Universalisme moral: Perbedaan antara revisi
Hapus pranala ke "Umum": Menghapus pranala balik ke halaman yang dihapus Umum. (TW) |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 1: | Baris 1: | ||
[[Berkas:Plato-raphael.jpg|ka|jmpl|200px|Plato]] |
[[Berkas:Plato-raphael.jpg|ka|jmpl|200px|Plato]] |
||
'''Universalisme moral''' adalah posisi meta-etika bahwa beberapa sistem etika, atau sebuah etika universal, berlaku secara universal, tanpa memandang [[budaya]], ras, [[Alat kelamin|seks]], [[agama]], kebangsaan, orientasi seks, atau faktor pembeda lainnya.<ref name="Isme">A. Mangunhardjana. 1997. ''Isme-Isme dalam Etika dari A sampai Z''. Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 224-227.</ref><ref name="KBBI">Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2000. Jakarta: Balai Pustaka.</ref><ref name="cambridge">Robert Audi. 1995. ''The Cambridge Dictionary of Philosophy''. United Kingdom: Cambridge University Press. Hlm. 822-823.</ref><ref>[http://www.philosophypages.com/dy/u.htm Philosophical Dictionary: Ubermensch-Utilitarianism<!-- Bot generated title -->]</ref> Universalisme moral merupakan lawan dari [[nihilisme moral]] dan [[relativisme]] [[moral]].<ref name="Isme"/> |
'''Universalisme moral''' adalah posisi meta-etika bahwa beberapa sistem etika, atau sebuah etika universal, berlaku secara universal, tanpa memandang [[budaya]], ras, [[Alat kelamin|seks]], [[agama]], kebangsaan, orientasi seks, atau faktor pembeda lainnya.<ref name="Isme">A. Mangunhardjana. 1997. ''Isme-Isme dalam Etika dari A sampai Z''. Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 224-227.</ref><ref name="KBBI">Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2000. Jakarta: Balai Pustaka.</ref><ref name="cambridge">Robert Audi. 1995. ''The Cambridge Dictionary of Philosophy''. United Kingdom: Cambridge University Press. Hlm. 822-823.</ref><ref>[http://www.philosophypages.com/dy/u.htm Philosophical Dictionary: Ubermensch-Utilitarianism<!-- Bot generated title -->]</ref> Universalisme moral merupakan lawan dari [[nihilisme moral]] dan [[relativisme]] [[moral]].<ref name="Isme"/> |
||
Berbagai pemikir telah mendukung suatu bentuk universalisme moral, dari zaman [[Plato]] hingga para pemikir [[modern]].<ref name="Story">{{id}} Bryan Magee. 2001. ''The Story of Philosophy''. Jogjakarta: Kanisius</ref> ''[[Universal Declaration of Human Rights]]'' [[PBB]] merupakan contoh universalisme moral secara praktik.<ref name="kamus">Lorens Bagus. 2000. ''Kamus Filsafat''. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 1134-1140.</ref> |
Berbagai pemikir telah mendukung suatu bentuk universalisme moral, dari zaman [[Plato]] hingga para pemikir [[modern]].<ref name="Story">{{id}} Bryan Magee. 2001. ''The Story of Philosophy''. Jogjakarta: Kanisius</ref> ''[[Universal Declaration of Human Rights]]'' ([[PBB|PBB)]] merupakan contoh universalisme moral secara praktik.<ref name="kamus">Lorens Bagus. 2000. ''Kamus Filsafat''. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 1134-1140.</ref> |
||
== Latar Belakang == |
== Latar Belakang == |
Revisi terkini sejak 23 Februari 2024 01.03
Universalisme moral adalah posisi meta-etika bahwa beberapa sistem etika, atau sebuah etika universal, berlaku secara universal, tanpa memandang budaya, ras, seks, agama, kebangsaan, orientasi seks, atau faktor pembeda lainnya.[1][2][3][4] Universalisme moral merupakan lawan dari nihilisme moral dan relativisme moral.[1] Berbagai pemikir telah mendukung suatu bentuk universalisme moral, dari zaman Plato hingga para pemikir modern.[5] Universal Declaration of Human Rights (PBB) merupakan contoh universalisme moral secara praktik.[6]
Latar Belakang
[sunting | sunting sumber]Sikap manusia yang satu terhadap manusia yang lain bermacam-macam.[1] Ada yang indiferentistis alias acuh tak acuh.[1] Ada yang diskriminatif, membeda-bedakan orang atas dasar status dan jabatan sosial, kekayaan, warna kulit, ras, dan agama.[1] Ada yang partikularistis, memandang diri istimewa, khusus, dibanding dengan manusia lain, cenderung superioristis, menganggap diri lebih tinggi dari manusia lain.[1] Namun, ada juga yang universalistis, memandang semua orang sama martabat dan kedudukannya.[1] Dari sinilah lahir paham universalistis, universalisme.[7]
