Kampanye Sulawesi Selatan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Envapid (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Dwinug (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
 
(8 revisi perantara oleh 6 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{For|penaklukan kerajaan pribumi Sulawesi selatan oleh Belanda tahun 1905–06|Ekspedisi Sulawesi Selatan}}
{{Infobox military conflict
| conflict = Kampanye Sulawesi Selatan
| partof = [[Revolusi Nasional Indonesia]]
| image =
| image_size =
|caption=
| caption =
|date= 10 Desember 1946–21 Februari 1947
| date = 10 Desember 1946 – 21 Februari 1947<br/>({{Age in months, weeks and days|month1=12|day1=10|year1=1946|month2=2|day2=21|year2=1947}})
|place=[[Sulawesi]]
| place = [[Sulawesi Selatan]], [[Hindia Belanda]]
|casus=
| territory =
| result = Kemenangan Belanda
| combatant1 = {{flag|Indonesia}}
|combatant1={{flagicon|Indonesia}}<br>[[Tentara Republik Indonesia]] (TRI)<br>[[Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi]] (KRIS)<br>Pasukan ireguler setempat
| combatant2 = {{flag|Belanda}}
|combatant2={{flagicon|Belanda}}<br>[[Depot Special Forces]] (DST)<br>[[Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger]] (KNIL)<br>Kepolisian<br>Garda desa
| commander1 =
|combatant3=
{{flagdeco|Indonesia}} [[Sam Ratulangi]]<br/>{{flagdeco|Indonesia}} [[Andi Abdullah Bau Massepe]]{{KIA}}<br/>{{flagdeco|Indonesia}} [[Andi Mattalata]]{{executed}}<br/>{{flagdeco|Indonesia}} Letnan [[Munir Latief|Latief]]{{POW}}
|commander1={{flagdeco|Indonesia}} [[Sam Ratulangi]]<br/>
| commander2 = {{flagdeco|Netherlands}} Kapten [[Raymond Westerling|Westerling]]<br/>{{flagdeco|Netherlands}} Kolonel De Vries
{{flagdeco|Indonesia}} [[Andi Abdullah Bau Massepe]]<br/>
| units1 = [[Tentara Nasional Indonesia|Tentara Republik Indonesia]] (TRI)<br/>[[Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi]] (KRIS)<br/>Berbagai pasukan tempur lokal yang tidak teratur
{{flagdeco|Indonesia}} [[Andi Mattalata]]<br/>
| units2 = [[Korps Speciale Troepen|Depot Special Forces]] (DST)<br/>[[Tentara Kerajaan Hindia Belanda]] (KNIL)<br/>Satuan polisi<br/>Penjaga desa
{{flagdeco|Indonesia}} Lieutenant Latief
| strength1 = 100 pasukan TRI
|commander2={{flagdeco|Netherlands}} Kapten [[Westerling]]<br>{{flagdeco|Netherlands}} Kolonel De Vries
| strength2 = 123 pasukan DST
|commander3=
|strength1 casualties1 = Tidak diketahui
| casualties2 = 3 pasukan DST tewas<br/>Jumlah prajurit KNIL, anggota satuan polisi dan penjaga desa yang tewas tidak diketahui
|strength2=123 tentara DST
| casualties3 = Sekitar 3.100 hingga 3.500 warga sipil dibunuh oleh pasukan Belanda, beberapa di antaranya dieksekusi tanpa pengadilan, dan sekitar 1.500 dibunuh oleh pasukan TRI.<ref>{{Cite web|url=https://www.trouw.nl/gs-b90408ea|title=Onderzoek in Indonesië naar claims executies|date=14 August 2016|website=Trouw}}</ref><ref>{{Cite web|url=https://besacenter.org/netherlands-war-crimes/|title = How the Netherlands Hid Its War Crimes for Decades|date = 31 August 2020}}</ref><ref>IJzereef (1984), p. 172</ref>
|strength3=
|casualties1=Kira-kira 5.000 tewas; sebagian besar di antaranya non-kombatan
|casualties2= 3 tentara DST tewas<br>Beberapa tentara KNIL, anggota garda desa, dan polisi tewas
|casualties3=
|notes=
}}
{{Sejarah Indonesia}}
 
