023 Komunikasi Krisis Iklim oleh: Isma Swastiningrum Dibaca normal 7 menit. Ada penjelasan-penjelasan psikologi untuk ketidaktifan kita menyikapi perubahan iklim. Firdan Haslih/Remotivi Arshak Makichyan membawa spanduk bertuliskan huruf Cyrillic, Rusia, di depan Monumen Pushkin. Aktivis lingkungan asal Rusia itu membawa pesan, "Kegagalan iklim tengah datang, perang, kelaparan, kematian”. Dia melakukan protes seorang diri meskipun polisi mengawasi dan mengambil identitas personalnya. Aksi ini dia lakukan sebagai bentuk protes terhadap pemerintah Rusia akan berbagai kebijakan yang abai terhadap iklim. Dia menganggap pemerintah Rusia tak becus dan tak melakukan apa-apa terkait perubahan iklim yang mengancam kehidupan. Cerita Makichyan tersebut dikisahkan oleh media Der Spiegel yang berbasis di Jerman pada 24 Juli 2019. Pemuda berumur 25 tahun tersebut tak peduli panas dan hujan terus konsisten menyuarakan protes setiap Jumat selama lebih dari 17 minggu. Monumen Pushkin dipilihnya karena tempat itu menjadi simbol kebebasan dan keberanian. "Pushkin adalah korban dari kontrol dan sensor negara,” katanya. Kadang, murid musik dan pemain biola ini dituduh sebagai pengemis yang menginginkan uang. Dia bahkan sempat dikutuk oleh orang-orang lewat sebagai mata-mata Amerika. 37 Protes Makichyan sangat berdasar. Menurut laporan Climate Action Tracker (CAT), Rusia menjadi salah satu negara dengan kepedulian terhadap iklim yang rendah. CAT mencatat, Rusia berada dalam daftar paling bontot negara-negara yang berkomitmen terhadap iklim, diikuti oleh Brasil, Indonesia, Meksiko, Selandia Baru, Singapura, dan Vietnam. Negaranegara tersebut dianggap perlu membuat tujuan jangka pendek yang ambisius terhadap perubahan iklim dan mengatur waktu untuk menormalkan emisi karbon mereka. Pertanyaannya, mengapa sosok seperti Makichyan menjadi anomali terlepas bahaya perubahan iklim yang nyata? Berbagai penelitian dan survei telah mengungkapkan risiko dari ketidakpedulian iklim. Nature Communications melaporkan lebih dari 100 juta Euro per tahun dikeluarkan untuk memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh kenaikan suhu. Deloitte Center for Sustainable Progress (DCSP) bahkan mencatat, tindakan iklim yang tidak memadai dapat merugikan ekonomi global $178 trilliun selama 50 tahun ke depan, memotong 7,6 persen dari PDB pada tahun 2070. Alasan Ketidakpedulian Iklim Ketidakaktifan suatu negara atau individu terhadap adanya ancaman iklim disebut sebagai climate inactivity. Pakar psikologi kognitif Art Markman menjabarkan empat alasan yang mendasari ketidakaktifan iklim ini. Pertama, adanya “tarik-ulur” antara manfaat jangka pendek dan jangka panjang dalam tindakan iklim. Mengabaikan perubahan iklim dalam jangka pendek dianggap memiliki manfaat bagi individu ataupun organisasi. Dengan tak mengacuhkannya, pihak-pihak tak perlu menghamburkan sumber daya mereka untuk mengurus sampah, emisi karbon, serta konsumsi mereka yang berdampak pada perubahan iklim. Kedua, perubahan iklim merupakan perubahan non-linear. Manusia memiliki kemampuan yang baik dalam mengenali perubahan linear, seperti jumlah uang yang dihabiskan dalam sebulan karena mengkonsumsi kopi dengan harga Rp50 ribu setiap minggu. Akan tetapi, butuh waktu yang lama dan akumulasi dari berbagai tindakan manusia sebelum tanda-tanda perubahan iklim terlihat. Belum lagi, tindakan mitigasi yang dilakukan manusia juga tidak akan menghasilkan tanda-tanda perbaikan iklim secara langsung. Selanjutnya, efek perubahan iklim dianggap jauh dari kehidupan banyak orang. Secara psikologis, seseorang cenderung mengabaikan hal-hal yang jauh ketimbang yang dekat secara psikologis. Semisal terjadi banjir di suatu tempat yang jauh, kepedulian untuk bertindak terhadapnya akan lebih cenderung kecil. Wacana perubahan iklim yang jauh dan abstrak tak memotivasi orang untuk mengambil tindakan-tindakan yang spesifik. Keempat, manusia menganggap masa depan lebih tidak pasti dibandingkan dengan masa kini. Lebih-lebih, dalam kasus perubahan iklim, masih banyak pihak yang skeptis dan berpendapat bahwa belum tentu aktivitas yang dilakukan manusia memiliki pengaruh terhadap iklim. Selain itu, konsekuensi mengerikan seperti yang diproyeksikan oleh beberapa ahli masih diragukan. Adapun konservasionis Matthew Wilburn King dalam tulisannya di BBC menyebut beberapa faktor adanya climate inactivity, yaitu karena adanya bias kognitif, saat seseorang mengambil 38 jalan pintas atau distorsi mental yang cenderung berfokus pada ancaman langsung daripada risiko jangka panjang. Selain itu memilih solusi yang sederhana daripada rumit. Tak hanya itu, hambatan emosional juga memiliki pengaruh yang membuat seseorang menghindari masalah iklim sama sekali. Ini dikarenakan adanya rasa takut, bersalah, marah, sedih, hingga putus asa. Di sisi lain, pengaruh sosial juga memberikan andil satu seseorang harus mengikuti pimpinan atau otoritas yang meremehkan atau menolak adanya perubahan iklim. Ini diperparah juga dengan adanya hambatan persepsi yang membuat seseorang merasa terputus dari alam atau memiliki rasa kewajiban moral yang rendah sebagai pencinta lingkungan. Menggaet Partisipasi Aksi dengan Strategi Ketidakaktifan iklim bukan hanya disebabkan oleh imajinasi tentang perubahan iklim yang masih abstrak. Di antara mereka yang sadar dengan bahayanya, ia juga disebabkan oleh ketidakberdayaan dan ketidakmampuan untuk mengambil tindakan terhadapnya. Psikolog lingkungan dan juga penulis buku What We Think About When We Try Not To Think About Global Warming: Toward a New Psychology of Climate Action, Per Espen Stoknes mengatakan, “lampu risiko” di kepala kita tidak menyala ketika membicarakan atau memutuskan hal-hal abstrak. Ketika bahaya digambarkan secara abstrak, seseorang cenderung untuk menjauhinya atau menutup diri. Selain itu, ketika isi pesan peringatan hanya mempermalukan atau membuat seseorang merasa bersalah, ia cenderung tidak ingin berubah dan menghindarinya. Stoknes menyarankan alih-alih hal abstrak dan jauh seperti jumlah karbon dioksida atau mencairnya es di kutub, orang lebih suka dengan gerakan-gerakan yang dilakukan orangorang terdekat. Kabar tetangga, kenalan, atau orang di daerah lain menggunakan mobil listrik atau panel surya lebih dapat mendorong seseorang untuk melakukan hal serupa. Pun, bila ada sekelompok orang melakukan aksi lingkungan, kemungkinan orang-orang terdekatnya akan mengikuti. Hal-hal demikian akan dirasakan lebih personal, dekat, dan penting didengarkan dibandingkan dengan kabar pada tahun 2100, es di kutub akan mencair seluruhnya. "Kita tidak berbicara tentang bencana, tentang biaya dan pengorbanan sepanjang waktu, tetapi berbicara tentang manfaat kesehatan dari gaya hidup rendah emisi; bagaimana kita lebih aman dan lebih baik dalam hal mengurangi risiko, serta bagaimana melakukan suatu tindakan hari ini,” ujar Per Espen Stoknes. Narasi dan gerakan dari dekat itulah kemudian menjadi titik kritis partisipasi orang-orang dalam aksi iklim. Gerakan yang dilakukan oleh Greta Thunberg atau protes Friday for Future menjadikan aksi iklim dekat dengan anak-anak sekolah, alhasil ia menjadi momen di mana generasi muda mulai mengambil bagian di dalamnya. Hambatan psikologis untuk pun dapat diatasi dengan berbagai strategi lain, seperti menyajikan dan membingkai informasi agar sesuai nilai, emosi, identitas, dan tujuan yang dianut publik penerima pesan. Komunikasi juga sebaiknya dilakukan dengan bahasa yang jelas dan sederhana. Cara berikutnya yakni dengan memberikan pengetahuan dan 39 keterampilan untuk memahami dan bertindak terhadap perubahan iklim, tak lupa melibatkan orang-orang dalam kegiatan yang mempererat hubungan dengan alam. Editor: Geger Riyanto URL: https://www.remotivi.or.id/artikel/konsepisu/821 40 “Climate Anxiety”, Gelisah dengan Masa Depan Bumi KONSEP & ISU |04/05/2023 Komunikasi Krisis Iklim oleh: Isma Swastiningrum Dibaca normal 7 menit. Kegelisahan akan perubahan iklim berdampak pada kesehatan mental. Beberapa gejalanya antara lain depresi, stres, hingga perubahan suasana hati. Firdan Haslih/Remotivi Bagi buruh berpenghasilan rendah di Jabodetabek, memiliki kos berukuran kecil tanpa AC atau minimal kipas angin akan memberikan tekanan mental tersendiri. Di Jakarta saja, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pada Mei 2022 memprediksi suhu tertinggi di DKI Jakarta bisa mencapai 35℃ pada siang hari. Belum lagi Kota Bekasi juga sempat dinobatkan sebagai salah satu kota terpanas di Indonesia dengan suhu mencapai 36℃. Panas semakin terkerek seiring masifnya pembangunan “hutan beton” di Jakarta. Apa bayangan Anda ketika mendengar berita tersebut? Mungkin Anda cemas. Apalagi, belakangan kasus kematian karena temperatur yang terlalu tinggi dilaporkan terjadi pada ribuan buruh migran yang bekerja di infrastruktur sepak bola Piala Dunia di Qatar. Fenomena ini kemudian melahirkan aturan larangan bekerja di luar ruangan dari pukul 10.00 pagi hingga 15.30 sore saat musim panas dari bulan Juni hingga September. Pekerja juga harus menghentikan pekerjaan mereka ketika suhu tempat kerja mencapai 32,1℃. Larangan kerja tengah hari di musim panas juga berlaku di negara seperti Arab Saudi, Kuwait, dan Oman. Bila Anda cemas, dan Anda tahu bahwa anomali ini disebabkan oleh perubahan iklim permanen pada skala global, maka Anda mengalami apa yang disebut dengan climate 41 anxiety atau kecemasan iklim. Sama halnya ketika Anda mendengar kabar akan ada badai, dan Anda langsung pontang-panting membayangkan apa yang akan terjadi. Apakah Anda tetap harus ke kantor besok? Bagaimana dengan atap rumah yang belum diperbaiki? Bila fenomena ini terus memburuk, akankah rumah atau bahkan kota Anda masih bisa dihuni di tahun-tahun selanjutnya? Anda tidak sendirian. Perubahan iklim sudah diidentifikasi mengakibatkan berbagai masalah kesehatan mental. Sejumlah masalah tersebut mencakup: kecemasan, depresi, stres traumatis akut, gangguan stres pasca-trauma, masalah tidur, penyalahgunaan zat, gangguan mood dan neurotik, hingga peningkatan risiko bunuh diri. Climate Anxiety sebagai Ancaman Stephanie Collier mendefinisikan climate anxiety sebagai kecemasan akan dampak perubahan iklim. Dia sendiri mengidentifikasi bahwa climate anxiety bukan penyakit mental, tapi lebih merupakan kegelisahan yang berakar dari ketidakpastian masa depan planet bumi dan membuat seseorang siaga dengan potensi-potensi bahaya. Kegelisahan iklim ini lazim diiringi perasaan suka duka, amarah, rasa bersalah, dan rasa malu. Acap, mereka yang mengalaminya juga merasakan keputusasaan dan ketidakberdayaan luar biasa. Pada tahun 2021, United Nations Climate Change Conference atau yang kerap disebut COP26 menyinggung isu ini. Para pemimpin dunia yang terlibat di dalamnya mengekspresikan kegelisahan iklim mereka dalam berbagai kesempatan. “Ada waktu-waktu kala masa depan nampaknya begitu suram,” ujar Barrack Obama, “ada waktu-waktu kala saya meragukan umat manusia dapat bertindak bersama sebelum semuanya terlambat, dan citra-citra distopia mulai merambah ke dalam mimpi-mimpi saya.” Dalam laporan Mental Health Foundation, salah satu lembaga yang mendukung COP26, climate anxiety didefinisikan sebagai perasaan takut dan khawatir yang berhubungan dengan perubahan iklim. Perasaan ini berkembang di tengah pemberitaan media terkait dampak peningkatan suhu global. Di samping itu, ia juga membersitkan kekhawatiran terhadap nasib generasi muda, ketidakpercayaan terhadap kemampuan negara menyelesaikan masalah, dan ketidakberdayaan. Jajak pendapat American Psychological Association menyebutkan lebih dari 2/3 masyarakat Amerika mengalami climate anxiety. Sementara itu, studi yang diterbitkan oleh The Lancet menemukan 84 persen anak-anak dan remaja dewasa berusia 16-25 tahun memiliki ketakutan sedang terkait perubahan iklim dan 59 persen mengalami ketakutan ekstrem. Anak-anak dan pemuda menjadi pihak yang sangat terdampak kegelisahan iklim. Penelitian lain juga mengungkap perempuan dan masyarakat berpenghasilan rendah lebih rentan mengalami climate anxiety. Laman Mental Health UK menyusun beberapa langkah untuk mengatasi climate anxiety, antara lain terus aktif melakukan aktivitas fisik untuk menurunkan risiko depresi, belajar terkait lingkungan untuk mengetahui penyebab kerusakan lingkungan, mengelola pikiran negatif, mengosongkan keranjang stress (stress bucket) secara rutin atau menyelesaikan satu 42 per satu akar stres, dan mengedukasi diri serta orang lain. Pemikiran terkait ini bisa ditulis di website dan media sosial. Selain itu, cara terbaik untuk mengatasi kegelisahan adalah dengan melakukan aksi, baik di tingkat individual maupun kelompok. Di tingkat individu, seseorang bisa berbagi kegelisahan dan ketakutan dengan sahabat terpercaya, pergi ke terapis, atau mengikuti kelompok yang memberi dukungan. Ia juga bisa menata ulang gaya hidup sekaligus nilai-nilai hidup yang dipegang. Sementara itu, opsi untuk melakukan aksi komunal antara lain mengurangi penerbangan, bergabung dalam protes, hingga memperkuat kesadaran publik terkait perubahan iklim lewat advokasi. Climate Anxiety sebagai Permasalahan Kulit Putih Kendati demikian, ada yang mengidentifikasi pula bahwa kegelisahan ini terfokus di antara masyarakat kulit putih, sementara kelompok marjinal tak memiliki tempat dalam percakapan terkait dampak mental krisis iklim. Guru besar lingkungan di California State Polytechnic University, Humboldt, Sarah Jaquette Ray menyatakan bahwa mereka yang mengalami climate anxiety didominasi oleh orang-orang kulit putih. Padahal, berdasarkan survei terhadap 10.000 anak muda usia 16-35 tahun di berbagai tempat tahun 2021, peneliti kesehatan Britt Wray menemukan lebih dari 45 persen responden merasa terdampak negatif oleh krisis iklim. Krisis tersebut berdampak pada kegiatan sehari-hari seperti makan, bekerja, belajar, hingga tidur. Negara-negara seperti Nigeria, Filipina, dan India memiliki responden terdampak negatif krisis iklim yang jauh lebih tinggi yakni sekitar 75 persen. Mengapa hal ini terjadi? Anxiety sendiri merupakan istilah yang mensyaratkan seseorang memiliki privilese untuk memahaminya. Tidak semua kelompok memiliki waktu dan sumber daya untuk menghadapi gangguan kecemasan dengan cara yang dimiliki masyarakat kulit putih yang berkelimpahan. Walhasil, apa yang disebut climate anxiety di antara kelas menengah kulit putih dipahami secara berbeda di antara petani miskin di Lagos, Nigeria. Hal yang sama terjadi di Filipina, tidak banyak orang yang benar-benar membicarakan kecemasan mereka terkait iklim, tapi bukan karena mereka tidak mengalaminya. Banyak orang tak memiliki kata-kata yang bisa menggambarkan keadaan mereka, padahal sehari-hari mereka berjuang melawan panas tak terkira serta anomali-anomali lain yang disebabkan oleh krisis iklim. Itulah mengapa cara mengatasi dampak kejiwaan krisis iklim tidak akan sama di antara masyarakat-masyarakat yang berbeda. Diperlukan langkah-langkah kontekstual yang didasarkan pada penelitian dan bukti-bukti. 