Lompat ke isi

Hutan gugur daun tropis

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Hutan gugur daun tropika di Trinidad dan Tobago di musim kemarau

Bermula dari Hutan gugur daun tropika, hutan musim tropika atau hutan monsun (monsoon forest) adalah suatu bioma berupa hutan di wilayah tropika dan subtropika yang memiliki iklim hangat sepanjang tahun, namun mengalami musim kering (kemarau) yang nyata. Hutan Monsoon Tropis umumnya mempunyai curah hujan yang tinggi. Namun, curah hujan tersebut terkonsentrasi pada beberapa bulan saja dan mempunyai musim kemarau yang nyata. Hutan musim umumnya mempunyai waktu musim kemarau yang lebih dari dua bulan. Hal ini menyebabkan sebagian tanaman meluruhkan daunnya untuk mengurangi penguapan. Itulah sebabnya hutan ini disebut musiman, atau ada pula yang menyebutnya hutan luruh daun.

Beberapa hutan musim bahkan mempunyai curah hujan 3000–5000 mm per tahun. Akan tetapi curah hujan yang besar tersebut bukan berarti hari hujan yang panjang pada hutan musim. Hal ini menyebabkan faktor perbedaan antara hutan monsoon tropika dan hutan hujan tropika bukan pada jumlah curah hujannya. Akan tetapi pada panjangnya hari hujan dari suatu wilayah. Pada puncak musim hujannya hutan musim seringkali diguyur hujan dalam intensitas yang sangat tinggi dan berhari-hari tanpa berhenti. Namun di puncak musim kemaraunya hutan musim tidak akan diguyur hujan sama sekali dengan temperatur yang cukup sejuk dan langit yang sangat bersih tanpa adanya awan. Hutan musim juga disebut dengan Tropical Moist Decidious Forest.

Dalam bahasa Inggris, bioma semacam ini dikenal dengan istilah-istilah tropical seasonal forest, tropical and subtropical deciduous forest, tropical and subtropical dry broadleaf forest, atau ringkasnya tropical dry forest.

Variasi geografis

[sunting | sunting sumber]
Sekelompok gajah melintas di hutan monsun di Bandipur, India

Di Kepulauan Nusantara, Hutan Musim Tropika dapat di jumpai di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku. terdapat pula sebuah sabuk hutan musim tropika yang melintas di kurang lebih mulai kawasan Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan juga menyebrang ke kawasan Wallacea—dari Kepulauan Filipina di sebelah utara, melintasi Sulawesi dan sebagian Maluku..[1] Keringnya wilayah-wilayah ini terutama disebabkan oleh angin monsun yang membawa perbedaan musiman yang jelas dalam jumlah curah hujan bulanan.[2]

Hutan gugur daun ini terutama didapati menggantikan hutan hujan tropika pada garis lintang yang lebih tinggi, yakni antara 10° dan 20°LU serta 10° dan 20°LS. Di wilayah Nusantara, Zona ekoton peralihan antara Hutan Monsoon Tropis dan Hutan Hujan Tropis dapat ditemukan di berbagai wilayah. Salah satu wilayah yang merupakan peralihan antara hutan monsoon dan hutan hujan adalah wilayah Jawa Tengah.

Pada tempat-tempat itu, hutan musim tropika ini acap ditemukan berselingan dengan sabana tropika dan padang rumput tropika; sebagai hasil kombinasi faktor-faktor curah hujan yang rendah, kemampuan tanah menahan air, serta kesuburan tanah setempat. Faktor pembentuk yang lain yang tak kalah pentingnya adalah aktivitas manusia, terutama pembakaran hutan untuk berbagai tujuan (perburuan, lahan perladangan dll.), yang membatasi pertumbuhan hutan secara lokal.[1]

Hutan gugur daun yang paling beraneka ragam dijumpai di Meksiko bagian selatan dan di dataran rendah Bolivia. Di samping itu, banyak kawasan hutan gugur daun tropika yang dihuni spesies-spesies yang unik dan endemik, seperti halnya di pesisir Pasifik di barat-laut Amerika Selatan, di wilayah subtropika Amerika Serikat, dan di Afrika bagian tenggara. Hutan-hutan monsun di India tengah dan Indocina terkenal karena keragaman fauna vertebratanya. Sementara hutan-hutan yang serupa di Madagaskar dan Kaledonia Baru dikenal luas karena dihuni oleh banyak taksa yang khas, endemik, serta bersifat reliktual.

