Bank Duta adalah bank yang pernah ada di Indonesia hingga 2000. Bank ini dileburkan ke dalam Bank Danamon bersama 7 bank lainnya di bawah pengawasan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada tanggal 30 Juni 2000.

PT Bank Duta Tbk
Sebelumnya
Bank Dharma Ekonomi (1966-1972)
Bank Duta Ekonomi (1972-1985)
Perseroan terbatas terbuka
Kode emitenJSX: BDTA
IndustriPerbankan
NasibDileburkan
PendahuluBank Dwikora
Bank Sarma
PenerusBank Danamon
Didirikan30 Agustus 1966
PendiriSuhardiman
Thomas Suyatno
Njoo Han Siang
Ditutup30 Juni 2000
Kantor pusatJakarta, Indonesia
ProdukJasa keuangan

Sejarah

sunting

Bank Duta pada awalnya bernama Bank Dharma Ekonomi. Bank ini didirikan pada tahun 1966 oleh Suhardiman, Thomas Suyatno, Njoo Han Siang dan Edi Cahyadi,[1] dengan fokus usaha pada pembiayaan sektor industri.[2] Pada usianya yang kedua (1968), bank ini mengalami kebangkrutan dan diselamatkan oleh PT PP Berdikari (PT Perusahaan Pilot Project Berdikari) yang kemudian menjadi pemilik tunggal dari bank tersebut. Di tahun 1971, bank ini kembali mengalami krisis. Krisis ini berakibat hilangnya dana Bulog yang disimpan di bank tersebut, sehingga Bulog sulit melakukan pengadaan pangan. PT PP Berdikari kemudian meminta bantuan Abdulgani untuk melakukan pembenahan total pada Bank Dharma Ekonomi. Bersama 14 karyawan dan manajemen yang kocar-kacir, Abdulgani pun mulai menyelesaikan masalah tersebut.[3]

Perubahan nama (di tahun 1972, menjadi Bank Duta Ekonomi)[4] dan pergantian pemimpin bank merupakan langkah pertama dari perubahan besar yang terjadi pada bank ini. Langkah selanjutnya adalah keterlibatan Bustanil Arifin yang ditugaskan untuk memimpin PT PP Berdikari di mana kemudian menjadi komisaris bank pada tahun 1973. Setahun kemudian, Bank Duta Ekonomi memperoleh tambahan modal dari dua yayasan, yaitu Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais) dan Yayasan Supersemar. Disusul kemudian oleh Yayasan Dana Abadi Karya Bakti (Dakab), ketiganya kemudian memegang 72,4% saham bank ini.[5] (Secara resmi, ketiga yayasan diwakili secara individu oleh Zahid Hussein, Affandi dan Hedijanto).[6][7] Tambahan dana tersebut ditujukan agar membantu Bank Duta Ekonomi menjadi bank devisa, yang akhirnya tercapai pada 3 Januari 1978.[3] Selanjutnya, pada 1975 dan 1976 Bank Duta melakukan penggabungan dengan dua bank lainnya, yaitu Bank Dwikora dan Bank Sarma.[2]

Setelah itu, perkembangan Bank Duta Ekonomi tidak tertahankan yang pada akhirnya menempatkan menjadi peringkat kedua bank swasta nasional di bawah Bank Central Asia (BCA).[3] Keberhasilan itu ditopang oleh kedekatan bank ini dengan kekuasaan Orde Baru, yaitu pemegang sahamnya yang berupa yayasan pimpinan Soeharto dan Bustanil, kepala Badan Urusan Logistik yang merupakan orang kepercayaan sang presiden. Kinerja ciamik yang "semu" tersebut dibuktikan misalnya dari laporan sebuah lembaga audit yang mengklaim bank ini tidak memiliki sistem pengawasan yang bagus, ditambah inefisiensi berupa kelebihan karyawan hingga 300 orang.[8]

Meskipun demikian, Bank Duta juga dikenal mengembangkan banyak segmen usaha (ritel, korporasi dan konsumer), seperti merupakan salah satu operator kartu kredit pertama di Indonesia di tahun 1983.[2][9] Bank ini juga sempat memiliki banyak anak perusahaan di bidang keuangan, seperti Bank IBJ Indonesia, AMRO Duta Leasing, RaboBank Duta, Graha Sarana Duta, Mitra Duta Sekuritas, Staco Duta Agung Leasing, dan lainnya.[10][11] Pada tahun 1985, Bank Duta Ekonomi menyederhanakan namanya menjadi Bank Duta saja, yang disertai penggunaan logo baru dan kantor pusat baru di Gedung Bank Duta (kini Menara Multimedia) Jakarta.[12]