Asal Kata
[sunting | sunting sumber]Dalam bahasa Latin ditemukan kata universum yang berarti "alam semesta dunia".[1] Dari kata itu, dibentuk kata sifatnya, yaitu "universalis", yang artinya umum, mencakup semua, menyeluruh.[1] Dalam bahasa Inggris, kata Latin universalis menjadi universal.[1] Kata ini dapat berarti konsep umum yang dapat diterapkan pada sisi mana pun.[1] Dari kata universalis dan universal itulah istilah universalisme berasal.[1]
Ajaran
[sunting | sunting sumber]Penganut universalisme moral akan menganggap bahwa setiap manusia memilki tugas dan kewajiban yang sama di manapun ia berada.[1] Karena itu, sebagai manusia, setiap orang dituntut untuk hidup berperilaku dan bertindak sebagai manusia, sehingga ia dapat dianggap hidup baik secara moral.[1]
Sebagai paham etis, universalisme mengakui dan menjunjung tinggi kemanusiaan.[1] Meskipun sebagai sebuah konsep bernada abstrak, bagi mereka yang menganut paham universalisme kemanusiaan merupakan hal nyata.[1] Kemanusiaan pantas dijaga, dilindungi terhadap serangan, dibela terhadap pemerkosaan, dan dikembangkan agar mencapai kesempurnaan dan pemenuhannya.[1] Atas dasar kemanusiaan itu, para penganut universalisme mengakui persamaan kedudukan dan hak-hak manusia.[1]
Penerapan
[sunting | sunting sumber]Kerangka berpikir etis manusia universalis melewati prinsip hadiah dan hukuman.[1] Dalam berbuat, ia bukan melulu berdasarkan pertimbangan untuk mendapat hadiah atau menghindari hukuman, tetapi demi kepentingan dan pekara nilai etis yang ada.[1] Dia juga meninggalkan prinsip resiprositas: berbuat baik agar orang lain balik berbuat baik kepadanya.[1] Dia berbuat baik kepada orang lain memang karena mau berbuat baik dan hal itu baik untuk dijalankan.[1] Begitupun dalam hidupnya di masyarakat, dia sudah tak berpegang pada prinsip penyesuaian diri.[1] Dia bergabung dan aktif dalam masyarakatnya, bukan agar diterima dan dapat memenuhi harapan kelompok masyarakatnya, melainkan memang mau berperan dan dapat ikut mengembangkannya.[1] Untuk dapat bersikap dalam berpikir dan bertindak seperti manusia universal ini, diperlukan diperklukan disiplin dan latihan yang makan usaha dan waktu.[1]
Kritik terhadap Universalisme Moral
[sunting | sunting sumber]Walaupun banyak sisi positif yang tampak pada universalisme moral, tidak menutup kemungkinan juga ada sisi negatif yang ada di dalamnya.[1] Pandangan universalis amat luas, seluas alam raya.[1] Penglihatan universalis amat jauh, sejauh segala persoalan dan permasalahan yang dihadapi manusia.[1] Cita-cita universalis amat tinggi, setinggi pikiran dan impian manusia.[1] Karena itu, orang universalis dapat tergoda untuk lebih sibuk memikirkan yang jauh-jauh, pemikiran besar dan cita-cita yang tinggi, tetapi lupa berbuat nyata.[1]
Orang universalis penuh dengan gagasan yang muluk-muluk, tetapi lupa memikirkan realisasi nyatanya.[1] Orang universalis terpancang pada cita-cita luhur, tetapi lupa mencari cara bagaimana mencapainya.[1] Dengan gaya hidup seperti itu, orang universalis cenderung menjadi pengamat dan bukan pelaku kehidupan.[1] Pemberi saran namun tidak menindaklanjuti, dan penanam cita-cita, tetapi tidak mengusahakan realisasinya.[1]
Pranala luar
[sunting | sunting sumber]- Axel Honneth: Mutual Recognition as a Key for a Universal Ethics Diarsipkan 2004-07-04 di Wayback Machine.
- Bom Mo Chung: Global Village and Universal Ethics Diarsipkan 2005-01-04 di Wayback Machine.
- An article proving universal morality
- The Middle Way as the basis of moral objectivity
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah A. Mangunhardjana. 1997. Isme-Isme dalam Etika dari A sampai Z. Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 224-227.
- ^ Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2000. Jakarta: Balai Pustaka.
- ^ Robert Audi. 1995. The Cambridge Dictionary of Philosophy. United Kingdom: Cambridge University Press. Hlm. 822-823.
- ^ Philosophical Dictionary: Ubermensch-Utilitarianism
- ^ (Indonesia) Bryan Magee. 2001. The Story of Philosophy. Jogjakarta: Kanisius
- ^ Lorens Bagus. 2000. Kamus Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 1134-1140.
- ^ Philosophical Dictionary: Ubermensch-Utilitarianism