Lompat ke isi

Sentimen anti-Belanda

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 15 Januari 2024 03.02 oleh RaFaDa20631 (bicara | kontrib) (Moving from Category:Sentimen antinegara to Category:Sentimen antinegara dan antibangsa using Cat-a-lot)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Sentimen anti-Belanda atau rasa ketidaksenangan terhadap Belanda (Bahasa Inggris: Anti-Dutch sentiment atau Dutchphobia,[1] bahasa Belanda: Anti-nederlands sentiment) adalah salah satu hal yang mencakup tentang anggapan yang kurang baik, ketakutan dan rasa tidak suka terhadap Belanda, bangsa Belanda dan kebudayaan Belanda. Kebudayaan dan masyarakat Belanda sudah lama ada setelah pernah dilakukannya penjajahan oleh Belanda dan pernah ikut berperan pada perang Eropa

Jajahan-jajahan Belanda

[sunting | sunting sumber]

Asia Tenggara

[sunting | sunting sumber]

Dalam waktu yang jelas tidak sebentar, salah satu jajahan Belanda di Asia Tenggara yakni Indonesia (masih bernama Hindia Belanda) sejak tahun 1800 hingga masa pendudukan Jepang di Indonesia saat Perang Dunia Kedua. Sesudah Jepang mengalami kekalahan, rasa ketidaksenangan atas kehadiran Belanda terus menyebar dengan luas di kalangan pribumi tatkala Belanda lagi-lagi berupaya kembali memertegas kendalinya atas Indonesia, hal-hal apapun yang berkaitan dengan Belanda harus ditindaklanjuti dengan perlawanan.[2][3] Dampaknya yang datang kemudian yakni ketika memuncaknya Perang Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949 demi kemerdekaan Indonesia.

Afrika Selatan

[sunting | sunting sumber]

Selama berakhirnya Perang Boer Kedua di Afrika Selatan pada tahun 1899-1902 yang melibatkan kedua pihak yaitu pemerintah Inggris dan para penghuni tetap berketurunan Belanda, rasa ketidaksenangan terhadap Belanda pun mulai muncul di setiap lapisan masyarakat penutur bahasa Inggris,[4] banyak di antara mereka pula yang memilih bergabung dengan Partai Unionis di Afrika Selatan.[5]

Amerika Selatan dan Karibia

[sunting | sunting sumber]

Mulai bergeraknya rasa berkebangsaan yang terus jelas terlihat menjadikan rasa ketidaksenangan terhadap keberadaan Belanda semakin meningkat pada tahun 1950-an di tanah Suriname yang masih mengalami penjajahan dari Belanda.[6] Negara Suriname pun mulai berpemerintah secara berdikari sejak tahun 1954 lalu merdeka sepenuhnya pada tahun 1975.

Perang benua Eropa

[sunting | sunting sumber]

Peperangan Belanda dan Inggris

[sunting | sunting sumber]

Berdasarkan dari peperangan Belanda dan Inggris pada abad ke-17 dan ke-19, muncul pernyataan ungkapan yang menyampaikan tentang semakin merajalelanya rasa perseteruan dan teriakan cibiran terhadap Belanda dalam bahasa Inggris yang di antaranya seperti "Dutch courage", "Dutch uncle", "Going Dutch", "Dutch treat", "Double Dutch" dan "I'm Dutchman". Rasa ingin melawan Belanda terus meningkat di Inggris dalam waktu tiga tahun menghadapi Belanda yang saat itu berpemerintahan republik dari tahun 1652 dan tahun 1674 lalu terus berlanjut ketika kekuasaan wewenang pemerintahan William Ke-3 dari Inggris.[7]

Perang Dunia Pertama

[sunting | sunting sumber]

Belanda pernah menjadi negara tak berkeberpihakan atau netral saat Perang Dunia Pertama hingga berujung kepada tanggapan dan ucapan dari Inggris yang tidak sekata dengan keputusan Belanda, sebuah majalah bernama Punch memberikan sebuah ungkapan pendapat yang dijadikan sebagai acuan yang jelas berkenaan terhadap keputusan Belanda tersebut:

Belanda itu negara yang rendah karena kenyataannya memang seperti negara yang sangat rendah sehingga pantas saja di sepanjang negara itu diberi bendungan.

— Banyak orang, [8]

Perang Dunia Kedua

[sunting | sunting sumber]

Ketika berlangsungnya Perang Dunia Kedua, para tentara Jerman yang mencaplok seantero Belgia pernah menggalakkan kewajiban berbahasa Belanda bagi para penutur bahasa Prancis hingga berakibat dengan masalah ketakutan atau fobia terhadap Belanda di tengah-tengah para penutur bahasa tersebut.[9]

  1. ^ Dean A. Stahl; Karen Landen (28 Juni 2017). Abbreviations Dictionary, Tenth Edition. CRC Press. hlm. 1453–. ISBN 978-1-4200-3664-0. 
  2. ^ Albertus Bagus Laksana (28 Juni 2017). Muslim and Catholic Pilgrimage Practices: Explorations Through Java. Taylor & Francis. hlm. 177. ISBN 978-1-317-09123-3. 
  3. ^ Marc Frey; Ronald W. Pruessen; Tai Yong Tan (28 Juli 2017). The Transformation of Southeast Asia: International Perspectives on Decolonization. M.E. Sharpe. hlm. 87. ISBN 978-0-7656-3185-5. 
  4. ^ Adriaan J. Barnouw (2012). Language and race problems in South Africa. Springer. hlm. 49–50. ISBN 978-94-011-9255-2. 
  5. ^ The New Statesman. Statesman Publishing Company. 1921. 
  6. ^ Edward Dew (2013). The Difficult Flowering of Surinam: Ethnicity and Politics in a Plural Society. Springer Science & Business Media. hlm. 97. ISBN 978-94-017-3278-9. 
  7. ^ Jonathan Israel, "England, the Dutch, and the Struggle for Mastery of World Trade in the Age of the Glorious Revolution (1682-1702)", in Dale Hoak; Mordechai Feingold (1996). The World of William and Mary: Anglo-Dutch Perspectives on the Revolution of 1688-89. Stanford University Press. ISBN 978-0-8047-2406-7. 
  8. ^ "Charivaria", Punch, Vol. 147, 30 December 1914
  9. ^ Paul F. State (27 July 2004). Historical Dictionary of Brussels. Scarecrow Press. hlm. 171–. ISBN 978-0-8108-6555-6. 

Templat:Sentimen anti-kebudayaan