Kepemimpinan

Macam-macam kepemimpinan
Revisi sejak 22 Maret 2021 03.32 oleh Tmagira (bicara | kontrib) (Referensi Kemunculan Kepemimpinan)

Kepemimpinan merupakan sebuah bidang riset dan juga suatu keterampilan praktis yang mencakup kemampuan seseorang atau sebuah organisasi untuk "memimpin" atau membimbing orang lain, tim, atau seluruh organisasi. Literatur para spesialis saling beradu pandangan, membandingkan antara pendekatan Timur dan Barat dalam kepemimpinan, dan juga (di Barat sendiri) antara pendekatan Amerika Serikat dengan Eropa. Civitas akademika di A.S. mengartikan kepemimpinan sebagai sebuah proses pengaruh sosial yang di dalamnya seseorang dapat melibatkan bantuan dan dukungan selainnya dalam usaha mencapai suatu tugas bersama.[1][2]

Soekarno, salah satu pemimipin yang berpengaruh di Indonesia.

Kajian tentang kepemimpinan telah menghasilkan berbagai teori yang meliputi sifat-sifat,[3] interaksi situasional, fungsi, perilaku,[4] kekuasaan, visi dan misi, nilai-nilai,[5] kharisma, dan kecerdasan, di antaranya.[2]

Cara alamiah mempelajari kepemimpinan adalah "melakukannya dalam kerja" dengan praktik seperti pemagangan pada seorang seniman ahli, pengrajin, atau praktisi.[6] Dalam hubungan ini sang ahli diharapkan sebagai bagian dari peranya memberikan pengajaran/instruksi.[6]

Pandangan sejarah

Sumber dalam bahasa Sansekerta mengidentifikasi sepuluh macam pemimpin. Karakteristik tegas dari kesepuluh macam pemimpin tersebut dijelaskan dengan contoh-contoh dari sejarah dan mitologi.[7][membutuhkan kutipan untuk dapat dipastikan]

Di bidang kepemimpinan politik, doktrin Cina Mandat Langit mengemukakan kewajiban para raja untuk memerintah dengan adil dan hak rakyat untuk menggulingkan raja-raja yang tampaknya kurang mematuhi perintah langit.[8]

Para pemikir pro-aristokrasi[9] mengemukakan bahwa kepemimpinan bergantung pada hubungan "darah biru" seseorang.[10] Monarki menggunakan pandangan ekstrim dari gagasan yang sama, dan mungkin melakukan pembelaan atas ketidakberpihakannya terhadap sistem aristokrasi dengan menggunakan dalil ilahi (lihat hak ilahi raja-raja). Di lain pihak, yang mengemukakan teori-teori yang cenderung lebih demokratis memberikan contoh para pemimpin meritokratis, seperti marsekal Napoleon yang ternyata meraih keuntungan dari berbagai karier yang menerima berbagai talenta.[11]


Dalam aliran pemikiran otokratis / paternalistik, kaum tradisionalis mengingat peran kepemimpinan pater familias Romawi. Di sisi lain, para feminis, mungkin keberatan dengan model seperti patriarki dan menentang " "bimbingan empati yang selaras secara emosional, responsif, dan suka sama suka, yang kadang-kadang dikaitkan [oleh siapa?] Dengan matriarki".


"Dibandingkan dengan tradisi Romawi, pandangan konfusianisme terhadap "hidup yang benar" lebih sangat ideal dengan pemimpin pria dan pemerintahannya yang baik hati ditopang oleh tradisi kesalehan berbakti."

"Kepemimpinan adalah masalah kecerdasan, kepercayaan, kemanusiaan, keberanian, dan disiplin ... Ketergantungan pada kecerdasan saja menghasilkan pemberontakan. Latihan kemanusiaan saja menghasilkan kelemahan. Fiksasi pada kepercayaan menghasilkan kebodohan. Ketergantungan pada kekuatan keberanian menghasilkan kekerasan. Disiplin yang berlebihan dan ketegasan dalam memberi perintah menghasilkan kekejaman. Ketika seseorang memiliki kelima kebajikan bersama-sama, masing-masing sesuai dengan fungsinya, maka dia bisa menjadi pemimpin." - Jia Lin, dalam komentarnya tentang Sun Tzu, Art of War

The Prince karya Machiavelli, yang ditulis pada awal abad ke-16, memberikan panduan bagi para penguasa ("pangeran" atau "tiran" dalam terminologi Machiavelli) untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan.


Sebelum abad ke-19, konsep kepemimpinan memiliki relevansi yang kurang dari hari ini - masyarakat mengharapkan dan memperoleh penghormatan dan kepatuhan tradisional kepada tuan, raja, ahli-ahli dan tuan-budak. (Perhatikan bahwa Oxford English Dictionary melacak kata "kepemimpinan" dalam bahasa Inggris hanya sejak tahun 1821.) Secara historis, industrialisasi, penentangan terhadap rezim kuno dan penghapusan perbudakan barang secara bertahap berarti bahwa beberapa organisasi yang baru berkembang ( republik negara-bangsa, perusahaan komersial) mengembangkan kebutuhan akan paradigma baru yang dapat digunakan untuk mencirikan politisi terpilih dan pemberi kerja pemberi pekerjaan - dengan demikian pengembangan dan teori gagasan "kepemimpinan". Hubungan fungsional antara pemimpin dan pengikut mungkin tetap ada, tetapi terminologi yang dapat diterima (mungkin yang halus) telah berubah.


