Lompat ke isi

Kaisar Tiongkok

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kaisar Tiongkok
Bekas Kerajaan
Imperial
Segel Pusaka Kerajaan
Qin Shi Huang, kaisar pertama Tiongkok (m221–210 SM).[1] Penggambaran pertengahan abad ke-19
Penguasa pertama Qin Shi Huang
Penguasa terakhir Puyi
Gelar Yang Mulia Kaisar (陛下; Bìxià)
Pendirian 221 SM (2244–2245 tahun yang lalu)
Pembubaran 12 Februari 1912 (112 tahun yang lalu)

Sepanjang sejarah Tiongkok, "Kaisar" (Hanzi: 皇帝; Pinyin: Huángdì) adalah gelar superlatif yang dipegang oleh penguasa monarki yang memerintah berbagai Dinasti atau Kekaisaran Tiongkok. Dalam teori politik tradisional Tiongkok, kaisar adalah "Putra Langit", seorang otokrat yang memiliki hak mandat ilahi untuk memerintah semua yang ada di bawah Langit. Kaisar disembah setelah ia meninggal berdasarkan kultus kekaisaran. Garis keturunan kaisar yang berasal dari garis keluarga paternal membentuk sebuah dinasti, dan suksesi dalam kebanyakan kasus secara teoritis mengikuti primogenitur agnatik.

Selama Dinasti Han, Konfusianisme memperoleh pengakuan sebagai teori politik resmi. Kewenangan mutlak kaisar disertai dengan berbagai tugas pemerintahan dan kewajiban moral; kegagalan dalam menegakkan tugas-tugas ini dianggap akan mencabut Mandat Surgawi dari dinasti tersebut dan membenarkan penggulingannya. Dalam praktiknya, kaisar terkadang menghindari aturan ketat mengenai suksesi dan "kegagalan" dinasti yang dikabarkan dirinci dalam sejarah resmi yang ditulis oleh pengganti mereka yang sukses atau bahkan dinasti-dinasti berikutnya. Kekuasaan kaisar juga dibatasi oleh birokrasi kekaisaran, yang dikelola oleh pejabat-sarjana, dan kasim selama beberapa dinasti. Seorang kaisar juga dibatasi oleh kewajiban berbakti kepada kebijakan leluhurnya dan tradisi dinasti, seperti yang pertama kali dijelaskan secara rinci dalam Huang-Ming Zuxun (Petunjuk Leluhur) era Ming.

Gelar Kaisar Tiongkok dalam bahasa aslinya adalah huángdì (皇帝). Gelar aslinya tidak memandang jenis kelamin dan pernah disandang dan diklaim oleh pria dan wanita. Dalam bahasa Indonesia, gelar ini diterjemahkan menjadi "kaisar" untuk pria dan "maharani" untuk wanita.

Setelah berhasil menaklukan beberapa kerajaan pada Periode Negara Perang dan menyatukannya dalam sebuah kekaisaran pada tahun 221 SM, Raja Ying Zheng dari Dinasti Qin akhirnya membuat gelar baru yang kedudukannya lebih tinggi dari wáng (王, raja), yakni huángdì (皇帝, kaisar), untuk menunjukkan bahwa kedudukan yang dia pegang lebih tinggi dari gelar lain sebelumnya. Ying Zheng menjadi orang pertama yang menyandang gelar tersebut dan menyebut dirinya sebagai "Kaisar Qin Pertama" (秦始皇, Qín Shǐ Huáng).

Gelar ini merupakan perpaduan dari dua gelar, yakni huáng (皇) dan (帝), gelar bagi delapan penguasa Tiongkok kuno (tiga huáng dan lima ) yang dikatakan setengah dewa dalam legenda.

Kedudukan kaisar berada di atas kasta orang biasa, para bangsawan, dan anggota keluarga kekaisaran dan secara teori, perintahnya selalu dipatuhi dengan segera. Dalam praktiknya, kekuasaan kaisar berbeda-beda antara tiap kaisar dan tiap dinasti. Pada umumnya, para kaisar yang menjadi pembentuk dinasti memiliki kekuasaan absolut, seperti Kaisar Ying Zheng yang membentuk Dinasti Qin. Namun di sisi lain, beberapa kaisar juga memiliki kekuasaan terbatas. Pada masa Dinasti Song, kekuasaan kaisar berada di bawah bayang-bayang para menteri. Pada masa pertama pemerintahan Zhongzong maupun Ruizong, dua saudara yang berturut-turut menjadi kaisar, kedudukan mereka berada di bawah bayang-bayang ibu mereka, Ibu Suri Wu, sebelum kemudian Wu mengambil alih tahta sendiri sebagai Maharani.

