Ilham Kadir
Ilham dengan nama pena “Ilham Kadir”, terlahir dari pasangan Abdul Kadir dan Hawa pada tanggal 5 Nopember 1973 di Watangcani, Bontocani, Bone, Sulawesi Selatan. Setelah lulus Sekolah Dasar tahun 1989, ia diantar ayahnya mondok di Majelisul Qurra' wal-Huffadz (MQWH) Tuju-tuju untuk menghafal Al-Qur'an dan berguru pada ulama kharismatik (panrita) KH. Lanre Said, dan khatam 30 juz tiga tahun kemudian. Ketika pondok membuka program Kulliatul Mu'allimin al-Islamiyah (KMI) dan berubah nama menjadi Pondok Pesantren Al-Qur'an Darul Huffadh, ia pun menjadi santri perdana dan keluar menjadi alumni pertama pada tahun 1996.Setelah mengabdi di almamaternya selama setahun, ia melanjutkan pendidikan di Fakultas Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Watampone selama dua semister, tahun 1998 lalu merantau ke Malaysia. Setelah mengajar selama tiga tahun di Sekolah Menengah Agama An-Nur, Benut, Pontian, Johor. Ia pun melanjutkan kembali kuliahnya di Markaz al-Dirasat al-Islamiyah (Marsah) Johor, sebuah institut yang menjadi kelas jauh Universitas Al-Azhar Mesir (twins program), kali ini, ia mengambil jurusan Syariah wal Qanun. Tahun 2004, ia kembali melanjutkan pendidikannya, pada Fakultas Ushuluddin, jurusan Tafsir di Arabic and Islamic College Al-Ihsaniyah, Penang Malaysia, dan diwisuda sebagai Sarjana Muda pada tahun 2005 dengan predikat 'cum laude'.Ia juga merupakan alumni terbaik Jurusan Managemen dan Komunikasi Dakwah Sekolah Tinggi DDI Makassar tahun 2010. Tahun berikutnya, ia melanjutkan pendidikan pada jenjang magister (MA) di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, konsentrasi pada Pendidikan Islam, selesai tahun 2013, dengan mengangkat penelitian, "Pemikiran Pendidikan Syed Muhammad Naquib Al-Attas".Pada tahun 2014, ia lolos seleksi beasiswa BAZNAS-DDII untuk program doktoral di Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor. Pada tanggal 27 April 2017 ia berhasil mempertahankan disertasinya dengan judul “Konsep Pendidikan Kader Ulama Anregurutta Muhammad As’ad Al-Bugisi (1907-1952)” di depan para penguji, Prof. Dr. Didin Hafidhuddin, MS., Dr. Adian Husaini, MSc., Dr. Abbas Mansur Tamam, MA., penelitian tersebut dibimbing oleh dua pakar terkemuka, Prof. Dr. Abuddin Nata, MA., sebagai pakar sejarah pendidikan Islam dan studi ilmu agama Islam, serta Syamsuddin Arif, Ph.D., sebagai pakar orientalisme.
Supervisors: Prof. Dr. Abuddin Nata; Prof. (madya) Syamsuddin Arif, Ph.D.; Prof. Dr. Didin Hafidhuddin; Prof. Dr. Ahmad Tafsir; Adian Husaini, Ph.D.; Prof. Dr. Mappanganro; Dr. Arfah Shiddiq; Arif Halim, Ph.D.
Phone: +62 852 1733 6715
Address: Jl. Gn. Siliwangi-II. Batili Dalam. Kelurahan Galonta. Kec. Enrekang. Kab. Enrekang. Sulawesi Selatan. Indonesia
Supervisors: Prof. Dr. Abuddin Nata; Prof. (madya) Syamsuddin Arif, Ph.D.; Prof. Dr. Didin Hafidhuddin; Prof. Dr. Ahmad Tafsir; Adian Husaini, Ph.D.; Prof. Dr. Mappanganro; Dr. Arfah Shiddiq; Arif Halim, Ph.D.