Dari abad ke-19 pun, elaborasi pemikiran anarkis mempertanyakan seluruh konsep kepemimpinan. Salah satu tanggapan terhadap penolakan élitisme ini datang dengan Leninisme - Lenin (1870-1924) menuntut sekelompok elit kader yang disiplin untuk bertindak sebagai pelopor revolusi sosialis, dengan mewujudkan kediktatoran proletariat.


Pandangan historis lain tentang kepemimpinan telah membahas perbedaan yang tampak antara kepemimpinan sekuler dan religius. Doktrin Caesaro-papisme telah berulang dan memiliki pengkritiknya selama beberapa abad. Pemikiran Kristen tentang kepemimpinan sering kali menekankan penatalayanan sumber daya yang disediakan ilahi — manusia dan materi — dan penerapannya sesuai dengan rencana Ilahi. Bandingkan kepemimpinan yang melayani.

Untuk melihat pandangan yang lebih umum tentang kepemimpinan dalam politik dapat dibandingkan dengan konsep negarawan.

Peranan kepemimpinan

Tiap organisasi yang memerlukan kerjasama antar manusia dan menyadari bahwa masalah manusia yang utama adalah masalah kepemimpinan. Kita melihat perkembangan dari kepemimpinan pra ilmiah kepada kepemimpinan yang ilmiah. Dalam tingkatan ilmiah kepemimpinan itu disandarkan kepada pengalaman intuisi, dan kecakapan praktis. Kepemimpinan itu dipandang sebagai pembawaan seseorang sebagai anugerah Tuhan. Karena itu dicarilah orang yang mempunyai sifat-sifat istimewa yang dipandang sebagai syarat suksesnya seorang pemimpin. Dalam tingkatan ilmiyah kepemimpinan dipandang sebagai suatu fungsi, bukan sebagai kedudukan atau pembawaan pribadi seseorang. Maka diadakanlah suatu analisis tentan gunsur-unsur dan fungsi yang dapat menjelaskan kepada kita, syarat-syarat apa yang diperlukan agar pemimpin dapat bekerja secara efektif dalam situasi yang berbeda-beda. Pandangan baru ini membawa pembahasan besar. Cara bekerja dan sikap seorang pemimpin yang dipelajari. Konsepsi baru tentang kepemimpinan melahirkan peranan baru yang harus dimainkan oleh seorang pemimpin. Titik berat beralihkan dari pemimpin sebagai orang yang membuat rencana, berpikir dan mengambil tanggung jawab untuk kelompok serta memberikan arah kepada orang-orang lain. Kepada anggapan, bahwa pemimpin itu pada tingkatan pertama adalah pelatih dan koordinator bagi kelompoknya. Fungsi yang utama adalah membantu kelompok untuk belajar memutuskan dan bekerja secara lebih efisien dalam peranannya sebagai pelatih seorang pemimpin dapat memberikan bantuan-bantuan yang khas. Yaitu:

  • Pemimpin membantu akan terciptanya suatu iklim sosial yang baik.
  • Pemimpin membantu kelompok dalam menetapkan prosedur-prosedur kerja.
  • Pemimpim membantu kelompok untuk mengorganisasi diri.
  • Pemimpin bertanggung jawab dalam mengambil keputusan sama dengan kelompok.
  • Pemimpin memberi kesempatan kepada kelompok untuk belajar dari pengalaman.

Kepemimpinan Yang Efektif

Barangkali pandangan pesimistis tentang keahlian-keahlian kepemimpinan ini telah menyebabkan munculnya ratusan buku yang membahas kepemimpinan.[12] Terdapat nasihat tentang siapa yang harus ditiru (Attila the Hun), apa yang harus diraih (kedamaian jiwa), apa yang harus dipelajari (kegagalan), apa yang harus diperjuangkan (karisma), perlu tidaknya pendelegasian (kadang-kadang), perlu tidaknya berkolaborasi (mungkin), pemimpin-pemimpin rahasia Amerika (wanita), kualitas-kualitas pribadi dari kepemimpinan (integritas), bagaimana meraih kredibilitas (bisa dipercaya), bagaimana menjadi pemimipin yang otentik (temukan pemimpin dalam diri anda), dan sembilan hukum alam kepemimpinan (jangan tanya).[12] Terdapat lebih dari 3000 buku yang judulnya mengandung kata pemimpin (leader).[12] Bagaimana menjadi pemimpin yang efektif tidak perlu diulas oleh sebuah buku.[12] Guru manajeman terkenal, Peter Drucker, menjawabnya hanya dengan beberapa kalimat: "fondasi dari kepemimpinan yang efektif adalah berpikir berdasar misi organisasi, mendefinisikannya dan menegakkannya, secara jelas dan nyata.[12] Salah satu guru kepemimpinan adalah John Maxwell dengan bukunya "21 Laws Of Leadership."

Kepemimpinan Karismatik

Max Weber, seorang sosiolog, adalah ilmuan pertama yang membahas kepemimpinan karismatik.[13] Lebih dari seabad yang lalu, ia mendefinisikan karisma (yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti "anugerah") sebagai "suatu sifat tertentu dari seseorang, yang membedakan mereka dari orang kebanyakan dan biasanya dipandang sebagai kemampuan atau kualitas supernatural, manusia super, atau paling tidak daya-daya istimewa.[13] Kemampuan-kemampuan ini tidak dimiliki oleh orang biasa, tetapi dianggap sebagai kekuatan yang bersumber dari yang Ilahi, dan berdasarkan hal ini seseorang kemudian dianggap sebagai seorang pemimpin.[13]