43 Apa yang Perlu Diperhatikan dari Migrasi TV Analog ke Digital? KONSEP & ISU |16/02/2023 oleh: Isma Swastiningrum Dibaca normal 8 menit. Peralihan dari TV analog ke TV digital tak bisa dihindarkan. Meski begitu, ada beberapa masalah terkait perpindahan ini. Dzikrie Arethusa/Remotivi Pemerintah resmi mengeluarkan kebijakan migrasi TV analog ke TV digital pada 2 November 2022. Setelah mengudara selama 60 tahun, siaran TV analog perlahan dihentikan dan masyarakat diminta beralih sepenuhnya menggunakan TV digital. Migrasi tersebut dikenal juga sebagai Analog Switch-Off (ASO). TV analog dan TV digital memiliki sejumlah perbedaan. Jika TV analog bergantung pada frekuensi sinyal yang dikeluarkan pemancar, TV digital mengenal dua status, diterima (1) atau tidak (0). Ketika diterima, tayangan bisa langsung dinikmati. Kemudian, TV analog terbatas menerima sinyal antena UHF yang bentuknya analog dan rentan distorsi. TV analog juga bergantung pada jarak stasiun pemancar televisi, sementara TV digital tidak. Dari segi fitur, TV analog tidak memiliki fitur secanggih TV digital yang memiliki layanan interaktif dan jadwal acara yang telah dan akan ditayangkan. Lantas dari jenis televisi, TV analog identik dengan TV tabung dan TV digital lebih cenderung memakai layar datar. Selain itu, TV digital tidak membutuhkan kuota atau internet. Perpindahan ini dianggap memiliki banyak keuntungan. Selain memberikan pengalaman menikmati konten yang lebih baik, kualitas audio-visual yang lebih jernih dan canggih, masyarakat juga bisa menikmati konten yang beragam. Masyarakat tak perlu dipusingkan 44 lagi dengan antena konvensional atau faktor cuaca yang memberi pengaruh buruk pada gambar karena sering membuat layar banyak “semut” dan terlihat “kepyur-kepyur”. Migrasi ini merupakan hasil dari konferensi yang diselenggarakan oleh International Telecommunications Union (ITU) yang dihadiri oleh perwakilan dari 104 negara di Jenewa, Swiss. Indonesia aktif menjadi anggota ITU sejak tahun 1949 dan saat ini menjadi anggota Dewan ITU Wilayah E (Asia dan Australasia) periode 2023-2026. Sebagian besar anggota ITU merupakan negara-negara maju yang telah melakukan ASO. Negara-negara yang telah mematikan layanan TV analog antara lain Australia, Kanada, Denmark, Finlandia, Prancis, Jerman, Yunani, Jepang, Amerika Serikat, dan Inggris. Jika dibandingkan dengan negara-negara maju tersebut, migrasi TV analog ke TV digital oleh pemerintah Indonesia ini tergolong lambat dan tertinggal. Sementara itu, pemerintah Indonesia sekaligus kelompok negara berkembang dan kurang berkembang (developing and less developed countries) seperti Ghana, Kenya, dan Afrika Selatan didorong (atau dipaksa) melakukan peralihan secara simulcast (serentak). Pemerintah berharap migrasi tersebut tidak menimbulkan "kegaduhan". Tentu, dengan banyaknya TV analog yang masih digunakan oleh masyarakat Indonesia, pemerintah khususnya Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) memiliki PR besar untuk melakukan migrasi. Pemerintah membuat tiga tahap roadmap migrasi: tahap I dilakukan paling lambat 20 April 2022, tahap II paling lambat 25 Agustus 2022, dan tahap III paling lambat 2 November 2022. Sebelum itu, pemerintah menargetkan pada bulan Juni/Juli 2021 infrastruktur digital ASO telah siap di 34 provinsi, sehingga target ASO nasional dapat dipenuhi. Mendukung kebijakan migrasi ke digital, pemerintah kemudian memberikan alat yang disebut Set Top Box (STB) atau decoder. Alat tersebut mampu menerima siaran TV digital meski TV yang digunakan masih analog. Kemenkominfo mencatat perangkat STB yang diperlukan sebanyak 5.177.760 unit. Jumlah sebanyak itu disediakan oleh Kemenkominfo dengan bantuan penyelenggara multipleksing (multiplekser) yang pengelolaannya dipegang oleh tender dan melibatkan swasta. Multipleksing secara ringkas merupakan proses penggabungan beberapa aliran data melalui satu saluran/media. Perangkat keras yang digunakan untuk multipleksing disebut multiplekser. Pemerintah membagi wilayah Indonesia menjadi 15 zona multipleksing, di mana setiap zona memiliki jumlah area cakupan yang berbeda. Sarat Kepentingan Migrasi TV analog ke TV digital memiliki berbagai kepentingan. Pelaksanaan ASO dianggap bisa mendorong efisiensi pemanfaatan spektrum frekuensi radio yang membutuhkan sumber daya besar. Penggunaan siaran TV digital akan menghemat penggunaan spektrum frekuensi yang lebih sedikit. Spektrum itu kemudian bisa digunakan untuk layanan lain, seperti kesehatan, pendidikan, kebencanaan, hingga layanan internet berkecepatan tinggi di era Revolusi Industri 4.0. Hal ini tak mengherankan karena alokasi siaran TV analog dan layanan internet sama-sama menggunakan frekuensi pita 700 MHz. 45 Masalah lain timbul dalam migrasi tersebut. Pertama, migrasi dibumbui dengan kemiskinan. Guna mendukung migrasi, pemerintah memberikan subsidi STB bagi keluarga yang kurang mampu. Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kementerian Sosial menyebut dari 7,9 juta rumah tangga miskin, ada 6,7 juta rumah tangga yang terdampak ASO. Pemerintah menjamin sekitar 6,7 juta STB gratis pada keluarga miskin secara by name dan by address. Kelompok yang mendapat STB ini sebagian besar merupakan bagian dari masyarakat yang sering menonton tayangan populis seperti sinetron, sepakbola, hingga musik dangdut. Dengan harga STB yang mahal, pelaksanaan ASO ini membebani masyarakat ekonomi bawah yang belum mampu membeli perangkat. Subsidi juga diragukan belum menyentuh pihakpihak yang benar-benar membutuhkan STB. Keluhan ini terlihat dari komentar-komentar netizen di media sosial Kemenkominfo saat mengunggah konten peralihan TV analog ke TV digital. Mereka di antaranya mengeluhkan harga STB yang mahal, jaringan yang tidak stabil, sosialisasi yang belum merata, hingga kebijakan yang dinilai menguntungkan kelas atas dan merugikan kelas bawah. Selain itu, kebijakan ini dinilai buru-buru karena Indonesia baru mengalami pemulihan pasca-Covid-19. Kedua, migrasi TV analog ke TV digital berpotensi “menggerus” dukungan politik masyarakat yang beralih ke TV digital. Saat ini, TV analog telah dikuasai sejumlah konglomerat serta berhubungan dengan pejabat partai tertentu. Adanya migrasi ke TV digital memberi ruang terhadap keberagaman kepemilikan (diversity ownership), keberagaman sudut pandang (diversity of perspective), dan keberagaman konten (diversity of content). Ketiga, pengetahuan masyarakat terkait TV digital belum merata. Pengetahuan yang banyak beredar di masyarakat lebih bersifat teknis, sementara keberhasilan migrasi TV analog ke digital lebih ditentukan oleh kesiapan dari masyarakat itu sendiri. Peluang Kerja dan Tantangan Kebijakan migrasi TV analog ke TV digital ini didukung dengan penerbitan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Migrasi tersebut diklaim memunculkan usaha dan lapangan kerja baru yang berasal dari produksi STB, pengelolaan multipleksing, penyewaan mux (pengelompokan layanan siaran dalam bentuk paket data yang disisipkan untuk disiarkan melalui jaringan multipleks), pesawat TV digital, pembangunan infrastruktur pemancar digital, hingga produksi konten yang lebih masif dan variatif. Selain itu, studi Gultom (2018) menyebut transformasi digital menghadirkan berbagai peluang besar yang awalnya dibatasi oleh sumber daya teknologi dan keuangan. Beberapa manfaat dari digitalisasi penyiaran selain membuka peluang usaha baru, juga meningkatkan efisiensi penggunaan spektrum frekuensi, efisiensi infrastruktur industri penyiaran, menghemat biaya listrik sebesar 94 persen, menghemat biaya modal 57 persen, dan menghemat biaya operasional sebesar 57 persen dibandingkan dengan penggunaan TV analog. Migrasi ini tentunya menjadi evolusi nasional bagi industri penyiaran. Meski begitu, penelitian Gultom juga memaparkan masalah utama penerapan migrasi TV analog ke TV digital dalam kaitannya dengan Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2022 tentang 46 Penyiaran. Dalam regulasi tersebut, pemerintah mengakui ada empat jenis lembaga penyiaran yang memiliki lisensi spektrum. Empat lembaga tersebut yaitu Lembaga Penyiaran Publik, Lembaga Penyiaran Swasta, Lembaga Penyiaran Komunitas, dan Lembaga Penyiaran Langganan. Sementara itu, layanan TV analog yang menjadi digital memiliki fungsi penyiaran tambahan yaitu multipleksing. Kedudukan fungsi operator ini secara hukum masih dipertanyakan. Di Indonesia, dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) terkait penyiaran terbaru, (https://mediaindonesia.com/humaniora/145271/ruu-penyiaran-adopsi-sistemhybrid-multiplexing), pemerintah mewacanakan penggunaan sistem hybrid multiplexing atau multi-mux sebagai jalan tengah penggunaan frekuensi penyiaran dalam migrasi TV analog ke TV digital. Sistem hybrid multiplexing merupakan campuran antara sistem single mux dan multi-mux, di mana kebaikan dari dua sistem tersebut akan diambil dan dikombinasikan. Sistem ini diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan untuk semua pihak, khususnya negara dan usaha industri penyiaran. Sebab menurut Gultom, multiplekser tunggal (single-mux) berpotensi disalahgunakan untuk membatasi pasar industri penyiaran. Oleh karena itu, pemerintah perlu menjadi regulator siaran yang serius, di samping memastikan siaran tidak dikuasai oleh sejumlah konglomerasi media dan pembagian STB tepat sasaran. Editor: Geger Riyanto URL: https://www.remotivi.or.id/artikel/konsepisu/819 47 Flexing, Pamer Kemewahan Demi Perhatian KONSEP & ISU |10/02/2023 oleh: Isma Swastiningrum Dibaca normal 7 menit. Mengapa menyusahkan diri sendiri dan menciptakan kepalsuan agar bisa pamer di media sosial? Dzikrie Arethusa/Remotivi Istilah flexing awalnya digunakan oleh rapper kulit hitam AS untuk memamerkan kekayaan atau barang berharga yang dibuat secara DIY (do it yourself) pada masa sulit tahun 1990-an. Istilah ini sering muncul dalam lirik-lirik hip-hop. Musisi hip-hop di AS pada saat yang sama juga memperlihatkan kekayaan dengan pamer uang, kendaraan mewah, pakaian atau aksesoris mahal. Hal ini dianggap sebagai kompensasi atas penindasan dan diskriminasi yang mereka alami selama masa perbudakan. Penyebaran perilaku flexing semakin populer melalui program MTV Cribs yang menampilkan gaya hidup mewah dan tur ke rumah pribadi selebriti. Kendati demikian, konsep memamerkan kekayaan sendiri sudah ada untuk waktu yang lama. Thorstein Veblen dalam bukunya yang terbit pada akhir abad ke-19 memperkenalkan konsep konsumsi berlebihan lewat pembelian barang mewah atau pakaian mahal yang sebagian besar tidak berguna untuk kepentingan bisnis. Perilaku ini menurutnya ditujukan untuk mempertahankan posisi sosial. Selain itu, motif konsumsinya berwatak hedonis dan emosional alih-alih praktis dan rasional. Flex sendiri memiliki arti melenturkan otot untuk ditunjukkan pada orang lain. Ia lantas melekat pada perilaku pamer, menyombongkan diri, promosi berlebihan, atau memasang muka palsu. Di dunia maya, label flexing kini tak bisa dipisahkan dari mereka yang pamer 48 belanja barang mahal, berwisata ke tempat prestisius, ataupun fisik mereka sendiri secara daring. Meski fenomenanya di media sosial sudah lama, istilah flexing mulai dikenal di Indonesia seiring Indra Kenz dan Doni Salmanan getol melakukannya. Via kanal media sosial mereka, mereka bisa pamer pakaian mobil mewah hingga pesawat pribadi. Mereka juga memberikan uang cuma-cuma kepada para jenama paling terkemuka. Dari sini, mereka mendapatkan ketenaran instan. Netizen Indonesia jamak menunjukkan ketidaksukaan mereka dengan perilaku ini. Ketika Indra Kenz dan Doni Salmanan tersandung kasus hukum, orang-orang mensyukurinya. Bahkan, akun Twitter media sosial The Conversation Indonesia turut menyarankan mematikan