Presiden RI Prabowo Subianto menargetkan Indonesia mencapai swasembada pangan dalam kurun waktu tiga sampai empat tahun mendatang dengan mencetak luas lahan panen hingga empat juta hektar di akhir masa jabatannya. Menanggapi target swasembada pangan tersebut, Guru Besar bidang Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian UGM, Prof. Subejo, S.P., M.P., Ph.D., menuturkan untuk mencapai target swasembada pangan tidaklah mudah karena membutuhkan kebijakan yang tepat untuk mendukung program tersebut, mengingat sektor pertanian sebagai penopang ketahanan pangan justru menghadapi banyak tantangan. ”Target itu tentu tidak mudah dengan segala tantangan yang ada sekarang ini,” ujar Subejo, Selasa (29/10).
Tantangan pertama menurut Subejo adalah masifnya konversi lahan atau alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Di tengah isu perubahan iklim, konversi lahan menjadi ancaman serius dalam upaya peningkatan produksi padi sebagai bahan pangan pokok masyarakat Indonesia. Kondisi ini menjadi ironi mengingat kebutuhan cetak lahan sawah diprediksi terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan permintaan padi.
Menurut Subejo, untuk mencapai swasembada pangan, pemerintah harus memiliki kebijakan dan program yang terintegrasi, mulai dari ekstensifikasi, intensifikasi, dan diversifikasi yang melibatkan berbagai Lembaga dan Kementerian di tingkat pusat dan daerah. “Ekstensifikasi atau pembukaan lahan baru bisa dilakukan dengan skala yang terbatas supaya manageable, untuk daerah-daerah yang memiliki kesesuaian tinggi agar pengembangan komoditas pertanian dapat dilakukan,” ungkap Subejo.
Hal mendesak yang juga perlu dikerjakan adalah melakukan intensifikasi di daerah basis produksi pangan, di mana selama ini intensifikasi lahan basah masih kurang dari 200 persen yang artinya baru ditanami kurang dari dua kali dalam satu tahun. Dengan dukungan sistem irigasi yang baik, Subejo meyakini akan sangat terbuka peluang untuk meningkatkan intensitas penanaman sampai dua kali dan bahkan untuk daerah tertentu yang ketersediaan airnya memadai bisa tiga kali tanam dalam waktu satu tahun.
Permasalahan kedua terkait pasca panen yang membuat harga jeblok ketika panen raya tiba. Masalah klasik yang terus berulang karena sistem distribusi logistik yang belum merata di seluruh wilayah Indonesia. Subejo beranggapan hal mendesak yang perlu dilakukan adalah pengembangan sistem informasi produksi dan distribusi pangan, termasuk hortikultura, yang melibatkan multi-stakeholders sehingga dapat terdata dengan rinci jumlah dan sebaran produk pertanian serta distribusinya.
“Dengan sistem informasi, peluang distribusi produk lebih merata sehingga stabilitas harga dapat terjamin,” ujarnya. Selain itu, menurutnya, juga perlu didorong industri pengolahan yang bermanfaat ketika produk mentah melimpah maka dapat diproses dan diawetkan dan tetap memiliki nilai ekonomi yang memadai.
Yang tidak kalah penting, mengatasi keterbatasan literasi finansial di kalangan petani juga harus segera ditemukan solusinya. Menggarap usaha tani tentunya membutuhkan modal yang tidak sedikit. Meskipun pemerintah sebetulnya memiliki program Kredit Usaha Rakyat (KUR), namun sayangnya program ini belum berjalan efektif di kalangan petani. Hal ini dikarenakan pola pikir konvensional petani yang masih menganggap KUR merepotkan dan kurang bermanfaat. Menurut Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian Kepada Masyarakat dan Kerja Sama Fakultas Pertanian ini, integrasi pembiayaan sangat penting dengan sistem insentif bunga rendah misalnya melalui kredit BUMN, CSR korporasi, pembiayaan dari pemerintah daerah, atau pembiayaan dari dana desa. “Pemerintah harus memberikan edukasi literasi pembiayaan pada para petani melalui kelompok tani atau tokoh-tokoh petani, serta mendekatkan layanan pembiayaan ke desa-desa,” jelasnya.
Disamping itu, keterbatasan pemahaman teknologi di kalangan petani membuat proses usaha tani menjadi kurang efektif dengan hasil produksi yang tidak maksimal juga menjadi permasalahan lain. Salah satu bukti nyata adalah biaya produksi beras yang mencapai Rp 5.500/kg di Indonesia, hampir dua kali lipat dari biaya produksi di Vietnam yang hanya Rp 2.900/kg saja. Subejo menguraikan sistem produksi pertanian di Indonesia termasuk dalam ekonomi berbiaya tinggi. Perlu dicarikan langkah-langkah strategis untuk meningkatkan efisiensi produksi pertanian misalnya peningkatan dan pengorganisasian skala usaha atau konsolidasi lahan, mekanisasi pertanian, penyuluhan pertanian dan edukasi petani supaya konsisten menggunakan sumber daya lebih efisien. “Bisa juga dilakukan dengan mengintroduksi inovasi yang lebih efisien misalnya budidaya tanaman hemat air dan hemat pupuk,” jelasnya
Permasalahan lainnya yang perlu diatasi adalah krisis manajemen yang dialami oleh petani. Mayoritas petani di Indonesia mengandalkan lahannya untuk bertahan hidup. Bahkan, tidak jarang uang hasil panen digunakan untuk kebutuhan hidup harian tanpa persiapan matang untuk proses penggarapan lahan di musim tanam berikutnya. Masalah manajemen inilah yang membuat kualitas dan kuantitas produksi pertanian sulit meningkat secara signifikan. Subejo beranggapan petani belum melakukan farm record sehingga tata kelola pertaniannya berubah-ubah dari waktu ke waktu dan sulit mengantisipasi resiko produksi.
Pengembangan kelembagaan petani yang kuat sangat penting karena dapat meningkatkan efisiensi dan daya saing petani. Ia menambahkan, diversifikasi produk juga perlu dipikirkan supaya output yang dihasilkan tidak hanya bahan mentah, namun dikombinasi dengan produk olahan atau produk sekunder. “Akan lebih baik lagi jika dikombinasi dengan jasa seperti agro wisata sebagai produk tersier, pastinya bisa meningkatkan sumber pendapatan petani pada masa-masa mendatang,” tandasnya.
Terkait usaha pemerintah yang selalu rutin mengeluarkan kebijakan impor beras untuk memenuhi kebutuhan pangan di dalam negeri, Subejo menilai kebijakan impor beras nyatanya bukanlah solusi jangka panjang yang tepat karena pemerintah hanya mencari solusi bersifat teknis bukan menyentuh akar masalah krisis pangan.
Penulis: Triya Andriyani