Kemunculan Kepemimpinan

Dalam kemunculan kepemimpinan, banyak karakteristik kepribadian yang ditemukan.[14]  Daftar ini mencakup: ketegasan, keaslian, faktor kepribadian Lima Besar, urutan kelahiran, kekuatan karakter, dominasi, kecerdasan emosional, identitas gender, kecerdasan, narsisme, efikasi diri untuk kepemimpinan, pemantauan diri dan motivasi sosial, dan masih banyak lagi. Kemunculan kepemimpinan adalah gagasan bahwa orang yang lahir dengan karakteristik tertentu akan menjadi pemimpin, dan mereka yang tidak memiliki karakteristik tersebut tidak menjadi pemimpin. Orang-orang hebat seperti Mahatma Gandhi, Abraham Lincoln, dan Nelson Mandela semuanya memiliki sifat-sifat yang tidak dimiliki orang biasa. Ini termasuk orang-orang yang memilih untuk berpartisipasi dalam peran kepemimpinan, dibandingkan dengan mereka yang tidak. Penelitian menunjukkan bahwa hingga 30% kemunculan pemimpin memiliki dasar genetik.[15] Tidak ada penelitian terkini yang menunjukkan bahwa ada “gen kepemimpinan”, tetapi kita mewarisi ciri-ciri tertentu yang mungkin mempengaruhi keputusan kita untuk mencari kepemimpinan.[16]Baik bukti anekdot maupun empiris mendukung hubungan yang stabil antara sifat-sifat tertentu dan perilaku kepemimpinan. Menggunakan sampel internasional yang besar, peneliti menemukan bahwa ada tiga faktor yang memotivasi pemimpin; identitas afektif (kenikmatan memimpin), non-kalkulatif (memimpin mendapatkan penguatan), dan sosial-normatif (rasa kewajiban).[17]

Ketegasan

Hubungan antara ketegasan dan kemunculan kepemimpinan bersifat melengkung; individu yang memiliki sifat asertif yang sangat rendah atau sangat tinggi cenderung tidak diidentifikasi sebagai pemimpin.[18]

Keaslian

Individu yang lebih sadar akan kualitas kepribadian mereka, termasuk nilai dan keyakinan mereka, dan tidak bias saat memproses informasi, lebih cenderung diterima sebagai pemimpin.

Faktor kepribadian Lima Besar

Mereka yang muncul sebagai pemimpin cenderung lebih (urutan dalam kekuatan hubungan dengan munculnya kepemimpinan): ekstrover, teliti, stabil secara emosional, dan terbuka untuk pengalaman, walaupun kecenderungan ini lebih kuat dalam penelitian laboratorium kelompok tanpa pemimpin. Sedangkan persetujuan, faktor terakhir dari Lima Besar ciri kepribadian, tampaknya tidak memainkan peran yang berarti dalam munculnya kepemimpinan.[19]

Urutan lahir

Mereka yang lahir pertama dalam keluarga dan anak tunggal dihipotesiskan lebih terdorong untuk mencari kepemimpinan dan kendali dalam lingkungan sosial. Anak-anak kelahiran tengah cenderung menerima peran pengikut dalam kelompok, dan mereka yang lahir belakangan dianggap lebih pemberontak dan kreatif.[14]

Kekuatan karakter

Mereka yang mencari posisi kepemimpinan dalam organisasi militer telah mendapatkan skor tinggi pada sejumlah indikator kekuatan karakter, termasuk kejujuran, harapan, keberanian, industri, dan kerja tim.[20]

Dominasi

Individu dengan kepribadian dominan - mereka menggambarkan diri mereka sebagai orang yang memiliki keinginan tinggi untuk mengontrol lingkungan mereka dan mempengaruhi orang lain, dan cenderung mengekspresikan pendapat mereka dengan cara yang kuat - lebih cenderung bertindak sebagai pemimpin dalam situasi kelompok kecil.

Kecerdasan emosional

Individu dengan kecerdasan emosional yang tinggi memiliki kemampuan yang lebih untuk memahami dan berhubungan dengan orang lain. Mereka memiliki keterampilan dalam mengkomunikasikan dan memecahkan kode emosi serta bersikap bijaksana dan efektif dalam menghadapi orang lain. Orang-orang seperti itu mengomunikasikan gagasan mereka dengan kuat, lebih mampu membaca politik suatu dari suatu situasi, cenderung tidak kehilangan kendali atas emosi mereka, cenderung tidak marah atau kritis secara tidak tepat, dan sebagai konsekuensinya lebih cenderung muncul sebagai pemimpin.[21]

Intelijen

Individu dengan kecerdasan yang lebih tinggi menunjukkan penilaian yang superior, keterampilan verbal yang lebih tinggi (baik tertulis maupun lisan), lebih cepat memahami pengetahuan, dan cenderung muncul sebagai pemimpin. Korelasi antara IQ dan munculnya kepemimpinan ditemukan antara 0,25 dan 0,30. Namun, kelompok umumnya lebih memilih pemimpin yang tidak melebihi kecakapan kecerdasan rata-rata anggota, karena mereka takut bahwa kecerdasan yang tinggi dapat tidak berarti sama dalam komunikasi, kepercayaan, kepentingan dan nilai-nilai.[22]

Kepercayaan diri untuk memimpin

Keyakinan dalam kemampuan seseorang untuk memimpin dikaitkan dengan peningkatan kesediaan seseorang untuk menerima peran kepemimpinan dan kesuksesan dalam peran itu.[23]

Pemantauan diri

Pribadi dengan pemantauan diri yang tinggi lebih mungkin muncul sebagai pemimpin kelompok dibanding mereka dengan pemantauan diri yang rendah, karena mereka lebih peduli dengan peningkatan status dan lebih cenderung menyesuaikan tindakan mereka agar sesuai dengan tuntutan situasi.