Phone: +62 852 1733 6715
Address: Jl. Gn. Siliwangi-II. Batili Dalam. Kelurahan Galonta. Kec. Enrekang. Kab. Enrekang. Sulawesi Selatan. Indonesia
less
InterestsView All (7)
Uploads
Papers by Ilham Kadir
Islam memandang penting pendidikan, sebab dalam beragama, ilmu adalah kunci utamanya. Karena itulah, setiap muslim diwajibkan berilmu sebelum beribadah. Setidaknya, ilmu terkait fardhu 'ain. Tradisi ini terus berjalan dari zaman ke zaman hingga saat ini.
Islam memandang penting pendidikan, sebab dalam beragama, ilmu adalah kunci utamanya. Karena itulah, setiap muslim diwajibkan berilmu sebelum beribadah. Setidaknya, ilmu terkait fardhu 'ain. Tradisi ini terus berjalan dari zaman ke zaman hingga saat ini.
Setelah lulus Sekolah Dasar, Iwan diantar oleh ayahnya untuk mondok di Majelisul Qurra’ Pitu-pitu. Di sana ia dididik oleh Kiai Said, yang banyak mengajarkan ragam ilmu padanya, termasuk ilmu ikhlas. Selama belajar pada Kiai Said ini Iwan banyak menemukan keganjilan-keganjilan pada diri sang ulama. Lalu pada tahap tertentu Iwan berkesimpulan bahwa gurunya itu seorang ‘panrita’ atau ulama yang memiliki ragam kebolehan, susah dicerna dengan akal remajanya, terutama penjelasan bahwa pendirian pondok pesantren itu berawal dari sebuah mimpi. Seluruh kejadian-kejadian penting dan bersejarah selama berguru kepada Kiai Said ia tulis dengan apik. Petuah-petuah Pak Kiai ia abadikan sehingga menjadi sebuah catatan yang sangat berharga. Beberapa lagi di antaranya dikemas dengan bentuk narasi dalam novel ini.
***
Inspiratif. Penulisnya lihai meracik fakta, sejarah, dan petuah dalam bentuk fiksi. Cerita inti dalam novel ini menunjukkan kemampuan kiai dan pesantren menyulap ‘ampas menjadi santan’. Sangat cocok dibaca bagi setiap kalangan, terutama para generasi milenial—Ustad. Bachtiar Nasir, Alumni Pondok Pesantren Majelisul Qurra wal Huffazh, Tuju-tuju Bone; Tokoh Nasional.
***
Ketika membaca novel ini, saya teringat pada filosofi bangsa Jepang bahwa manusia tidak dilahirkan mulia atau hina, kaya atau miskin, tetapi dilahirkan sama dengan yang lain. Siapa yang rajin belajar dan mengusai ilmu ia akan menjadi mulia dan kaya, tetapi mereka yang bodoh akan miskin dan hina—Andi Rukman Nurdin, Pengusana & Politisi.
***
Judul Buku : Negeriku di Atas Awan
Penulis : Ilham Kadir
Gendre : Novel [non] Fiksi
Penerbit : Media Jaya Abadi, Bandung, 2019.
Halaman : 555
Harga : 98.000.00,-
ISBN: 978-623-7526-10-0
Pemesanan (+62 852 1733 6715)
Buktinya, tahun 2021 total pengumpulan zakat, infak, dan sedekah oleh lembaga zakat resmi ada pada angka 17 triliun. Sangat jomplang jika dibandingkan potensi yang ada. Padahal menurut penelitian Puskas, zakat mampu mempersempit income gap mustahik hingga 78 persen. Jika saja potensi tersebut mampu dimaksimalkan oleh umat Islam, maka sudah pasti berkorelasi dalam pengentasan kemiskinan, khususnya bagi para mustahik fakir dan miskin.
Pemicu utama potensi dan realisasi tidak sejalan karena di antara pemicu utamanya adalah ‘Literasi Zakat’ masih minim di tubuh umat Islam Indonesia.