'''Kampanye Sulawesi Selatan''' (10 Desember 1946&nbsp;– 21 Februari 1947), yang juga dikenal sebagai '''Pembantaian Westerling''', adalah bagian dari [[Revolusi Nasional Indonesia]]. Kampanye ini mempertemukan kaum Republikan Indonesia setempat di [[Sulawesi]] dengan tentara Belanda yang datang untuk merebut kembali kekuasaannya. Serangan kontrapemberontak Belanda dipimpin oleh [[Raymond Westerling]], seorang [[kapten (darat)|kapten]] kontroversial di KNIL ([[Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger]]). Operasi Westerling, yang dimulai bulan Desember 1946 sampai Februari 1947, berhasil meredam pemberontakan dan menghapus dukungan warga lokal terhadap kaum Republik dengan menjalankan eksekusi mati langsung terhadap orang-orang yang diduga musuh.
 
== Latar belakang ==
Baris 37 ⟶ 33:
Meski [[Konferensi Malino]] Juli 1946 mewujudkan negara-negara federal lokal di wilayah Indonesia milik Belanda, efektivitas pemerintah di Sulawesi melemah akibat memburuknya ekonomi, gagal panen, dan tidak adanya pemerintahan sipil.<ref name="Westerling90">Westerling (1952), p. 90</ref> Republik Indonesia di Jawa memberikan latihan untuk para gerilyawan Sulawesi dan mengirimkan pasukan dan persediaan ke pelabuhan [[Polongbangkeng]] dan [[Barru]].<ref name="Westerling92" /> Per Desember 1946, pemerintahan Belanda di pulau ini hanya mencakup [[Makassar]] dan berada di ambang pembubaran. Ratusan pejabat pemerintahan dan anggota masyarakat Eurasia dan Tionghoa pro-Belanda diserang dan dibunuh. Garnisun KNIL di pulau ini tidak mampu melindungi mereka.<ref name="Westerling93">Westerling (1952), p. 93</ref>
 
== "Metode Westerling" ==
Kegagalan taktik konvensional memaksa pemerintah Hindia Belanda mengutus pakar kontrapemberontakan [[Raymond Westerling]] untuk memulai kampanye pendamaian (pasifikasi) selama tiga bulan sejak Desember 1946 sampai Februari 1947. Taktik-taktik Belanda sebelumnya berfokus pada penahanan sementara dan pembebasan para terduga pemberontak.<ref name="Westerling95">Westerling (1952), p. 95</ref> Bulan November 1946, Westerling yang dilatih Britania ini mengembangkan kontingen komando di dalam KNIL yang dikenal dengan sebutan [[Depot Special Forces]] (DST). DST dibentuk khusus untuk peperangan dan interogasi kontrapemberontakan.<ref name="Sidarto">{{cite news|url=http://www.thejakartapost.com/news/2010/05/19/westerling039s-war.html|work=Jakarta Post|title=Westerling's War|date=19 May 2010|accessdate=25 November 2010|archive-date=2010-05-20|archive-url=https://web.archive.org/web/20100520210713/http://www.thejakartapost.com/news/2010/05/19/westerling039s-war.html|dead-url=yes}}</ref>
 
Baris 45 ⟶ 41:
 
Westerling memimpin sebelas operasi pada kampanye ini. Ia berhasil meredam pemberontakan dan mengurangi dukungan masyarakat terhadap kaum Republik. Aksi-aksinya memperkuat kekuasaan Belanda di Sulawesi selatan. Akan tetapi, pemerintah Hindia Belanda dan komando angkatan darat Belanda menyadari bahwa kekejaman Westerling menuai kritik keras dari masyarakat. Pada bulan April 1947, pemerintah Belanda melakukan penyelidikan resmi terhadap metode-metodenya yang kontroversial. Raymond Westerling dianggap tidak terlibat aktif dan ia dibebastugaskan pada November 1948.<ref name="Westerling98-99">Westerling (1952), pp. 98–99</ref>
 
'''Pembantaian Westerling''' adalah sebutan untuk peristiwa pembunuhan ribuan rakyat sipil di [[Sulawesi Selatan]] yang dilakukan oleh pasukan Belanda [[Korps Speciale Troepen]] pimpinan [[Raymond Pierre Paul Westerling]]. Peristiwa ini terjadi pada bulan [[Desember]] [[1946]]-[[Februari]] [[1947]] selama operasi militer ''Counter Insurgency'' (penumpasan pemberontakan).
 