Motivasi sosial

Individu yang berorientasi pada kesuksesan dan afiliasi, seperti yang dinilai dengan ukuran proyektif, lebih aktif dalam pengaturan pemecahan masalah kelompok dan lebih mungkin untuk dipilih ke posisi kepemimpinan dalam kelompok tersebut.[24]

Narsisme, keangkuhan, dan sifat negatif lainnya

Sejumlah sifat negatif kepemimpinan juga telah dipelajari. Individu yang mengambil peran kepemimpinan dalam situasi yang bergejolak, seperti kelompok yang menghadapi ancaman atau yang statusnya ditentukan oleh persaingan yang ketat antar rival dalam kelompok, cenderung narsistik: sombong, egois, bermusuhan, dan terlalu percaya diri.[25]

Pemimpin yang absen

Penelitian yang ada telah menunjukkan bahwa pemimpin yang absen - mereka yang naik ke kekuasaan, tetapi tidak karena keterampilan mereka, dan tidak terlalu terlibat dengan peran mereka - sebenarnya lebih buruk daripada pemimpin yang merusak, karena butuh waktu lebih lama untuk menunjukkan kesalahan mereka.

Gaya Kepemimpinan

Gaya kepemimpinan adalah gaya pemimpin dalam memberikan arahan, melaksanakan rencana, dan memotivasi orang. Itu adalah hasil filosofi, kepribadian, dan pengalaman pemimpin. Spesialis retorika juga telah mengembangkan model untuk memahami kepemimpinan (Robert Hariman, Political Style, Philippe-Joseph Salazar, L'Hyperpolitique. Technologies politiques De La Domination).

Situasi yang berbeda membutuhkan gaya kepemimpinan yang berbeda. Dalam keadaan darurat ketika hanya ada sedikit waktu untuk menyatukan kesepakatan dan di mana otoritas yang ditunjuk memiliki pengalaman atau keahlian yang jauh lebih banyak daripada anggota tim lainnya, gaya kepemimpinan otokratis mungkin paling efektif; namun, dalam tim yang sangat termotivasi dan selaras dengan tingkat keahlian yang homogen, gaya yang lebih demokratis atau Laissez-faire mungkin lebih efektif. Gaya yang diadopsi harus menjadi salah satu yang paling efektif mencapai tujuan kelompok sambil menyeimbangkan kepentingan masing-masing anggotanya. Bidang di mana gaya kepemimpinan mendapat perhatian kuat adalah bidang ilmu militer, baru-baru ini mengungkapkan pandangan kepemimpinan yang holistik dan terintegrasi, termasuk bagaimana kehadiran fisik seorang pemimpin menentukan bagaimana orang lain memandang pemimpin itu. Faktor kehadiran fisik adalah bantalan militer, kebugaran fisik, kepercayaan diri, dan ketahanan. Kapasitas intelektual pemimpin membantu membuat konsep solusi dan memperoleh pengetahuan untuk melakukan pekerjaan itu. Kemampuan konseptual seorang pemimpin menerapkan ketangkasan, penilaian, inovasi, kebijaksanaan interpersonal, dan pengetahuan domain. Pengetahuan domain untuk para pemimpin mencakup pengetahuan taktis dan teknis serta kesadaran budaya dan geopolitik.

Otokratis atau otoriter

Di bawah gaya kepemimpinan otokratis, semua kekuatan pengambilan keputusan dipusatkan di pemimpin, seperti halnya diktator.

Pemimpin otokratis tidak meminta atau menerima saran atau inisiatif dari bawahan. Manajemen otokrasi telah berhasil karena memberikan motivasi yang kuat kepada manajer. Ini memungkinkan pengambilan keputusan yang cepat, karena hanya satu orang yang memutuskan untuk seluruh kelompok dan menyimpan setiap keputusan untuk dirinya sendiri sampai dia merasa perlu untuk dibagikan dengan anggota kelompok lainnya.

Partisipatif atau demokratis

Gaya kepemimpinan demokratis terdiri dari pemimpin yang berbagi kemampuan pengambilan keputusan dengan anggota kelompok dengan mempromosikan kepentingan anggota kelompok dan dengan mempraktikkan kesetaraan sosial. Ini juga disebut kepemimpinan bersama.

Laissez-faire atau Free-rein Leadership

Dalam kepemimpinan Laissez-faire atau kebebasan, pengambilan keputusan diteruskan ke sub-ordinat. Gaya kepemimpinan ini dikenal dengan “laissez faire” yang artinya tidak ada campur tangan dalam urusan orang lain. (Frasa laissez-faire adalah bahasa Prancis dan secara harfiah berarti "biarkan mereka melakukan"). Para bawahan diberi hak dan kekuasaan penuh untuk membuat keputusan guna menetapkan tujuan dan mengatasi masalah atau rintangan.

Para pengikut diberikan kemandirian dan kebebasan yang tinggi untuk merumuskan tujuan dan cara mereka sendiri untuk mencapainya.

Berorientasi pada tugas dan berorientasi pada hubungan

Artikel utama: Kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan berorientasi pada hubungan

Kepemimpinan berorientasi tugas adalah gaya di mana pemimpin difokuskan pada tugas-tugas yang perlu dilakukan untuk memenuhi tujuan produksi tertentu. Pemimpin yang berorientasi pada tugas umumnya lebih peduli dengan menghasilkan solusi langkah demi langkah untuk masalah atau tujuan tertentu, dengan ketat memastikan tenggat waktu ini terpenuhi, hasil dan mencapai hasil yang ditargetkan.

Kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan adalah gaya yang kontras di mana pemimpin lebih fokus pada hubungan di antara kelompok dan umumnya lebih peduli dengan kesejahteraan dan kepuasan anggota kelompok secara keseluruhan. Pemimpin yang berorientasi pada hubungan menekankan komunikasi dalam kelompok, menunjukkan kepercayaan dan kepercayaan pada anggota kelompok, dan menunjukkan penghargaan atas pekerjaan yang telah dilakukan.

Pemimpin yang berorientasi pada tugas biasanya kurang peduli dengan gagasan melayani anggota kelompok, dan lebih peduli dengan memperoleh solusi tertentu untuk memenuhi tujuan produksi. Untuk alasan ini, mereka biasanya dapat memastikan bahwa tenggat waktu terpenuhi, namun kesejahteraan anggota kelompok mereka mungkin terganggu. Para pemimpin ini memiliki fokus mutlak pada tujuan dan tugas-tugas yang dipotong untuk setiap anggota. Pemimpin yang berorientasi pada hubungan difokuskan pada pengembangan tim dan hubungan di dalamnya. Hal positif dari memiliki lingkungan seperti ini adalah anggota tim lebih termotivasi dan memiliki dukungan. Namun, penekanan pada hubungan sebagai lawan menyelesaikan pekerjaan mungkin membuat produktivitas menurun.

Paternalisme

Artikel utama: Paternalisme

Gaya kepemimpinan paternalisme sering kali mencerminkan pola pikir figur ayah. Struktur tim diatur secara hierarkis di mana pemimpin dilihat di atas pengikut. Pemimpin juga memberikan arahan profesional dan pribadi dalam kehidupan anggota. Seringkali ada batasan pada pilihan yang dapat dipilih anggota karena arahan berat yang diberikan oleh pemimpin. Istilah paternalisme berasal dari bahasa Latin yang berarti "ayah". Pemimpinnya paling sering adalah laki-laki. Gaya kepemimpinan ini sering ditemukan di Rusia, Afrika, dan Masyarakat Asia Pasifik.

Kepemimpinan yang melayani

Dengan transformasi menjadi masyarakat pengetahuan, konsep kepemimpinan yang melayani menjadi lebih populer, terutama melalui gaya manajemen teknologi modern seperti Agile. Dalam gaya ini, kepemimpinan dieksternalisasi dari pemimpin yang berfungsi sebagai penjaga metodologi dan "pelayan" atau penyedia layanan bagi tim yang dipimpinnya. Kohesi dan arahan bersama dari tim ditentukan oleh budaya yang sama, tujuan bersama dan terkadang metodologi tertentu. Gaya ini berbeda dari laissez-faire karena pemimpinnya terus-menerus bekerja untuk mencapai tujuan bersama sebagai sebuah tim, tetapi tanpa memberikan arahan eksplisit pada tugas.

Perbedaan kepemimpinan dipengaruhi oleh gender

Faktor lain yang mempengaruhi gaya kepemimpinan adalah apakah orang tersebut laki-laki atau perempuan. Ketika pria dan wanita berkumpul dalam kelompok, mereka cenderung mengadopsi gaya kepemimpinan yang berbeda. Pria umumnya mengambil gaya kepemimpinan agen. Mereka berorientasi pada tugas, aktif, fokus pada keputusan, mandiri dan berorientasi pada tujuan. Wanita, di sisi lain, umumnya lebih komunal ketika mereka mengambil posisi kepemimpinan; mereka berusaha untuk membantu orang lain, hangat dalam hubungan dengan orang lain, memahami, dan memperhatikan perasaan orang lain. Secara umum, ketika perempuan diminta untuk menggambarkan diri mereka kepada orang lain dalam kelompok yang baru dibentuk, mereka menekankan kualitas komunal mereka yang terbuka, adil, bertanggung jawab, dan menyenangkan. Mereka memberi nasihat, menawarkan jaminan, dan mengelola konflik dalam upaya memelihara hubungan positif di antara anggota kelompok. Wanita terhubung secara lebih positif dengan anggota kelompok dengan tersenyum, menjaga kontak mata, dan menanggapi komentar orang lain dengan bijaksana. Pria, sebaliknya, mendeskripsikan diri mereka sebagai orang yang berpengaruh, kuat, dan ahli dalam tugas yang perlu diselesaikan. Mereka cenderung lebih fokus pada memulai struktur dalam grup, menetapkan standar dan tujuan, mengidentifikasi peran, menentukan tanggung jawab dan prosedur operasi standar, mengusulkan solusi untuk masalah, memantau kepatuhan terhadap prosedur, dan terakhir, menekankan perlunya produktivitas dan efisiensi dalam pekerjaan yang perlu dilakukan. Sebagai pemimpin, pria terutama berorientasi pada tugas, tetapi wanita cenderung berorientasi pada tugas dan hubungan. Namun, penting untuk dicatat bahwa perbedaan jenis kelamin ini hanyalah kecenderungan, dan tidak memanifestasikan dirinya dalam diri pria dan wanita di semua kelompok dan situasi. Meta-analisis menunjukkan bahwa orang mengasosiasikan maskulinitas dan agensi lebih kuat dengan kepemimpinan daripada feminitas dan persekutuan. Stereotip semacam itu mungkin berdampak pada evaluasi kepemimpinan pria dan wanita.

