Halakha (bahasa Ibrani: הֲלָכָה‎) (Sefardim: [halaˈχa]; juga dialihaksarakan Halocho (Ashkenazi: [haˈloχo], atau Halacha) adalah suatu istilah untuk kumpulan hukum agama orang Yahudi, termasuk hukum yang tertulis dalam Alkitab Ibrani (yaitu 613 mitzvot) dan hukum Talmud maupun hukum rabbinik yang ditetapkan kemudian, serta sejumlah adat dan tradisi.

Yudaisme tidak membedakan hukum-hukumnya dalam hal hidup beragama maupun di luar kehidupan agama. Tradisi keagamaan Yahudi tidak membedakan secara jelas antara identitas agama, nasional ras, atau etnis.[1] Halakha tidak hanya mengatur praktik-praktik dan keyakinan agama, tetapi juga berbagai aspek dari kehidupan sehari-hari. Halakha sering diterjemahkan sebagai "Hukum Yahudi", meskipun terjemahan yang lebih harfiah adalah "jalur" atau "jalanan". Kata ini berasal dari akar kata Semitik yang bermakna "pergi" atau "berjalan".

Dalam sejarahnya di diaspora, Halakha dijadikan oleh banyak komunitas Yahudi sebagai hukum sipil dan agama. Sejak Zaman Pencerahan, emansipasi, dan haskalah dalam era modern, orang Yahudi terikat pada Halakha hanya atas kemauan sukarela. Di bawah hukum Israel sekarang, hukum status keluarga dan pribadi Israel tertentu berada di bawah otoritas pengadilan rabinik dan karenanya diperlakukan menurut Halakha. Beberapa perbedaan di dalam Halakha itu sendiri ditemukan di antara komunitas Yahudi Ashkenazi, Mizrahi, Sefardim, dan orang Yahudi Yaman, yang merupakan cerminan keragaman sejarah dan geografis berbagai komunitas Yahudi dalam Diaspora.

Etimologi dan terminologi

sunting

Kata Halakha berasal dari bahasa Ibrani halakh הָלַךְ, yang berarti "berjalan" atau "pergi". Jadi, terjemahan harfiah Halakha bukanlah "hukum", melainkan "jalur perjalanan". Istilah Halakha dapat merujuk ke suatu peraturan, atau keseluruhan teks hukum rabbinik, atau seluruh sistem hukum agama.

Halakha sering dikontraskan dengan Aggadah, yaitu kumpulan beragam literatur rabbinik tentang penafsiran, narasi, filsafat, mistik, dan hal-hal di luar hukum yang lain. Pada saat yang sama, karena penulis Halakha dapat memanfaatkan literatur aggadik atau bahkan yang mistik, ada pertukaran dinamis di antara jenis-jenis ini.

Halakha merupakan aplikasi praktis dari 613 mitzvot (mitzvot: "perintah-perintah", bentuk tunggal: mitzvah) dalam Taurat, yaitu lima kitab Musa, atau disebut "Hukum Tertulis", seperti yang dikembangkan melalui diskusi dan perdebatan dalam literatur rabinik klasik, terutama Mishnah dan Talmud (yaitu "Hukum Lisan"), dan seperti yang dikodifikasikan dalam "Mishneh Taurat" atau "Shulchan Aruch" ("Kode" atau "Kitab hukum" Yahudi.)

Halakha adalah panduan komprehensif untuk semua aspek kehidupan manusia, baik jasmani maupun rohani. Hukum-hukumnya, pedoman, dan opini mencakup berbagai macam situasi dan prinsip-prinsip, dalam upaya untuk mewujudkan apa yang tersirat oleh perintah inti Alkitab yaitu untuk menjadi "kudus seperti Aku Allahmu adalah kudus". Hukum-hukum itu meliputi apa yang diklaim sebagai cara hidup yang lebih baik bagi seorang Yahudi, berdasarkan pada apa yang tidak disebutkan, tetapi telah diturunkan dari Alkitab Ibrani.

Karena Halakha dikembangkan dan diterapkan oleh berbagai otoritas halakhik, bukan dari satu "suara resmi" saja, maka individu dan komunitas yang berbeda mungkin memiliki jawaban yang berbeda untuk pertanyaan-pertanyaan halakhik. Kontroversi ini memberikan banyak studi banding kreatif dan intelektual dalam literatur rabinik. Dengan beberapa pengecualian, kontroversi ini tidak diselesaikan melalui struktur otoritatif karena selama masa orang Yahudi dalam pengasingan (Galut) mereka tidak mempunyai hierarki peradilan tunggal atau proses peninjauan banding untuk Halakha. Sebaliknya, orang-orang Yahudi yang tertarik menjalankan Halakha biasanya memilih untuk mengikuti rabi atau afiliasi tertentu dengan masyarakat yang lebih terstruktur erat.