notifikasi mereka yang suka pamer. Pandangan bahwa orang yang gemar flexing punya kepercayaan diri rendah juga beredar. Studi Kasus Flexing Penelitian Yuniar, Suryanto, dan Santi (2022) mendefinisikan flexing sebagai tindakan memanfaatkan ruang yang tersedia secara berlebihan di media sosial. Individu memang tidak mendapat pengetahuan tentang flexing, tetapi mereka melakukannya melalui proses peniruan, penyamaran, emosi, dan aspirasi. Studi kasus paper ini menunjukkan bahwa relasi perkawanan menjadi motivasi melakukan flexing. Para peneliti memilih tiga mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Malang yang sering mengunggah barang-barang pribadi ke media sosial sebagai subjek penelitian. Latar belakang sosial-ekonomi ketiganya berbeda. Pertama, subjek ER yang berusia 23 tahun. ER tak segan membeli apa yang diinginkan kemudian mempublikasikannya. Ia memiliki tiga akun media sosial, termasuk akun Instagram dengan 3.202 pengikut, TikTok dengan 152 ribu pengikut, dan Facebook dengan 23 teman. Ketika menerima limpahan rasa suka dan pujian untuk unggahan-unggahannya, ia mengaku merasa bahagia. ER bersahabat dengan dua subjek selanjutnya. Kedua, subjek FA yang juga berumur 23 tahun. Sebagaimana ER, FA menggunakan media sosial untuk memamerkan kegiatan yang dilakukan. FA memiliki Instagram dengan 3.859 pengikut dan TikTok dengan 887 pengikut. Konten FA menampilkan perilaku saat menggunakan barang-barang bermerek dan berkunjung ke tempat mewah. Ia sangat gembira saat banyak pengikut memberikan reaksi. Subjek ketiga berinisial RA juga berusia sama. Meski berasal dari keluarga yang lebih paspasan ketimbang dua subjek sebelumnya, ia mengatur uang kiriman orang tuanya untuk jajan, gaul, dan meniru pakaian, hobi, dan konsumsi barang-barang bermerek ER dan FA. Kadang, ia terpaksa harus meminjam uang untuk membeli barang atau nongkrong bersama mereka. Ia pun menggunakan media sosial Instagram yang memiliki 1.322 pengikut dan TikTok yang memiliki 106 pengikut. Konten akun RA lebih banyak berisi kegiatannya dengan ER dan FA, 49 dan apa yang diunggahnya biasanya tak lama kemudian dihapus. Ia merasa tidak percaya diri dengan apa yang dikenakan jika dibandingkan dengan ER dan FA. Penelitian ini menyimpulkan setidaknya ada tiga dampak negatif flexing di media sosial. Pertama, pelaku flexing menjadi konsumtif demi mendapatkan perhatian orang lain. Kedua, jika pelaku flexing tak mampu memenuhi gaya hidupnya, mereka tak segan-segan berhutang ke orang lain dan menimbulkan masalah baru ketika tak sanggup membayar. Ketiga, sering melakukan flexing menggerus empati para pelaku. Mereka jadi tidak peduli dengan orang yang membutuhkan bantuan. Dalam penelitian itu, pola asuh dari orang tua yang permisif juga dianggap menjadi penyebab perilaku flexing. Keluarga yang tidak mengatur kebiasaan berbelanja akan mendorong anaknya untuk terus terlibat flexing. Flexing kemudian digunakan untuk mendapatkan rasa hormat, pengakuan, dan citra sukses secara instan. Berdampak Buruk Sejalan dengan penelitian di atas, Emma Grey Ellis menulis dengan menarik tingkah para selebritis yang berbelanja miliaran, dari Paris Hilton yang menghabiskan US$325.000 (sekira Rp4,9 miliar) hanya untuk membeli kandang anjing, lalu Nicolas Cage yang menghabiskan US$276.000 (sekira Rp4,17 miliar) untuk membeli tengkorak dinosaurus hingga Kim Kardashian yang menghabiskan US$23.000 (sekira Rp348 juta) hanya untuk membeli tas diaper. Label harga memang selalu menjadi clickbait tersendiri. Hal ini juga terjadi pada YouTuber Jeffree Star dan Shane Dawson yang membuang make up kadaluarsa mereka senilai satu juta Dolar AS. Dalam konteks Indonesia, penyanyi Syahrini juga dikenal karena kehidupan super mewahnya. Dia kerap memamerkan barang-barang mewah tersebut di akun media sosialnya, dari koleksi tas, mobil, jet pribadi, dan gaya hidup mewah liburannya keluar negeri. Ada pula kehidupan mewah artis-artis lain seperti Raffi Ahmad dan Nagita Slavina, hingga influencer seperti Sisca Kohl dan Arnold Putra. Sebagaimana tulisan Emma Grey Ellis, konsumerisme mereka yang berlebihan bisa membahayakan kesejahteraan pemirsa mereka. Para selebriti tersebut menunjukkan kekayaannya dan menyisakan perasaan “tak tersentuh”. Menghabiskan kekayaan secara boros menjadi metode mereka mempengaruhi penonton. Carla Abdalla, pengajar di Armando Alvares Penteado Foundation bahkan mengatakan, keahlian sebagian besar influencer hampir selalu adalah gaya hidup—karena hanya itu yang mereka bisa dan banggakan. “Ketika saya menanyakan gaya hidup seperti apa, mereka berbicara tentang konsumsi pakaian desainer, pergi ke restoran dan mencicipi makanan, gadget berteknologi tinggi, perjalanan keliling dunia, dan sebagainya. Keahlian mereka adalah konsumsi,” ujar Carla. Tak hanya ke gaya hidup, flexing juga menjadi gerakan filantropi yang mahal. Hal ini yang dilakukan oleh YouTuber Jimmy Donaldson atau yang dikenal sebagai Mr. Beast. Salah satu dari atraksinya yang mengejutkan adalah memberikan emas, TV, dan laptop sebagai tip untuk pramusaji. Ia juga menciptakan simulasi megah Squid Game dengan mengundang YouTuber-YouTuber kenamaan lain sebagai peserta. 50 Psikolog sosial Tim Kasser menegaskan tindakan-tindakan pamer ini punya dampak bahaya kepada penonton. “Setelah lebih dari 200 studi, kita jadi tahu bahwa semakin orang mempromosikan materialisme, semakin tidak bahagia mereka. Mereka menjadi kurang empatik, kurang prososial, semakin kompetitif.” Mereka pun akan mendorong keyakinankeyakinan yang diskriminatif sarat prasangka dan diskriminatif. Editor: Geger Riyanto URL: https://www.remotivi.or.id/artikel/konsepisu/805 51 Podcast, Media Audio Alternatif yang Kini Mendominasi KONSEP & ISU |12/01/2023 oleh: Isma Swastiningrum Dibaca normal 6 menit. Mudah, murah, dan menyehari menjadikan podcast diadopsi di mana-mana. Pram/Remotivi Hari ini, podcast berkembang secara eksponensial. Audio blogging atau kegiatan seseorang membagikan pemikiran dan pengalamannya melalui rekaman suara sudah ada sejak tahun 1980-an. Sementara itu, podcast dikenal sejak Apple meluncurkan iPod yang mengawali revolusi industri musik pada Oktober 2001. Awal penyebutan podcast dimulai saat jurnalis Ben Hammersley dalam artikelnya memperkenalkan istilah “podcasting” (iPod and Broadcasting). Dalam bahasa Indonesia, podcast dikenal sebagai siniar. Kata ini dibentuk dengan menyisipkan "-in" pada kata dasar "siar". KBBI mengartikan siniar sebagai "siaran (berita, musik, dan sebagainya) yang dibuat dalam format digital (baik audio maupun video) yang diunduh melalui internet." Pengguna bisa mengunduh podcast untuk didengarkan saat mereka sedang santai di kamar, membersihkan rumah, atau dijadikan teman bepergian. Riset Edison dan Nielsen menyebut jumlah podcast aktif dunia mencapai 1 juta dengan muatan 30 juta episode pada tahun 2021. Hasil survei Jakpat (2020) menunjukkan jumlah pendengar podcast di Indonesia didominasi oleh anak muda berusia 15-19 tahun (22,1%), 20-24 tahun (22,2%), dan 25-29 (19,9%). Bahkan, Indonesia menjadi negara kedua dengan pendengar podcast terbanyak setelah Brasil pada kuartal III 2021 (data GlobalWebIndex). Hari Podcast Internasional juga diperingati setiap tanggal 30 September di seluruh dunia. Format Podcast semakin bervariasi, Hennig (2017) menyebut ada 13 tipe podcast yang di 52 antaranya adalah monolog, wawancara, storytelling, how to, pertunjukan musik, hingga drama audio. Podcast bisa dinikmati secara mudah melalui layanan streaming dari Spotify, Anchor, SoundCloud, dan YouTube. Bahkan, ada aplikasi Listen Later yang khusus digunakan untuk mengkurasi daftar putar gratis untuk didengarkan nanti. Di Indonesia, komika Adriano Qalbi dijuluki sebagai Bapak Podcast Indonesia setelah mengasuh kanal pribadinya Podcast Awal Minggu (PAM) sejak tahun 2015. Karier Adriano di dunia podcast membuka jalan dan memberi inspirasi bagi kebangkitan dunia podcast Tanah Air. Podcast terus berkembang dan digemari anak muda sejak 2017-2018. Keberadaan podcast menjadi sarana bagi anak muda untuk memahami isu-isu yang menjadi kegelisahan dan membicarakan isu yang tengah tren/viral. Ini didukung dengan pembuatan podcast yang dikategorikan mudah dan murah. Hanya dengan berbekal ponsel, clip-on, dan pembawa acara, seseorang bisa membuatnya. Podcast dan Radio Sebelum podcast berkembang pesat hari ini di antara generasi kiwari, terdapat media dalam format lain yang disebut radio. Terdapat sejumlah perbedaan antara podcast dan radio. Jika radio disiarkan secara langsung, podcast tidak. Secara penjadwalan dan durasi, radio pun terbatas, sementara podcast fleksibel. Lantas, dari sisi konten, radio lebih beragam dan menyebar kepada siapa saja, tapi untuk podcast konten lebih spesifik dengan pendengar yang spesifik pula. Isu yang diangkat radio pun lebih kekinian ketimbang podcast. Tak kalah penting, penyiaran radio masih di bawah kontrol pemerintah sementara podcast relatif lebih bebas. Kemudahan dan fleksibilitas yang ditawarkan podcast tersebut membuatnya hari ini sangat digemari. Di samping itu, podcast memberikan “nada personal” dengan narasi yang autentik. Mendengarkan podcast dapat menciptakan pengalaman intim dengan pendengar sebagaimana yang dikatakan oleh Judithe Registre, host The Get InPowered Podcast, “mendengarkan seseorang berbicara menciptakan koneksi personal dengan orang tersebut.” Tentu saja, hal ini semakin relevan ketika konten podcast relevan dengan apa yang dialami pendengar. Podcast sebagai Suara Alternatif? Masih terdapat beberapa kritik dari produksi podcast saat ini. Meski podcast dikatakan sebagai media audio alternatif yang memberikan suara bagi suara-suara marginal, dalam kenyataannya podcast masih menjadi media monopoli selebritas, figur publik, dan pesohor. Berkembangnya media saluran seperti podcast menjadi panggung baru bagi selebritas untuk mendominasi wacana publik. Dalam panggung podcast terdapat pertarungan wacana yang mengeliminasi saluran podcast-podcast kecil untuk tampil, meski tak dipungkiri juga warna dan suara lain muncul dalam podcast-podcast teratas yang tidak diasuh oleh figur publik. Dalam konteks di Indonesia, podcast selebritas terkenal dengan modal sosial, finansial, dan kekuasaannya bisa mengundang siapa saja. Selebritas bersangkutan dapat bersiar tanpa dibekali etika jurnalistik, kemudian podcastnya didengarkan oleh jutaan orang dan mempengaruhi tindak dan wacana publik. Pun, ada podcast dengan agenda tertentu yang 53 menimbulkan polarisasi dan misinformasi. Salah satu kasusnya terjadi saat pandemi Covid19, ketika podcast menjadi salah satu pilihan masyarakat dalam mencari informasi. Di sisi lain, dalam dunia podcast bermunculan fenomena ketidaksantunan berbahasa. Fenomena ini salah satunya dilakukan oleh figur publik terkenal dalam salurannya. Dia menggunakan julukan dengan nama anggota tubuh manusia, perbandingan tidak pantas, nama hewan, menjijikkan, dan yang mengungkapkan keadaan mitra tutur. Di sisi lain, dari podcast tertentu kita juga melihat bagaimana “akrolek” atau variasi bahasa yang lebih tinggi dan bergengsi secara aktif digunakan untuk menciptakan respons tertentu. Sebenarnya, podcast memiliki peran besar untuk meningkatkan kesadaran akan isu tertentu. Podcast menjadi platform yang tepat untuk pekerjaan ini karena dapat mengeksplorasi bahasan yang kompleks dan tak umum dengan nuansa yang lebih santai. Ini menjadi jawaban dari metode peningkatan kesadaran yang bersifat intimidatif dan menjemukan. Tak mengherankan bahwa podcast kini juga digunakan sebagai sumber pembelajaran informal. Di ranah penelitian sosial, podcast mulai dimanfaatkan sebagai metode alternatif. Hal ini didemonstrasikan oleh City Road Podcast, kanal bertema kota dan urban yang menyiarkan wawancara yang dilakukan lewat podcastnya. Ada pula podcast Humans of Purpose yang dipandu oleh Mike Davis dan mempercakapkan kehidupan manusia serta berusaha menciptakan dampak sosial yang positif. Podcast hari ini memberi andil sebagai platform media yang digunakan pemuda untuk mengenal atau belajar isu-isu aktual. Podcast diibaratkan menjadi perpustakaan besar yang memiliki miliaran data dan bisa didengarkan secara berulang-ulang. Produksi dan distribusi yang tergolong mudah, murah, fleksibel, dengan berbagai konten yang variatif pun menjadi alasan mengapa podcast sangat digandrungi. Editor: Geger Riyanto URL: https://www.remotivi.or.id/artikel/konsepisu/798 54 Yang Dilupakan Green-influencer Ketika Berseru tentang Lingkungan KONSEP & ISU |15/12/2022 Komunikasi Krisis Iklim oleh: Isma Swastiningrum Dibaca normal 7 menit. Paradoks green-influencer dalam aktivisme lingkungan bisa dilihat dari apa yang mereka suarakan dan lakukan. Suara-suara itu meminggirkan suara dari kelompok dan kelas yang paling terdampak. Pram/Remotivi Coldplay, grup musik rock asal Britania Raya dikenal sebagai band yang "pemilih" dalam melakukan konser. Mereka tidak sembarangan memilih destinasi konser dan tidak mau mengadakannya di negara-negara yang tidak peduli pada isu pelestarian lingkungan, sampah plastik, hingga energi berkelanjutan. Indonesia menjadi salah satu negara yang enggan mereka sambangi karena alasan lingkungan yang cukup fundamental itu. “Kami menyadari pada tur terakhir kami bahwa itu memiliki dampak besar ketika Anda mengadakan acara di kota dan setiap orang harus melakukan perjalanan untuk sampai ke sana," kata sang vokalis Chris Martin. Sementara itu, data World Population Review menunjukkan Indonesia merupakan negara urutan kelima penghasil sampah plastik terbanyak di dunia dan urutan kelima penyumbang sampah plastik terbanyak ke laut. Tentu ini bertentangan dengan niat Coldplay yang ingin menggelar konser tanpa plastik. Di sisi lain, Coldplay sempat menawarkan Presiden Joko Widodo untuk memberi komitmen terhadap bumi dan iklim lewat The Ban Ki-moon Centre. 