Keluarga Alumni Gadjah Mada (KAGAMA) Jawa Timur resmi mengangkat Satria Gentur Pinandita sebagai Ketua Umum Periode 2024-2029 pada Sabtu (7/9). Penetapan tersebut dilaksanakan pada Musyawarah Daerah (Musda) di AMG Tower, Surabaya yang dihadiri oleh Ketua Umum PP Kagama, Ganjar Pranowo, Ketua Bidang I PP KAGAMA, Anton Mart Irianto, dan sebanyak 15 perwakilan pengurus cabang anggota KAGAMA Jatim.
Satria Gentur Pinandita saat ini menjabat sebagai Direktur & Deputi Factory Manager PT. Ajinomoto Indonesia. Lahir di Solo, 24 September 1968, ia berasal dari keluarga pedagang batik di Pasar Beringharjo. Ketika ditemui tim Kabar UGM, Kamis (17/10) lalu di acara temu alumni di Surabaya, Satria membagikan kisah perjalanannya sampai di puncak karir saat ini. “Sejak mulai sekolah, saya pindah ke Yogyakarta. Saya dulu di UGM mengambil Teknologi Pangan (Fakultas Teknologi Pertanian). Tepatnya angkatan ‘87, dan lulus tahun ‘93. Baru setelah itu bekerja di Ajinomoto,” ucap anak pertama dari dua bersaudara tersebut.
Semasa kuliah, Satria mengaku bukanlah mahasiswa yang unggul dalam akademik. Bahkan beberapa kali skripsinya mendapatkan teguran dosen hingga dilempar di depan mata. Kejadian itu membuatnya sedih namun juga memotivasi untuk terus belajar. Ketika sudah memasuki jenjang karir, Satria justru tertawa ketika membaca skripsinya dulu. “Yo ternyata uwelek. Kok ngene ya garapanku dewe? (Ya ternyata jelek, kok seperti ini ya kerjaanku sendiri?). Saya kira itu adalah pendidikan mental, bahwa kamu harus kuat,” ucapnya.
Bangku kuliah juga menjadi tempat pertama kali Satria mengenal perusahaan Ajinomoto. Kala itu ia mengikuti kunjungan ke perusahaan yang dilaksanakan oleh program studinya. Satria juga sempat beranggapan bahwa produk MSG (Monosodium Glutamat) produksi Ajinomoto bukanlah produk sehat. Setelah bekerja, barulah ia mengakui image yang dibangun di masyarakat selama ini ternyata salah.
“Saya dulu menganggap produk ini tidak sehat. Ternyata salah, produk Ajinomoto itu berasal dari tetes tebu yang difermentasi,” jelasnya. Fungsi utama MSG adalah untuk meningkatkan cita rasa makanan dan menambah unsur umami. MSG juga salah satu bahan makanan tambahan yang paling aman dikonsumsi dan berizin.
Awal karirnya tidak langsung berjalan mulus sebagai lulusan sarjana. Menurutnya, ada hal menarik ketika memulai karir di perusahaan Jepang seperti Ajinomoto. Kultur perusahaan Jepang menganut sistem Long Life Employment atau pekerja jangka panjang. Perusahaan sangat menghargai loyalitas karyawan yang telah bekerja bertahun-tahun. Setiap karyawan juga dilatih untuk memahami langsung kondisi lapangan, bahkan hingga tingkat manajerial.“Saya dulu diajarkan untuk tidak malu-malu terjun ke bawah. Justru kalau kita tidak mengenal lapangan, ada laporan masuk kita tidak paham,” tutur Satria.
Ia menceritakan bagaimana dirinya ikut membersihkan pabrik ketika training dan berpindah-pindah cabang perusahaan. Perlahan tapi pasti, karirnya semakin menaik karena ketekunan dan sikap disiplin yang ia terapkan.
Selain tingkat lay-off rendah, perusahaan Jepang juga menerapkan kerja berkelompok. Dijelaskan Satria, sistem kerjanya berbasis kelompok. Setiap pekerjaan diserahkan pada kelompok kerja dan dinilai sebagai hasil kelompok. Ada beberapa orang yang cocok dengan sistem kerja seperti ini, namun ada juga yang lebih cocok di perusahaan Eropa dan Amerika yang cenderung mengacu pada kompetensi individu. “Hampir seluruh perusahaan Jepang seperti itu. Penting juga untuk memperhatikan adaptabilitas perusahaan, karena zaman cepat berubah. Bukan perusahaan kuat yang bertahan, tapi perusahaan adaptif,” jelas Satria.
Ia menambahkan, kemampuan adaptabilitas juga harus dimiliki oleh individu. Seseorang harus mampu berubah setelah melihat peluang dan tantangan zaman.
Ketika ditanya soal harapannya untuk UGM, Satria menginginkan hal yang sama. UGM sebagai universitas harus bisa beradaptasi dengan perubahan. Pengembangan ilmu pengetahuan semakin pesat dengan adanya kemajuan teknologi. Karenanya, UGM bisa berfokus untuk membentuk lulusan tepat sesuai dengan nilai yang dimiliki. “Semoga UGM dan mahasiswanya itu bisa beradaptasi dengan kondisi dunia saat ini. Universitas harus memikirkan lulusannya seperti apa 10-15 tahun ke depan,” pungkasnya.
Penulis : Tasya
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Firsto