Hutan galeri

[sunting | sunting sumber]

Di tempat-tempat yang lebih lembap atau yang berhubungan dengan air tanah yang relatif dangkal, hutan-hutan musim ini berganti dengan hutan yang selalu hijau. Misalnya di sepanjang alur sungai (yang mungkin mengering di bagian atas, tetapi di lapis bawah tanahnya masih sedikit berair), banyak individu pohon yang tetap hijau karena tidak menggugurkan daunnya. Maka di tempat-tempat semacam ini mungkin terbentuk formasi hutan yang lebih basah seperti hutan hujan tropika, atau sekurang-kurangnya hutan gugur daun lembap (tropical moist deciduous forest). Terselip di antara hamparan hutan monsun yang lebih kering, hutan-hutan di mintakat riparian ini dikenal sebagai hutan galeri (gallery forest).[1]

Beberapa wilayah ekoregion hutan gugur daun, seperti halnya di Dekkan Timur (India), Srilangka, dan Indocina bagian tenggara, dicirikan oleh pepohonan yang selalu hijau.

Karakteristik ekologis

[sunting | sunting sumber]

Menyusutnya ketersediaan air tanah yang diperlukan tumbuhan untuk hidup, secara periodik dan hingga level yang amat rendah, merupakan faktor pembatas yang menentukan.[1] Hutan ini didominasi oleh jenis-jenis pohon yang menggugurkan daun (deciduous) di bulan-bulan kering, yakni di mana penguapan air melampaui kemampuan penyerapannya oleh akar. Gugurnya daun-daun di awal musim kering ini membantu mencegah kehilangan air yang terlalu banyak, karena air tumbuhan salah satunya menguap melalui daun. Dengan terbukanya tajuk, cahaya matahari leluasa masuk sampai ke lantai hutan dan merangsang semak-semak serta rerumputan tumbuh di lapis bawah.

Hutan gugur daun terutama dipengaruhi oleh adanya iklim musiman, yakni kemarau sekurang-kurangnya selama 4 bulan berturut-turut, dan curah hujan yang relatif rendah. Berdasarkan kombinasi faktor-faktor tersebut, dan juga faktor tanah, dikenal beberapa formasi hutan musim di Indonesia, di antaranya:[1][2][3]

Terbentuk di wilayah-wilayah dengan curah hujan tahunan antara 1.500–4.000 mm, yang dikombinasikan dengan bulan-bulan kering selama 4–6 bulan.
  • Hutan gugur daun kering (tropical dry deciduous forest)
Dijumpai di wilayah-wilayah dengan curah hujan kurang dari 1.500 mm, dan dengan bulan-bulan kering lebih dari 6 bulan setahunnya.
Jelarang malabar (Ratufa indica) di sebuah cabang pohon jati di hutan monsun Suaka Harimau Mudumalai, India

Di wilayah yang lebih basah (curah hujan > 2.000 mm; dan 2–4 bulan kering setahun) akan terbentuk hutan hujan semi selalu hijau (tropical semi-evergreen rain forest); sementara di daerah yang lebih kering (curah hujan < 1.000 mm; dengan lebih dari 9 bulan kering setahun) akan terbentuk hutan berduri tropika (tropical thorn forest) dan sabana tropika. Pembedaan hutan-hutan ini di lapangan tidak begitu mudah, karena umumnya ditentukan oleh proporsi jenis tumbuhan yang mencirikan masing-masing formasi hutan itu.[2]

Keanekaragaman hayati

[sunting | sunting sumber]

Banyak jenis pohon dominan di hutan-hutan monsun Nusa Tenggara dan Maluku, yang juga terdapat di sepanjang jalur hutan-hutan gugur daun India dan Burma. Di antaranya adalah kemiri (Aleurites moluccana), pilang (Acacia leucophloea), klampis (Acacia tomentosa), sengon (Albizia chinensis), terisi (A. lebbekoides), siwalan (Borassus flabellifer), sonokeling (Dalbergia latifolia), kesambi (Schleichera oleosa), walikukun (Schoutenia ovata), asam jawa (Tamarindus indica), dan lain-lain.[2]

Meskipun secara keseluruhan kekayaan hayatinya lebih rendah daripada hutan hujan tropika, akan tetapi hutan gugur daun tropika dihuni oleh banyak jenis fauna; termasuk aneka monyet, rusa, kucing besar, hewan pengerat, dan bermacam jenis burung. Biomassa mamalia yang hidup di hutan ini bahkan dapat melebihi hutan hujan tropika, terutama pada hutan-hutan gugur daun di Asia dan Afrika. Banyak dari antaranya yang memperlihatkan adaptasi yang luar biasa terhadap kondisi iklim yang sukar ini.


Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d e Whitmore, T.C. 1984. Tropical Rain Forest of the Far East. Clarendon Press, London. Pp. 196-199
  2. ^ a b c d Monk, K.A., Y. de Fretes, & G. Reksodihardjo-Lilley. 2000. Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku. Prenhallindo, Jakarta. Pp. 269-290
  3. ^ Whitten, T., R.E. Soeriaatmadja, & S.A. Afiff. 1999. Ekologi Jawa dan Bali. Prenhallindo, Jakarta. Pp. 470-482

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]