55 Penerapan sistem ramah lingkungan dalam konser dilakukan pula oleh Radiohead, The 1975, dan Billie Eilish. Coldplay yang dalam hal ini diwakili oleh pentolannya Chris Martin turut menjadi bagian dari green-influencer yang menyuarakan dan berpengaruh terhadap isu lingkungan di dunia. Chris Martin bahkan juga pernah mengikuti salah satu forum green-influencer yang banyak melibatkan eco-celebrity seperti Bill Gates, Mark Zuckerberg, Leonardo DiCaprio, Bradley Cooper, Katy Perry, dan Orlando Bloom. Forum ini digelar selama tiga hari di resor mewah di Sisilia, Italia. Mengenal Green-influencer Green-influencer merupakan istilah yang merujuk pada seseorang atau kelompok yang memiliki perhatian, kepedulian, dan pengaruh besar kepada publik dalam isu-isu lingkungan. Mereka memiliki kemampuan untuk mempengaruhi, mengubah pandangan dan perilaku melalui aktivisme lingkungan mereka. Berbeda dengan "influencer" di media sosial yang memiliki banyak follower baik di dunia nyata maupun maya, green-influencer tak mensyaratkan jumlah follower khusus asalkan suara mereka terkait lingkungan bisa didengar oleh khalayak dan media. Mereka berasal dari berbagai golongan dari tingkat individu, perkumpulan, komunitas, hingga kelompokkelompok marginal. Dari golongan perorangan, sosok yang dianggap sebagai green-influencer salah satunya adalah Greta Thunberg, seorang aktivis lingkungan asal Swedia yang mengampanyekan isuisu pemanasan global dan perubahan iklim. Lantas, ada Autumn Peltier, advokat hak masyarakat adat Anishinaabe dari Wiikwemkoong First Nation di Pulau Manitoulin, Ontario, Kanada yang melindungi akses air komunitas adat. Ada pula Vanessa Nakate, seorang aktivis perubahan iklim dari Uganda. Ia merasa prihatin terhadap suhu tinggi yang tak lazim di negaranya. Dia mendirikan Youth for Future Africa dan Rise Up Movement yang berbasis di Afrika. Kendati memiliki peran penting dalam membangun kesadaran lingkungan dan iklim publik, green-influencer tak lepas dari kontroversi. Barbara Ellen dalam tulisannya di The Guardian mencatat pertemuan para green-influencer di Sisilia turut dihadiri oleh sekitar 300 selebritas lingkungan. Tak ketinggalan juga Pangeran Harry memberikan pidato mengharukan tentang lingkungan dengan bertelanjang kaki. Ironisnya, para sosok publik ini datang ke tempat tersebut menggunakan helikopter dan jet pribadi yang melepaskan ratusan ton CO2. Di sisi lain, kampanye melestarikan bumi para green-influencer/eco-celebrity ini juga bermasalah. Mereka menyuarakan bagaimana "kita" harus melestarikan bumi. Tentu, “kita” yang dimaksud adalah kita, bukan mereka. Mereka tetap dapat bersantai di kamar yang mahal, menggunakan barang branded yang merusak alam, hingga terbang dengan jet yang menambah emisi karbon. Hal ini tambah bermasalah karena di Amerika Serikat sendiri, masyarakat kulit berwarna menderita ketidakadilan lingkungan yang bertumpuk-tumpuk. Penelitian mengungkap, 56 orang-orang Hispanik dan Afrika-Amerika menghirup lebih banyak polusi dibandingkan yang mereka buat. Orang Hispanik menghirup polusi 63 persen dan orang Afrika-Amerika 56 persen lebih banyak daripada yang mereka hasilkan masing-masing. Di sisi lain, orang Kaukasia (kulit putih) terpapar polusi udara 17 persen lebih sedikit daripada yang mereka hasilkan. Belum lagi data menyebutkan 86 persen emisi CO2 global dihasilkan oleh separuh negara terkaya di dunia. Sementara itu, separuh terbawah (negara-negara miskin) hanya mengeluarkan 14 persen. Data ini menunjukkan benua, negara, hingga wilayah yang berbeda memiliki tanggung jawab yang berbeda dalam hal perubahan iklim, hal yang tidak nampak ketika para green-influencer menagih “kita” bertanggung jawab terhadap kerusakan iklim secara setara. Leonardo YIP dalam Earth mengidentifikasi empat kategori sosial yang terdampak krisis iklim secara berbeda: ekonomi, etnisitas, global, dan generasi. Dampak krisis iklim akan lebih buruk menimpa kelompok ekonomi menengah ke bawah yang kemampuan adaptasinya terbatas ketimbang ke atas. Demikian juga dengan kelompok etnis marginal, negara-negara berkembang, serta generasi muda. Ketimpangan di keempat isu kategori inilah yang belum banyak diamplifikasi oleh para green-influencer atau eco-celebrity. Mencuri Panggung Permasalahan lainnya dari green-influencer adalah mereka mencuri perhatian publik dari perjuangan yang lebih luas. Vanessa Nakate awalnya tertarik dengan aktivisme iklim pada tahun 2018 setelah mengetahui curah hujan dan panas ekstrem yang mempengaruhi petani dan produksi pangan di Uganda, termasuk keluarganya. Sektor pertanian dan peternakan Uganda sendiri menyokong 70 persen perekonomian negaranya. Nakate juga menunjukkan melalui pendekatan dan pengalaman personal yang dialaminya bagaimana pengalaman kulit hitam secara rutin dihilangkan dalam kampanye iklim. Yang menarik dari perjuangan Nakate adalah kekritisannya ketika organisasi dan jurnalis menganggapnya sebagai suara Afrika. Menurutnya, hal ini bermasalah. Di seluruh dunia, sudah banyak aktivis melakukan pekerjaan luar biasa dan fokus terhadap satu orang akan menghapus pengalaman dan cerita lain. Solusinya bukanlah dengan menampilkan gerakan iklim (yang dilakukan oleh satu orang), tetapi ada jutaan orang yang melakukan pekerjaan luar biasa dan berorganisasi di komunitas mereka. Gerakan semacam ini ditunjukkan Nakate ketika ia bertemu dengan kaum muda yang membuat briket, bahan bakar memasak alternatif yang murah dan dibuat dari limbah yang diambil di sungai. "Orang-orang dan kisah-kisah inilah yang benar-benar perlu kita dengarkan," katanya. Dia juga ingin memastikan aktivis dan komunitas yang terdampak dari seluruh Afrika dapat dihadirkan dalam gerakan lingkungan global. Dia mengharapkan mereka dapat turut melakukan partisipasi secara berarti dan memikirkan solusi krisis ekologis global. Nakate bahkan berujar jika cerita-cerita mereka tidak didengar, solusi yang dibiayai memiliki risiko tidak diterima dan bahkan berbahaya bagi masyarakat yang terkena dampak. 57 Untuk itu, green-influencer perlu memberi ruang terhadap suara-suara dari kelompok dan kelas yang paling terdampak. Pasalnya, mereka merupakan populasi rentan yang menghadapi dampak paling besar, terutama masyarakat di negara-negara miskin (banana republic), komunitas adat, perempuan, disabilitas, dan kelompok marginal. Dengan kata lain, solusi kolektif diperlukan bukan hanya untuk ras atau golongan tertentu saja, tetapi juga kelompok-kelompok terpinggirkan yang jauh dari akses. Tujuannya tidak hanya untuk menjaga planet dan kehidupan, tetapi juga bagaimana membuat planet dan kehidupan menjadi lebih inklusif dan berkelanjutan. Editor: Geger Riyanto URL: https://www.remotivi.or.id/artikel/konsepisu/796 58 Menggugah Khalayak dengan Kampanye Lingkungan Kreatif KONSEP & ISU |14/11/2022 Komunikasi Krisis Iklim oleh: Isma Swastiningrum Dibaca normal 7 menit. Unsur ketidakterdugaan diperlukan untuk merebut perhatian publik terhadap isu-isu mendesak hari ini. Pram/Remotivi “Art not oil” menjadi pesan kolektif seni Liberate Tate dalam kampanye berani dan kreatif mereka untuk membebaskan seni dari minyak. Mereka menjadi terkenal karena upayanya memaksa galeri seni berhenti menerima dana dari perusahaan minyak British Petroleum (BP) yang bermarkas di London. Berbagai performance Liberate Tate sangat brilian, di antaranya menampilkan seorang pria telanjang meringkuk dilumuri minyak berwarna hitam. Mereka juga memasukkan bilah turbin seberat 1,5 ton sepanjang 16,5 meter ke aula utama galeri. Pada tahun 2010, mereka juga melakukan demonstrasi dengan menuangkan minyak dan bulu di luar pintu masuk galeri Tate Britain di Pimlico. Lantas, pada tahun 2015, sebanyak 75 anggota Liberate Tate mengadakan pertunjukan mencoret-coret lantai Turbine Hall dengan pesan lingkungan. Mereka mendesak galeri Tate menyudahi kesepakatan sponsor dengan BP sebelum KTT iklim Paris pada bulan Desember. Pertunjukan ini berlangsung sejak air pasang pada 13 Juni (pukul 11.53) hingga pasang lagi pada 14 Juni (pukul 12.55). Pada tahun 2015 pula, dua hari sebelum pembicaraan perubahan iklim PBB di Paris, mereka melakukan pertunjukan saling menato tubuh dengan angka konsentrasi gas karbon dioksida (CO2) di atmosfer di tahun mereka dilahirkan. Dalam aksi yang diberi judul “Birthmark” ini, 35 anggota Liberate Tate menduduki galeri Tate Britain. Liberate Tate tidak membawa janji 59 keberhasilan dari pertunjukan-pertunjukan mereka, tapi menjadi kampanye lingkungan dan seni interversionis dengan tujuan yang jelas. Kampanye lingkungan kreatif sebagaimana yang dilakukan oleh Liberate Tate dalam konteks yang berbeda dilakukan pula oleh pihak-pihak lain di seluruh dunia. WWF, misalnya, menampilkan gambar-gambar anjing laut yang terlantar dan tidur di bangku taman serta Tarzan yang berayun melewati hutan hujan yang tandus. The Guardian juga mencatat kampanye kreatif organisasi-organisasi lain seperti GetUp!, Greenpeace, Many Strong Voices, Loess Plateau, Connect4Climate, kelompok 350. Untuk menyadarkan publik dengan ancaman perubahan iklim, diperlukan aksi yang dapat menarik perhatian mereka. Kampanye kreatif dalam hal ini menjadi penting. Kampanye Lingkungan Kreatif di Media Baru Kata kampanye yang berasal dari bahasa Prancis “campaign” memiliki arti lapangan operasi militer. Lebih lanjut, kampanye didefinisikan sebagai serangkaian usaha serta tindakan komunikasi “terencana” dengan tujuan mendapatkan dukungan dari khalayak. Ia dilakukan secara terorganisir untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan dalam waktu tertentu. Selain itu, Kotler (2010) dalam Ulfa dan Fatchiya (2018) menyebut komunikasi lingkungan ditujukan untuk membangun kesadaran (attention), minat (interest), keinginan (desire), dan tindakan (action). Penelitian Putra terhadap Greenpeace Regional Yogyakarta menunjukkan bahwa kampanye kreatif sebenarnya sudah menjadi bagian dari strategi LSM lingkungan. Contoh kampanye kreatif yang dilancarkan Greenpeace Regional Yogyakarta sendiri adalah solarizing Borobudur. Media kampanye terkait lingkungan juga bisa bermacam-macam seperti poster, backdrop, hingga pin dan T-Shirt. Di samping itu, kedekatan yang komunikatif dan informal juga diperlukan untuk membangun kepercayaan masyarakat. Penggunaan media baru juga penting dalam kampanye semacam ini. Dalam kampanye melawan deforestasinya, Greenpeace membuat satu video menggunakan karakter Ken yang dikenal sebagai pacar Barbie, boneka yang sangat tersohor di Amerika Serikat. Mattel, perusahaan mainan yang memproduksi Barbie menggunakan bahan yang diimpor dari Indonesia untuk bungkus mainannya. Bahan ini didapatkan dari Asia Pulp and Paper yang memiliki reputasi berkontribusi terhadap deforestasi di Indonesia. Dalam kampanye video tersebut, ditampilkan Ken tersentak lantaran disadarkan Barbie terlibat dalam penggundulan hutan dan menghancurkan habitat satwa-satwa langka yang malang. Video berakhir dengan Ken yang terpukul meninggalkan kamera sambil mengatakan hubungannya dengan Barbie sudah berakhir. Selagi kampanye ini sendiri pada dasarnya kreatif, penyebarannya melalui media baru yakni YouTube dan Facebook saat itu melejitkan popularitasnya. Mattel harus mematikan kolom komentar Facebooknya karena dibanjiri oleh komentar yang mempertanyakan praktik bisnis mereka. Perusahaan ini mendapatkan tak kurang dari 200.000 surel yang mengeluhkan bungkus mainan mereka hanya dalam waktu beberapa hari. Sampai dengan hari ini, gerakgerik Asia Pulp and Paper terus-menerus diperhatikan oleh masyarakat sipil. 