Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
Perhatian masyarakat sastra Indonesia terhadap masalah sejarah kebudayaan, termasuk sastra telah tampak sejak awal pertumbuhan sastra Indonesia di tahun 1930-an sebagaimana terbaca dalam Polemik Kebuadayaan suntingan Achdiat K.Mihardja (1977). Polemic yang berkembang antara tokoh-tokoh S.Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Poerbatjaraka, M.Amir, Ki Hadjar Dewantara, Adinegoro dan lain-lain memang tidak secara khusus memperdebatkan konsep kesusastraan Indonesia, tetapi telah memperlihatkan kesadaran mereka terhadap sejarah kebudayaan Indonesia.
The literury detelopnent nust be seen Iro the int nsic asPect and ektinsic aspect. The petiode and the generations are neded to see the litercry clevelopnent time b| time. The chaructetistics afthe litercry wark: on the ce ain pe ode arc being comentions ot liteftry nom that prenih on that pe ade. The Balai Pustaka genefttion nlil the generation of 2004 appealance on the span of the lndanesian literary developmen! voy The 'n, terc and the axcellent literary worts becone a prof of the literury history' { KeWo s:Thepe ode ofthe generution partfton the litercry developneht.
Melalui buku ini dapat dipahamai teori dan sejarah sastra beserta hakikat terdalam dari sastra dan ruang lingkupnya. Buku ini untuk membekali siapa saja yang berkepentingan dalam mempelajari apresiasi dan kajian sastra
SEJARAH REFORMASI PADA SASTRA INDONESIA, 2022
Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan dan menjelaskan konteks sejarah reformasi yang berkaitan dengan sejarah perkembangan sastra di Indonesia dan untuk memperluas penelitian sebelumnya. Penelitian ini melakukan kajian pustaka sistematis (systematic literature review) atau secara komprehensif. Metode yang digunakan adalah analisis isi. Buku dan artikel yang membahas sejarah sastra Indonesia dan relevan dengan topik atau tema tulisan dianggap sebagai sumber data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Orde baru dianggap sebagai koreksi atas segala anomali dan kesalahan yang terjadi pada pada masa pemerintahan orde lama pimpinan Soekarno. Di era reformasi dengan peralihan kekuasaan politik dari Tarman Soeharto ke BJ Habibie, lalu ke KH Abdurahman Wallid vs (Gus Dur) dan Megawati Soekarnoputri, muncul perdebatan seputar literatur Angkatan Reformasi. Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak menghasilkan karya sastra berupa puisi, cerpen, dan novel. Kesimpulan dari penelitian yaitu, lahirnya Orde Baru merupakan usaha bangsa Indonesia untuk mengembalikan tatanan kehidupan sebelumnya. Hal tersebut berdampak pada pemerintahan Soeharto yang awal mulanya sukses pada tahun 1966 hingga tahun 1970-an, namun gagal di periode berikutnya bahkan berubah menjadi rezim Orde Baru yang otoriter dan korupsi. Para penulis Reformasi merenungkan kondisi sosial dan politik yang muncul pada akhir 1990-an ketika Orde Baru tumbang.
Menurut Depdiknas (2008), arti kata sastra adalah " karya tulis yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan, seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya ". Menurut Esten (1978) sastra adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia. Beberapa ahli turut memberi pengertian mengenai sastra, seperti Atar Semi mendefinisikan sastra sebagai suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya; Ahmad Badrun mendefinisikan kesusastran sebagai kegiatan seni yang mempergunakan bahasa dan garis simbol-simbol lain sebagai alat dan bersifat imajinatif; Yacob Sumardjo dan Zaini KM mendefinisikan sastra sebagai ungkapan pribadi manusia berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, gagasan, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona bahasa. Menurut Wellek dan Warren (1989) sastra adalah sebuah karya seni yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Moch. Khoirul anwar, 2022
Artikel ini bertujuan untuk memberikan informasi pada pembaca tentang latar belakang dan karakteristik sastra pada masa reformasi. Metode yang digunakan oleh penulis adalah analisis isi, dimana proses analisis isi dilakukan dengan penyelidikan yang berusaha mengurai secara objektif, sistematik, dan kuantitatif terhadap pesan yang tampak. Hasil yang penulis dapat yaitu latar belakang Angkatan Reformasi ini ditandai dengan banyaknya karya sastra yang muncul, seperti novel, kumpulan cerpen, dan antologi puisi. Karya sastra pada era reformasi memiliki kecenderungan karakteristik tersendiri, yaitu isi karya sastra sesuai situasi reformasi, bertema sosial-politik, romantik, naturalis, produktivitas karya sastra lebih marak lagi. Ada empat faktor yang mempengaruhi perkembangan sastra pada era Reformasi, yaitu (1) faktor kebijakan pemerintah pada era reformasi; (2) faktor ekonomi; (3) faktor ideologi; dan (4) faktor politik sastra.