Hambatan bagi pemimpin wanita non-barat

Banyak alasan yang dapat berkontribusi pada hambatan yang secara khusus mempengaruhi masuknya perempuan ke dalam kepemimpinan. Hambatan ini juga berubah sesuai dengan budaya yang berbeda. Terlepas dari peningkatan jumlah pemimpin perempuan di dunia, hanya sebagian kecil yang berasal dari budaya non-kebarat-baratan. Penting untuk dicatat bahwa meskipun penghalang yang tercantum di bawah ini mungkin lebih parah dalam budaya non-barat, itu tidak berarti bahwa budaya kebarat-baratan tidak memiliki penghalang ini juga. Ini bertujuan untuk membandingkan perbedaan antara keduanya.

Penelitian dan Literatur

Meskipun ada banyak penelitian yang dilakukan tentang kepemimpinan bagi perempuan dalam dekade terakhir, sangat sedikit penelitian yang dilakukan untuk perempuan dalam budaya paternalistik. Literatur dan penelitian yang dilakukan agar perempuan muncul ke dalam masyarakat yang lebih memilih laki-laki masih kurang. Hal ini pada akhirnya menghalangi perempuan untuk mengetahui bagaimana mencapai tujuan kepemimpinan individu mereka, dan gagal untuk mendidik rekan laki-laki dalam perbedaan ini.

Cuti Bersalin

Penelitian telah menunjukkan pentingnya cuti melahirkan yang dibayar lebih lama dan dampak positifnya terhadap kesehatan mental karyawan perempuan dan kembali bekerja. Di Swedia, ditunjukkan bahwa peningkatan fleksibilitas waktu bagi ibu untuk kembali bekerja, menurunkan kemungkinan laporan kesehatan mental yang buruk. Dalam budaya non-barat yang sebagian besar mengikuti paternalisme, kurangnya pengetahuan tentang manfaat cuti melahirkan berdampak pada dukungan yang diberikan kepada perempuan selama masa penting dalam hidup mereka.

Masyarakat dan Hukum

Negara-negara tertentu yang menganut paternalisme, seperti India, masih membiarkan perempuan diperlakukan tidak adil. Perkawinan anak dan hukuman ringan bagi pelaku kejahatan terhadap perempuan, membentuk pandangan masyarakat tentang bagaimana perempuan seharusnya diperlakukan. Hal ini dapat mencegah wanita merasa nyaman untuk berbicara baik dalam lingkungan pribadi maupun profesional.

Langit-langit Kaca dan Tebing Kaca

Wanita yang bekerja dalam budaya atau industri yang sangat paternalistik (misalnya industri minyak atau teknik), sering menghadapi keterbatasan dalam karir mereka yang mencegah mereka untuk naik lebih jauh. Pergaulan ini sering kali disebabkan oleh mentalitas bahwa hanya laki-laki yang memiliki ciri kepemimpinan. Istilah tebing kaca mengacu pada proyek yang tidak diinginkan yang sering diberikan kepada perempuan karena memiliki peningkatan risiko kegagalan. Proyek yang tidak diinginkan ini diberikan kepada karyawan wanita di mana mereka lebih cenderung gagal dan meninggalkan organisasi.

Performa

Di masa lalu, beberapa peneliti berpendapat bahwa pengaruh sebenarnya dari pemimpin pada hasil organisasi terlalu dibesar-besarkan dan diromantisasi sebagai hasil dari atribusi bias tentang pemimpin (Meindl & Ehrlich, 1987). Terlepas dari pernyataan ini, bagaimanapun, sebagian besar diakui dan diterima oleh praktisi dan peneliti bahwa kepemimpinan itu penting, dan penelitian mendukung gagasan bahwa pemimpin memang berkontribusi pada hasil organisasi utama (Day & Lord, 1988; Kaiser, Hogan, & Craig, 2008) . Untuk memfasilitasi kinerja yang sukses, penting untuk memahami dan mengukur kinerja kepemimpinan secara akurat.

Prestasi kerja umumnya mengacu pada perilaku yang diharapkan memberikan kontribusi bagi keberhasilan organisasi (Campbell, 1990). Campbell mengidentifikasi sejumlah jenis dimensi kinerja; kepemimpinan adalah salah satu dimensi yang dia identifikasi. Tidak ada definisi keseluruhan yang konsisten dari kinerja kepemimpinan (Yukl, 2006). Banyak konseptualisasi yang berbeda sering disatukan di bawah payung kinerja kepemimpinan, termasuk hasil seperti efektivitas pemimpin, kemajuan pemimpin, dan kemunculan pemimpin (Kaiser et al., 2008). Misalnya, kinerja kepemimpinan dapat merujuk pada keberhasilan karier pemimpin individu, kinerja kelompok atau organisasi, atau bahkan kemunculan pemimpin. Masing-masing ukuran ini dapat dianggap berbeda secara konseptual. Meskipun aspek-aspek ini mungkin terkait, namun hasilnya berbeda dan pencantumannya harus bergantung pada fokus terapan atau penelitian.

"Cara lain untuk mengkonseptualisasikan kinerja pemimpin adalah dengan fokus pada hasil dari pengikut, kelompok, tim, unit, atau organisasi pemimpin. Dalam mengevaluasi jenis kinerja pemimpin ini, dua strategi umum biasanya digunakan. Yang pertama bergantung pada persepsi subjektif dari pemimpin tersebut. kinerja pemimpin dari bawahan, atasan, atau kadang-kadang rekan kerja atau pihak lain. Jenis ukuran efektivitas lainnya adalah indikator yang lebih obyektif dari kinerja pengikut atau unit, seperti ukuran produktivitas, pencapaian tujuan, angka penjualan, atau kinerja keuangan unit (Bass & Riggio , 2006, hlm. 47)."