60 Dengan karakternya yang fleksibel dan mudah diakses serta fitur-fitur interaktif seperti foto, video, efek, like, sharing, dan lain-lain, media baru memiliki potensi yang luar biasa untuk menumbuhkan kesadaran lingkungan. Remotivi sempat melakukan penelitian pada 612 responden generasi muda berusia 16-30 tahun. Dalam penelitian itu, ditemukan bahwa generasi muda Indonesia ternyata memiliki kepedulian terhadap isu lingkungan dan literasi perubahan iklim yang memadai. Lantas, faktor yang paling mempengaruhi aktivisme lingkungan generasi ini adalah ekosistem media sosial di samping juga LSM. Anak muda yang mengikuti LSM lingkungan di media sosial punya tingkat partisipasi aktivisme lingkungan yang tinggi dibandingkan dengan yang tidak. Selain itu, anak muda dengan paparan isu lingkungan di media sosial juga memiliki partisipasi aktivisme lingkungan yang tinggi. Prospek kreativitas yang bisa dieksplorasi di media baru pun seperti tak terbatas. Simak saja kampanye Vice World News berikut ini. Meskipun ia sendiri bukan kampanye lingkungan, ia dapat menjadi rujukan bagi pelaku-pelaku kampanye lingkungan. Vice World News mendesain sebuah filter di Instagram. Ketika kamera dengan filter ini diarahkan ke objekobjek bersejarah di Museum Inggris, ia akan membacakan sejarah sesungguhnya dari objekobjek tersebut—bahwa mereka merupakan curian kolonial Inggris dari masyarakat yang dijajahnya di masa lalu. Kolaborasi dan Konsistensi Terlepas dari pentingnya kreativitas, kampanye lingkungan selalu perlu untuk terhubung dan konsisten. Pertama-tama, ia dapat diperbesar kekuatannya dengan memanfaatkan jaringan sosial. Keefektifan jaringan sosial ini pernah diteliti oleh Hariyani (2016). Dalam penelitiannya, dia mengkaji kampanye melawan asap yang digawangi oleh BEM UI 2015 di mana mereka membentuk aliansi dengan beberapa organisasi UI dan di luar UI. Hasilnya, semakin besar jaringan sosial, semakin tersebar luas isi kampanye dan masyarakat yang terpapar bakal semakin banyak. Ini dikarenakan adanya jaringan kerja sama yang saling mendukung antarorganisasi sehingga saling melengkapi satu sama lain. Gerakan lingkungan paling masif saat ini, Extinction Rebellion pun merupakan jaringan yang terdesentralisasi. Artinya, ia menjadi gerakan akar rumput sebesar itu bukan karena birokrasi organisasinya yang menjangkau ke mana-mana melainkan karena di setiap tempat, ia dikelola oleh sekelompok orang yang peduli dengan misinya. Konsistensi dalam pembuatan konten selanjutnya dibutuhkan agar kampanye lingkungan efektif dan berkelanjutan. Dengan konsistensi, pengampanye dapat membangun basis pendukung dari waktu ke waktu. Kampanye-kampanye Greenpeace yang menawan publik bukan hasil dari kerja-kerja mendadak melainkan karena mereka memiliki pendukung yang telah mengikutinya sejak lama. Pun, Extinction Rebellion butuh bertahun-tahun sebelum mencapai popularitas global yang dimilikinya sekarang. Editor: Geger Riyanto URL: https://www.remotivi.or.id/artikel/konsepisu/791 61 Terjebak “Oversharing”, Perilaku Berbagi Konten Berlebihan KONSEP & ISU |28/10/2022 oleh: Isma Swastiningrum Dibaca normal 6 menit. Orang-orang yang menghabiskan waktu di media sosial, kemungkinan akan merasa jijik pada mereka yang dengan sengaja/tidak sengaja mengungkapkan terlalu banyak hal, apalagi tentang diri mereka sendiri. Perilaku membagikan sesuatu terlalu banyak ini disebut sebagai oversharing. Pram/Remotivi Keterampilan memilih sarana yang tepat untuk berbagi masalah menuntut tingkat kedewasaan. Sebagian memilih untuk menyimpan, dan sebagian memilih untuk membagikannya pada publik pada taraf yang bisa dibilang “berlebihan”. Perilaku berbagi secara berlebihan ini disebut sebagai oversharing. Seorang oversharer bukan tidak tahu bagaimana cara menjaga privasi mereka atau merahasiakan pikiran mereka. Mereka tahu tapi memilih untuk melanggarnya. Hoffman (2009) mengartikan oversharing sebagai “mengungkap informasi berlebihan atau tidak sesuai dengan konteks tertentu.” Sementara itu, Ben Agger (2012) mendefinisikannya sebagai “mengungkapkan lebih banyak perasaan, pendapat, dan seksualitas batin mereka [melalui layar] ketimbang secara langsung, atau bahkan melalui telepon.” Selain itu, oversharing merujuk pada perilaku membagikan ekspresi narsistis, drama, gosip, dan unggahan secara masif. Perilaku ini menjadi marak seiring sangat banyaknya kendaraan untuk melakukannya. Secara umum, masalah oversharing berasal dari ketidakmampuan pengguna untuk secara bertanggungjawab memutuskan seberapa sering mereka berbagi dan kepada siapa mereka 62 berbagi. Ada beberapa teori mengapa seseorang melakukan berbagi di internet. Rose (2012) dalam Akhtar (2020) melihat bahwa “kebebasan mengekspresikan diri dengan rasa aman merupakan sumber kenikmatan bagi individu”. Akhtar juga menyitir hasil jajak pendapat Ipsos, sebuah perusahaan riset pasar global yang menemukan tiga motif berbagi yakni (a) menjaga relasi sosial dengan orang lain, (b) presentasi diri, (c) hiburan dan belajar. Emosi pun sentral dalam berbagi karena seseorang selalu terdorong untuk mengomunikasikan emosinya dengan teman, keluarga, dan kolega. Dengan mengungkapkan emosi dan masalah pribadinya di media sosial, seseorang dapat mengumpulkan simpati dan perhatian dari pengikut. Dorongan ini semakin jelas terbukti dengan fakta orang cenderung berbagi secara intens ketika mereka sendiri. Mengunggah sesuatu di medsos dirasa dapat menurunkan kesepian. Oversharing Kesehatan dan Hal-Hal Privat Rachael Kent dalam tulisannya berjudul “Social Media and Self-tracking: Representing the ‘Health Self’” menjelaskan bagaimana penggunaan aplikasi kesehatan digital dapat berujung oversharing. Aplikasi yang disebut Kent mencakup Strava, Nike+, dan Map My Run. Selain menyediakan fitur pelacakan dan pengetahuan, aplikasi-aplikasi ini juga dapat membagikan data kesehatan. Dengan aplikasi ini, penggunanya bisa menunjukkan sudah berapa meter ia berlari atau bersepeda, rute yang sudah ditempuh, serta bukti-bukti kegiatan olahraganya lainnya. Dalam penelitian yang mewawancarai 12 orang tersebut, ada beberapa alasan mengapa seseorang membagikan kesehatan digitalnya lewat platform. Salah satunya yang utama, membagikan data kesehatan dianggap menambah optimisme. Hal ini menunjukkan pengguna membuat pilihan aktivitas fisik yang tepat dan ada kebanggaan di sana. Pun, dengan membagikan itu, beberapa merasa termotivasi untuk terus melakukan olahraga yang menunjang kesehatan. Namun, Kent menegaskan, perilaku ini bisa menjadi oversharing jika sensor diri tidak dikembangkan. Hal ini dikarenakan data kesehatan dijadikan bukti pencapaian oleh aplikasiaplikasi bersangkutan dan pengguna menggunakannya untuk kompetisi serta perbandingan. Pengembang memang cenderung menerapkan gamifikasi untuk memaku penggunanya dalam ekosistem digital yang dikembangkannya. Dengan orientasi yang demikian, bukan tidak mungkin ketika pengguna berlari, mereka berhenti di tengah jalan hanya untuk secara konyol mengunggah datanya ke media sosial. Selain data kesehatan, oversharing juga melibatkan pembeberan status hubungan asmara, screenshoot obrolan sensitif, jawaban atas pertanyaan keamanan, orientasi seksual, pembelian barang, bon belanja, slip gaji, rekening, KTP, alamat rumah, dan data-data privat lainnya. Hal-hal yang juga tak asing untuk dibagikan secara berlebihan adalah perasaan seperti sedih, marah, bahagia, mengumpat, protes yang tak tepat konteks. Ekosistem media sosial seperti Twitter memang memberikan insentif untuk pembeberan-pembeberan dengan tingginya perhatian yang digayung melaluinya. Sementara itu, semesta app store dan emoticon memfasilitasi pengguna gawai untuk lebih ekspresif daripada biasanya. 63 Tidak Berbagi secara Berlebihan Yang penting untuk diingat adalah selain merupakan pencipta, pengguna media sosial sejatinya juga adalah kurator. Mengunggah sesuatu di media sosial merupakan tindakan menciptakan citra. Betapapun citra ini bukan diri yang sesungguhnya, ia tetap akan menjadi patokan publik untuk mempersepsinya. Kepuasan mencari perhatian belum tentu setimpal dengan persepsi negatif yang bisa muncul di masyarakat serta tatapan komunitas media sosial yang bakal serba mengontrolnya. Beberapa penelitian merekomendasikan pengguna untuk menegaskan privasinya di media sosial. Pasalnya, jika tidak berhati-hati, oversharing dapat memicu potensi ancaman kriminal dan privasi. Oversharing bisa menggiring ke beberapa insiden seperti (i) melewatkan kesempatan karier, (ii) mempermalukan diri mereka sendiri, (iii) menjadi korban kriminal. Selain itu, perilaku oversharing di media sosial juga dapat memicu perundungan di dunia maya, perbandingan dengan orang lain yang menurunkan harga diri, serta tindak kriminal. Potensi ancaman itu bertambah dengan keberadaan platform yang bisa mengenali informasi lokasi seperti PleaseRobMe dan FireMe. Para oversharer perlu melindungi batas mereka. Batas ini mengacu pada batas antara yang pribadi dan publik, yang personal dan yang umum. Penelitian Ziegeldorf dkk. merekomendasikan agar akun pengguna dibatasi sehingga hanya dapat berhubungan dengan akun-akun yang telah dikenal seperti keluarga, sahabat, kolega, atau pengguna dengan kategori dan pekerjaan yang sama. Saran terbaik lainnya agar tidak oversharing adalah dengan memilah informasi yang akan dibagi dan dengan memperhatikan kepada siapa informasi tersebut dibagikan. Hal lain yang bisa dilakukan untuk mencegah oversharing yaitu, pertama, membuat batas yang jelas antara kehidupan personal dan kerja, serta membagikan konten pada aplikasi yang relevan. Kedua, menghormati batas orang lain seperti membagikan foto dengan permisi. Ketiga, membatasi siapa yang bisa melihat postingan. Keempat, membagikan konten secara sadar untuk mencegah terjadinya kesalahan. Jangan membagikan saat sedang merasa emosional, proses perasaan itu dulu sebelum diunggah, dan tanyakan: berapa orang yang kiranya akan melihat? Apakah ada pihak yang tersakiti? Apakah ada untungnya bagi diri dan orang lain? Kelima, jika sudah terlanjur melalukan oversharing, coba untuk menghapus konten-konten yang tak diinginkan. Editor: Geger Riyanto URL: https://www.remotivi.or.id/artikel/konsepisu/789 64 Bahaya “Bothsideism” dalam Isu Perubahan Iklim KONSEP & ISU |13/10/2022 Komunikasi Krisis Iklim oleh: Isma Swastiningrum Dibaca normal 7 menit. Memberi ruang pada narasumber tidak kompeten dalam isu perubahan iklim menjadikan isu ini kehilangan urgensinya. Prinsip cover both side dalam dunia jurnalistik perlu diberi batasan ulang. Pram/Remotivi Media massa baik cetak maupun elektronik memiliki tanggung jawab dalam meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap isu perubahan iklim. Sebagian besar masyarakat masih skeptis dengan isu perubahan iklim yang disuguhkan oleh media. Hal ini tidak sesuai dengan konsensus ilmiah para ilmuwan terkait pentingnya isu perubahan iklim yang berpengaruh langsung terhadap fisik, emosi, dan kesehatan mental manusia. Salah satu kecenderungan media yang menyebabkan ini adalah “bothsideism” atau keseimbangan palsu. Bothsideism merupakan kondisi ketika wartawan berusaha menyajikan dua sisi narasumber yang bertentangan dari sebuah isu. Kecenderungan ini bermasalah karena menyebabkan narasumber yang paling kredibel nampak hanya mewakili satu sisi. Bothsideism dapat merusak kemampuan publik dalam membedakan fakta dan fiksi serta menggiring pembaca meragukan konsensus saintifik. Dalam liputan terkait perubahan iklim, hal ini terlihat pada bagaimana media mengabadikan klaim-klaim “ilmiah dan non-ilmiah” secara bersamaan. Kedua pandangan tersebut seolaholah punya validitas dan kredensial yang sama, padahal pandangan non-ilmiah yang diangkat dapat menyebabkan misinformasi dan mempolarisasi kepercayaan pembaca. 65 Penelitian terbaru dari Universitas Northwestern menunjukkan bagaimana dalam liputan terkait iklim, bothsideism merusak sains dan mengurangi nilai sains. David Rapp sang peneliti menyebut, di saat dunia harus mengambil tindakan segera untuk memperlambat pemanasan global, media masih memberi “udara” atau “ruang” pada narasumbernarasumber yang tidak kredibel, irelevan, dan tak dapat dipercaya. Hal ini membuat masalah iklim jadi tampak kurang mengerikan daripada yang sebenarnya dan bahkan membuat orang bertanya, apakah isu perubahan iklim perlu ditanggapi dengan serius? “Ketika kedua sisi argumen disajikan, orang cenderung memiliki perkiraan yang lebih rendah tentang konsensus ilmiah, dan tampaknya orang cenderung tidak percaya bahwa perubahan iklim adalah sesuatu yang perlu dikhawatirkan,” kata Rapp yang juga psikolog dan profesor di Northwestern’s School of Education and Social Policy (SESP). Ada tiga masalah yang dimunculkan oleh bothsideism terhadap isu perubahan iklim: (1) keraguan apakah ada konsensus, (2) kebingungan tentang apa yang sesungguhnya benar, (3) kecenderungan untuk mengambil pilihan yang menyenangkan. Studi Rapp bersama Megan menunjukkan seseorang lebih mudah mengingat apa yang pernah dia dengar sebelumnya yang terasa benar, dan cenderung tidak mengingat apa yang tak mudah dikatakan, seperti perkataan ilmuwan. Dengan kata lain, kebanyakan orang lebih memilih dan mempercayai pandangan sensasional daripada ilmiah. Di sisi lain, otak manusia lebih mengandalkan emosi dan afeksi ketika mengambil keputusan, termasuk terkait krisis iklim yang dianggap tak bersangkut paut secara langsung dengan dirinya. Monbiot vs Plimer Kasus keseimbangan palsu juga terjadi pada perdebatan publik Monbiot vs Plimer. George Monbiot kolumnis isu lingkungan The Guardians menjelaskan ketidaksetujuannya dengan argumen yang dibangun Ian Plimer dalam bukunya berjudul Heaven and Earth: Global Warming, the Missing Science (2009). Plimer adalah profesor geologi pertambangan dan ilmuwan semi-iklim dari Australia. Monbiot mengkritik keras penulis dan buku karena menghadirkan banyak kekeliruan membahayakan. Perdebatan keduanya memuncak saat program Lateline ABC dari Australian Broadcasting Corporation memberi keduanya ruang untuk berdebat. Program berita televisi Australia yang menyediakan konten original terkait jurnalisme dan investigasi itu menggelar debat Pilmer dan Monbiot pada 15 Desember 2009. Perdebatan ini ditulis dengan serius oleh Angi Buettner dalam tulisan yang terbit di jurnal Media Peripheries. Buettner menjelaskan, Monbiot mengkritik buku Plimer yang berisi penolakan terhadap perubahan iklim dan menyatakan pemanasan global hanyalah mitos. Plimer berasumsi seluruh ilmu iklim internasional, politik, dan media bersatu untuk melakukan trik tipuan hebat perubahan iklim. Dia juga berargumen perubahan iklim tak berdasar sains, bagian dari politik agama hijau, konspirasi komunis, serta tidak berdasar konsensus ilmiah. Perubahan iklim tak didorong oleh manusia melainkan faktor planet dan galaksi. Dia mengecilkan masalah dengan menganggap perubahan iklim hanya sebatas fenomena alam saja, sehingga kita tak harus khawatir dampak lingkungan yang dihasilkan industri dan tindakan miliaran manusia. 