Halakha telah dikembangkan dan dituangkan sepanjang banyak generasi sejak sebelum tahun 500 SM, dengan kumpulan literatur agamawi yang terus-menerus diperluas, yang dikonsolidasikan dalam Talmud. Yang pertama dan yang terutama kumpulan itu membentuk suatu kelompok pendapat peradilan, undang-undang, adat istiadat, dan rekomendasi yang rumit, banyak di antaranya diwariskan selama berabad-abad, dan meliputi bermacam-macam perilaku yang mendarah daging, diteruskan ke generasi-generasi dari saat seorang anak mulai dapat berbicara. Selain itu, kumpulani itu juga merupakan subyek studi intensif dalam "yeshiva" (lihat: Studi Taurat).

Hukum Taurat

sunting

Secara luas Halakha meliputi aplikasi praktis perintah-perintah (masing-masing disebut suatu "mitzvah") dalam Taurat, seperti yang dikembangkan dalam literatur rabinik yang kemudian. Menurut Talmud (Traktat Makot), ada 613 mitzvot ("perintah") dalam Taurat. Dalam bahasa Ibrani ini dikenal sebagai "תריג מצוות" (Taryag mitzvot). Ada 248 mitzvot positif dan 365 mitzvot negatif di dalam Taurat, ditambah dengan tujuh mitzvot disahkan oleh para rabi dari zaman kuno.

Kategori

sunting

Hukum Yahudi dapat dikategorikan dalam berbagai cara. Selain kategori dasar yang diterapkan pada mitzvot pada zaman kuno, selama abad pertengahan hukum Yahudi diklasifikasikan dalam karya-karya tulis antara lain dari Maimonides "Mishneh Torah" dan dari Yusuf Karo "Shulchan Aruch".

Yudaisme Rabbinik Klasik mengakui dua kategori hukum dasar:

  • Hukum yang diyakini diturunkan oleh Allah kepada orang-orang Yahudi di Gunung Sinai (yaitu Pentateukh yang tertulis, beserta penjelasannya, Halacha l'Moshe miSinai atau "Taurat lisan");
  • Hukum berasal dari manusia termasuk keputusan Rabbinik, tafsiran, kebiasaan, dan lain-lain.

Pembagian kategori antara yang perintah yang diturunkan dan perintah rabbinik dapat mempengaruhi nilai pentingnya suatu peraturan, pelaksanaan dan hakikat penafsirannya yang terus berlangsung. Otoritas halakha mungkin saja tidak setuju hukum yang mana masuk ke kategori tertentu atau latar belakang keadaan di mana putusan Rabbinik dapat ditinjau ulang oleh para rabbi pada zaman yang kemudian, tetapi semua orang Yahudi yang terikat pada halakha berpegang pada pendapat bahwa kedua kategori ini ada dan bahwa kategori pertama adalah yang tidak dapat diubah, dengan perkecualian hanya untuk penyelamatan nyawa dan keadaan darurat serupa.

Pengkategorian klasik kedua adalah antara hukum tertulis, yaitu hukum tertulis dalam Taurat pada Alkitab Ibrani, dan Hukum Lisan, yaitu hukum yang diyakini ditransmisikan secara lisan turun temurun sebelum dibukukan dalam teks-teks seperti Mishnah, Talmud, dan kode-kode hukum Rabbinik.

Perintah-perintah dibagi atas perintah positif dan negatif, yang diperlakukan berbeda dalam hal hukuman ilahi dan manusia. Perintah positif (yang menurut tradisi berjumlah 248) "memerlukan" pelaksanaan suatu tindakan dan dianggap membawa pelakunya lebih dekat dengan Allah. Perintah negatif (menurut tradisi berjumlah 365) "melarang" tindakan tertentu, dan pelanggarannya akan menciptakan jarak dari Allah. Dalam berjuang untuk "menjadi kudus" sebagaimana Allah itu kudus, seseorang berusaha sedapat mungkin untuk hidup sesuai dengan keinginan Tuhan bagi umat manusia, berusaha untuk hidup lebih sempurna lagi dengan semua perintah itu dalam setiap saat kehidupannya.

A further division is made between chukim ("decrees" — laws without obvious explanation, such as shatnez, the law prohibiting wearing clothing made of mixtures of linen and wool), mishpatim ("judgments" — laws with obvious social implications) and eduyot ("testimonies" or "commemorations", such as the Shabbat and holidays). Through the ages, various rabbinical authorities have classified the commandments in various other ways.

Pembagian lagi dibuat antara:

  • chukim ("keputusan" atau "dekret" - hukum tanpa penjelasan yang jelas, seperti shatnez, yaitu hukum yang melarang memakai pakaian yang terbuat dari campuran linen dan wol),
  • mishpatim ("penilaian" - hukum dengan implikasi sosial yang jelas) dan
  • eduyot ("kesaksian" atau "perayaan", seperti Sabat dan hari-hari raya).