Pendidikan merupakan suatu proses di dalam menemukan transformasi baik dalam diri, maupun komunitas. Oleh sebab itu, proses pendidikan yang benar adalah membebaskan seseorang dari berbagai kungkungan, intimidasi, dan ekploitasi. Di sinilah letak afinitas dari aspek pedagogik, yaitu membebaskan manusia secara konprehensif dari ikatan-ikatan yang terdapat diluar dirinya atau dikatakan sebagai suatu yang mengikat kebebasan seseorang. Maka dari pada itu, pendidikan adalah merupakan elemen yang sangat signifikan dalam menjalani kehidupan, karena dari sepanjang perjalanan hidup manusia, pendidikan merupakan barometer untuk mencapai maturitas nilai-nilai kehidupan. Hal itu sejalan dengan salah satu aspek tujuan pendidikan nasional sebagaimana yang tercantum dalam UU SISDIKNAS RI No. 20 Tahun 2003, tentang membentuk manusia yang berbudi pekerti luhur melalui proses pembentukan kepribadian, kemandirian dan norma-norma tentang baik dan buruk. Sedangkan di sisi lain manusia sebagai makhluk pengemban etika yang telah dikaruniai akal dan budi. Dengan demikian, adanya akal dan budi menyebabkan manusia memiliki cara dan pola hidup yang multidimensi, yakni kehidupan yang bersifat material dan bersifat spritual Begitu pentingnya pendidikan bagi setiap manusia, karena tanpa adanya pendidikan sangat mustahil suatu komunitas manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan cita citanya untuk maju, mengalami perubahan, sejahtera dan bahagia sebagaimana pandangan hidup mereka. Semakin tinggi cita-cita manusia, maka semakin menuntut peningkatan mutu pendidikan sebagai sarana pencapaiannya. Hal ini telah termaktub dalam al-Qur‟an surat al-Mujadalah ayat 11 Artinya:“Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Depag RI, 1974: 911). Relevan dengan hal tersebut, maka penyelenggaraan pendidikan tidak dapat dilepaskan dari tujuan yang hendak dicapai. Buktinya dengan penyelenggaraan pendidikan yang kita alami di Indonesia. Tujuan pendidikan mengalami perubahan yang terus menerus dari setiap pergantian roda kepemimpinan. Maka dalam hal ini sistem pendidikan nasional masih belum mampu secara maksimal untuk membentuk masyarakat yang benar-benar sadar akan tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Melihat fenomena yang terjadi pada saat sekarang ini banyak kalangan yang mulai mencermati sistem pendidikan pesantren sebagai salah satu solusi untuk terwujudnya produk pendidikan yang tidak saja cerdik, pandai, lihai, tetapi juga berhati mulia dan berakhlakul karimah. Hal tersebut dapat dimengerti, karena pesantren memiliki karakteristik yang memungkinkan tercapainya tujuan yang dimaksud. Karena itu, sejak lima dasawarsa terakhir diskursus di seputar pesantren menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Hal ini tercermin dari berbagai fokus wacana, kajian dan penelitian para ahli, terutama setelah kian diakuinya kontribusi dan peran pesantren yang bukan saja sebagai “subkultur” (untuk menunjuk kepada lembaga yang ber-tipologi unik dan menyimpang dari pola kehidupan umum di negeri ini) sebagaimana disinyalir Abdurrahman Wahid (1984: 32). Tetapi juga sebagai “institusi kultural” (untuk menggambarkan sebuah pendidikan yang punya karakter tersendiri yang unik, sekaligus membuka diri terhadap hegemoni eksternal), sebagaimana ditegaskan oleh Hadi Mulyo (1985 : 71). Dikatakan unik, karena pesantren memiliki karakteristik tersendiri yang khas yang hingga saat ini menunjukkan kemampuannya yang cemerlang mampu melewati berbagai episode zaman dengan kemajemukan masalah yang dihadapinya. Bahkan dalam perjalanan sejarahnya, Ia telah memberikan andil yang sangat besar dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa dan memberikan pencerahan terhadap masyarakat. Pesantren sebagai salah satu format lembaga pendidikan dipercaya sebagai formula jitu yang dapat menangani permasalahan-permasalahan umat dewasa ini, mengingat perkembangan dunia pendidikan dewasa ini tampak sangat memprihatinkan. Tidak hanya pendidikan Islam saja bisa dengan tanpa mengurangi nilai-nilai dan pandangan hidup yang sudah berjalan di pesantren. Pada dasarnya pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang tidak memandang strata sosial, lembaga ini dapat dinikmati semua lapisan masyarakat, laki-laki perempuan, tua-muda, miskin kaya, mereka semua dapat menikmati pendidikan di lembaga ini. Dan satu hal yang perlu kita catat bahwa tidak sedikit pemimpin-pemimpin bangsa ini, baik pemimpin yang duduk dalam pemerintahan maupun yang bukan, formal atau informal, besar maupun kecil, di antara pemikiran mereka diwarnai dengan pola pendidikan pondok pesantren. Di banyak tempat istilah yang identik dengan pondok pesantren ini juga mempunyai banyak persamaan nama, di Jawa dan Madura istilah yang sering digunakan adalah pondok (Dhofier, 1984: 18) atau pondok pesantren (Ali, 1987: 15), sedang di Aceh dikenal dengan istilah “Dayah, Rangkang, atau Meunasah/ Madrasah (Hasbullah, 1999: 32), adapun di Minangkabau pesantren lebih dikenal dengan istilah “Surau”, sedangkan di Pasundan institusi ini disebut dengan “Pondok” (Raharjo, 1985: 2). Sebagai lembaga pendidikan lanjut, pesantren merupakan tempat yang mengkonsentrasikan para santrinya untuk diasuh, dididik dan diarahkan menjadi manusia yang paripurna oleh kyai atau guru.
Miscelánea de Estudios Árabes y Hebraicos : Sección Hebreo, 2023
International Journal of Advanced Research (IJAR), 2019
Colección de Aguinaldos de Ramón Montero, 1997
Annals of Emerging Technologies in Computing (AETiC), 2019
Education Sciences , 2024
Geography, 2017
2010 Proceedings 60th Electronic Components and Technology Conference (ECTC), 2010
L'Endocrinologo, 2019
Molecular & Cellular Proteomics, 2013
Átjárások. A lelkiségi és a világi irodalom illetve művészet egymásra hatása a magyar régiségben, 2024
Critical Care, 2015