66 Sialnya, buku itu segera terjual habis dan laris manis selama berbulan-bulan. Karya itu mendapat perhatian dari politisi dan media internasional serta memberi pengaruh luas serta berkepanjangan. Belakangan, para ilmuwan menegaskan karya tersebut memiliki berbagai kecacatan logika yang membahayakan: adanya kesalahan ilmiah, kurangnya kualitas argumen, bertele-tele, berulang-ulang, mendiskreditkan lingkungan, menyerang pendukung pandangan perubahan iklim secara individual, hingga hubungan penulis dengan industri pertambangan. Plimer dianggap tidak berusaha memberikan bukti apa pun untuk klaimnya. Dia nyaman menyatakan apa pun yang dia anggap sebagai “fakta” dan melapisinya dengan ribuan catatan kaki. Meski demikian, buku Plimer masih disambut antusias oleh para penyangkal perubahan iklim. Dengan modal sosial besar, suara yang banyak didengar, penghargaan yang banyak, dan tergabung dengan beberapa organisasi prestisius, Plimer menjadi sosok yang dipandang oleh kalangan ini. Plimer pun lantas menjadi selebritas media yang diikutsertakan dalam debat-debat bebas. Kendati dianggap omong kosong, buku Plimer menjadi dasar dari ide-ide penyangkal perubahan iklim yang marak di ranah blog. Kasus Plimer juga menunjukkan industri media yang terobsesi menyajikan tontonan sensasional dalam pemberitaan lingkungan. Duel antara Monbiot vs Plimer melanggengkan logika ini dan menimbulkan pertanyaan terkait tanggung jawab media sebagai alat komunikasi terkait lingkungan. Menghadirkan dua poin yang berlawanan dalam bentuk dramatis dapat semakin mengaburkan pesan perubahan iklim yang ilmiah. Menangkis Bahaya Bothsideism Kasus keseimbangan palsu ini terjadi hampir merata di seluruh dunia, melibatkan media cetak dan daring terkemuka di India, AS, Inggris, Jerman, dan Swiss. Mengutip suara-suara kontra yang salah kaprah masih menjadi tradisi dan menimbulkan penolakan terhadap perubahan iklim serta sukses memelihara kebingungan publik. Pelaku media perlu mendefinisikan ulang “cover both side” seperti apa yang akan diterapkan. Media mestinya mampu melampaui keseimbangan palsu. Untuk memutus siklus keseimbangan palsu tersebut, Rapp dan Imundo memberikan satu strategi yang bisa diadopsi redaksi guna membantu pembaca. Redaksi perlu menebalkan argumen dan konsensus para ahli tentang perubahan iklim dan mengurangi bobot argumen pihak penyangkal perubahan iklim. Di sisi lain, meminimalisir perdebatan di media yang menyediakan ruang bagi orang-orang serupa Plimer juga perlu dilakukan. Perdebatan terbuka dan nirfaedah tak perlu dilaksanakan. Jurnalis Liz Spayd dalam tulisannya di The New York Times menyatakan masalah dari bothsideism adalah doktrin tersebut bisa menyamar sebagai pemikiran rasional. Bothsideism serupa perangkap bagi jurnalis, perlu sikap kehati-hatian agar tidak terjebak dalam perangkap tersebut. Liz mengatakan, jurnalis dapat menerapkan penilaian moral dan ideologis mereka sendiri dalam memilih narasumber. Sebelum memulai wawancara, jurnalis perlu menekankan urgensi/manfaat cerita, bukan pandangan irasional yang mendorong pada penilaian yang salah. 67 Mengutip Jacob Weisberg dari majalah Slate, Liz menulis, jurnalis bisa meliput narasumber yang mungkin “apel” atau “jeruk”, yang setidaknya masih “buah-buahan”, tapi tidak bisa mengganti salah satunya dengan “daging tengik” karena jelas merupakan pemilihan yang partisan dan tidak relevan. Jurnalis bisa memastikan keseimbangannya untuk menciptakan pelaporan yang mantap dan tegas. Lebih-lebih untuk isu perubahan iklim, harus ada bukti dan fakta empiris yang diungkap dalam liputan alih-alih mendorong dan memaksakan nilainilai sendiri dari para pihak yang salah (kontra). Editor: Geger Riyanto URL: https://www.remotivi.or.id/artikel/konsepisu/785 68 Kepentingan Konsumen di tengah Hiruk-Pikuk Pemblokiran PSE KONSEP & ISU |08/09/2022 Media & Demokrasi oleh: Isma Swastiningrum Dibaca normal 9 menit. Pemerintah melalui Kominfo melakukan kebijakan sepihak. Mereka memblokir platform elektronik yang dianggap “penting” bagi konsumen. Pram/Remotivi Transaksi dagang melalui e-commerce berkembang sedemikian cepat hari ini. Seseorang bisa membeli kebutuhan primer hingga tersier hanya dari gawai dan klik. Sebagai konsumen, transaksi yang bersifat digital ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Sisi baik dari transaksi elektronik yaitu fleksibel, praktis, cepat, dan efisien. Baik produsen, distributor, dan konsumen tak perlu bertemu langsung. Di sisi lain, aneka platform transaksi digital juga memberikan promo/cashback yang menguntungkan, aliran dana yang masuk dan keluar bisa terpantau, bersifat lintas negara sehingga transaksi e-commerce menjadi pilihan sebagian besar masyarakat. Meski begitu, perlindungan konsumen dalam transaksi dagang elektronik masih menjadi pertanyaan. Posisi tawar konsumen masih dirasa lemah karena risiko yang dialami lebih besar dibandingkan dengan transaksi konvensional. Risiko itu di antaranya: barang yang dibeli tak sesuai dengan yang tertera di layar, konsumen jadi lebih konsumtif saking banyaknya promo yang diberikan, hingga risiko penyalahgunaan data pribadi dan privasi. Sayangnya, Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen belum menjangkau hingga ke ranah risiko transaksi digital ini. 69 Dalam upaya melindungi konsumen di masa Revolusi 4.0, pemerintah kemudian menerbitkan berbagai peraturan perundang-undangan. Salah satu peraturan yang ramai diperdebatkan yaitu Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat. Peraturan itu diperkuat dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Peraturan Permenkominfo mewajibkan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) untuk melakukan registrasi ke pemerintah. Kendati demikian, peraturan tersebut menuai protes dari berbagai kalangan termasuk konsumen. Protes yang paling besar menyoroti terkait pola pikir blokir pemerintah dan beleid karet dari Permenkominfo. Kepentingan Pemerintah dan Konsumen Sepintas, Permenkominfo tentang PSE nampaknya didorong oleh kepentingan pemerintah yang sejalan dengan kepentingan masyarakat, yang sebagian besar merupakan konsumen dari produk dan jasa elektronik. Pemerintah dalam klaim-klaimnya terdengar ingin melindungi melindungi konsumen dari kemungkinan eksploitasi oleh PSE sekaligus mendongkrak pendapatan pajak. Kominfo menyatakan bahwa dengan didaftarkannya PSE, pemerintah jadi tahu siapa di balik PSE. Dengan ini, mereka dapat mewujudkan PSE yang “andal, aman, dan terpercaya”, juga mengendalikan (meminimalisir) risiko ekosistem digital. Praktik bisnis yang merugikan pengguna bisa mendapat teguran dan penghentian dari Kominfo, baik sementara maupun permanen. Pendaftaran ini juga diklaim dapat membantu aparat pemerintah melakukan penegakan hukum apabila terjadi permasalahan hukum transaksi elektronik yang berlaku di masyarakat. Pendaftaran PSE dalam logika ini adalah persoalan tata kelola ruang digital dan pembangunan ekosistem digital. Selanjutnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan pendaftaran PSE dapat membantu pemerintah mendalami kegiatan usaha wajib pajak. Dampaknya adalah ada potensi peningkatan pendapatan negara dari pajak yang cukup berarti. Belakangan, setelah mendapatkan tentangan dari masyarakat sipil, Kominfo menerbitkan artikel berjudul "Blokir Bukan untuk Menindas". Direktur Jenderal (Dirjen) Aptika Kominfo Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan, “negara berada di barisan terdepan untuk membersihkan konten internet yang mengancam dan membahayakan masyarakat.” Sementara itu, kepentingan konsumen secara umum adalah bisa melakukan transaksi PSE secara aman dan kredibel. Dalam urusan ini, konsumen adalah pihak yang selama ini sangat rentan terhadap eksploitasi oleh PSE. Imam Salehudin dan Tangges Varen di The Conversation menjabarkan tiga bentuk eksploitasi konsumen yang lazim dijumpai. Pertama, konsumen menjadi sasaran layanan digital yang tidak sehat. PSE memiliki tujuan mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari konsumen. Ini terutama dapat dijumpai pada app shoping yang melakukan eksploitasi tidak nyata untuk mendorong pembelian secara 70 impulsif. Ini terjadi pula pada aplikasi game online yang ingin penggunanya menghabiskan banyak sumber daya, dari waktu, tenaga, dan pikiran hanya untuk bermain. Monetisasi agresif ini berujung membentuk adiksi konsumen. Kedua, konsumen menjadi sasaran pelanggaran privasi/data pribadi. Hal ini tak bisa dilepaskan juga dari masih rendahnya pengetahuan konsumen atas isu privasi. Ini terlihat dari begitu mudahnya konsumen memberikan akses privasi mereka pada platform-platform digital tertentu, padahal kebocoran data dan privasi bisa mengakibatkan trauma psikologis pada konsumen. Ketiga, menjadi korban layanan finansial berbahaya. Literasi keuangan konsumen Indonesia masih sangat kurang. Jika tidak waspada, masyarakat dapat terjerat iming-iming investasi bodong, tidak masuk akal yang disertai syarat-syarat menjebak. Yang paling jelas sudah terjadi adalah masyarakat menjadi korban pinjol (pinjaman online). Mereka yang terjebak kemudahan berutang di pinjol kini banyak yang menjadi korban teror harian. Teror ini bahkan menimpa bahkan anggota keluarga atau teman yang sendirinya tidak meminjam. Risiko dan Pelanggaran PSE Terlepas dari lemahnya posisi konsumen dan klaim itikad pemerintah melindungi mereka, penerapan peraturan PSE malah kontraproduktif untuk beberapa alasan. Dengan kecenderungan pemerintah untuk main blokir, pemerintah berpotensi melarang hal-hal yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat. Pemblokiran Paypal menjadi contohnya. Pihak yang paling banyak menanggung risiko pemblokiran ini adalah pekerja freelancer. Vice menulis “[r]isiko PayPal kembali terblokir tanpa opsi setara bisa membuat 33 juta freelance di Indonesia kalah kompetitif di bursa kerja global.” Berpindah aplikasi pembayaran tak serta-merta menyelesaikan persoalan. PayPal sudah menjadi “bintang emas” industri freelancing lintas negara—lebih populer ketimbang Payoneer dan Wise karena dianggap cepat dan aman. Apa yang dilakukan oleh pemerintah dapat digambarkan dengan seorang bapak yang melihat anaknya rentan terpapar dampak buruk WhatsApp, lantas memerintahkannya menghapusnya tanpa mempertimbangkan fungsinya yang sudah tak tergantikan bagi kehidupan sehari-hari. Pada waktu peraturan PSE hendak diterapkan tempo hari, kita bukan cuma sempat terancam kehilangan akses PayPal, Steam, Yahoo Search Engine melainkan juga Gmail, Google, WhatsApp dan lain-lain yang tanpa mereka kita tak bakal bisa bekerja sama sekali. Risiko lain yang ditanggung oleh pihak konsumen adalah pelanggaran hak asasi mereka. “Remember folks, arbitrary censorship is a clear violation of human rights!” Begitu kalimat yang tertulis dalam laman Kominfu.com sebagai tandingan web Kominfo. Web Kominfu memperlihatkan detik-detik menuju “kiamat internet” di Indonesia. Tagar #BlokirKominfo membanjiri Twitter dan warganet menulis kekecewaannya di berbagai media sosial. Protes tak hanya dilatarbelakangi pemblokiran melainkan juga beberapa pasal karet dan bermasalah dalam Permenkominfo No. 10/2022, di antaranya Pasal 3 ayat 4, Pasal 9 ayat 3 71 dan 4, Pasal 14, Pasal 21, dan Pasal 36. Pasal-pasal ini secara umum membungkam kritik, mengancam kebebasan berekspresi, dan melawan Hak Asasi manusia (HAM). Indonesia sebetulnya memiliki peraturan yang mengatur hak-hak konsumen. Pada UU Perlindungan Konsumen, terdapat sembilan hak konsumen, yaitu: (1) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa; (2) Hak untuk memilih barang dan/jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; (3) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; (4) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; (5) Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen secara patut; (6) Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen; (7) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; (8) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; (9) Hak-hak lainnya yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Meski demikian, dalam implementasi hak-hak ini, kebijakan sepihak dengan cara pemblokiran tak bisa diterima lantaran risiko-risiko yang sudah disebutkan. Pemerintah perlu menghadirkan semua pihak yang terlibat untuk menyusun peraturan yang adil. Selain itu, program-program perlindungan perlu dilakukan dengan menghadirkan berbagai pihak yang berkepentingan, juga melalui kegiatan-kegiatan yang berkaitan langsung dengan konsumen maupun pihak swasta, seperti pembinaan, pengawasan, hingga sosialisasi regulasi. Penegakan hukum untuk melindungi konsumen daring yang menjunjung demokrasi sudah dicoba diterapkan terhadap perusahaan di beberapa negara. Ada kesadaran bahwa hak konsumen perlu ditegakkan dengan menghindari jebakan-jebakan otoritarianisme digital. CSIS dalam laporannya menulis pendekatan yang strategis diperlukan untuk melakukan ini. Membangun kerja sama antara pemerintah dan swasta menjadi salah satu langkahnya. Hal lain yang juga bisa dilakukan yakni mengintegrasikan pakar demokrasi, aktivis HAM, dan pemerintah dalam