== Operasi militer ==
 
=== Tahap pertama ===
Aksi pertama operasi Pasukan Khusus KST dimulai pada malam tanggal [[11 Desember|11]] menjelang [[12 Desember]]. Sasarannya adalah desa Batua serta beberapa desa kecil di sebelah timur Makassar dan Westerling sendiri yang memimpin operasi itu. Pasukan pertama berkekuatan 58 orang dipimpin oleh Sersan Mayor H. Dolkens menyerbu [[Borong, Manggala, Makassar|Borong]] dan pasukan kedua dipimpin oleh Sersan Mayor Instruktur J. Wolff beroperasi di [[Batua, Manggala, Makassar|Batua]] dan Patunorang. Westerling sendiri bersama Sersan Mayor Instruktur W. Uittenbogaard dibantu oleh dua ordonan, satu operator radio serta 10 orang staf menunggu di desa Batua.
 
Pada fase pertama, pukul 4 pagi wilayah itu dikepung dan seiring dengan sinyal lampu pukul 5.45 dimulai penggeledahan di rumah-rumah penduduk. Semua rakyat digiring ke desa Batua. Pada fase ini, 9 orang yang berusaha melarikan diri langsung ditembak mati. Setelah berjalan kaki beberapa kilometer, sekitar pukul 8.45 seluruh rakyat dari desa-desa yang digeledah telah terkumpul di desa Batua. Tidak diketahui berapa jumlahnya secara tepat. Westerling melaporkan bahwa jumlahnya antara 3.000 sampai 4.000 orang yang kemudian perempuan dan anak-anak dipisahkan dari pria.
 
Fase kedua dimulai, yaitu mencari "kaum ekstremis, perampok, penjahat dan pembunuh". Westerling sendiri yang memimpin aksi ini dan berbicara kepada rakyat, yang diterjemahkan ke [[bahasa Bugis]]. Dia memiliki daftar nama "pemberontak" yang telah disusun oleh Vermeulen. Kepala adat dan kepala desa harus membantunya mengidentifikasi nama-nama tersebut. Hasilnya adalah 35 orang yang dituduh langsung dieksekusi di tempat. Metode Westerling ini dikenal dengan nama "''Standrecht''" – pengadilan (dan eksekusi) di tempat. Dalam laporannya Westerling menyebutkan bahwa yang telah dihukum adalah 11 ekstremis, 23 perampok dan seorang pembunuh.
 
Fase ketiga adalah ancaman kepada rakyat untuk tindakan pada masa depan, penggantian Kepala desa serta pembentukan polisi desa yang harus melindungi desa dari anasir-anasir "pemberontak, teroris dan perampok". Setelah itu rakyat disuruh pulang ke desa masing-masing. Operasi yang berlangsung dari pukul 4 hingga pukul 12.30 telah mengakibatkan tewasnya 44 rakyat desa.
 
Demikianlah "''sweeping ala Westerling''". Dengan pola yang sama, operasi pembantaian rakyat di Sulawesi Selatan berjalan terus. Westerling juga memimpin sendiri operasi di desa Tanjung Bunga pada malam tanggal 12 menjelang 13 Desember 1946. 61 orang ditembak mati. Selain itu beberapa kampung kecil di sekitar desa Tanjung Bunga dibakar, sehingga korban tewas seluruhnya mencapai 81 orang.
 
Berikutnya pada malam tanggal 14 menjelang 15 Desember, tiba giliran [[Kalukuang, Tallo, Makassar|Kalukuang]] yang terletak di pinggiran kota Makassar, 23 orang rakyat ditembak mati. Menurut laporan intelijen mereka, [[Wolter Monginsidi]] dan [[Ali Malakka]] yang diburu oleh tentara Belanda berada di wilayah ini, namun mereka tidak dapat ditemukan. Pada malam tanggal 16 menjelang tanggal [[17 Desember]], desa [[Jongaya, Tamalate, Makassar|Jongaya]] yang terletak di sebelah tenggara Makassar menjadi sasaran. Di sini 33 orang dieksekusi.
 