Seorang pemimpin beracun adalah seseorang yang memiliki tanggung jawab atas sekelompok orang atau organisasi, dan yang menyalahgunakan hubungan pemimpin-pengikut dengan meninggalkan kelompok atau organisasi dalam kondisi yang lebih buruk daripada ketika dia bergabung.

Sifat

Kebanyakan teori di abad ke-20 menyatakan bahwa pemimpin besar dilahirkan, bukan dibuat. Studi terkini menunjukkan bahwa kepemimpinan jauh lebih kompleks dan tidak dapat diringkas menjadi beberapa ciri utama individu. Pengamatan dan studi bertahun-tahun telah menunjukkan bahwa satu sifat atau sekumpulan sifat tidak membuat seorang pemimpin yang luar biasa. Apa yang dapat diperoleh para sarjana adalah bahwa ciri-ciri kepemimpinan individu tidak berubah dari satu situasi ke situasi lain; ciri-ciri tersebut termasuk kecerdasan, ketegasan, atau daya tarik fisik. Namun, setiap ciri utama dapat diterapkan pada situasi secara berbeda, tergantung pada situasinya. Berikut ini adalah ringkasan dari ciri-ciri kepemimpinan utama yang ditemukan dalam penelitian oleh Jon P. Howell, profesor bisnis di New Mexico State University dan penulis buku Snapshots of Great Leadership.

Penentuan dan dorongan mencakup sifat-sifat seperti inisiatif, energi, ketegasan, ketekunan, dan terkadang dominasi. Orang-orang dengan sifat-sifat ini seringkali cenderung mengejar tujuan mereka dengan sepenuh hati, bekerja berjam-jam, ambisius, dan seringkali sangat kompetitif dengan orang lain. Kapasitas kognitif meliputi kecerdasan, kemampuan analitis dan verbal, fleksibilitas perilaku, dan penilaian yang baik. Individu dengan ciri-ciri ini mampu merumuskan solusi untuk masalah yang sulit, bekerja dengan baik di bawah tekanan atau tenggat waktu, beradaptasi dengan situasi yang berubah, dan membuat rencana yang matang untuk masa depan. Howell memberikan contoh Steve Jobs dan Abraham Lincoln yang mencakup sifat determinasi dan dorongan serta memiliki kapasitas kognitif, yang ditunjukkan oleh kemampuan mereka untuk beradaptasi dengan lingkungan mereka yang terus berubah.

Kepercayaan diri mencakup sifat harga diri yang tinggi, ketegasan, stabilitas emosi, dan kepercayaan diri. Individu yang percaya diri tidak meragukan diri sendiri atau kemampuan dan keputusan mereka; mereka juga memiliki kemampuan untuk memproyeksikan kepercayaan diri ini kepada orang lain, membangun kepercayaan dan komitmen mereka. Integritas ditunjukkan pada individu yang jujur, dapat dipercaya, berprinsip, konsisten, dapat diandalkan, setia, dan tidak menipu. Pemimpin berintegritas sering berbagi nilai-nilai ini dengan pengikut mereka, karena sifat ini terutama merupakan masalah etika. Sering dikatakan bahwa para pemimpin ini menepati janji mereka dan jujur ​​serta terbuka dengan kelompok mereka. Sosiabilitas menggambarkan individu yang ramah, ekstrover, bijaksana, fleksibel, dan kompeten secara interpersonal. Sifat seperti itu memungkinkan pemimpin diterima dengan baik oleh publik, menggunakan langkah-langkah diplomatik untuk menyelesaikan masalah, serta memiliki kemampuan untuk menyesuaikan kepribadian sosialnya dengan situasi yang dihadapi. Menurut Howell, Bunda Teresa adalah contoh luar biasa yang mewujudkan integritas, ketegasan, dan kemampuan sosial dalam hubungan diplomatiknya dengan para pemimpin dunia.

Model ontologis-fenomenologis

Salah satu definisi yang lebih baru tentang kepemimpinan berasal dari Werner Erhard, Michael C. Jensen, Steve Zaffron, dan Kari Granger yang menggambarkan kepemimpinan sebagai "latihan dalam bahasa yang menghasilkan realisasi masa depan yang tidak akan terjadi bagaimanapun juga, yang masa depan memenuhi (atau berkontribusi untuk memenuhi) keprihatinan pihak terkait ... ". Definisi ini memastikan bahwa kepemimpinan berbicara tentang masa depan dan mencakup perhatian mendasar dari pihak terkait. Ini berbeda dengan berhubungan dengan pihak terkait sebagai "pengikut" dan memanggil gambar pemimpin tunggal dengan diikuti orang lain. Sebaliknya, masa depan yang memenuhi keprihatinan mendasar dari pihak terkait menunjukkan bahwa masa depan yang tidak akan terjadi bukanlah "gagasan pemimpin", melainkan apa yang muncul dari menggali lebih dalam untuk menemukan keprihatinan mendasar dari mereka yang dipengaruhi oleh kepemimpinan.


Beberapa pemimpin hebat mencakup semua sifat yang disebutkan di atas, tetapi banyak yang memiliki kemampuan untuk menerapkan beberapa di antaranya agar berhasil sebagai pelopor organisasi atau situasi mereka.