Selama berabad-abad, berbagai otoritas rabbinik telah mengklasifikasikan perintah-perintah itu dalam berbagai cara lain.

Sebuah pendekatan lain membagi hukum-hukum ke dalam pengkategorian yang berbeda:

  • Hukum tentang hubungan dengan Tuhan (bein adam la-Makom), dan
  • Hukum tentang hubungan dengan sesama manusia (bein adam la-chavero).

Ada pandangan dalam halakha bahwa pelanggaran yang terakhir ini lebih berat dalam sisi tertentu, karena mengandung persyaratan bahwa seseorang harus memperoleh pengampunan baik dari orang disalahi maupun dari Tuhan.

Secara praktis, mitzvot tersebut juga dapat diklasifikasikan sesuai dengan pelaksanaannya setelah kehancuran Bait Allah. Beberapa mitzvot hanya relevan di Tanah Israel. Banyak aturan yang berkaitan dengan kesucian dan kemurnian tidak bisa lagi dilakukan karena Bait Suci di Yerusalem sudah tidak ada lagi. Beberapa aturan memerlukan semacam "beit din" (pengadilan Yahudi) yang kini sudah tidak ada lagi.[2]

Dalam literatur Talmud, hukum Yahudi dibagi atas enam urutan Mishnah, yang merupakan kategori berdasarkan subyek terdekat:

  • Zeraim ("Benih") untuk hukum pertanian dan doa,
  • Moed ("Festival"), untuk Sabat dan Festival,
  • Nashim ("Perempuan"), berurusan terutama dengan pernikahan dan perceraian,
  • Nezikin ("Kerusakan"), untuk hukum perdata dan pidana,
  • Kodashim ("Hal-hal Kudus"), untuk persembahan korban dan hukum mengenai makanan, serta
  • Tohorot ("Kemurnian") untuk pemurnian ritual.

Namun, teks Talmud sering berurusan dengan hukum di luar kategori-kategori subjek yang jelas ini. Akibatnya, hukum Yahudi dikategorikan dengan cara lain dalam periode pasca-Talmud.

Dalam kode-kode hukum utama Yahudi, didapati dua skema kategorisasi besar lain. Maimonides dalam "Mishneh Taurat" membagi hukum-hukum tersebut menjadi empat belas bagian. Upaya kodifikasi yang berpuncak dalam "Shulchan Aruch" membagi hukum-hukum menjadi empat bagian, yang hanya meliputi hukum-hukum yang tidak bergantung pada lokasi di Tanah Israel.

Yudaisme menganggap pelanggaran terhadap perintah-perintah, mitzvot, adalah suatu dosa.

Kata Ibrani umum untuk semua jenis dosa adalah aveira ("pelanggaran"). Berdasarkan Tanakh (Alkitab Ibrani), Yudaisme menggolongkan tiga tingkatan dosa:

  • Pesha - sebuah "dosa yang disengaja", tindakan yang dilakukan dengan sengaja menentang Allah
  • Avon - sebuah "dosa nafsu atau emosi yang tidak terkendali, yang dilakukan berlawanan dengan kehendak seseorang dan tidak sejalan dengan keinginan batin yang benar". Merupakan dosa dilakukan dengan sengaja, tetapi tidak dilakukan untuk menentang Allah
  • Chet - sebuah "dosa yang tidak disengaja"

Ada tiga istilah terkait - Chayyav, Patur, Mutar - dalam Gemara dan hukum halakha untuk mengklasifikasi pengizinan suatu tindakan atau tingkat beratnya suatu larangan dan hukuman.

  • Chayyav (חייב), secara harfiah berarti "bertanggungjawab, wajib" artinya orang yang melanggar larangan itu bertanggung jawab atas tindakan kriminalnya, dan layak untuk dihukum atas perbuatannya.
  • Patur (פטור) berarti "dikecualikan" dari kewajiban hukuman, tetapi tindakan tersebut dalam kerabian dilarang.
  • Mutar (מותר) berarti tindakan tersebut diizinkan.

Dalam Yudaisme dipahami bahwa sebagian besar orang, selain dari mereka yang disebut "Tzadikim Gemurim" (tzadikim dalam bahasa Ibrani: צדיק, artinya "orang benar"), akan jatuh dalam dosa selama hidup mereka. Namun, suatu keadaan dosa tidak membuat orang dihukum. Selalu ada jalan teshuva (bahasa Ibrani: תשובה, "pertobatan", secara harfiah: "kembali"). Ada kelompok orang sulit untuk mendapat pengampunan, seperti mereka yang berbuat zina, serta orang-orang yang memfitnah orang lain.