=== Tahap kedua ===
Setelah daerah sekitar Makassar dibersihkan, aksi tahap kedua dimulai tanggal [[19 Desember]] [[1946]]. Sasarannya adalah [[Polongbangkeng Timur, Takalar|Polongbangkeng]] yang terletak di selatan Makassar di mana menurut laporan intelijen Belanda, terdapat sekitar 150 orang pasukan TNI serta sekitar 100 orang anggota laskar bersenjata. Dalam penyerangan ini, Pasukan DST menyerbu bersama 11 peleton tentara KNIL dari Pasukan Infanteri XVII. Penyerbuan ini dipimpin oleh Letkol KNIL Veenendaal. Satu pasukan DST di bawah pimpinan Vermeulen menyerbu desa Renaja dan [[Ko'mara, Polobangkeng Utara, Takalar|Ko'mara]]. Pasukan lain mengurung Polobangkeng. Selanjutnya pola yang sama seperti pada gelombang pertama diterapkan oleh Westerling. Dalam operasi ini 330 orang rakyat tewas dibunuh.
 
=== Tahap ketiga ===
Aksi tahap ketiga mulai dilancarkan pada [[26 Desember]] 1946 terhadap [[Kabupaten Gowa|Gowa]] dan dilakukan dalam tiga gelombang, yaitu tanggal 26 dan 29 Desember serta [[3 Januari]] [[1947]]. Di sini juga dilakukan kerja sama antara Pasukan Khusus DST dengan pasukan KNIL. Korban tewas di kalangan penduduk berjumlah 257 orang.
 
=== Pemberlakuan keadaan darurat ===
[[Berkas:Westerling.jpg|ka|jmpl|Westerling]]
Untuk lebih memberikan keleluasaan bagi Westerling, pada [[6 Januari]] 1947 Jenderal [[Simon Spoor]] memberlakukan ''noodtoestand'' (keadaan darurat) untuk wilayah Sulawesi Selatan. Pembantaian rakyat dengan pola seperti yang telah dipraktikkan oleh pasukan khusus berjalan terus dan di banyak tempat, Westerling tidak hanya memimpin operasi, melainkan ikut menembak mati rakyat yang dituduh sebagai teroris, perampok atau pembunuh.
 
Pertengahan Januari 1947 sasarannya adalah pasar di [[Kota Parepare|Parepare]] dan dilanjutkan di [[Madello, Balusu, Barru|Madello]], [[Abbokongeng, Kulo, Sidenreng Rappang|Abbokongeng]], [[Padakkalawa, Mattiro Bulu, Pinrang|Padakkalawa]], satu desa tak dikenal, [[Kabupaten Enrekang|Enrekang]], [[Talabangi, Patimpeng, Bone|Talabangi]], [[Kabupaten Soppeng|Soppeng]], [[Kabupaten Barru|Barru]], [[Malimpung, Patampanua, Pinrang|Malimpung]], dan [[Suppa, Pinrang|Suppa]].
 
Setelah itu, masih ada beberapa desa dan wilayah yang menjadi sasaran Pasukan Khusus DST tersebut, yaitu pada tanggal 7 dan 14 Februari di pesisir Tanete, sementara di kampung Pasa Baru Tanete terdapat 48 korban yang ditembak mati, pada tanggal 16 dan 17 Februari di desa [[Taraweang, Labakkang, Pangkajene dan Kepulauan|Taraweang]] dan Bornong-Bornong. Kemudian juga di Mandar, di mana 364 orang penduduk tewas dibunuh. Pembantaian para "ekstremis" bereskalasi di [[Kulo, Sidenreng Rappang|Kulo]], [[Amparita, Tellu Limpoe, Sidenreng Rappang|Amparita]] dan Maroangin di mana 171 penduduk dibunuh tanpa sedikit pun dikemukakan bukti kesalahan mereka atau alasan pembunuhan.
 
Selain itu, di aksi-aksi terakhir, tidak seluruhnya "teroris, perampok dan pembunuh" yang dibantai berdasarkan daftar yang mereka peroleh dari dinas intel, melainkan secara sembarangan orang-orang yang sebelumnya ada di tahanan atau penjara karena berbagai sebab, dibawa ke luar dan dikumpulkan bersama terdakwa lain untuk kemudian dibunuh.
 