Bustanil, yang diberi tanggung jawab mengelola Bank Bukopin pada periode 1980-an selanjutnya lebih mengalihkan fokusnya ke bank tersebut, sehingga Bank Duta mulai mengalami penurunan profitabilitas.[8] Tersebutlah nama Dicky Iskandardinata, wakil direktur bank ini yang tertarik mencari peruntungan lewat bermain valas sejak Agustus 1989. Bukannya untung, justru permainan valas itu berbuah petaka, dengan Dicky terus-menerus mengalami kekalahan sehingga Bank Duta mengalami kerugian besar.[13] Namun, awalnya masalah tersebut seperti berusaha ditutupi, dengan Bank Duta mengklaim masih memperoleh untung Rp 22,6 miliar di tahun 1990. Bahkan pada 12 Juni 1990[14] Bank Duta go public di Bursa Efek Jakarta dengan melepas 20% sahamnya (kode emiten BDTA). Masalah itu baru terbongkar ketika Bank Indonesia pada 4 September 1990 menyingkirkan seluruh direksi bank ini (termasuk Dicky) dari kursinya. Sebulan kemudian, Bank Duta mengumumkan bahwa mereka telah merugi hingga US$ 419 juta akibat ulah Dicky tersebut.[15]

Skandal tersebut jelas mempermalukan rezim Orde Baru, mengingat sebelumnya orang menganggap Bank Duta aman secara politis, bahkan ada yang menyebutnya sebagai bank semi-BUMN.[15] Dicky saat itu juga merupakan menantu Bustanil, orang kepercayaan Soeharto. Konon, sang presiden sangat marah akibat tindakannya, sehingga Bustanil dipaksa untuk menceraikan Dicky dan putrinya, serta selanjutnya sang eks-bankir diberi hukuman selama 8 tahun plus denda Rp 800 miliar.[16] Bustanil kemudian juga didepak dari kursi komisaris utama bank ini.[17] Untuk mencegah krisis tersebut meluas, Soeharto secara rahasia meminta bantuan dua cukong kepercayaannya, Soedono Salim dan Prajogo Pangestu untuk menyuntikkan modal ke Bank Duta, masing-masing sebesar US$ 200 juta dan US$ 220 juta.[18] Secara resmi, dana dari keduanya diumumkan berasal dari "hibah" yayasan-yayasan sang presiden sebagai pemilik bank ini.[15] Akibatnya, walaupun Bank Duta mengalami masalah yang sebenarnya berat, seakan-akan masalah tersebut tidak berdampak sama sekali baik pada bank ini maupun sistem perbankan nasional. Malahan, di akhir 1990, Bank Duta bisa mencatatkan aset Rp 2,47 triliun, pendapatan Rp 129,3 miliar dan keuntungan Rp 4,83 miliar.[19]

Meskipun bisa selamat, namun nasib Bank Duta setelah itu tetap bermasalah. Manajemen yang masih tidak profesional, membuat Bank Duta terus-menerus disuntik kredit likuiditas dari Bank Indonesia, ditambah aliran dana ilegal dari yayasan-yayasan Soeharto sebagai pemiliknya.[20][21] Pada tahun 1995, Soeharto mengizinkan cukong lamanya yang lain untuk menolong Bank Duta: Bob Hasan, yang duduk di kursi komisaris utama.[22] Sama seperti bank-bank lain yang saat itu di bawah kepemilikan/pengelolaannya (Bukopin, Bank Umum Nasional, Bank Muamalat dan Bank Umum Tugu),[23] Bob menggunakan Bank Duta untuk kepentingan pribadi, dengan menyalurkan kredit ke usaha sendiri. Akibatnya, nasib bank ini tidak jauh berbeda dari sebelumnya: terlihat besar di luar, namun keropos di dalam.[24]

Memasuki krisis ekonomi 1998, Bank Duta mengalami kredit macet hingga US$ 704 juta.[24] Mengikuti seruan dari pemerintah, awalnya bank ini akan dimerger dengan Bank Umum Tugu, Bukopin dan Bank Umum Nasional,[9] yang kemudian dipersempit menjadi Bank Duta dan Bank Umum Tugu. Nama bank hasil merger itu akan diberi nama Bank Palapa. Namun, kemudian rencana itu batal dilakukan.[25][26] Pada 13 Maret 1999 bank ini diambilalih oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional sebagai Bank Take Over (BTO), dan kemudian di tanggal 30 Juni 2000 resmi dimerger dengan Bank Danamon.[27]

Rujukan

sunting