Banyak hal yang menyebabkan kekuasaan kaisar terbatas, salah satu di antaranya adalah usia. Dengan sistem turun-temurun, beberapa kaisar mangkat dengan meninggalkan pewaris yang masih muda. Dalam masalah ini, ibu suri adalah pihak yang paling berhak mengatur kekaisaran sebagai pendamping dan wali kaisar muda. Bila ibu suri terlalu lemah untuk memegang kendali negara, para pejabat istana yang akan berperan dalam mengatur kekaisaran. Para kasim juga memiliki pengaruh besar di pemerintahan, karena para kaisar kerap menjadikan mereka orang kepercayaan dan memiliki akses pada dokumen-dokumen negara.

Berbeda dengan sistem monarki di Jepang yang memandang kaisar sebagai sosok suci keturunan dewa, kaisar dan monarki dalam adat Tiongkok didasarkan atas kepercayaan Mandat Langit (天命, Tiānmìng). Secara teori, langit memberikan mandat kepada kaisar berdasar kemampuan mereka untuk memerintah dengan baik dan adil, menjadikan kaisar dipandang sebagai Putra Langit (天子, Tiānzǐ). Bila kaisar dan dinastinya dipandang sudah melenceng dan tidak mampu memegang kendali pemerintahan dengan cara-cara yang dibenarkan, maka orang lain dapat melakukan pemberontakan, membubarkan dinasti penguasa, dan membentuk dinasti yang baru. Hal ini dipercaya bahwa langit telah mencabut mandatnya pada dinasti lama dan memberikannya kepada pihak lain yang pantas menyandangnya. Dengan prinsip ini, maka dimungkinkan bahwa dinasti penguasa yang baru dibentuk oleh mereka yang bukan berasal dari kalangan bangsawan.

Walaupun mayoritas dipegang oleh lelaki, tetapi beberapa perempuan dinyatakan menyandang gelar ini. Chen Shuozhen (陳碩真), wanita dari kalangan petani yang memimpin pemberontakan pada Dinasti Tang pada tahun 653,[2] menyatakan dirinya sebagai Maharani Wenjia (文佳皇帝, Wén Jiā Huángdì).[3] Ibu Suri Hu, setelah mangkatnya sang putra, Kaisar Xiaoming (510 – 31 Maret 528) dari Dinasti Wei Utara, menyatakan putri dari Xiaoming sebagai anak lelaki dan menobatkannya sebagai kaisar. Tetapi jenis kelaminnya segera diketahui dan keponakan Xiaoming yang kemudian menjadi kaisar.[4] Tetapi kedua wanita ini tidak dipandang sebagai Maharani oleh para sejarawan, menjadikan Wu Zetian satu-satunya wanita yang diakui sebagai Maharani sepanjang sejarah Tiongkok.

Sebagai kaisar yang, secara hukum, memiliki kedudukan absolut tanpa ada yang menandingi, semua bawahannya harus memberikan penghormatan, baik dalam masalah percakapan ataupun yang lainnya. Ketika kaisar telah tiba di tahta, orang-orang diharuskan melakukan kowtow di hadapan kaisar. Saat berbincang dengan kaisar, adalah sebuah tindak kejahatan untuk membanding-bandingkan orang lain dengan kaisar. Juga sebuah tindakan tabu untuk menyapa kaisar dengan nama lahirnya, meskipun orang tersebut adalah ibunya sendiri. Kaisar juga tidak dapat disapa dengan "Anda". Semua yang berbicara dengan kaisar harus menggunaan sapaan khusus semacam Bìxià (陛下), Huáng Shàng (皇上), dan Shèng Shàng (聖上/圣上), sebagaimana masyarakat Nusantara menyapa para penguasa monarki dengan sapaan "Baginda", "Paduka", atau "Yang Mulia". Kaisar juga dapat disapa dengan sebutan "Putra Langit" (天子, Tiānzǐ). Para pelayan kerap menyapa kaisar dengan sapaan Wàn Suì Yé (萬歲爺/万岁爷) yang bermakna "Tuan Sepuluh Ribu Tahun." Walaupun tidak menyapa kaisar dengan namanya langsung, ibu kaisar juga tidak menggunakan sapaan khusus sebagaimana orang lain, tetapi dengan gelarnya langsung, yakni huángdì (皇帝), atau dengan panggilan Ér (兒/儿, "anak"). Di sisi lain, kaisar menyebut dirinya sendiri di hadapan orang lain dengan sebutan Zhèn (朕) atau Guǎrén (寡人).