H.C. Kavelaar, seorang wajib militer KNIL, adalah saksi mata pembantaian di alun-alun di Tanete, di mana sekitar 10 atau 15 penduduk dibunuh. Dia menyaksikan, bagaimana Westerling sendiri menembak mati beberapa orang dengan pistolnya, sedangkan lainnya diberondong oleh peleton DST dengan sten gun.
 
Di semua tempat, pengumpulan data mengenai orang-orang yang mendukung Republik, intel Belanda selalu dibantu oleh pribumi yang rela demi uang dan kedudukan. Pada aksi di Gowa, Belanda dibantu oleh seorang kepala desa, Hamzah, yang tetap setia kepada Belanda.
 
=== Peristiwa Galung Lombok ===
Peristiwa maut di [[Galung Lombok, Tinambung, Polewali Mandar|Galung Lombok]] terjadi pada tanggal [[2 Februari]] 1947. Ini adalah peristiwa pembantaian Westerling, yang telah menelan korban jiwa terbesar di antara semua korban yang jatuh di daerah lain sebelumnya. Pada peristiwa itu, M. Joesoef Pabitjara Baroe (anggota Dewan Penasihat [[PRI]]) bersama dengan H. Ma'roef Imam Baroega, Soelaiman Kapala Baroega, Daaming Kapala Segeri, H. Nuhung Imam Segeri, H. Sanoesi, H. Dunda, H. Hadang, Muhamad Saleh, Sofyan, dan lain-lain, direbahkan di ujung bayonet dan menjadi sasaran peluru. Setelah itu, barulah menyusul adanya pembantaian serentak terhadap orang-orang yang tak berdosa yang turut digiring ke tempat tersebut.
 
Semua itu belum termasuk korban yang dibantai habis di tempat lain, seperti Abdul Jalil Daenan Salahuddin ([[kadi]] [[Sendana, Majene|Sendana]]), Tambaru Pabicara Banggae, Atjo Benya Pabicara Pangali-ali, ketiganya anggota Dewan Penasihat PRI, Baharuddin Kapala Bianga (Ketua Majelis Pertahanan PRI), Dahlan Tjadang (Ketua Majelis Urusan Rumah Tangga PRI), dan masih banyak lagi. Ada pula yang diambil dari tangsi Majene waktu itu dan dibawa ke Galung Lombok lalu diakhiri hidupnya..
 
Sepuluh hari setelah terjadinya peristiwa yang lazim disebut Peristiwa Galung Lombok itu, menyusul penyergapan terhadap delapan orang pria dan wanita, yaitu Andi Tonra (Ketua Umum PRI), A. Zawawi Yahya (Ketua Majelis Pendidikan PRI), Abdul Wahab Anas (Ketua Majelis Politik PRI), Abdul Rasyid Sulaiman (pegawai kejaksaan pro-RI), Anas (ayah kandung Abdul Wahab), Nur Daeng Pabeta (kepala Jawatan Perdagangan Dalam Negeri), Soeradi (anggota Dewan Pimpinan Pusat PRI), dan tujuh hari kemudian ditahan pula Ibu Siti Djohrah Halim (pimpinan [[Aisyah]] dan [[Muhammadiyah]] Cabang Mandar), yang pada masa PRI menjadi Ketua Majelis Kewanitaan.
 
Dua di antara mereka yang disiksa adalah Andi Tonran dan Abdul Wahab Anas. Sedangkan Soeradi tidak digiring ke tiang gantungan, melainkan disiksa secara bergantian oleh lima orang [[NICA]], sampai menghebuskan napas terakhir di bawah saksi mata Andi Tonra dan Abdul Wahab Anas.
 
== Pascaoperasi ==
Jenderal Spoor menilai bahwa keadaan darurat di Sulawesi Selatan telah dapat diatasi, maka dia menyatakan mulai [[21 Februari]] [[1947]] diberlakukan kembali ''Voorschrift voor de uitoefening van de Politiek-Politionele Taak van het Leger'' - VPTL (Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas di bidang Politik dan Polisional), dan Pasukan DST ditarik kembali ke [[Jawa]].
 
Dengan keberhasilan menumpas para ekstrimis, di kalangan Belanda–baik militer maupun sipil–reputasi Pasukan Khusus DST dan Westerling melambung tinggi. Media massa Belanda memberitakan secara superlatif. Ketika pasukan DST tiba kembali ke Markas DST pada 23 Maret 1947, mingguan militer Het Militair Weekblad menyanjung dengan berita: "Pasukan si Turki kembali." Berita pers Belanda sendiri yang kritis mengenai pembantaian di Sulawesi Selatan baru muncul untuk pertama kali pada bulan Juli 1947.
 