Pada masa lampau, ketika orang-orang Yahudi memiliki sistem peradilan yang berfungsi (yaitu beth din dan pengadilan tinggi Sanhedrin), pengadilan berkuasa menjatuhkan hukuman fisik untuk berbagai pelanggaran, dengan standar bukti-bukti dakwaan yang jauh lebih ketat daripada yang dapat diterima di pengadilan dalam zaman demokrasi modern, yaitu: eksekusi mati, hukuman fisik, penahanan, pengucilan (ekskomunikasi). Sejak hancurnya Bait Allah, eksekusi mati telah dilarang. Sewaktu otonomi masyarakat Yahudi di Eropa berakhir, maka hukuman-hukuman lain juga berhenti dijatuhkan.

Sekarang, segala perbuatan seseorang akan diperhitungkan sendiri oleh Allah. Talmud mengatakan bahwa meskipun pengadilan yang mampu memutuskan hukuman bagi orang berdosa sudah tidak ada lagi, hukuman yang dijatuhkan terus diterapkan oleh Sang Ilahi. Misalnya, seseorang telah melakukan dosa yang seharusnya dihukum dengan rajam mungkin bisa jatuh dari atap, atau seseorang yang seharusnya dieksekusi oleh pencekikan mungkin bisa mati tenggelam.[3]

Hukum Yahudi dan orang non-Yahudi

sunting

Yudaisme selalu berpegang bahwa orang yang bukan-Yahudi diwajibkan hanya mengikuti "Tujuh Hukum Nuh". Ini adalah hukum lisan yang berasal dari perjanjian Allah dengan Nuh setelah peristiwa air bah), yang berlaku untuk semua keturunan Nuh, yaitu, semua orang yang hidup sekarang. Hukum Nuh ini diturunkan dari Talmud (Traktat Sanhedrin 57a), dan tertulis sebagai berikut:

  • Dilarang membunuh
  • Dilarang mencuri.
  • Dilarang berlaku tidak senonoh secara seksual.
  • Dilarang makan daging yang dipotong dari binatang yang masih hidup.
  • Dilarang percaya atau menyembah, atau berdoa kepada, "berhala".
  • Dilarang menghujat Allah.
  • Masyarakat harus membangun sistem peradilan yang adil untuk menjalankan hukum dengan jujur.

Rincian hukum-hukum ini dikodifikasi dari teks Talmud dalam "Mishneh Torah". Dapat ditemukan terutama dalam pasal 9 dan 10 "Hilkhoth Melakhim u'Milhamothehem" pada "Sefer Shoftim", buku keempat belas pada "Mishneh Torah".

Takkanot

sunting

Hukum Yahudi tradisinal memberi kuasa legislatif luas kepada para "orang bijak" atau "Sage". Secara teknis ada dua perangkat hukum yang kuat di dalam sistem halakha:

  • Gezeirah: "legislasi pencegahan" yang ditetapkan oleh para Rabbi untuk mencegah pelanggaran perintah-perintah
  • Takkanah: "legislasi positif", praktik-praktik yang ditetapkan oleh para Rabbi bukan didasarkan (secara langsung) pada perintah-perintah

Namun, dalam bahasa sehari-hari orang menggunakan istilah umum takkanah baik untuk gezeirot maupun takkanot.

Takkanot, secara umum, tidak mempengaruhi atau membatasi pelaksanaan mitzvot (perintah) Taurat. Namun, Talmud menyatakan bahwa dalam kasus-kasus perkecualian tertentu, para Sage mempunyai otoritas untuk "mencabut hal-hal dari Taurat". Dalam literatur Talmudik dan halakhik klasik, kewenangan ini merujuk kepada otoritas untuk melarang hal-hal tertentu yang seharusnya dituntut dalam Alkitab (shev v'al ta'aseh). Rabbi-rabbi dapat membuat aturan bahwa suatu mitzvah Taurat tidak perlu dilakukan, misalnya peniupan shofar (serunai) pada hari Sabat, atau mengambil lulav dan etrog pada hari Sabat. Takkanot ini dijalankan karena kekuatiran bahwa seseorang dapat saja membawa benda-benda tersebut di antara rumahnya dan sinagoge, sehingga tanpa sengaja melanggar hukum melakha (tindakan yang dilarang pada hari Sabat).

Referensi

sunting
  1. ^ Hershel Edelheit, Abraham J. Edelheit, History of Zionism: A Handbook and Dictionary Diarsipkan 2011-06-24 di Wayback Machine., p.3, mengutip Solomon Zeitlin, The Jews. Race, Nation, or Religion? (Philadelphia: Dropsie College Press, 1936).
  2. ^ p.11, R. Yisrael Meir haKohen (Chofetz Chayim), The Concise Book of Mitzvoth.
  3. ^ Ketubot 30b

Pustaka tambahan

sunting

Pranala luar

sunting

Karya-karya Halakha utama