upaya memantapkan keamanan siber di samping menambah sumber daya manusia yang kompeten di bidang teknologi. Keamanan, baik keamanan nasional, keamanan publik, hingga keamanan privasi juga bisa dibangun lewat penerapan kebijakan enkripsi yang konsisten. Enkripsi yang kuat akan menggagalkan kejahatan digital dan menjaga privasi. Enkripsi banyak memberi manfaat bagi populasi atau ekosistem yang rentan, kelompok bisnis, juga pemerintah. Teknologi yang telah terenkripsi dapat mendukung dan meningkatkan keamanan digital yang menjadi citacita bersama. Editor: Geger Riyanto URL: https://www.remotivi.or.id/artikel/konsepisu/780 72 Jebakan Elsagate: Tontonan Anak-Anak yang Tidak Ramah Anak KONSEP & ISU |19/08/2022 oleh: Isma Swastiningrum Dibaca normal 7 menit. Elsagate merujuk pada video anak yang awalnya mempertontonkan kartun biasa, kemudian malah membawakan konten lain yang sensitif seperti horor, porno, dan kekerasan. Pram/Remotivi Anak-anak hari ini merupakan generasi digital yang dikelilingi oleh teknologi, termasuk pada wilayah tontonan. Kartun dan permainan menjadi yang banyak ditonton. Tak ayal, animasi seperti Cars, Tayo, Upin & Ipin, My Little Pony, BabyBus, Cocomelon, dan sebangsanya memiliki jumlah penonton dan pengikut jutaan. Aneka tontonan anak dengan berbagai daya pikatnya itu membanjiri YouTube dan memberikan dopamin pada anak. Namun, terdapat kasus tertentu di mana anak justru terjebak Elsagate (Gerbang Elsa). Elsagate merujuk pada tayangan video YouTube yang dikategorikan ramah anak tetapi tidak ramah anak. Tontonan anak yang awalnya wajar-wajar saja berubah menjadi tidak wajar karena berisi konten yang tidak pantas. Kasus Elsagate terjadi saat pengasuh seperti orang tua atau kakak meninggalkan bayi atau balita dengan video-video tontonan YouTube. Fenomena ini perlu menjadi perhatian, selain karena masih sedikitnya literatur yang menunjang, upaya mengklasifikasikan suatu video sebagai Elsagate atau tidak menjadi tantangan tersendiri. Lebih bahaya lagi, Elsagate dapat meninggalkan trauma bagi anak. 73 Sejarah dan Pengertian Elsagate Dalam film animasi Frozen yang dirilis Disney pada tahun 2013, Princess Elsa dari Kerajaan Arendelle menjadi tokoh utama. Elsa memiliki karakter yang anggun, pendiam, tekun, dan mempunyai kekuatan ajaib. Di balik kepribadiannya yang baik tersebut, Elsa memiliki ketakutan karena bisa membuat es dan salju. Dia juga dihantui oleh perasaan was-was karena kemampuan ajaibnya nyaris membunuh adiknya, Anna. Dari sosok Elsa inilah, istilah Elsagate muncul. Istilah ini terdiri dari dua kata, “Elsa” dan sufiks “gate”. Elsa merujuk pada tokoh Elsa, sementara gate merujuk pada skandal seperti skandal Watergate, Celebgate, Pizzagate, dan lain-lain. Elsagate mulai muncul di YouTube sejak 25 Mei 2013 ketika kanal orang Korea Leehosook mengunggah “finger family song”. Video ini memperlihatkan seorang anak yang menyanyikan lagu tentang keluarga dengan jari-jarinya. Setiap jari mewakili satu orang keluarga inti, dari ayah, ibu, kakak, dan adik. Dalam artikel jurnal Akari Ishikawa, Edson Bollis, dan Sandra Avila berjudul “Combating the Elsagate Phenomenon”, Elsagate didefinisikan sebagai fenomena yang menampilkan tokoh tontonan anak secara mengganggu. Adegan-adegan mengganggu tersebut seperti menyakiti orang lain, mencuri alkohol, minum dari toilet, memakan kotoran manusia, meminum air pipis, mengoles feses ke wajah, memperlihatkan darah, menggunakan senjata, hingga melakukan perkosaan dan kekerasan. Jika dirumuskan, ciri-ciri tontonan Elsagate antara lain: (1) Kartun atau karakter anak-anak digunakan sebagai sarana penyampai pesan konten dewasa yang tidak layak; (2) Berisi komentar-komentar yang tidak senonoh, juga “humor-humor toilet”; (3) Diproduksi oleh pihak atau studio yang tidak jelas dengan mencomot konten secara ilegal dari studio besar; (4) Kualitas video dan audio yang rendah atau kualitas animasi digital yang kasar; (5) Berisi karakter, kiasan, dan kata kunci populer yang saling digabungkan. Penulis dan seniman James Bridle dalam sebuah tayangan di YouTube menunjukkan betapa banyaknya video anak-anak yang menjadi konsumsi balita. Dalam tayangan itu dicontohkan video berjudul “Cars 2 Silver Lighting McQueen Racer Surprises Eggs Disney Pixar Zaini Silver Racers by ToyCollector” yang ditonton sebanyak 30 juta penonton. Bridle menerangkan, akan ada 10 juta video lain yang seperti “surprise egg”, dan setiap hari tayangan akan diunggah. Tontonan seperti itu akan banyak sekali ditemui di YouTube yang pada akhirnya merujuk ke Elsagate. Bridle mencontohkan tayangan prank Elsagate, semisal awalnya sang anak menonton Mickey Mouse, setelah klik beberapa kali, tayangan berubah menjadi konten seksual—menjadi tayangan Mickey Mouse yang melakukan masturbasi. Motif mengapa video Elsagate dibuat masih teka-teki. Bahkan siapa yang membuat menjadi pertanyaan—apakah orang, robot, bot, atau yang lainnya. Ada teori konspirasi, video Elsagate dibuat agar para pengidap pedofilia bisa “menjaga” anak-anak untuk berada dalam kendali mereka. Teori lain yang berkembang adalah Elsagate merupakan komoditas siber untuk mengeruk pendapatan dari iklan. Pasalnya, konten anak-anak merupakan dagangan yang cukup komersial dan hal ini didukung oleh logika platform YouTube. Dari sini, ada pemain-pemain yang melihat celah dan memburu cuan dengan memainkan versi sesat tokoh tayangan anak. 74 Tentu, algoritma memainkan perannya. Ketika menonton video anak di YouTube, algoritma akan menggiring orang tua pada kartun-kartun lain yang disarankan. YouTube menerapkan algoritma yang terkadang disalahgunakan oleh pihak tertentu untuk meretas otak anakanak. Setelah menekan tombol “next” atau menyalakan “autoplay” beberapa kali, jebakan Elsagate menghadang. Elsagate mendorong adanya kepanikan moral terkait apakah orang tua dapat mempercayai platform streaming video untuk memberikan konten pada anak-anaknya, terlebih dengan semakin maraknya konten-konten yang dikategorikan tidak senonoh bagi anak-anak. Sebagian orang tua juga melakukan pelaporan, meski kanal-kanal seperti ini masih bermunculan. Elsagate juga menyebabkan kecemasan budaya hingga menimbulkan fobia pada anak yang mengemuka dalam tindakannya sehari-hari dan dampaknya di masa depan. Misalnya, anak takut akan kartun yang dia tonton, anak juga takut gelap, hingga sang anak berpotensi menirukan adegan video yang dilihatnya dari tontonan Elsagate. Potensi YouTube sebagai Media Belajar Sebenarnya, menonton kartun dapat berguna dari segi perkembangan intelektual, sosial, dan emosional anak. YouTube tidak selamanya berbahaya dan identik dengan Elsagate, melainkan juga mendukung pembelajaran anak. YouTube memiliki potensi memperkuat pendidikan karakter sebagaimana yang diteliti Imroatun dkk. (2021). YouTube menjadi media mempermudah pembelajaran bagi anak-anak. Selain itu, YouTube memiliki beragam informasi yang baik untuk mengembangkan karakter anak. YouTube sendiri menyatakan bahwa konten pendidikan menjadi salah satu fokus utama yang dikembangkan secara serius. Berdasarkan studi Neumann dan Herodotou (2020), ada empat prinsip merancang dan memilih konten YouTube bagi anak: kesesuaian dengan usia, kualitas konten, fitur desain, dan tujuan pembelajaran. Program mendidik seperti ditunjukkan oleh tayangan Sesame Street mendukung keterampilan literasi di masa awal-awal. Episode “Learning About Letters” tayangan ini mempelajari bagaimana menyatakan huruf secara oral yang akan didukung dengan lagu dan gambar serta animasi. Orang tua sangat berperan dalam menentukan tontonan bagi anak. Anak yang kecanduan suatu platform patut menjadi alarm bagi orang tua. Orang tua perlu berperan menyuguhkan tontonan yang relevan, melakukan pendampingan, memperhatikan, membatasi waktu menonton, hingga menumbuhkan pemahaman kritis anak-anak terkait tontonan. Dengan demikian, anak bisa memilah dan memanfaatkan tayangan YouTube secara sehat dan proporsional. Editor: Geger Riyanto URL: https://www.remotivi.or.id/artikel/konsepisu/777 75 Death Knock, Saat Duka Kematian Diberitakan KONSEP & ISU |04/08/2022 oleh: Isma Swastiningrum Dibaca normal 9 menit. Death knock merupakan berita terkait perasaan sekaligus fakta. Baik jurnalis maupun pihak yang berduka perlu merasakan makna dan konteks pada tragedi peristiwa kematian. Pram/Remotivi Kematian Emmeril Kahn Mumtadz atau Eril, putra sulung Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menjadi salah satu berita yang mendapat perhatian publik di minggu terakhir bulan Mei hingga awal Juni 2022 lalu. Eril dikabarkan hilang saat berenang di Sungai Aare, Swiss. Pencarian dilakukan selama dua pekan sampai akhirnya jasad Eril ditemukan oleh seorang guru SD dengan tubuh yang masih utuh. Histeria masyarakat yang mengikuti berita itu memuncak saat pemakaman Eril. Lautan manusia yang terdiri dari ratusan ribu warga berjejer mengantar jenazah Eril ke tempat persemayaman terakhir di Cimaung, Bandung. Usai peristiwa itu, Mata Najwa membuat video dokumenter yang kemudian ditayangkan di YouTube berjudul “Ridwan Kamil, Atalia, dan Eril: Cinta Tak Terbilang”. Tayangan tersebut sempat menimbulkan pro-kontra. Di sisi pro, jurnalis bisa memberikan penghormatan kepada peristiwa berkabung dengan melakukan proses tatap muka, mengenal almarhum dengan lebih utuh, hingga memberi ruang bagi yang ditinggalkan untuk bercerita. Di sisi kontra, praktik jurnalisme ini acap kali bermasalah dari segi etika serta kurang menyertakan penghargaan atas situasi perkabungan hingga jebakan menjual kesedihan. Produser Eksekutif Mata Najwa, Soni Triantoro, menjelaskan dalam tulisannya, praktik mewawancarai kerabat atau orang terdekat dari seseorang yang baru meninggal disebut sebagai “death knock” atau ketukan kematian. 76 Death Knock dalam Jurnalisme Dalam penelitian Duncan dan Newton (2010), death knock diartikan sebagai suatu praktik jurnalisme yang mencoba mewawancarai orang-orang yang sudah rentan terhadap situasi kematian orang terdekat. Liputan ini didasarkan pada berbagai situasi traumatis seperti setelah kecelakaan, pembunuhan, hingga korban bencana alam. Death knock dilakukan tentu dengan “mengetuk pintu” terlebih dahulu, entah itu secara implisit maupun eksplisit. Death knock menjadi salah satu hal yang menantang dalam karier seorang jurnalis. Ketika dihadapkan pada tragedi kematian, jurnalis akan dihadapkan pada situasi yang tak terduga dan tanpa pemberitahuan. Jurnalis umumnya memiliki tekanan sendiri dalam melakukan tugas pelaporannya mengingat ada isu hukum dan etika. Masih banyak kebingungan terkait metode seperti apa yang tepat dan efektif untuk digunakan. Dalam prosesnya, death knock mempertemukan wartawan dengan pihak keluarga secara berhadap-hadapan. Dari sisi jurnalis, usai wawancara yang bersifat traumatis, beban sebagian besar berada pada jurnalis karena mereka bertanggung jawab membagikan keprihatinan dan pengalaman mereka. Lebih-lebih, “budaya macho” dalam newsroom (ruang berita) membuat jurnalis harus memberikan kesan tidak peka, lepas, dan terkendali. Di sisi lain, fenomena Eril ini menjadi bahan perbincangan karena isu kematian paling sering menjadi “sorotan media”. Di tengah sorotan semacam itu, orang yang mengalami dihadapkan pada dua hal ekstrem, kesedihan mereka sendiri dan invasi terhadap kehidupan mereka yang dilakukan oleh media. Dalam penelitian Chiara Anindya (2015) yang berjudul “Pers, Kematian, dan Sensasionalisme” disebutkan industri media di Indonesia menggunakan berita terkait kematian sebagai komoditas bernilai tinggi. Berita kematian juga dianggap sebagai “media event” yang memancing komunikasi massa di mana media memberitakan suatu isu kematian dengan “performa kultural yang tinggi”. Chiara menegaskan, “[m]edia event terjadi ketika audiens menaruh minat besar pada sebuah kejadian yang dilaporkan oleh media massa.” Sialnya, pemberitaan kriminalitas semacam itu secara konsisten memuat tiga hal: misinformasi, sensasionalisme, penggambaran secara berlebihan. Media Tak Selalu Mengganggu Kesedihan Peliputan death knock merupakan situasi yang sangat emosional. Kebanyakan jurnalis tidak menerima pelatihan death knock, meski ada pula pendidik jurnalisme mau mengajari calon jurnalis melakukannya. Lantaran situasi tersebut, jurnalis diharapkan mampu melakukan pendekatan dengan kepekaan tinggi. Sayangnya, kebanyakan jurnalis tidak siap. Wacana ini semakin rumit ketika kecil kemungkinan pihak perusahaan media memberikan pembekalan bagi jurnalis yang secara emosional terganggu oleh pengalaman mereka. Jurnalis lebih sering hanya mendapatkan pendidikan informal, entah instruksi dari bagian redaksi maupun nasihat dari sesama teman seprofesi. Mereka pun lebih mungkin belajar autodidak terkait etika peliputan. 