Kamp DST kemudian dipindahkan ke [[Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan|Kalibata]], dan setelah itu, karena dianggap sudah terlalu sempit, selanjutnya dipindahkan ke [[Batujajar, Bandung|Batujajar]] dekat [[Kota Cimahi|Cimahi]]. Pada bulan Oktober 1947 dilakukan reorganisasi di tubuh DST dan komposisi Pasukan Khusus tersebut kemudian terdiri dari 2 perwira dari KNIL, 3 perwira dari KL (Koninklijke Leger), 24 bintara KNIL, 13 bintara KL, 245 serdadu KNIL dan 59 serdadu KL. Pada tanggal [[5 Januari]] [[1948]], nama DST diubah menjadi [[Korps Speciale Troepen]] – KST (Korps Pasukan Khusus) dan kemudian juga memiliki [[Kompi Penerjun Payung I|unit parasutis]]. Westerling memegang komando pasukan yang lebih besar dan lebih hebat dan pangkatnya menjadi Kapten.
 
=== Korban ===
Jumlah rakyat Sulawesi Selatan yang menjadi korban keganasan tentara Belanda hingga kini tidak jelas. Menurut De Jong, jumlah korban sesungguhnya, jika ingin mencoba obyektif memandang sejarah bukanlah 40 ribu melainkan 4 ribu orang.
 
Pemeriksaan Pemerintah Belanda tahun [[1969]] memperkirakan sekitar 3.000 rakyat Sulawesi tewas dibantai oleh Pasukan Khusus pimpinan Westerling, sedangkan Westerling sendiri mengatakan, bahwa korban akibat aksi yang dilakukan oleh pasukannya "hanya" 600 orang.
 
Perbuatan Westerling beserta pasukan khususnya dapat lolos dari tuntutan pelanggaran HAM Pengadilan Belanda karena sebenarnya aksi terornya yang dinamakan ''contra-guerilla'', memperoleh izin dari Letnan Jenderal Spoor dan Wakil Gubernur Jenderal Dr. [[Hubertus Johannes van Mook]]. Jadi yang sebenarnya bertanggungjawab atas pembantaian rakyat Sulawesi Selatan adalah Pemerintah dan Angkatan Perang Belanda.
 
Pembantaian oleh tentara Belanda di Sulawesi Selatan ini dapat dimasukkan ke dalam kategori kejahatan atas kemanusiaan (''crimes against humanity''), yang hingga sekarangpun dapat dimajukan ke pengadilan internasional, karena untuk pembantaian etnis (''Genocide'') dan ''crimes against humanity'', tidak ada kedaluwarsanya. Perlu diupayakan, peristiwa pembantaian ini dimajukan ke [[International Criminal Court]] (ICC) di Den Haag, Belanda.
 
== Kontroversi ==
Pemerintah Republik mengklaim bahwa Westerling bertanggung jawab atas kematian puluhan ribu orang. Awalnya perkiraan korban hanya 15.000 jiwa, kemudian naik menjadi 40.000 jiwa. Monumen bernama "Monumen Korban 40.000 Jiwa" dibangun di [[kota Makassar]] untuk mengenang para korban kampanye ini. Sejarawan Belanda Jaap de Moor mengatakan jumlah korban jiwa yang besar ini adalah propaganda Republik untuk menarik perhatian dunia terhadap perjuangan diplomatik dan bersenjatanya melawan Belanda. Mohammed Natzir dari Komisi Sejarah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia juga menyebut angka 40.000 ini dibuat-buat dan merupakan propaganda pemerintah Republik terhadap pendudukan Belanda waktu itu.
 