  • Huánghòu (皇后) adalah gelar bagi permaisuri atau pasangan utama kaisar dan bertindak sebagai Ibu Negara (國母, Guómǔ). Seorang kaisar hanya dapat memiliki satu permaisuri dalam satu masa, kecuali pada masa Kaisar Xuan dari Dinasti Zhou Utara yang memiliki lima permaisuri dalam satu waktu. Gelar ini juga dapat diberikan secara anumerta sebagai bentuk penghormatan.
  • Pínfēi (嬪妃), kerap diterjemahkan sebagai "selir", adalah pasangan kaisar yang tingkatannya di bawah permaisuri. Meskipun hanya memiliki satu permaisuri, kaisar dapat memiliki banyak selir. Para selir ini terbagi menjadi beberapa tingkatan dan hierarki ini berbeda-beda pada setiap dinasti. Pada masa Dinasti Qing, hierarki selir kaisar dari yang tertinggi adalah: Huáng Guìfēi (皇貴妃), Guìfēi (貴妃), Fēi (妃), Pín (嬪), Guìrén (貴人), Chángzài (常在), Dāyìng (答應), dan Guān Nǚzǐ (官女子).
  • Huángtàihòu (皇太后) adalah gelar bagi ibu suri dan biasanya dianugerahkan pada ibu kaisar atau mantan permaisuri. Gelar ini dapat dipegang oleh dua orang sekaligus dalam satu waktu. Pada masa Kaisar Zaichun, gelar ini diberikan kepada Cixi (ibu kandung Kaisar Zaichun yang merupakan selir dari kaisar sebelumnya, Yi Zhu) dan Ci'an (permaisuri dari mendiang Kaisar Yi Zhu). Dalam beberapa kasus, gelar ini dapat dipegang oleh wanita yang berperan sebagai ibu tiri kaisar, meskipun dia bukanlah ibu kandung kaisar maupun permaisuri dari kaisar sebelumnya, sebagaimana yang terjadi pada Ibu Suri Kangci, ibu tiri dari Kaisar Yi Zhu. Ibu Suri bertindak sebagai pegambil keputusan dalam urusan rumah tangga istana. Beberapa ibu suri juga memerintah kekaisaran sebagai pendamping dan wali bagi kaisar yang masih terlalu muda atau kurang cakap dalam memerintah.
  • Tàihuángtàihòu (太皇太后) adalah gelar bagi ibu suri tua atau ibu suri senior. Saat kaisar mangkat, permaisurinya akan menjadi ibu suri. Tetapi saat kaisar yang baru juga mangkat terlebih dahulu, permaisuri dari kaisar baru akan menjadi ibu suri, sedangkan ibu suri yang lama akan bergelar ibu suri tua.
  • Putra-putri kaisar, pangeran (皇子, Huángzǐ) dan putri (公主, Gōngzhǔ). Mereka disapa sesuai urutan kelahiran, misal: Pangeran Tertua, Putri Ketiga, dan sejenisnya. Saudara dan paman kaisar secara hukum akan menjadi pejabat di pemerintahan, dan kedudukan mereka setara dengan pejabat istana.
  • Huángtàizǐ (皇太子) adalah gelar bagi putra mahkota dan pewaris kaisar. Gelar ini biasanya disandang oleh putra tertua dari kaisar dengan permaisuri, sebagaimana kaidah Konfusius. Namun pada masa Wu Zetian, mantan kaisar Ruizong yang ditetapkan sebagai putra mahkota diberi gelar yang tak lazim, Huángsì (皇嗣). Istri utama dari putra mahkota dianugerahi gelar Tàizǐfēi (太子妃).

Purna-Kaisar

[sunting | sunting sumber]

Pada umumnya, seorang kaisar akan memerintah hingga akhir hayatnya. Tetapi dalam beberapa kasus, kaisar dapat turun tahta sebelum mangkatnya, baik secara sukarela, ditekan, maupun digulingkan. Gelar bagi kaisar yang telah turun tahta adalah Tàishànghuáng (太上皇) yang dapat diterjemahkan sebagai "purna-kaisar." Gelar ini pertama kali digunakan oleh Kaisar Ying Zheng kepada mendiang ayahnya.[5]

Walaupun begitu, beberapa kaisar yang telah turun tahta tidak menerima gelar ini, melainkan justru diturunkan tingkatannya menjadi pangeran. Umumnya hal ini terjadi pada kaisar yang digulingkan, bukan turun tahta secara sukarela.

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Dillon, Michael, ed. (2017). Encyclopedia of Chinese History. Routledge. hlm. 182. ISBN 978-0-415-42699-2. 
  2. ^ Woo, X L. Empress Wu the Great: Tang dynasty China. Algora Publishing. ISBN 978-0-87586-660-4. 
  3. ^ Zizhi Tongjian, vol. 199.
  4. ^ Zizhi Tongjian, vol. 152.
  5. ^ Eisenberg, Andrew (2008). Kingship in Early Medieval China. Leiden: Brill. hlm. 24–25. ISBN 9789004163812.