77 Meski begitu, yang penting untuk dicatat adalah death knock menjadi praktik jurnalisme atau pengalaman yang tidak sepenuhnya negatif. Pelaporan jenis ini dapat menghasilkan liputan yang kuat dan efektif dalam menggambarkan keseluruhan seseorang, juga sebagai katalis untuk beragam aksi publik yang memperingati mereka yang telah berpulang. Pelaporan tersebut dapat memberi tahu masyarakat terkait situasi yang mungkin terjadi di luar pengalaman mereka. Hal itu juga dapat membantu seseorang yang mengalami pengalaman serupa untuk mengambil refleksi sekaligus menjadi katarsis baik buat pembaca hingga orang yang diwawancara. John Griffith, mantan editor surat kabar yang kehilangan anaknya dalam kecelakaan di jalan menegaskan, orang tidak dapat langsung berasumsi media mengganggu kesedihan dengan menghubungi keluarga. Dia sendiri memajang liputan-liputan terkait putranya Michael di rumah dan tamu boleh membaca detail kecelakaan tersebut serta penghormatan terakhir orang tua kepada anaknya. Dengan kata lain, keluarga tidak harus mengulangi detail rasa sakit tanpa henti. Griffith memberikan saran pada jurnalis: “Jadi jangan ragu untuk mengetuk pintu dan bertanya. Jika keluarga tidak mau berbicara dengan Anda, Anda dapat pergi. Jika mereka mau, Anda akan membantu mereka di momen hidup kala mereka ingin tahu masyarakat luas peduli dengan mereka dan berbagi kesedihan mereka.” Nasihat yang lahir dari pengalaman pribadi ini dapat dijadikan panduan bagi jurnalis dalam meliput kasus serupa. Alih-alih bersikap tidak sabaran, merespons dengan reaktif, dan tidak menunjukkan kepekaan, nasihat Griffith ini dapat membuka jalan agar jurnalis lebih peka, menunjukkan simpati, melakukan manajemen emosi, percaya diri, dan mahir dalam menghadapi tantangan liputan death knock. Jurnalis harus mengaplikasikan nilai-nilai jurnalisme mereka dari menunjukkan nilai berita, mengumpulkan fakta, menilai konsekuensi potensi yang muncul serta tindakan yang harus diambil, dan berpegang pada kode etik jurnalistik. Bahkan, salah seorang jurnalis dengan pengalaman lima tahun dalam penelitian Newton dan Duncan mengatakan: “orang-orang tertentu sungguh ingin bercerita pada dunia jika mereka benar-benar kehilangan.” Death knock karenanya sebaiknya lebih difokuskan pada “perbuatan baik” almarhum, yang memungkinkan jurnalis melihat cerita secara lebih positif. Dengan demikian, death knock memberikan “bingkai sosial” terakhir tanpa penghakiman. Soni Triantoro menjelaskan pula, death knock bisa menumbuhkan pengalaman positif bagi keluarga jika dilakukan dengan penuh pertimbangan. Selain itu, ia juga membantu mereka memberikan jawaban atas pertanyaan yang bertubi-tubi. Soni memerinci praktik “penuh pertimbangan” tersebut perlu dilakukan dengan tidak memaksa, tidak menanyakan perasaan narasumber, banyak mendengarkan, tidak tergesa-gesa, membantu narasumber melukiskan gambaran utuh, jurnalis diperkenankan menunjukkan emosi, hingga membuka serta menutup wawancara dengan kalimat sederhana, “terima kasih sudah percaya kepada kami.” 78 Kisah dan Kematian Eril Apa yang digambarkan Soni mungkin nampak pada tayangan Mata Najwa terkait Eril. Dalam tayangan berdurasi 53 menit tersebut terlihat secara lebih jelas gambaran diri Eril jika dibandingkan dengan berita sepenggal-sepenggal dari berbagai media. Bagaimana Eril ingin dekat dengan keluarga sebelum dia meninggal, bagaimana Eril juga sosok yang jahil dan suka cengengesan. Eril yang suka karaokean, bernyanyi lagu Dealova bersama sang nenek. Eril juga digambarkan sebagai orang yang rendah hati dan dermawan, jadi sopir pernikahan seseorang dan tidur di mana saja. Intinya, Eril adalah seorang yang delivering happiness, membawa kebahagiaan bagi siapa saja. Najwa Shihab juga memberikan pesan tak langsungnya untuk jurnalis yang akan melakukan wawancara death knock: “Beribu orang bisa mengatakan bela sungkawa, tapi kita memang tak pernah bisa merasakan besarnya gelombang yang menghantam orang terdekat. Terhadap mereka kita hanya bisa mendengarkan, itu pegangan saya. Daftar pertanyaan yang saya susun dengan sangat hati-hati, nyaris tak terpakai. Bercerita panjang dengan sendirinya seakan tanpa putus, tanpa ingin berhenti. Mengingat detail memori-memori bersama Eril.” Ya, jurnalisme death knock membutuhkan narasi yang koheren dari sumber pertama secara langsung. Sebab hal itu menjadi salah satu fungsi jurnalisme, menyatakan kebenaran secara utuh. Baik jurnalis maupun pihak yang berduka dapat merasa terluka oleh wawancara tersebut. Untuk itu, prinsip-prinsip etika, kejujuran, presisi, dan perhatian menjadi sangat penting. Jurnalis yang melakukan death knock bisa menjadi jawaban untuk menanggapi kebutuhan audiens untuk terhubung dengan yang berduka dan sebaliknya. Death knock memungkinkan orang berada dalam “kebersamaan dan kesamaan” untuk menyadari bagaimana mereka saling terikat dalam menghindari atau menghadapi situasi yang sama. Editor: Geger Riyanto URL: https://www.remotivi.or.id/artikel/konsepisu/774 79 Orkestrasi Pasukan Siber di Media Sosial KONSEP & ISU |17/06/2022 Media & Demokrasi oleh: Isma Swastiningrum Dibaca normal 8 menit. Pasukan siber tidak hanya mengancam demokrasi dengan manipulasinya, tapi juga memainkan isu dan kebijakan strategis nasional untuk mengeruk keuntungan. Pram/Remotivi Residu perang siber antara "cebong" vs "kampret" pada perhelatan Pemilu 2019 masih dirasakan gemanya hingga sekarang. Siang dan malam mendekati pemungutan suara, Twitwar simpatisan pihak "cebong" (pendukung Jokowi) dan "kampret" (pendukung Prabowo) saling menyerang. Nuansa kebencian dan kegaduhan saling didengungkan, saling menjatuhkan. Perang siber ini berasal dari akun anonim hingga akun bot yang tidak jelas asal usulnya. Dukungan publik kemudian dimobilisasi dengan cara yang kotor lewat distorsi informasi oleh jaringan ribuan akun tak kasat mata di media sosial. Tak hanya di kasus Pemilu, perdebatan yang kurang sehat juga terjadi pada kasus-kasus viral yang terjadi di beberapa tahun ke belakang di media sosial. Di antaranya jaringan bot dan informasi palsu terkait isu Papua; narasi viral tidak organik juga muncul ketika isu "Percuma Lapor Polisi"; hingga serangan "pasukan siber" yang hendak melemahkan KPK. Suara-suara kritis terhadap kebijakan pemerintah sering pula diserang dan digeruduk oleh ratusan tweet atau DM berisi kritik hingga ancaman dan hinaan. Kemunculan ribuan tweet yang muncul secara tiba-tiba, seragam, dan terlihat mengikuti komando ini adalah contoh nyata keberadaan pasukan siber yang sengaja mempolarisasi opini publik di media sosial. 80 Penelitian etnografi digital hasil kolaborasi berbagai akademisi menyingkap detail menarik terkait “industri gelap” pasukan siber. Tim peneliti dalam riset itu mewawancara sebanyak 78 pendengung (buzzer) dan pesohor (influencer). Wijayanto dan Ward Barenschot, sebagai peneliti utama, mendefinisikan pasukan siber sebagai "jaringan pasukan bayaran daring yang mendapat pemasukan dari kampanye daring ad-hoc yang mendukung isu politik tertentu." Menurut temuan mereka, pasukan siber mulai menjadi industri yang terorganisir bersamaan dengan momen penting dalam kompetisi politik elektoral, terutama pada Pilkada Jakarta 2017 dan Pilpres 2019. Pemilu adalah momen di mana mobilisasi politik populer terjadi, dan media sosial menjadi kanal yang ampuh untuk mendulang perhatian publik, dengan propaganda sebagai strategi utama. Kehadiran pasukan siber menjadi sebuah “industri” karena mereka bekerja secara terkoordinir, terstruktur, dan metodis dengan rencana yang jelas untuk mendapatkan semaksimal mungkin perhatian publik. Mereka adalah para pasukan bayaran yang sudah terlatih, terorkestrasi, dan berorientasi komersial, sehingga sangat mudah disetir dan digerakkan tergantung siapa yang membayar. Cara kerja mereka cukup cair dan informal. Mereka bekerja secara temporer dengan waktu dan tempat yang fleksibel karena bisa dilakukan kapan dan di mana saja asal ada gawai, laptop/komputer, dan kuota. Siapa yang Menjadi Pasukan Siber? Pasukan siber terdiri dari empat kelompok, yaitu pendengung tanpa nama (buzzer), pesohor (influencer), koordinator, dan pembuat konten. Buzzer contohnya, mereka berternak akun dengan mengelola sebanyak mungkin akun palsu (puluhan hingga ribuan) yang digunakan untuk menyebarkan propaganda. Pesan yang diinstruksikan oleh koordinator kemudian dieksekusi oleh pembuat konten dan diamplifikasi siarnya oleh para pesohor (influencer). Jejaring ini memungkinkan suatu isu tertentu dapat di-blow up dengan cepat. Bahkan di antara para pasukan siber ini menggunakan bot (robot) pula untuk mengirimkan pesan secara otomatis di jam tertentu. Ciri-ciri dari pasukan siber di antaranya: 1) menggunakan banyak akun anonim/pseudonim, 2) menggunakan bahasa yang berulang, 3) profil akun yang tidak jelas (samaran), 4) foto tidak asli (seperti anime atau niche tertentu), serta 5) menyebarkan propaganda. Konten yang mereka unggah bermacam-macam dari status, foto, video, jingle, meme, polling, tagar, give away, dan lain sebagainya. Kemudian mereka melakukan penyerangan atas dasar moral, antara yang baik dan yang buruk. Kemudian memainkan emosi netizen untuk membesarkan isu sentimen melalui tombol like, share, dan comment. Dari pekerjaan tersebut pasukan siber mendapatkan uang yang berasal dari elite-elite belakang layar. Meski dana ini masih tergolong asalnya abu-abu, namun yang jelas hanya segelintir golongan yang berkelimpahan dan berkuasa saja yang memesan kampanyekampanye pasukan siber. Seperti para elite politik, elite ekonomi, hingga para pebisnis yang menjilat untung pada penguasa untuk meloloskan izin bisnis mereka. Bahkan ada pasukan siber yang tak peduli dengan politik yang dipesankan penyuruhnya, tapi mereka hanya tertarik pada cuan. Mereka umumnya dipekerjakan untuk menguatkan cengkraman elite terhadap kekuasaan, meloloskan kebijakan, dan mempertebal otoritarianisme digital. 81 Dalam Pemilu di Indonesia, tim siber kemudian bermetamorfosis menjadi tim sukses (timses) serbaguna. Mereka tidak hanya mengurusi kampanye dan mempengaruhi keputusan pemilih dalam pertarungan elektoral tertentu, tapi juga mengorkestrasi propaganda isu-isu strategis dan kebijakan nasional, seperti revisi UU KPK pada September 2019; dukungan dan pengesahan terhadap Omnibus law yang diloloskan parlemen pada Oktober 2020; hingga menggiring publik dalam mendukung kebijakan new normal saat pandemi Covid-19. Dampak Pasukan Siber Bagian penting dari kampanye pasukan siber adalah mereka membungkam para pengkritik yang kritis melalui kampanye negatif, merisak secara daring (trolling), dan penyebaran informasi pribadi tanpa izin (doxing). Sebagaimana yang pernah dialami musikus dan aktivis Ananda Badudu yang ditangkap terkait uang yang dihimpunnya melalui media sosial, kemudian disalurkan untuk membantu demonstrasi mahasiswa yang menentang RKUHP dan UU KPK. Penyerangan dan penangkapan juga terjadi pada beberapa aktivis. Seperti yang dialami Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Merah Johansyah yang mendapat serangan secara digital berupa doxing karena kerap mengkritik pemerintah di bidang pertambangan dan pembangunan dalam media sosialnya. Atau terjadi pula pada aktivis Papua Veronica Koman yang menjadi tersangka karena dugaan provokasi dan penyebaran informasi bohong melalui media sosial Twitter atas insiden asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Tantangannya kemudian, media sosial menjadi medan kontestasi dan polarisasi wacana yang justru mengancam demokrasi di Indonesia. Apalagi ancaman pasukan siber ini terus berkembang. Tak hanya itu, pasukan siber juga menjadi ancaman bagi kualitas demokrasi di Indonesia karena hanya elite-elite tertentu saja alias orang kaya dan berkuasa saja yang bisa menyewa jasa pasukan siber. Ini gawat karena kemudian para penguasa menjadi pasukan siber sebagai alat untuk membela kepentingan mereka. Untuk itu, berbagai langkah diperlukan untuk membendung pasukan siber dan membatasi pengaruh mereka dalam memanipulasi opini publik. Manipulasi ini tentu saja tidak etis, selain merendahkan ruang publik dan demokrasi, pasukan siber juga menghambat debat publik yang sehat melalui kebohongan dan kesalahan tafsir. Pasukan siber memperdalam ketimpangan di berbagai sektor, baik pengetahuan, politik, atau ekonomi yang kondisinya sudah cukup memprihatinkan di Indonesia. Perlindungan Dari Pasukan Siber Di tengah kondisi yang telah dijelaskan di atas, netizen perlu menyiapkan ‘payung’ dan melindungi diri dari hujan postingan pasukan siber, rendaman like dan retweet, kemudian mengakibatkan banjir informasi. Pasukan siber menjadi “virus nyata” dan “hama ekspresi” dalam demokrasi, meskipun pasukan siber sulit untuk diberantas karena menyalahgunakan hak warga negara dalam kebebasan berekspresi. 82 Netizen perlu membangun pertahanan yang berlangsung lama dari serangan pasukan siber. Caranya dengan mengenali jenis postingan yang berasal dari pasukan siber lewat ciri-ciri yang terlihat di postingan dan akun mereka. Di saat netizen punya “kapasitas penyaringan” sendiri, netizen punya kekuasaan untuk memilih informasi. Konstruk pemikiran netizen akan lebih berkualitas ketika mereka bisa membedakan postingan mana yang benar dan yang hoaks. Di ranah yang lebih struktural, Yatun Sastramidjaja menyebut peran Civil Society Organisation (CSO) penting dalam mengadvokasi hak-hak digital dan meningkatkan literasi digital dari ancaman siber. Termasuk yang dilakukan oleh SAFENet, AJI, MAFINDO, ToRDiLaS, juga program Social Network Analisis (SNA) oleh Drone Emprit. Masyarakat membutuhkan informasi berbasis bukti dari serangan postingan yang dikerahkan pasukan siber. Kesadaran akan peran dan dampak pasukan siber yang berkembang akan memicu berbagai upaya dari netizen, CSO, hingga platform itu sendiri untuk melawan disinformasi. Sebagaimana yang dilakukan Twitter yang memberikan aturan ketat untuk memangkas banyak akun palsu (anonim). Editor: Aulia Nastiti URL: https://www.remotivi.or.id/artikel/konsepisu/769 83