Lihat pula

Referensi

Kutipan

  1. ^ Chemers, M. (1997). An integrative theory of leadership. Lawrence Erlbaum Associates, Publishers. ISBN 978-0-8058-2679-1. 
  2. ^ a b Chin, Roger (2015). "Examining teamwork and leadership in the fields of public administration, leadership, and management". Team Performance Management. 21 (3/4): 199–216. doi:10.1108/TPM-07-2014-0037. 
  3. ^ Locke et al. 1991
  4. ^ Goldsmith Marshall, "Leaders Make Values Visible", 2016
  5. ^ Richards & Engle, 1986, p. 206
  6. ^ a b John Adair, "Cara Menumbuhkan Pemimpin", Gramedia Pustaka Utama, 9792234276, 9789792234275.
  7. ^ KSEEB. Sanskrit Text Book -9th Grade. Government of Karnataka, India. 
  8. ^ Guo, Xuezhi (2019). "Traditional Political Thought and Imperial Legacy". The Politics of the Core Leader in China: Culture, Institution, Legitimacy, and Power. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 139. ISBN 9781108480499. Diakses tanggal 17 May 2019. The Mandate of Heaven implies that the legitimacy of political leadership as well as its leading figures come from not only their political power derived from their positions and de facto dominance in the leadership but also their roles in bringing voluntary compliance from the high-ranking leaders and the population at large. 
  9. ^ Contohnya: Gupta, Ashok Kumar (1991). Emerging Pattern of Political Leadership: A Case Study of Punjab. New Delhi: Mittal Publications. hlm. 12. ISBN 9788170992561. Diakses tanggal 17 May 2019. The main theme of [José Ortega y Gasset's] theory of elite is that 'when the masses in a country believe that tbey can do without aristocracy, the nation inevitably declines. In their disillusionment the masses again turn to the new leadership and a new aristocracy emerges.' 
  10. ^ Marstiller, James K.; Joerding Fickeler, Jennifer (2005). The Power to Innovate: Rewiring the Minds of Individuals and Organizations. Bloomington, Indiana: AuthorHouse. hlm. 169. ISBN 9781420835106. Diakses tanggal 17 May 2019. Throughout the ages it was believed that leaders were born, that the ability to lead was somehow inherited through the blood. [...] In spite of many examples throughout history of blue-blood leadership ineptitude, birthright and competency became intertwined in the human psyche. This perception remained until the 20th century. 
  11. ^ Cano, PE, Librado F. (2010). Transformation Of An Individual Family Community Nation And The World. Trafford Publishing. hlm. 134. ISBN 9781426947667. 
  12. ^ a b c d e Jack Trout, "Big Brands Big Trouble", Esensi, 9796884666, 9789796884667.
  13. ^ a b c Perilaku Organisasi 2(ed. 12) HVS, "Perilaku Organisasi 2 (ed. 12) HVS", Penerbit Salemba, 9796914603, 9789796914609.
  14. ^ a b Forsyth, Donelson R. "Group Dynamics". Encyclopedia of Social Psychology. 2455 Teller Road,  Thousand Oaks  California  91320  United States: SAGE Publications, Inc. ISBN 978-1-4129-1670-7. 
  15. ^ Aamodt, Michael G. "Letters of Recommendation". Encyclopedia of Industrial and Organizational Psychology. 2455 Teller Road,  Thousand Oaks  California  91320  United States: SAGE Publications, Inc. ISBN 978-1-4129-2470-2. 
  16. ^ 1966-, Law, Jonathan Randolph,. Rising to the occasion : foundations, processes, and outcomes of emergent leadership. OCLC 56566531. 
  17. ^ Chan, Kim-Yin; Drasgow, Fritz (2001). "Toward a theory of individual differences and leadership: Understanding the motivation to lead". Journal of Applied Psychology. 86 (3): 481–498. doi:10.1037/0021-9010.86.3.481. ISSN 1939-1854. 
  18. ^ Ames, Daniel R.; Flynn, Francis J. (2007). "What breaks a leader: The curvilinear relation between assertiveness and leadership". Journal of Personality and Social Psychology. 92 (2): 307–324. doi:10.1037/0022-3514.92.2.307. ISSN 1939-1315. 
  19. ^ Judge, Timothy A.; Bono, Joyce E.; Ilies, Remus; Gerhardt, Megan W. (2002). "Personality and leadership: A qualitative and quantitative review". Journal of Applied Psychology. 87 (4): 765–780. doi:10.1037/0021-9010.87.4.765. ISSN 1939-1854. 
  20. ^ Matthews, Michael D.; Eid, Jarle; Kelly, Dennis; Bailey, Jennifer K. S.; Peterson, Christopher (2006-01). "Character Strengths and Virtues of Developing Military Leaders: An International Comparison". Military Psychology. 18 (sup1): S57–S68. doi:10.1207/s15327876mp1803s_5. ISSN 0899-5605. 
  21. ^ Goleman, Daniel (2002). The new leaders : transforming the art of leadership into the science of results. Richard E. Boyatzis, Annie McKee. London: Little, Brown. ISBN 0-316-85765-3. OCLC 59410441. 
  22. ^ Simonton, Dean K. (1985). "Intelligence and personal influence in groups: Four nonlinear models". Psychological Review. 92 (4): 532–547. doi:10.1037/0033-295x.92.4.532. ISSN 1939-1471. 
  23. ^ Hoyt, Crystal L.; Blascovich, Jim (2007-10). "Leadership Efficacy and Women Leaders' Responses to Stereotype Activation". Group Processes & Intergroup Relations. 10 (4): 595–616. doi:10.1177/1368430207084718. ISSN 1368-4302. 
  24. ^ Sorrentino, Richard M.; Field, Nigel (1986). "Emergent leadership over time: The functional value of positive motivation". Journal of Personality and Social Psychology. 50 (6): 1091–1099. doi:10.1037/0022-3514.50.6.1091. ISSN 1939-1315. 
  25. ^ "(PDF) Narcissistic Leadership". ResearchGate (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-03-22. 

Buku

Jurnal