Dalam buku "''De Zuid-Celebes Affaire: Kapitein Westerling en de standrechtelijke executies''", sejarawan Belanda Willem IJzereef memperkirakan aksi DST memakan korban sebanyak 1.500 jiwa. Sekitar 400 di antaranya dieksekusi dalam aksi yang dipimpin Westerling, sedangkan 1.100 sisanya tewas dalam aksi yang dipimpin wakilnya. Aksi oleh unit KNIL lainnya kemungkinan menewaskan 1.500 jiwa lagi. Sekitar 900 warga Indonesia tewas di tangan polisi dan pasukan keamanan desa pro-Belanda. IJzereef percaya bahwa pemberontakan Indonesia menewaskan kurang lebih 1.500 orang.<ref>IJzereef (1984), p. 172</ref>
 
=== Pembelaan ===
== Tuduhan kejahatan perang ==
Westerling selalu membela aksi-aksinya dan menolak tuduhan kejahatan perang. Memoarnya yang diterbitkan tahun 1952 memiliki bab khusus berisi pembelaan dirinya: "Mereka menggambarkanku sebagai monster yang haus darah, yang menyerang rakyat Celebes dengan senjata api dan pedang, dan yang memulai kampanye penindasan tanpa ampun terhadap semua orang yang melawan pemerintah Belanda demi meraih kemerdekaan nasional Indonesia". Westerling menyatakan taktik-taktiknya didasarkan pada tugasnya sebagai polisi yang melawan teror: "Aku menangkap teroris bukan karena mereka bertindak sebagai pendukung pemerintah Indonesia... melainkan karena mereka sendiri melakukan kejahatan terbuka... Aku tidak pernah menyuruh mereka [tentara] membombardir desa. Aku pun tidak pernah menembaki rumah orang-orang bersalah. Aku pernah mengeksekusi orang-orang jahat, tetapi tidak ada yang meninggal sia-sia atau tanpa alasan karena tindakan saya.<ref>Westerling (1952), p. 150</ref>
 
Pada tahun 1949, perjanjian pengalihan kekuasaan Belanda–Indonesia menegaskan kedua pihak tidak akan menuntut tanggung jawab semasa perang, sehingga otomatis membatalkan semua upaya Indonesia untuk mengekstradisi Westerling.
 
=== Permintaan maaf ===
Pada 12 September 2013, Pemerintah Belanda melalui Duta Besarnya di Jakarta, Tjeerd de Zwaan, menyampaikan permintaan maafnya kepada seluruh korban pembantaian.<ref name="maaf">[http://dunia.news.viva.co.id/news/read/443496-belanda-minta-maaf-ke-keluarga-korban-westerling Belanda Minta Maaf ke Keluarga Korban Westerling] Vivanews, 12 September 2013 diakses 16 September 2013</ref> "Atas nama Pemerintah Belanda saya meminta maaf atas kejadian-kejadian ini. Hari ini saya juga meminta maaf kepada para janda dari [[Bulukumba]], [[Pinrang]], [[Polewali Mandar]] dan [[Parepare]]," kata Zwaan.<ref name="maaf" />
 
Selain itu, Pemerintah Belanda juga memberikan kompensasi kepada 10 janda yang suaminya menjadi korban pembantaian tersebut masing-masing sebesar 20 ribu [[Euro]] atau Rp 301 juta.<ref>[http://news.liputan6.com/read/690852/belanda-ganti-rugi-20-ribu-euro-kepada-10-janda-korban-westerling Belanda Ganti Rugi 20 ribu Euro Kepada 10 Janda Korban Westerling] Liputan6.com, diakses 16 September 2013</ref>
 
== Lihat pula ==
Baris 77 ⟶ 140:
* {{Cite book|last =Reid|first =Anthony|title =The Indonesian National Revolution 1945–1950|publisher=Longman Pty Ltd|year =1974|location =Melbourne|url =|isbn =0-582-71046-4}}
{{ref end}}
== Pranala luar ==
 
* {{id}} [https://repository.monash.edu/items/show/12630#?c=0&m=0&s=0&cv=0 Amanat Presiden Sukarno pada Peringatan 40.000 Korban Westerling di Sulawesi Selatan]
* {{id}} [http://kabar-selebriti.blogspot.com/2012/05/pembantaian-masal-westerling-sulawesi.html Pembantaian Westerling I]
{{Revolusi Nasional Indonesia}}{{Lembaran hitam Indonesia}}
[[Kategori:Sejarah Indonesia]]
[[Kategori:Revolusi Nasional Indonesia]]
[[Kategori:Pembantaian]]
[[Kategori:Peristiwa 1946]]
[[Kategori:Peristiwa 1947]]
[[Kategori:Perang Kemerdekaan Indonesia]]